Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LABUH MAYIT (Part 7) - Kembali Ke Alas Lali Jiwo


Part 7 - Kembali Ke Alas Lali Jiwo

Sudah 3 hari berlalu semenjak Bima pulang dari rumah sakit. Keadaannya sudah membaik, meski kadang dia masih merasakan kepalanya sedikit pusing.

Bima tengah termenung ditaman belakang rumahnya, memikirkan kenapa tiba-tiba saja dia tidak bisa menggunakan kemampuannya.

“Kromosengkono” batin Bima sambil memfokuskan pikiran kepada penjaganya. Namun setelah menunggu beberapa saat, tidak terjadi apapun. Bahkan sensasi rasa dingin yang menandakan kemunculan mereka juga tidak terasa sama sekali.

“Huh...” keluh Bima sembari mengambil sebatang rokok dan menghidupkannya. Rasanya dia rindu berinteraksi dengan Kromosengkono.

“Lagi ngapain Bim” terdengar suara Banyu dari arah belakan Bima.

“Astaghfirulloh, Pak” ucap Bima kaget.

Banyu yang melihat Bima terperanjat hanya terkekeh dan segera duduk disamping Bima. Ditatapnya anak laki-laki semata wayangnya itu.

“Lagi mikir apa?” tanya Banyu, yang masih menatap Bima dengan penuh perhatian. Bima menggeleng, menghindari menjawab pertanyaan Bapaknya.

“Masih memikirkan Arif?” terka Banyu, setelah beberapa saat terdiam.
“Waktu Bapak kenal sama arif mungkin dulu seumuranmu Bim...” lanjut Banyu menolehkan kepalanya dan memandang jauh lurus ke depan.

Bima menolehkan kepalanya kearah Bapaknya, dia sama sekali tidak pernah menanyakan sejak kapan Banyu dan Arif bisa saling berteman seperti ini.

“Ada hal-hal yang hampir tidak pernah ku mengerti tentang pribadi Arif. Sejak masih remaja dia selalu berusaha untuk menolong orang-orang yang ada disekitarnya. -

Tapi memang begitulah dia, selalu mengikuti kata hatinya. Orang yang keras kepala, dan tidak bisa diatur, pantas saja kalian bisa begitu dekat” ucap Banyu menerawang jauh mengingat ingat kenangannya.

Bima masih terus memandangi Banyu, terbesit rasa ingin tahu tentang sosok Pak Arif jauh lebih dalam.

“Apa Pak Arif juga punya anak dan istri Pak?” tanya Bima, teringat ucapan Pak Arif sewaktu didepan gubuk Simbah.

“Ya... tapi sudah meninggal beberapa tahun yang lalu” jawab Bima getir.
“Mungkin karena itulah, dia dekat denganmu. Dengan kehadiranmu mungkin dia teringat dengan mendiang anak laki-lakinya” ucap Banyu sambil mengangkat bahunya.

“Bagaimana mereka bisa menginggal?” tanya Bima penasaran.

Banyu diam, melanjutkan membakar sebatang rokok yang sedari tadi dia pegang.

“Kecelakaan... setahu Bapak waktu itu Arif sedang mencoba untuk menolong seseorang yang terkena serangan gaib. -

Tapi setelah beberapa waktu, justru keluarga Arif yang terkena dampaknya. Anaknya dulu masih seumuranmu. Hanya beda beberapa tahun” ucap Banyu.

Bima terkesiap, tiba-tiba saja dia teringat dengan Sembojo. Akankah Bima juga akan merasakan seperti yang Pak Arif rasakan, kehilangan orang-orang terkasih disekitarnya.

“Arif selalu bisa menyembunyikan perasaannya, tidak pernah sekalipun selama Bapak mengenalnya, Arif mengeluh tentang kehidupannya yang berat. -

Dia yatim semenjak kecil dan diurus oleh Kakeknya... Setelah kakeknya meninggal, dia seorang diri. Meski masih punya kerabat, Arif memilih untuk pergi merantau” ucap Banyu tersenyum kecut.

Entah kenapa Bima merasa sendu, ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan didalam perasaannya. Tiba-tiba saja matanya memanas, tenggorokannya terasa sakit tercekat.

“Semenjak kejadian tahun lalu, aku menemukan sesuatu didalam dirimu Bim. Seorang anak dan teman yang hadir kembali di kehidupanku” lanjut Banyu.

“Berat Pak...” ujar Bima parau, sesekali dia menyeka matanya. Dia tidak pernah malu memperlihatkan emosinya kepada Banyu.

“Bapak tidak pernah bisa tahu apa yang kamu rasakan. Tapi ingat apa pesan Bapak dulu? Sewaktu mobil kita macet di tengah hutan?” ucap Banyu memandang Bima.

Bima mengangguk, “Tuhan selalu bersama orang-orang yang punya niatan tulus” jawab Bima.

Banyu tersenyum, “Bapak tidak tahu apa masalahmu sekarang ini. Yang Bapak tahu kamu orang yang kuat. Jaga prinsip kamu untuk terus berguna bagi orang lain. Semua masalah pasti ada penyelesaiannya” ujar Banyu sambil berdiri dan melangkah meninggalkan Bima.

“Pak...” panggil Bima.

“Kenapa Bim?” tanya Banyu saat sudah berhenti melangkah dan menengok kearah Anaknya.

“Bima pengen liburan beberapa hari ditempat yang tenang” ucap Bima.

Banyu yang melihat itu tersenyum.

“Besok kita pergi ke puncak” ucap Banyu yang langsung kembali melangkah pergi kekamarnya.

Kembali Bima merenung, semua pilihan kini ada ditangannya. Ditatapnya keatas, melihat kearah bulan yang begitu terang.

“Terimakasih untuk semuanya” ujar Bima lirih.

***

“Sudah siap semua?” ucap Sekar saat melihat Bima dan Maya tengah duduk di sofa ruang keluarga. Mereka memutuskan untuk liburan beberapa hari di puncak.

“Sudah Budhe, tinggal berangkat” ucap Maya bersemangat. Sedang Bima sedari tadi hanya diam membaca bukunya.

“Yakin kamu gapapa Bim?” tanya Maya khawatir memandang kearah Bima lekat-lekat. Semenjak Bima pulang dari rumah sakit, mereka belum bertemu sama sekali. Jadi Maya tidak tahu bagaimana kondisi Bima saat ini.

“Gapapa Mbak,” ucap Bima datar tanpa menolehkan pandangannya dari buku.

“Kamu masih belum bisa bertemu Kromosengkono, Bim?” tanya Maya takut-takut.

Bima berhenti membaca, kini ia memandang Maya lekat-lekat.

“Belum, dan sepertinya memang mereka yang tidak ingin berinteraksi denganku. Kalau memang mereka mau pasti akan muncul. Toh kau lihat sendiri kan, aku masih bisa melihat sosok penghuni rumah sakit” ucap Bima ketus.

Maya tidak bisa menampik apa yang diucapkan oleh Bima, menurutnya memang aneh. Kalau Bima bisa melihat sosok penghuni rumah sakit. Kenapa dia tidak bisa melihat Kromosengkono?

Kembali Maya teringat akan pertemuannya dengan Kromosengkono saat berada di rumah sakit.

“Apa ada hubungannya dengan Sembojo?” batin Maya penasaran.

“Bim... apa Sembojo menemuimu lagi?” tanya Maya lirih.

Bima menghela nafas, entah kenapa dia merasa jengkel dengan pertanyaan Maya.

“Kau tahu apa yang kupikirkan Mbak? Aku hanya khawatir jika terjadi sesuatu dengan kalian, Terlebih dengan Sembojo yang masih berkeliaran, bagaimana kalau...” ucap Bima

“Kalau ada sesuatu yang terjadi dengan hal gaib, selama kamu belum bisa mengeluarkan energimu. Biar aku yang menjaga kalian” ucap Maya.

Bima melihat kearah mata Maya, “Kita lihat nanti Mbak” ujar Bima tersenyum penuh arti.

Sedang Maya yang mendengar ucapan Bima justru khawatir. Takut dengan visual yang dia lihat akan terjadi. Merasa ada nada final di ucapan Bima, Maya tidak melanjutkan bertanya lebih jauh.

Setelah semua siap, dan mereka sudah melakukan pengecekan beberapa kali. Akhirnya mereka mulai melakukan perjalanan menuju puncak.

Selama perjalanan tidak banyak kejadian berarti. Hanya sesekali candaan dan tawaran untuk mampir membeli makan atau sekedar mampir toilet.

“Seger ya BIm” ucap Maya saat membuka kaca mobil. Beberapa kali Maya menghirup udara dalam-dalam. Bima hanya mengiyakan ucapan Maya dan kembali memandang kearah luar.

“Kenapa sih Bim, mirip orang setres deh kamu itu” ucap Maya.

Sekar menengok kearah belakang, “Masih sakit Bim?” tanya Sekar khawatir.

“Engga Bu, Mbak Maya ini aja yang bawel. Orang Bima juga uda jawab, malah dikatain setres” ketus Bima.

Maya yang mendengar ucapan Bima cemberut, dan langsung kembali menengok kearah luar.

“Sudah sudah malah ribut, katanya mau liburan. Sebentar lagi kita sampai lo...” ucap Banyu ceria.

Benar saja, setelah 15 menit masuk keadalam area perkebunan teh, mereka akhirnnya sampai ketempat tujuan mereka.

“Yuk turun” pinta Sekar sambil membuka pintu mobil dan langsung saja berjalan kearah depan, menuju resepsionis resort.

Maya mengikuti apa yang Sekar lakukan, sesaat dia melihat sekitarnya. Sama seperti biasanya, dia mencoba untuk mengecek tempat yang akan mereka tinggali.

“Aman Bim, ga ada mahkluk astral disini” ucap Maya tanpa berfikir terlebih dahulu.

Entah kenapa Bima merasa jengkel. Tanpa memperdulikan Maya, Bima langsung saja berjalan melewati sepupunya menuju kearah lobby resort.

Maya menghela nafas, tidak paham dengan kelakuan Bima akhir-akhir ini.

“Sudah May, jangan dipikirkan. Sedari kemarin memang kelakuan Bima aneh, lebih sering melamun dan sensitif” ucap Bayu yang sudah disebelah Maya.

“Mirip pantat bayi ya Paklek?” ucap Maya memandang punggung Bima dengan sebal.

“Bapak sama Ibu kesini jam berapa?”

Banyu terkekeh mendengar ucapan Maya, “Pantat Bayi memang sering melamun dan senstif ya May?”

Maya terbengong... Saat menyadari ada yang salah dengan ucapannya, ia langsung ikut terkekeh. “Nah gitu dong, jangan ikut-ikutan ngambek” ucap Banyu ceria.

“Tolong Bima ya, coba cari tahu apa yang sedang dia pikirkan. Semenjak pulang dari rumah sakit dia selalu begitu” lanjut Banyu tersenyum

Maya mengangguk, dia sebetulnya tahu apa yang sedang terjadi dengan Bima. Tapi dia pikir tidak bijaksana jika mengatakan kepada Banyu. Biarlah nanti Maya pelan-pelan bicara dengan Bima.

“Budhe ini nyaman banget” ucap Maya saat masuk kedalam Villa yang mereka pesan. Tempat itu memiliki 4 kamar tidur dengan kamar mandi pribadi, ruang tamu sekaligus ruang keluarga, satu kamar mandi luar dan dapur.

“Nyaman kan, nanti itung-itungannya pas uda dirumah aja ya” goda Sekar

Maya cemberut, “Sama ponakan sendiri kok itungan to Bulek. Bim abis ini temenin jalan ya, mumpung masih sore ini” pinta Maya, karena sedari tadi Bima hanya diam memperhatikan mereka.

“Kemana? males aku mbak, mau tidur” ucap Bima ogah-ogahan.

“Ayokkk cepetan” kata Maya yang sudah menarik-narik tangan Bima.

“Apaan sih Mbak, orang dibilang males masih aja maksa” kata Bima yang langsung menepiskan tangan Maya dan berjalan menuju kamar yang sudah ditunjukan oleh Sekar.

Maya kembali menghela nafas, “Bima... kamu kenapa sih" tegur Sekar, namun tidak ada sahutan dari Bima, dia sudah masuk keadalam kamar.

“Sudah Bulek, mungkin Bima masih capek” ucap Maya tersenyum kecut.

“Yauda yuk, kita spa aja. Biarin aja Bima sama Paklek disini” ajak Sekar mencoba menghibur Maya yang matanya sudah terlihat berkaca-kaca.

“Loh, aku ya pengen. Sesekali boleh juga dimassage” ucap Banyu,

“Coba ajak Bima mas, nanti ngambek lagi kalau engga diajak” ujar Sekar yang khawatir jika Bima merajuk karena tidak diajak pergi bersama mereka.

Banyu mengangguk dan segera menuju ke kamar Bima, setelah ditunggu beberapa saat ia kembali dengan wajah cemberut.

“Minta sendirian anakmu itu. Biarlah... mungkin memang lagi pengen sendiri” ucap Banyu.

Awalnya Sekar nampak khawatir, tapi setelah Banyu memberikan penjelasan akhirnya mereka membiarkan Bima untuk sendiri terlebih dahulu.

Bima tengah berdiri di depan jendela, dilihatnya ketiga orang itu sedang berjalan menjauh dari Villa yang mereka sewa. Ada perasaan sedih yang tidak bisa dia jelaskan. Disatu sisi dia ingin berkumpul tapi disisi lainnya Bima benar-benar ingin sendirian.

Berjalan menuju ranjang, Bima merebahkan tubuhnya. Dia berniat untuk bermeditasi, siapa tahu dengan belajar dari awal lagi ia bisa membuka kemampuannya kembali. Perlahan Bima menarik nafas dan menghembuskan nafasnya pelan-pelan.

Tujuh hitungan dia menarik nafas panjang, kemudian ia tahan di diafragma selama 7 hitungan, dan ia hembuskan dengan 7 hitungan pula.

Bima melakukan itu berulang kali. Hingga dia benar-benar merasa rilex, tubuhnya terasa melayang... Namun bukannya bisa merasakan energinya, justru Bima tertidur dengan pulas.

Bima saat ini tengah duduk teras rumah yang tidak asing. Beberapa kali dia mengedarkan pandangannya.

“Sudah lama Bim?” terdengar suara laki-laki dari arah samping Bima.

“P—pak Arif” gagap Bima, saat mendapati laki-laki yang dirindukannya tengah berdiri tidak jauh darinya.

“Kenapa mukamu?” ucap Arif yang langsung berjalan dan duduk didepan Bima.

“Apa yang membuatmu begitu gelisah?” lanjut Arif. Bima tidak menjawab, dia terus memandangi sosok orang yang sudah mengajarkan banyak hal dihidupnya.

“Pak Arif gimana kabarnya?” tanya Bima mengabaikan pertanyaan Arif.

“Seperti yang kamu lihat, tidak kurang dari satu apapun” ucapnya sambil menangkat bahu dan menaikan alisnya.

“Maafkan Bima karena sudah membuat jadi seperti ini” ucap Bima lirih, hatinya begitu pedih memikirkan semuanya. Andai saja dia bisa merubah waktu, dia ingin sekali lagi pergi ke masalalu.

“Tidak ada yang perlu disesalkan, laki-laki harus tegas dan kuat. Tidak kah kau belajar selama ini? Setiap tindakan akan menimbulkan resiko. Masa lalu hanya pelajaran... Berjalanlah kedepan Bim” ujar Pak Arif.

Bima mendongak, ditatapnya lurus-lurus kearah mata laki-laki yang tengah duduk didepannya. “Apa yang harus Bima lakukan Pak?” tanya Bima

“Tidak ada yang perlu kau khawatirkan, jika memang apa yang akan kau pilih bisa membuatmu lebih baik lakukan, ikuti nuranimu. -

Tetaplah berpegang teguh dengan prinsip yang sudah kau jalani. Tidak ada pengorbanan yang sia-sia” ucap Arif tersenyum. Seketika kabut tebal turun, sejenak Bima merasa kebingungan.

“Astaghfirulloh, ternyata mimpi” ucap Bima saat mendapati dia tengah tertidur dengan badan penuh dengan keringat.

Ditengoknya kearah jendela yang masih terbuka, langit sudah menghitam. Bima mendengar dari arah depan suara-suara seperti orang yang tengah berbincang dan bersendau gurau.

Beranjak, Bima segera menghidupkan lampu kamarnya dan berjalan menuju ke kamar mandi sebelum bergabung bersama dengan yang lainnya.

“Bima boleh gabung?” ucap Bima saat mendapati, keluarganya tengah berkumpul di taman depan Villa.

Maya yang pertama mendapati kehadiran Bima awalnya terdiam, takut Bima masih sensitif seperti tadi sore. Namun seketika senyumnya timbul, dia berlari kearah Bima.

“Ngapain sih? Ayo...” ucap Maya sambil menarik tangan Bima menuju tempat mereka berkumpul.

Malam itu semua bersuka cita, bahkan Bima nampak lebih ceria dibanding beberapa hari belakangan.

“Mbak bisa bicara berdua?” tanya Bima,

“Boleh Bim, kita duduk disana aja” ucap Maya sambil menunjuk bangku yang tidak jauh dari api unggun yang sudah disiapkan oleh pengelola resort.

“Kenapa Bim?” tanya Maya saat mereka sudah duduk dibangku taman.

“Bisakah kau membawaku ketempat Simbah?” ujar Bima. Maya memandang Bima penuh perhatian. Memang selama beberapa hari ini dia berfikir, apa sebaiknya mereka pergi ke tempat Simbah untuk mencari solusi dari permasalahan Bima saat ini.

“Untuk apa Bim?” tanya Maya mencoba memastikan, apakah benar pikirannya sama dengan pikiran Bima.

“Entahlah, tapi aku ingin sekali bertemu dengan mereka. Siapa tahu aku sudah tidak akan bisa bertemu dengan mereka lagi nantinya” ujar Bima tersenyum.

Maya terkejud mendengar penuturan dari Bima, perasaannya tiba-tiba saja menjadi tidak karuan.

“Apa Bima sudah memutuskan sesuatu?” batin Maya penasaran.

“Kok malah bengong mbak?”

“Dengar Bim, selama beberapa hari ini aku berfikir. Jujur saja, aku khawatir dengan ancaman yang diberikan oleh Sembojo. -

Tapi setelah beberapa waktu tidak ada hal ganjil... Apa tidak lebih baik kita seperti ini saja? Kita coba hidup normal kembali seperti dulu” ucap Maya serius.

Bima tersenyum, “Yah... aku cuma ingin bertemu mereka. Mungkin karena sudah terbiasa dengan kehadiran mereka, jadi rasanya ada sesuatu yang hilang. -

Terlebih aku juga sudah berjanji untuk membawa pulang Pak Arif. Setidaknya kalau memang aku tidak bisa melihat mereka lagi... Aku ingin pamitan” ujar Bima

Maya terdiam, mempertimbangkan keinginan Bima. Dia tidak mau salah langkah lagi, terlebih dengan kondisi Bima yang seperti ini, bisa saja justru malah membuat masalah menjadi semakin besar.

“Turuti keinginan Bima, ndug” ucap suara Cempoko Kuning ditelinga Maya. Sontak dia langsung memalingkan wajah dan mengedarkan pandangannya, mencari dari mana sumber suara itu berasal.

“Ada apa Mbak?” ucap Bima mengerutkan dahinya.

Maya menggelengkan kepalanya, “gapapa Bim... Baik kita coba nanti malam setelah semua orang tertidur” ucap Maya.

Sejenak dia mengerutkan dahinya saat memandang Bima. Mungkin hanya perasaannya saja, Maya melihat expresi wajah Bima begitu bringas, mirip seperti saat dia kerasukan Sembojo.

“Makasih, Mbak. Yuk kita gabung sama yang lain” ucap Bima yang langsung saja berdiri meninggalkan Maya.

***

“Aku tidak tahu ini akan berhasil atau tidak, selama ini kita selalu dibantu oleh Kromosengkono. Jadi jangan berharap lebih” kata Maya.

Bima mengangguk,

“Tidak bisakah kau mencoba memanggilnya kesini?”

Sebetulnya Maya bisa memanggil Kromosengkono, tapi karena ada keengganan, dia sengaja untuk tidak melakukan itu semua. Terlebih memang dia berharap kalau apa yang akan mereka lakukan malam ini akan gagal.

“Akan kucoba Bim, kau bersiaplah” ujar Maya yang langsung saja duduk bersila.

Bima yang melihat sepupunya tengah bersiap, mengikuti apa yang Maya lakukan. Bibirnya tersenyum penuh kemenangan.

Perlu beberapa waktu bagi Maya untuk bisa memfokuskan pikirannya. Sedari tadi dia selalu melihat bayang-bayang Bima yang tengah bertempur bersama Sembojo melawan penghuni Alas Lali Jiwo.

15 Belas menit telah berlalu, mereka mulai merasakan udara menjadi lebih dingin. Suara deru angin yang tidak biasa tertalu-talu ditelingan mereka.

Kini tarikan-tarikan kecil mulai terasa diujung kepala mereka berdua. Hati Bima membengkak gembira, terus saja dia mencoba untuk mengatur nafas. Kini ia sudah merasakan tangan Maya menyentuh dahinya...

Bima membuka matanya, mengerjap beberapa kali untuk membiasakan dengan apa yang tengah dia lihat.

“Buka matamu Mbak” pinta Bima.

“Kita dimana Bim?” ucap Maya kebingungan, saat ini mereka tengah berdiri depan gerbang pendopo besar dengan nuansa kuno disekitarnya.

“Tidakkah kau ingat ini dimana?” ucap Bima tersenyum senang.

Maya yang melihatnya justru merinding hebat. Tidak pernah Bima tersenyum seperti itu, seolah dia sedang mendapatkan kesenangannya.

Maya mencoba mengingat-ingat, memang dia merasa tidak asing dengan bangunan yang ada disekitarnya...

“Sanggar Pati” ucap Maya lirih.

“Benar, ditempat ini dulu aku bertarung dengan Gendiswari” ucap Bima yang mulai melangkah menuju ke arah pintu kayu lapuk.

“Bim, kenapa kita bisa sampai disini? Ayo pulang” ucap Maya yang mulai khawatir, terlebih dari tadi dia merasakan banyak pasang mata yang sedang memperhatikan mereka.

“Tunggu, ada yang ingin kulakukan” ucap Bima.

“Bim, sudahlah... ayo kita pulang” pinta Maya, tapi Bima tidak menggubris ucapan sepupunya itu. Dia terus saja melangkah menuju kearah dalam Sanggar Pati.

Mau tidak mau Maya mengikuti langkah Bima, jantungnya berdebar dengan keras. Semoga apa yang dia pikirkan tidak terjadi saat ini.

Kini Bima sudah duduk bersila ditengah Sanggar Pati. Maya sedikit terkesiap, energi Bima mulai meluap-luap. Belum pernah dia melihat Bima seperti ini.

“Ada yang tidak beres” ucap Maya yang masih terus saja melihat kearah Bima.

Hingga suasana tiba-tiba saja berubah, pohon-pohon bergoyang dengan hebat. Bahkan Maya seperti merasakan ada semacam gempa yang terjadi disekitarnya.

“Bim apa yang kau lakukan” ucap Maya panik, dia mencoba mendekat kearah Bima. Dia tahu jika pagar gaib Alas Lali Jiwo dirusak maka semua demit yang berasal dari luar bisa masuk kapan saja.

Maya terus berlari, namun saat sudah dekat dengan Bima. Tiba-tiba saja tubuhnya terpental, seolah ada energi besar yang menghalangi Maya mendekati Bima.

Gonggggg.... Maya kaget, dia melihat kearah sekitarnya. Suara gong itu benar-benar menakutkan, nafasnya tercekat. Dia benar-benar panik saat ini.

“Bim tolong berhenti” ucap Maya yang mulai terlihat putus asa. Dia menyesal telah menuruti kemauan Bima.

“Suwun wes buka panggonan iki” (Terimakasih sudah membuka tempat ini) Maya menoleh, tepat dipintu masuk Sanggar Pati. Sembojo sudah berdiri dengan antek-anteknya.

Bima membuka matanya, melihat kearah Sembojo
“Aku sudah melakukan apa yang kau minta, sekarang tepati janjimu” ucap Bima.

Maya yang mendengar itu hanya terdiam mematung, tidak mungkin Bima melakukan ini semua.

“Bantu aku untuk menghancurkan tempat ini, setelah itu apa yang kau inginkan akan kuturuti” ucap Sembojo tersenyum penuh kemenangan.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close