Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PANTAI TRISIK 1990 (Part 1) - Bencana Diatas Lautan


Perahu nelayan itu perlahan mulai ke tengah laut. Angin darat yang mendorong badan perahu membuat laju perahu makin pesat membelah ombak. Layarnya berkibar-kibar didera angin. Lampu dari petromak yang menggantung di atas kapal nampak berkelip-kelip bagai bintang jika dilihat dari kejauhan.
"Pangat, Karjo arahkan perahu ke selatan lebih ke tengah lagi. Cari perairan yang gelombangnya rada kecil. Kita akan tebar jala disitu. Djarot dan Tomo siapkan jala dan ganco."

Perintah Lik Kasto kepada keempat pemuda itu. Dengan sigap keempat pemuda itu melaksanakan tugasnya masing-masing.

"Pangat, stop berhenti disini. Aku rasa disini area yang sempurna. Djarot lempar jangkar."

Lik Kasto memberi aba-aba.

Djarot dengan sigap melempar potongan besi sebesar paha orang dewasa yang diikat dengan tali tambang. Ada dua potongan besi yang dilemparkan ke laut sebagai jangkar sederhana.
Perahu mulai tenang mengapung di tengah lautan, sesekali bergoyang dihantam gelombang yang relatif tenang.

"Sekarang lempar jala kalian, lempar dua jala dulu."

Kemudian jala di lempar dari perahu sebelah kanan oleh Djarot dan perahu sebelah kiri oleh Tomo. Belum ada seperminuman teh, kedua jala yang dilempar tampak bergerak-gerak dengan kencang. Seperti ada ribuan ikan yang terperangkap lalu berusaha mendorong untuk melepaskan diri dari rajutan jala. Lik Kasto dengan sigap menarik jala. Badan Lik Kasto yang kontet tampak sempoyongan menahan jala yang sedang ditarik.

"Djarot bantu aku, Karjo, Pangat bantu Tomo. Angkat jalanya dengan cepat. Sepertinya ini tangkapan yang besar."
Benar saja, setelah kedua jala dinaikkan ke atas perahu. Terlihat puluhan rajungan dan ikan sejenis tongkol nampak menggelepar-gelepar di dalam jala.

"Tangkapan sempurna Lik Kasto," kata Tomo sambil tertawa lebar.

Rajungan dan ikan yang berhasil ditangkap lalu dimasukkan ke dalam kotak berukuran besar yang ada di geladak kapal.

"Ayo tebar jala lagi. Kita penuhi perahu ini dengan hasil tangkapan kita malam ini"

Jala kembali ditebar. Tidak berapa lama jala kembali diangkat dan kembali dipenuhi oleh rajungan, ikan dan udang yang menggelepar-gelepar berdesak-desakan didalam jala. Tidak memerlukan waktu yang lama perahu telah penuh dengan hasil tangkapan.

"Malam ini, malam keberuntungan kita. Tak sia-sia tadi dikerubutin nyamuk di kebun nunggu kamu datang Rot," kata Pangat kepada Djarot.
Djarot hanya tersenyum kecut mendengar celotehan Pangat.

"Sudah sekarang perahu sudah penuh, kita cukupkan saja menangkap ikan. Kita malam ini diberi rejeki yang melimpah jangan kita serakah. Ini sudah lebih dari cukup. Kalian mengaso lah, kita tunggu sebentar untuk kembali ke daratan."

"Iya Lik," kata Pangat sembari melipat jala.

Setelah semuanya beres Pangat dan Tomo bergegas ke bawah untuk ngaso.
Sementara Lik Kasto, Djarot dan Karjo masih terjaga.

"Sambil, ngobrol enaknya ngudut. Itu wedang jahe dari Mbokmu bawa kesini Rot. Hawa dingin begini enaknya minum wedang jahe anget."
Djarot lalu membuka termos yang tadi diberikan oleh Mbok Narti sebagai bekal. Dituangkan cairan panas itu ke dalam gelas lalu diangsurkan kepada Lik Kasto.

"Buat aku mana Rot," Karjo nyeletuk.

"Bentar Jo, tanganku Cuma dua. Kamu gak sabaran," Djarot menyahuti Karjo.

Ketiga orang ini lalu hanyut dalam obrolan-obrolan ringan. Sesekali perahu bergoyang agak kencang karena dihempas gelombang. Djarot pun sementara lupa dengan kegelisahan Mbah Kaji yang tadi sore dibicarakan kepadanya.

"Lik Kasto tidakkah merasa kalau hawa malam ini terasa ganjil. Coba lihat perahu ini tiba-tiba jadi sangat tenang seperti kita berdiri di atas daratan. Bahkan suara ombak sangat pelan seperti suara percikan air pancuran"
Lik Kasto terdiam, dalam hatinya tiba-tiba bergidik ngeri. Karena dia baru sadar suasana malam ini memang sangat ganjil. Diawali dengan hasil menagkap ikan dan rajungan yang sangat mudah. Lempar jala dalam hitungan menit jala telah penuh hasil tangkapan.
Lik Kasto berdeham.

"Karjo jangan kau risaukan itu, ini bukan bulan ombak tidak terlalu besar. Daripada kamu ngomong ngalor ngidul gak jelas. Mending kamu molor di bawah bersama Tomo dan Pangat. Toh, hasil tangkapan kita sudah lebih dari cukup. Gak perlu menuhin kapal dengan ikan dan rajungan bisa-bisa kapal ini terbalik dan kita berlima konyol disantap ikan di dasar lautan. Hasil sebanyak ini sudah lebih dari cukup untuk dibagi berlima."

Lik Kasto berusaha menenangkan hati Karjo dan hatinya sendiri yang mulai ciut.
Djarot yang mendengar hal itu hatinya menjadi tambah cemas dan kalut, mukanya mulai memucat. Keringat dingin tampak menitik di tengkuk.
Saat itulah dia mendengar suara seperti anjing melolong dikejauhan.
Panjang dan menggidikkan. "Lolongan Asu Ajag..."

Djarot memandang berkeliling. Tidak mungkin terdengar lolongan Asu Ajag (anjing hutan sejenis serigala) di tengah lautan seperti ini. Djarot merasakan tubuhnya bergetar keras. Suara lolongan itu bukan lolongan biasa. Ada satu kekuatan aneh tapi juga terasa mengerikan menyertai lolongan itu.

"Bukan hanya seekor... Mungkin puluhan. Tapi dimana binatang-binatang itu..."

Djarot memandang berkeliling yang dilihat hanya lautan. Suara lolongan semakin keras tanda semakin dekat. Tapi makhluk yang melolong tetap saja tidak kelihatan. Suara lolongan yang mengerikan mendadak lenyap.

Dengan suara bergetar Djarot berkata pada Lik Kasto yang duduk tepat di belakangnya bersandar pada kotak kayu sambil asyik menghisap rokok klobot.

"Lik, tadi dengar tidak suara lolongan anjing anjing bersahut sahutan."

"Kamu sama saja dengan si Karjo, ngomong sembarangan. Ini di laut Rot, kita ditengah lautan. Mana ada anjing keluyuran sampai di tengah laut. Kalau pun ada gak bakalan terdengar sampai disini. Sudah kamu nyusul si Karjo saja molor di bawah. Nampaknya kamu juga mulai ngantuk."

Lik Karjo masih ngedumel panjang pendek.
Djarot yang masih dicekam takut hanya terdiam. Tiba-tiba Djarot teringat dengan apa yang dikatakan Mbah Kaji soal mimpinya. Jantungnya berdegup kencang.

"Akankah aku mati ditengah lautan ini," batin Djarot dalam hati.

Perlahan tangannya mengambil kantong kecil yang ada di saku celana, bungkusan sekecil kelereng yang dibungkus dengan kain putih itu dipandangi berkali-kali. Bungkusan itu pemberian dari Mbah Kaji tadi sore sewaktu Djarot menemui Mbah Kaji di rumahnya.

"Djarot, bawa bungkusan selama kamu di laut. Simpan baik-baik jangan sampai kececer atau hilang. Mudah-mudahan seijin Gusti Allah selama kamu melaut dihindarkan dari mara bahaya. Karena aku juga tidak punya kuasa untuk melarangmu pergi ke laut. Mencari ikan di laut adalah pekerjaanmu. Jangan lupa selalu berdoa memohon ijin pada yang di atas. Simpanlah"

Djarot menarik nafas panjang, lalu kembali memasukkan bungkusan itu ke dalam saku celananya.

BERSAMBUNG
close