Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PANTAI TRISIK 1990 (Part 2) - Istana Pantai Selatan


"Hmmmm! Berada di mana aku ini?! Seingatku perahu tadi karam hancur berantakan diterjang badai. Mengapa tiba-tiba aku bisa berada di sini?!" seru Djarot heran.

"Dimana Lik Kasto, Karjo, Pangat dan Tomo? Apakah mereka berempat juga terdampar di tempat ini?" bertanya-tanya Djarot dalam hati. Seribu pertanyaan itu bermunculan tanpa ada jawaban.

Saat itu didapatinya dirinya berada di depan gerbang bangunan sangat besar beratap tinggi. Pada kiri kanan bangunan yang berdinding batu pualam itu berjejer masing-masing dua belas buah pilar putih berukiran indah sekali. Lalu di antara jejeran dua belas tiang ini, pada pertengahan lantai terbentang sehelai permadani tebal berwarna biru membujur dari tangga di sebelah depan bangunan dekat Djarot berdiri. Permadani ini membujur terus ke arah bagian ujung lain dari bangunan besar itu. Di sebelah ujung sana tampak tangga terdiri dari lima undakan, dan diundakan paling atas lantainya ditutupi sehelai permadani tebal berwarna merah. Di tengah-tengah ruangan besar di atas tangga itu terdapat sebuah kursi besar berukiran kepala naga pada kedua tangannya dan ukiran kepala burung garuda pada sandarannya sebelah atas.

Di kiri kanan kursi, sebuah payung tinggi dan besar serta berjumbai-jumbai benang emas memayungi kursi besar. Di langit-langit ruangan menyala puluhan lampu kecil yang tersusun pada sebuah jambangan indah terbuat dari perak dan memancarkan sinar berkilau-kilau, tergantung tepat di atas kursi besar. Pada dinding ruangan kiri kanan tampak tiga buah pintu berwarna putih. Di atas pintu menyala batu-batu aneh berwarna biru, merah, kuning, hijau, abu-abu dan cokelat. Djarot masih ternganga dan memandang berkeliling terkagum-kagum. Sementara hidungnya kembang kempis karena dia mencium bau yang harum semerbak di tempat itu. Saat itu Djarot melihat pintu putih yang di atasnya ada lampu berwarna merah terbuka, lalu menyusul pintu putih di sebelah kiri yang ada lampu hijau. Dua orang gadis berparas cantik berkulit putih, satu memakai kebaya pendek warna putih, satunya warna merah melangkah ke arah Djarot.
Pakaian yang dikenakan kedua gadis sangat rendah di bagian dada sehingga sebagian payu daranya tersembul di ujung atas pakaian bagian depan.

Sementara bawahan gadis-gadis itu memakai semacam kain jarik corak coklat bercampur putih Pada tepi kiri jarik itu terdapat belahan tinggi sampai ke pangkal paha. Karenanya, setiap langkah yang dibuat menyebabkan aurat gadis-gadis cantik ini tersingkap lebar memperlihatkan auratnya sebelah kiri, putih dan sangat mulus. Di hadapan Djarot, gadis baju merah dan hijau menganggukan kepala dengan khidmat lalu yang baju merah berkata: "Djarot, mari ikut dengan saya," lalu dipegangnya tangan Djarot. Djarot melengak heran, darimana gadis itu bisa tahu namanya. Perasaan baru kali ini dia ketemu dengan gadis-gadis itu.

Di ruang luas yang bertiang besar sebanyak dua puluh empat buah itu, Djarot duduk di depan kursi besar, ditemani oleh gadis yang memakai kebaya merah. Pemuda dari pedukuhan Banaran itu kini tampak mengenakan sehelai pakaian baru yang bagus, dan sampai saat itu masih saja celingak-celinguk, terkagum-kagum memperhatikan keindahan ruangan besar itu. Sesaat kemudian dilihatnya tirai hijau terbuka dan seorang perempuan muda yang luar biasa cantiknya, mengenakan kebaya serba hijau tipis melangkah keluar dari balik tirai diiringi lima dara masing-masing berkebaya biru, kuning, ungu, abu-abu dan coklat. Saat itu Djarot melihat perempuan muda berkebaya hijau telah duduk di atas kursi besar sementara lima gadis tegak di samping kiri kanan kursi.

Lalu perempuan muda berkebaya hijau itu berkata,
"Djarot selamat datang di istanaku ini. Mohon maaf, jika sambutan kami kurang berkenan di hatimu."

Suara merdu dan aroma wangi tubuhnya menyebar di penjuru ruangan. Aroma itu wangi dan aneh karena menimbulkan desir-desir di hati Djarot.

"Kalau kamu berkenan, aku akan mengangkatmu jadi panglima di istanaku ini. Kamu akan membawahi prajurit-prajurit itu. Lihat mereka di sekelilingmu. Gagah bukan?"

Djarot memandang berkeliling. Dan heranlah pemuda ini. Di seputar ruangan dia kini
melihat puluhan prajurit gagah bersenjatakan pedang dan tombak tegak dengan sikap
mengawal.

"Apa yang kau lihat Djarot?" tanya sang ratu.

"Hamba melihat prajurit-prajurit banyak sekali. Mereka sangat gagah, memegang tombak putih berkilat, membekal pedang di pinggang."

"Bagaimana Djarot, apakah kamu menerima tawaran ku ?"

Sang Ratu kembali bertanya pada Djarot.

Djarot yang saat itu kesadarannya mulai berangsur pulih tiba-tiba merasa bergidik ngeri. Kembali ingatannya menerawang jauh tentang hal yang dikatakan oleh Mbah Kaji. Dipandanginya tangan dan kakinya sendiri. Hatinya bimbang, timbul pertanyaan di benaknya.

"Apakah aku masih hidup ataukah sudah mati ?"

Pertanyaan itu berkecamuk di hati Djarot.

Lamunannya terpecah saat perempuan muda berkebaya hijau itu kembali berkata.
"Aku tunggu jawabanmu sampai besok Djarot. Sebagai tuan rumah aku tidak akan memaksakan kehendakku sekarang. Pikirkanlah tawaranku baik-baik. Sambil kamu melihat-lihat istanaku ini. Roro Abang bawa tamu kita berkeliling istana."
Perintah Sang Ratu pada gadis yang memakai pakaian merah.

"Iya Gusti Ratu, hamba siap melaksanakan perintah."

Roro Abang menjura hormat pada gadis muda berbaju hijau yang disebut Sang Ratu dan beranjak dari tempatnya duduk lalu menghampiri Djarot dengan isyarat tangan gadis itu meminta Djarot berdiri dan mengikutinya. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya Djarot beranjak mengikuti Roro Abang.

***

Djarot dan Roro Abang menuruni sebuah tangga batu. Mereka sampai di satu pelataran yang luasnya cuma satu kali satu meter dan di hadapan pelataran itu terdapat sebuah tangga yang menuju ke sebuah pintu yang terbuka. Sinar temaram dan hawa dingin menyeruak dari ruangan di belakang pintu tersebut. Setiap langkah yang dibuatnya dirasakan seperti tambah menyesakkan dada bagi Djarot tatkala pemuda dari padukuhan Banaran ini mulai manapak kakinya di balik pintu itu. Bulu tengkuknya merinding, keringat dingin membungkus badannya. Dia tetap saja melangkah seperti orang berjalan dalam mimpi atau seperti mayat hidup! Lalu apa yang membuat Djarot semakin merinding ialah ketika dia sadar menyaksikan bagaimana Roro Abang melangkah dengan kedua kaki tidak menyentuh tanah sama sekali! Telapak kaki Roro Abang tampak putih pucat, seperti kaki mayat!

Dan yang membuat tercengang karena tidak ada lagi tempat yang indah, permadani yang tebal ataupun nyala lampu yang berwarna-warni. Yang dilihatnya adalah tanah yang dilangkahinya, berupa tanah merah kecoklatan. Lalu bagian kiri kanan dan atas yang seperti sebuah terowongan panjang berlapis kabut tipis tak tembus pandang. Sepanjang perjalanan yang penuh ketegangan itu Djarot tiada hentinya mendengar suara aneh. Mulai dari lolongan anjing yang mencekam, suara tangis bayi, suara makhluk aneh tertawa mengerikan, suara erangan orang-orang yang seperti berada dalam keadaan tersiksa atau sekarat. Sesekali sayup-sayup terdengar gema gamelan!

"Gusti Allah dimana aku ini berada. Kemana aku ini mau dibawa..." ujar Djarot dalam hati menyebut nama Tuhan.

Dan tidak sengaja tangannya disusupkan di dada. Saat itulah Djarot menyentuh buntelan kecil yang pernah diberikan oleh Mbah Kaji sebelum pergi melaut di malam itu. Baru saja dia berkata begitu mendadak terdengar suara keras seperti guntur menggelegar. Djarot merasakan kakinya yang menginjak tanah merah kecoklatan bergetar keras. Ada hawa aneh menjalar masuk ke dalam tubuhnya. Tapi hanya sesaat. Rasa sesak yang menghimpit dadanya berkurang sedikit. Begitu juga rasa berat yang mengganduli kakinya juga berkurang. Kesadaran Djarot tiba-tiba kembali seratus persen, ingatan yang sejak tadi bercampur dan terpecah-pecah sepenuhnya kembali. Nalar dan akal sehatnya mulai berjalan. Dia menunduk dan melihat kedua kakinya masih berjalan menapak tanah.

"Aku masih hidup, aku masih hidup," Djarot berkata berkali-kali dalam hati.
"Dan aku harus pergi dari tempat terkutuk ini. Tapi bagaimana aku bisa lari dari sini. Bahkan aku sama sekali tidak tahu-menahu soal istana ini. Dimana pintu masuknya, dimana pintu keluarnya."

Tiba-tiba saja Roro Abang menghentikan langkah lalu memandang dan berkata,
"Jangan kau berani mempunyai pikiran dan mengucap yang bukan dalam hatimu! Atau kucabut lidahmu saat ini juga!"

Setelah melangkah beberapa saat lamanya sampailah di sebuah dataran luas, ditumbuhi sekitar seratus pohon pohon besar. Di sebelah tengah terdapat pohon paling besar dan paling tinggi. Rata-rata pepohonan ini bercabang banyak, memiliki dedaunan yang rimbun hingga dataran itu tampak suram menggidikan. Paling tidak pohon-pohon itu berusia rata-rata seratus tahunan! Djarot kedip-kedipkan matanya lalu memandang berkeliling. Begitu matanya terbiasa dengan keredupan di tempat itu maka mulutnya pun berseru tegang, matanya mendelik. Apa yang dilihatnya benar-benar mengerikan. Berada di nerakakah dia saat ini?!

Di bawah pohon, terjepit antara batang dan akar besar-besar tampak kepala-kepala manusia dibuat sebagai ganjalan. Setiap kepala tampak bergelimang darah mata mendelik dan ada erangan keluar dari mulut mereka. Bagian leher hanya merupakan kutungan mengerikan karena urat-uratnya tampak jelas berserabutan, melentik-lentik memercikkan darah! Setiap pohon ada dua sampai tiga kepala yang berada dalam keadaan seperti itu. Yang paling banyak adalah kutungan kepala di bawah pohon paling besar. Di situ terdapat lebih dari lima kepala! Jika di tempat itu terdapat seratus pohon berarti paling tidak ada dua ratus lima puluh kepala yang dibuat jadi ganjalan seperti itu!

Kengerian itu bukan hanya sampai disitu. Di atas pepohonan Djarot menyaksikan kengerian lain lagi. Disitu tampak beberapa sosok tubuh digantung berbagai cara. Ada yang dengan kaki ke atas kepala ke bawah. Ada yang lehernya diikat langsung ke cabang pohon. Yang paling mengerikan ialah manusia-manusia yang digantung ke cabang pohon dengan lidahnya sendiri! Kelihatannya lidah mereka ditarik keluar lalu lidah itu dikaitkan ke cabang pohon! Banyak diantara mayat yang tergantung itu berada dalam keadaan perut terbuai hingga isi perutnya kelihatan jelas memberojot keluar. Soal darah jangan disebut lagi. Rata-rata semua tubuh penuh gelimangan darah!

"Gila! Apakah saat ini aku masih berada di dunia atau di neraka?!" membatin Djarot.

Dia memandang berkeliling lalu kembali terkesiap. Di bawah salah satu pohon dia melihat satu sosok tubuh lelaki berbadan kontet terikat erat sulur-sulur akar pohon berduri. Sekujur badannya dililit seekor ular hitam belang hijau dengan mata merah dan lidah menjulur-julur mengerikan. Walau tidak melihat wajah orang itu tapi Djarot yakin itu adalah Lik Kasto.

"Djarot! Akhirnya kau lihat juga orang tua kontet itu! Kami menemukannya lima hari yang lalu. Gusti Ratu menawarkan hal yang menggiurkan kepada orang tua itu. Tetapi dengan sombong orang tua itu menolak bahkan berniat kabur dari tempat ini. Itu hukuman yang pantas untuk dia. Kamu akan mengalami hal yang serupa jika kau berani membantah perintah Gusti Ratu. Camkan itu !"

Roro Abang berkata memecah keheningan.
"Lima hari...?!" Djarot mengulang terheran. Dia merasa yakin peristiwa pecahnya perahu diterjang gelombang baru berlangsung pagi tadi. Mengapa Roro Abang itu menyebutnya lima hari lalu?

BERSAMBUNG
close