Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 26) - Bangsa yang Terlupakan


Kedua sayap raksasa itu terkembang bak layar perahu, seperti hendak menelan langit. Saat dikepakkan berhembus angin kencang dahsyat hampir-hampir menerbangkan tubuh Candini. 

"Kakang! Tolong!" 

Wanita itu jatuh tersungkur, kakinya terasa lemas tidak bertulang. Ia merayap ditanah berusaha menjauh dari kepulan asap debu. 

Makhluk itu menatap lagit dengan lehernya yang menjulang. Saat mulutnya terbuka terlihat gigi tajam sebesar kayu penyangga rumah. Berkilau keperakan terkena cahaya rembulan. 

Raungan binatang buas terdengar ke seantero jagad. Menggidikkan bulu kuduk siapa saja yang mendengar. 

Candini hampir pingsan saat kepala makhluk itu mendekatinya, kepalanya seperti ular namun memiliki banyak tanduk yang tersusun seperti mahkota. Tampak permata hitam berbentuk wajik tertanam di tanduk paling besar yang ada ditengah. Matanya beriris pipih dengan warna ungu bercahaya. Hembusan asap keluar dari hidung raksasa itu, berbau belerang yang menusuk, terasa panas menerpa kulit Candini. 

Tamatlah riwayatku! 

Oh Candini kau akan mati ditelan makhluk ini tanpa sempat membalas dendam Guru. Bahkan kamu belum menemukan pasangan hidup, apakah aku akan mati dalam keadaan masih gadis? 

"Berhenti menakutinya Sancaka." dingin Larantuka menatap makhluk itu. 

Pendekar itu melayang dari atas tebing menyongsong Candini yang ketakutan. 

"Jangan takut Candini dia adalah perewanganku, termasuk bangsa Naga. Kau tidak akan disakitinya" ujarnya sambil menangkap bahu Candini. 

Candini membelalak, matanya tak bisa lepas dari ujung ekor makhluk itu yang sepanjang glagah batang pohon kelapa. 

"Na-naga? Aku kira makhluk itu cuma mitos!" jerit Candini. 

Naga bermata ungu itu menggeram lalu bergelung melingkarkan ekor berduri. Sayapnya yang lebar menutup badan bersisik hitam. 

"Bukan mitos, hanya saja bangsa naga tidak pernah terlihat lagi di mata manusia sejak ratusan tahun yang lalu. Mereka telah banyak musnah, dari empat bangsa yang diciptakan sejak jaman Awal Mula mungkin Sancaka adalah bangsa yang terakhir dari kaum Naga."

Mulut Candini tak dapat mengatup saking takjubnya. Belum pernah ia melihat makhluk sebesar itu dari ujung kepala sampai ujung ekor panjangnya bisa ratusan tombak!

Sisiknya yang hitam napak kokoh berkilauan, sungguh makhluk bernama Naga ini bila dipandang lama aura menakutkannya akan berganti dengan kewibawaan dan keagungan.

"Nama aslinya Hyang NagaPaksi Sancaboga, panggilannya Sancaka. Ia sudah lama menemaniku bertualang."

Setelah mampu menguasai rasa takutnya Candini sempoyongan meraih bahu Larantuka. Napasnya masih terengah. 

"Aku tak mengira Kakang bisa membawa-bawa seekor Naga. Aku dengar mitos mereka adalah makhluk yang sangat sakti. Tidak bisa dijumpai sembarangan orang"

Pendekar berbaju hitam itu mengangguk. "Oleh karena itu aku membutuhkan bantuanmu Sancaka. Bawa kami ke tempat persembunyian Gondo Mayit, aku tahu kau bisa membawa kami kesana."

Naga itu mendenguskan napas panas, matanya masih terpejam." Aku tak mau, di alam ini aku bisa memakai wujud asliku. Beda halnya jika di alam Nyata manusia aku hanya berwujud ular."

Larantuka terdiam, ia menoleh memandang Candini penuh arti.

"Ah benarkah? Mau sampai kapan kau disini?  Ratusan, ribuan tahun tidakkah kau akan bosan?" tanya Candini. "Lambat laun akan menjadi budak Nyi Gondo Mayit jika tinggal di alam ini!" tambahnya.

Dengan mata terpejam Naga itu menyeringai dibalik sayapnya, kemudian tertawa dengan suara yang menggelegar. 

"Gondo Mayit bocah itu tak akan mampu berbuat banyak terhadapku, jika mampu ia bisa kubuat mampus kapan saja hahaha."

Angin dingin bertiup, rumput getah getih berkali-kali menyabet sekujur tubuh sang Naga yang tengah berbaring. Namun tak terlihat luka sedikitpun, sisik naga itu ternyata lebih keras daripada tameng baja. Naga itu justru terlihat keenakan tidur bergelung seakan dielus-elus rumput itu.

Waktu berjalan semakin tak terasa pemuda berjubah hitam itu semakin kesal.

"Baiklah jika kau tak mau membantu kita pergi berdua." tukas Larantuka.

Candini menggeleng, "Tunggu dulu kakang, Sancaka apakah kau yakin melewati hari-hari di alam yang suram ini? Kau mau menatap wajah para hantu itu terus-terusan."

Hanya geraman terdengar diantara dengkuran Naga itu.

"Kau mau dirayu nenek Gondo Mayit itu? dibelai oleh dayang-dayang mayitnya?"

Celotehan Candini terus menerus mengalir tak terbendung, Sancaka berusaha menutupi telinganya dengan sayapnya. Namun perkataan pendekar wanita itu terus mengganggu istirahatnya.

"Cukup! Cepat enyah dari sini!" bentaknya.

Buni terasa bergetar saat Naga itu berteriak marah.

"Ayoh Kakang, kita keluar dari alam ini! Tidak usah mengejar Gondo Mayit lagi, biar Hyang Sancaka leluasa menghabiskan waktu bersamanya" seru Candini sambil menggamit lengan Larantuka.

Lelaki itu melotot menatap Candini, bagaimana dengan misinya melenyapkan Ratu Iblis itu? tetapi Candini terus menyeret pemuda itu menjauh dari Sancaka. 

Terdengar raungan marah, dan bumi kembali bergetar.

Naga itu bangkit dengan geraman jengkel. Ekornya mengibas kekanan dan kemari meratakan bukit-bukit batu kecil disekitarnya.

"Grrhhhhh baik-baik! Akan kubantu kalian menemukan Nenek itu. Bau kabut alam ini sungguh busuk membuatku mual!"

Larantuka tersenyum, baru kali ini Candini melihat senyuman pemuda itu, sungguh manis.

Pendekar itu mengangguk ke Candini menyatakan terima kasihnya, gadis ini hanya mengedipkan mata kanannya dengan bangga.

"Bagaimana Cara kita menemukan iblis itu?" tanya Candini.

"Naiklah ke punggungku, akan kubawa kalian ke sarangnya dengan penciumanku. Aku bisa membaui hawa siluman yang kental dalam dunia demit ini." perintah Sancaka.

Belum sempat gadis itu naik ke punggung Naga itu, Sancaka menghembus angin kencang.

"Cih.. bau apa ini sungguh pesing"

Candini menoleh ke Larantuka tak mengerti, perlahan pemuda itu menekuk jari telunjuk di depan hidung.

Candini menunduk melihat selendang dan kain celananya, ternyata ada noda basah oleh air disana.

"Kau ngompol Candini?" tanya Larantuka tanpa tedeng aling-aling.

Wajah gadis itu merah bagai direbus, ia menjerit kecil dan segera berlari ke balik bukit batu untuk membersihkan diri. Bukan main malunya!

Diiringi Tawa Sancaka yang terkekeh.

***

Langit malam membelai Larantuka dan Candini yang terbang mengendarai Naga Sancaka di punggungnya. Dalam sekejap telah ribuan tombak mereka lalui. Dari atas mereka melihat lagi-lagi hutan meranggas aneh dan lautan padang rumut berwarna merah.

Sesekali mereka melihat perkampungan hantu dipenuhi ramai oleh kumpulan budak iblis yang terus memuja junjungan Kanjeng Ratu Gondo Mayit.

"Bukan main ternyata alam ini sangat luas! Jika kita menyusuri dengan jalan kaki entah berapa lama kita akan sampai Kakang" ujar Candini berdecak heran.

"Semakin tinggi kesaktian siluman itu maka akan makin luas alam yang ia ciptakan. Pastinya telah jatuh ke tangannya ribuan nyawa manusia tak bersalah." guman Larantuka.

"Heh tak bersalah? kau lupa kebanyakan diantara mereka adalah manusia rakus tak bermoral. Yang menginginkan kekuasaan dengan jalan pintas!" jengek Sancaka.

Lelaki itu melengos, "satu budak iblis akan menyengsarakan ratusan manusia tak berdosa. Jika tak ada Nyi Gondo Mayit, maka manusia serakah itu tak akan membawa nyawa manusia yang lain!'

"Sudah-sudah jangan bertikai! lihat itu kita hampir sampai!" seru Candini menunjuk ke depan.

Dari kejauhan mereka melihat bagunan berwarna kemerahan semakin mendekat, Sebuah Istana dengan menaranya yang menjulang. Tampak menyeramkan karena berwarna merah darah.

BERSAMBUNG
close