Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PROLOG - PANTAI TRISIK 1990


Pantai Trisik terletak di arah tenggara Kulon Progo tepatnya di Banaran, Galur (kira-kira 20 Km dari Wates dan 30 km dari Yogyakarta). Pantai Trisik merupakan pantai yang landai berupa hamparan pasir hitam. Kawasan Pantai Trisik dibatasi oleh muara Sungai Progo di sebelah timur, sungai yang menjadi batas alam Kabupaten Kulon Progo dengan Kabupaten Bantul. Mayoritas penduduk padukuhan Banaran berpencaharian sebagai nelayan. Padukuhan Banaran dipimpin seorang dukuh. Dukuh yang masih sangat muda namanya Joko Samudra, beliau ini seorang anak sesepuh di desa Banaran yang oleh sebagian warga disebut dengan Mbah Kaji atau Mbah Haji.

Seorang sesepuh yang memiliki wibawa dan kharisma dihadapan penduduk pedukuhan Banaran. Konon katanya Mbah Haji ini seorang yang memiliki kelebihan dalam hal spiritual. Menurut kabar yang menyebar dari mulut ke mulut penduduk desa Mbah Haji memiliki ilmu Ngrogoh Sukmo sejenis ilmu yang membuat pemiliknya dapat dengan cepat berpindah tempat. Karena kesaktiannya setiap hari Jumat Mbah Haji mampu menunaikan sholat Jum’at di tanah suci Mekkah.

Di sudut padukuhan Banaran di depan sebuah pondok sederhana dari papan kayu dan beratapkan daun rumbia. Tampak seorang pemuda bertelanjang dada dan hanya memakai celana komprang berwarna hitam sedang sibuk merajut jala yang dibentangkan di sebuah pohon kelapa gading. Badannya yang berotot dan hitam tampak berkilat dijilat sinar matahari siang itu. Butiran keringat sebesar biji jagung nampak mengalir di sekujur tubuhnya.

Pemuda ini bernama Djarot, pemuda asli dari pedukuhan Banaran yang menggantungkan hidupnya di laut.
Seorang wanita paruh baya keluar dari balik pintu pondok, rambutnya yang sebagian sudah memutih tampak beriap diterpa angin. Tangan kanannya membawa kendi sementara tangan kirinya menyangga piring yang terbuat dari rotan. Tampak asap masih mengepul dari nasi putih di atas piring rotan dengan lauk pecel dan ikan tongkol goreng.

"Le, istirahat dulu. Ini makannya dimakan. Keburu dingin tidak enak," kata wanita paruh baya itu yang ternyata ibunya Djarot yang biasa dipanggil Mbok Narti. Lalu Mbok Narti menaruh kendi dan piring di atas meja kayu yang ada di teras.

"Sebentar Mbok, tanggung ini. Sebentar lagi," sahut Djarot.

Tidak lama kemudian Djarot berjalan perlahan ke teras depan pondoknya. Di hempaskan pantatnya di kursi rotan lalu tangan kanannya meraih kendi berisi air minum. Cairan dingin langsung amblas membasahi kerongkongan yang kering. Mbok Narti tersenyum melihat kelakuan anak lelaki semata wayangnya itu.

"Le, kamu itu kebiasaan minum gak pake gelas"

"Lebih enak langsung Mbok," kata Djarot sambil menyeka air yang menetes dari sudut bibirnya.

"Itu nasi pecelnya buruan dimakan, keburu dingin tidak enak"

"Iya Mbok," kata Djarot sembari mengambil piring rotan di atas meja lalu meyuapkan isi ke mulutnya.

"Le, simbok mau tanya kapan kamu itu nikah. Teman-teman kamu yang sepantaran sudah pada gendong anak, itu si Jarwo malahan sudah punya anak tiga. Simbok makin tua, simbok khawatir gak bisa lihat kamu nikah, gak bisa nimang cucu karena simbok dipanggil Gusti Alloh"
Djarot menghentikan suapannya.

"Jangan berkata seperti itu mbok, masalah jodoh, rejeki dan mati itu hak Gusti Alloh. Kalo sekarang Djarot belum nikah itu juga belum dikasih ijin sama yang di atas. Simbok harus tetap sehat, tetap kuat biar bisa melihat Djarot nikah dan simbok bisa nimang cucu"
Mbok Narti hanya tersenyum lalu diam.

Djarot membiarkan hening yang tidak enak lewat di antara dia dan ibunya, lalu Djarot berkata.

"Mbok, nanti malam Djarot mau melaut sama Lik Kasto, Tomo, Karjo dan Pangat. Bulan ini bulan September bulannya panen rajungan. Do'akan dapat hasil melimpah dan pulang dengan selamat"

"Iya Le, simbok doakan. Doa simbok selalu panjatkan untuk keselamatan dan kebahagiaan mu," kata Mbok Narti sambil mengelus lembut kepala anaknya.

"Piring kotor taruh saja di situ biar simbok nanti yang beresin, kamu mandi terus ibadah Dzuhur dulu lalu istirahat. Simpan tenaga buat nanti malam. Untuk melaut butuh tenaga yang penuh"

"Iya Mbok, terimakasih."

Djarot melangkah meninggalkan ibunya yang masih diteras membereskan piring kotor.

***

Udara senja itu angin bertiup dengan kencang, aroma garam tercium sampai diujung ujung pedukuhan Banaran. pepohonan meliuk liuk dihantam angin. Daun-daun pandan pantai bergeresekan dengan riuh seperti tangisan dan jeritan makhluk dari dimensi lain, beberapa camar dan kelelawar tampak limbung diangkasa karena tekanan angin yang bertiup lebih kencang dari biasanya.

Djarot nampak tengah bersiap dengan baju mantel berwarna coklat terpakai di badan untuk mengurangi dingin ditengah lautan. Sementara sepatu boot juga dikenakan, jala sudah digulung dengan rapi, lampu minyak petromax, sebilah parang terselip di pinggang. Mbok Narti masih sibuk menyiapkan perbekalan makanan untuk anaknya itu. Nasi putih dengan lauk ikan tongkol yang di bakar lalu dibungkus dengan daun jati. Satu termos air berukuran sedang yang isinya wedang jahe juga tidak lupa disiapkan.

"Le, ini simbok sudah siapkan makananmu sama wedang jahe panas. Jangan lupa di makan"

"Iya, Mbok. Djarot pamit dulu nanti ketemu sama Lik Kasto di ujung desa. Pak Lik sudah menunggu di sana bersama Tomo, Karjo dan Pangat," kata Djarot sambil menjabat dan mencium punggung tangan ibunya.

Mbok Narti tersenyum, lalu mengelus kepala anaknya lalu memeluk erat.

"Hati-hati Le, berdoa dulu sebelum ke laut"

Djarot tersenyum lalu mengangguk. Mbok Narti memandangi tubuh anaknya sampai badannya menghilang di ujung jalan.

Senja mulai suram, kegelapan mulai menyelimuti kawasan pedukuhan Banaran. Suara serangga malam mulai bernyanyi menyambut kegelapan. Djarot berjalan gontai menyusuri tepi desa yang mulai remang. Kanan kiri tumbuhan pandan pantai bergeresekan tertiup angin. Tiba-tiba terdengar suara mesin motor dari arah belakang, lampu motor menyilaukan mata. Saat Djarot menoleh ke belakang. Honda CB merah berdenyit nyaring begitu rem diijak untuk menghentikan laju motor. Seorang pemuda sepantaran dengan Djarot berbadan kurus, tinggi, rambut ikal, berhidung mancung tanpa helm, berkaos oblong hitam tersenyum saat melihat Djarot.

"Djarot," sapa pemuda penunggang Honda CB merah.

"Mas Dukuh Joko, tumben banget rembang pentang seperti ini masih berkeliling di jalan," kata Djarot sambil menjabat tangan pemuda itu yang ternyata Joko Samudra. Dukuh muda pedukuhan Banaran.

Joko tersenyum sambil menjabat tangan Djarot dengan erat.

"Gini Rot, tadi aku ke rumahmu. Kata Mbok Narti kamu sudah berangkat mau melaut sama Lik Kasto"

"Ada apa ya Mas? Kok tumben tumbenan janur gunung Mas Joko nemuin saya ke rumah. Apa ada yang bisa saya bantu"

"Bukan, tadi Bapak yang suruh aku manggil kamu. Ngundang ke rumah, ini permintaan bapak Rot. Syukur ketemu disini daripada aku musti berenang nyusul kamu ke tengah laut," kata Mas Joko sambil tertawa lebar.

"Aduh, ada apa yah Mbah Kaji pengen ketemu saya"
"Aku juga gak tahu Rot, gini saja kita ketemu Bapak barengan sekalian aku pulang. Kamu gak keburu-buru ke laut kan ? Ayo buruan, kamu aku boncengin"

Djarot mengangguk lalu naik di jok belakang motor Mas Joko. Tak lama kemudian Honda CB merah telah raib di belokan jalan desa yang mulai gelap.

***

Rumah sederhana yang lumayan besar dibandingkan rumah penduduk berada di tengah padukuhan Banaran. Di depan rumah ada beberapa pohon mangga yang berdiri kokoh seakan-akan sebagai benteng dari rumah tersebut. Di samping rumah terdapat Joglo yang lumayan besar, dengan undak-undakan setinggi satu meter. Nyala lampu temaram yang dipasang di pojok pojok tiang penyangga joglo tampak berpendar pucat. Di tengah joglo itu duduk bersila di atas permadani tebal seorang kakek tua berpakaian serba putih dan memakai sorban putih. Mukanya terlihat bersih, jenggot panjang yang sudah memutih tampak bergerak tertiup angin. Matanya terpejam rapat, mulutnya berkomat-kamit membaca doa. Sementara tangan kanannya menghitung jumlah doa menggunakan tasbih yang terbuat dari kayu cendana.

Matanya terbuka, lalu orang tua berjenggot itu mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Bersamaan dengan itu sebuah motor Honda CB merah berhenti di depan joglo. Joko dan Djarot bergegas bejalan ke arah Joglo.

"Assalamualaikum," Joko dan Djarot memberi salam bersamaan kepada orang tua itu yang tidak lain Mbah Kaji sesepuh adukuhan Banaran sekaligus Ayah dari Joko.

"Walaikum salam," sahut Mbah Kaji.

Kedua pemuda itu secara bergantian menjabat dan mencium punggung tangan Mbah Kaji.

"Joko, ganti pakaianmu dulu sekalian minta tolong Mbok Rongkot untuk membawa kopi dan makan kecil kesini," kata Mbah Kaji.
Joko mengangguk lalu bergegas meninggalkan tempat itu.
"Bagaimana kabar Simbokmu Rot," Mbah Kaji memecah keheningan.

"Alhamdulillah sae Mbah," (Alhamdulillah baik saja)

"Syukurlah kalo begitu, begini tadi sengaja Joko aku suruh untuk memanggilmu kesini. Tujuannnya ada dua, yang pertama buat silaturahmi yang kedua ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepadamu"

"Apa itu Mbah," tanya Djarot.

"Sudah seminggu ini aku selalu bermimpi melihat laut itu terbelah jadi dua dan warnanya menjadi semerah darah. Tidak sampai disitu saja aku juga melihat badai hebat melanda Laut Kidul, banyak orang tenggelam jeritannya sering kali masih terngiang-ngiang di gendang telinga meski aku sudah bangun dari tidur. Lalu aku juga melihat kamu ditengah lautan terombang-ambing dipermainkan gelombang. Kalau hanya sekali mungkin aku anggap hanya sebagai bunga tidur. Ini sudah genap tujuh hari mimpi itu masih juga menghampiri"

Cerita Mbah Kaji terputus saat Joko datang dengan membawa nampan berisi kotak biscuit Khong Guan dan tiga cangkir kopi yang masih mengepul. Aromanya menyebar menusuk pori pori hidung.

"Monggo Bapak, Djarot disambi dulu kopi sama makanannya"

"Lho, kok kamu yang bawa makanan Le," tanya Mbah Kaji pada anaknya.

"Mbok Rongkot sudah lelap di kamarnya Pak. Gak enak kalau dibangunin"

Mbok Rongkot adalah pembantu setia di keluarga Mbah Kaji. Telah lama mengabdi semenjak Mbah Kaji masih muda dan ibunya Joko masih hidup.

"Oalah begitu toh, ya sudah"

Lalu Mbah Kaji meraih cangkir kopi meniup sebentar kemudian menyeruput kopi yang masih mengepul itu. Djarot pun juga meraih cangkir menyeruput dikit lalu tangannya membuka penutup kotak biskuit Khong Guan. Tangannya mengorek isi dari kotak biskuit tersebut. Tetapi setelah tangannya diangkat dari kotak itu, mukanya melengak kaget. Karena isinya bukan biskuit melainkan rengginang dan peyek jingking.
Joko yang melihat hal itu tidak kuasa menahan tawanya.

"Kenapa Rot, kaget isinya rengginang dan peyek jingking bukan biscuit atau wafer coklat ?"

Djarot hanya tersenyum kecut. Mbah Kaji pun juga tak kuasa menahan tawanya melihat Djarot yang tersenyum kecut.

"Aku lanjut membicarakan perihal mimpiku tadi Rot, Joko kamu juga dengarkan perkataanku ini"

Djarot dan Joko mengangguk pelan.

"Aku khawatir ini firasat buruk, Sang Ratu sedang ingin menambah jumlah pasukannya. Sebenarnya aku ingin melarang penduduk padukuhan untuk melaut sementara sebelum aku menerima wangsit atau firasat yang baik. Akan tetapi, itu juga tidak mungkin kalo para penduduk tidak melaut. Mereka butuh makan, keluarga mereka butuh uang, anak-anak mereka juga butuh makan. Melarang mereka untuk melaut bukan solusi. Tetapi membiarkan penduduk disini celaka aku juga tidak bisa"

Mbah Kaji menarik nafas dalam-dalam. Joko yang mendengar penjelasan dari ayahnya itu cuma terdiam. Air mukanya terlihat pucat dan khawatir. Karena sebagai dukuh dia harus bertanggung jawab atas keselamatan warganya.

***
Seorang lelaki paruh baya berbadan kontet namun gempal duduk di batang pohon kelapa yang telah roboh di pinggiran desa. Kepalanya memakai ikat kepala wulung. Sementara baju dan celananya yang gombrang menutupi badannya yang cebol. Sesekali mulutnya menyedot sebatang rokok klobot yang dijepit dengan jari tangan kanan. Asap putih menyembur dari bibir dan kedua lubang hidung. Di sebelahnya tampak tiga pemuda duduk bersisihan.

"Si Djarot lama betul, kemana itu anak. Masih molor atau malah lupa kalo malam ini kita akan melaut," si kontet mengerundel.

"Sabar Lik Kasto, mungkin lagi disuruh simboknya ngisi bak mandi di sumur"

Sahut pemuda di sebelahnya yang memakai topi dan jaket coklat.

"Sudah hampir setengah jam itu bocah gak nongol-nongol juga. Dan kita disini habis dikerubuti nyamuk nyamuk sialan ini"

Si kontet yang ternyata Lik Kasto itu masih mengerundel sambil sesekali menyorot arloji tua di tangan kanannya menggunakan lampu senter.
"Lima belas menit si Djarot tidak datang, sudah kita berangkat berempat saja"

"Iya Lik"

Ketiga pemuda yang duduk bersisihan dengan Lik Kasto menjawab serempak. Belum selesai Lik Kasto membuka mulut untuk berbicara lagi. Tiba-tiba sesosok tubuh keluar dari balik pepohonan diikuti sorot sinar senter yang dibawa orang itu. Seorang pemuda dengan mantel coklat menghampiri ke empat orang yang sedang duduk disebatang pohon kelapa yang roboh.

"Maaf Lik Kasto dan teman-teman saya datang terlambat. Tadi disuruh mampir dulu di tempat Mbah Kaji," kata pemuda yang baru datang yang ternyata Djarot.

"Ada perihal apa kamu disuruh ketemu orang tua itu Rot?"

"Ada sedikit masalah mengenai laut dan penduduk padukuhan ini Lik"

"Ya sudah, kita langsung berangkat saja. Ayo Tomo, Karjo, Pangat beresi peralatanmu. Kita sudah sedikit terlambat. Musti sampai di tengah laut dan menemukan titik rajungan sebelum tengah malam." Tampaknya Lik Kasto tidak mau tahu banyak soal masalah yang telah dibicarakan oleh Mbah Kaji kepada Djarot.

Kelima orang itu berjalan beriringan menuju bibir pantai Trisik...
close