Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LABUH MAYIT (Part 8) - Punggowo Pitu


Part 8 - Punggowo Pitu

“Jangan Bim, ingat dia hanya memanfatkanmu” teriak Maya saat melihat Bima sudah berjalan kearah Sembojo.

Mata Maya menatap tajam kearah Bima, kekecewaan menjalari batinnya. Dia tidak menyangka Bima bisa berbuat seperti itu hanya untuk kepentingannya.

“Maaf mbak, sepertinya kita sudah berbeda jalan. Menyingkirlah jika ingin selamat” ucap Bima datar.

“Bim... Tolong jangan lakukan, ingat mereka yang dulu membantumu menyelamatkan ku. Mereka temanmu kan” ucap Maya.

“Seorang teman tidak akan meninggallkan temannya tanpa alasan Mbak, sekali lagi menyingkirlah” tukas Bima lantang.

Maya tetap berdiri ditempatnya, menatap nanar Bima, sedang Sembojo tersenyum puas.

“Tidak, aku tidak akan pergi” ucap Maya tegas, meski dirinya merasa gentar.

“Ndug, aku ngerti opo sek ana neng awakmu, melu o aku tak kei opo sek dadi kepinginanmu” (Ndug, aku tau apa yang ada dibadanmu. Ikut lah dengan ku, akan ku berikan apa yang kamu inginkan) ujar Sembojo.

Maya menggeleng,
“Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mau ikut denganmu. Makhluk penghasut sepertimu semestinya ada di neraka terkutuk” ucap Maya berani.

Senyum Sembojo menghilang seketika, saat mendengaar hinaan yang terlontar dari bibir Maya. Terus dia menatap Maya.

“Bocah perempuan ini berbahaya” batin Sembojo.

“Yowes yen kui dadi pilihanmu” (Yasudah kalau itu jadi pilihanmu) ucap Sembojo, menengok kearah Buto ireng yang langsung mengangguk seolah paham dengan perintah yang diberikan untuknya.

Maya tersentak, dalam sekejap mata Buto Ireng sudah berada didepannya. Tanpa tahu apa yang terjadi tiba-tiba saja tubuhnya terpelanting kebelakang.

“Sial...” ucap Maya saat mencoba berdiri dan mengusap darah yang keluar dari mulutnya.

“Apa yang harus aku lakukan”

“Kromosengkono” ucap Maya mencoba memanggil penjaga Bima. Namun tidak terjadi apapun.

“Percuma ndug, demit kae rabakal metu. Paling sak iki dek ne wes mlayu lungo seko alas iki” (pecuma ndug, demit itu tidak bakal keluar. Paling sekarang ini dia sudah berlari keluar dari alas ini) ujar Sembojo.

“Apa maumu?” ucap Maya.

“Yen aku pengen awakmu, opo koe bakal ngenei? Ritual Labuh Mayitku bakal iso sempurno yen koe sek dadi tumbal e” (Kalau aku ingin dirimu, apa kamu akan mau memberikan? Ritual Labuh Mayitku akan bisa sempurna jika kamu yang menjadi tumbalku) Jawab Sembojo.

Maya mulai berdiri, dia masih kebingungan. Jika memang Sembojo menginginkan dirinya. Kenapa dia meminta Bima untuk menghancurkan pagar gaib Alas Lali Jiwo.

“Yen koe pengen awakku, ngopo kudu ngrusak lemah iki” (Kalau kamu menginginkan diriku, kenapa harus merusak tanah ini) kata Maya lantang.

“Tak kiro konco-koncomu wes ngei reti aku sopo, opo koe ra dipercoyo karo demit-demit kae?” (Ku kira teman-teman mu sudah memberitahu aku siapa, apa kamu tidak dipercaya oleh demit-demit itu?) ucap Sembojo memprovokasi.

Maya terdiam, dia sama sekali tidak mengetahui siapa sebenarnya Sembojo. Baginya demit wanita itu hanya sebatas makhluk yang suka memanfaatkan kehidupan manusia.

“Wes sak iki rasah kakean cangkem, wes wayae koe turu sak terus e” (Sudah sekarang tidak perlu banyak bicara, sudah waktunya kamu tidur seterusnya) ucap Sembojo.

Maya terperangah, dia langsung saja memfokuskan energinya untuk membuat pagar gaib. Dia tidak bisa bertarung seperti Bima yang bisa dia lakukan saat ini hanya bertahan sampai dia menemukan cara untuk bisa pergi dari tempat ini.

Bruaaakkk... Terdengar suara dentuman hebat, saat pukulan Buto Ireng mengenai pagar gaib yang Maya ciptakan.

Maya hanya bisa bergeming, sesekali dia mencoba membalas serangan Buto Ireng, tapi semua nampak sia-sia.

Terus saja Buto Ireng melempar serangan kearah Maya, meski pagar gaib miliknya begitu kuat tapi lambat laun juga mulai melemah seiring dengan tenaga Maya yang mulai terkuras.

Duaaarrr... Suara dentuman terdengar memekakkan telinga. Dengan nafas terengah-engah Maya mencoba terus menahan serangan Buto Ireng.

Buto Ireng tersenyum menyeringai, dia tahu Maya sudah kelelahan. Sejurus kemudia dia mundur beberapa langkah, mengumpulkan energi di delapan tangannya.

Maya sudah pasrah, jika memang ini ajalnya setidaknya dia sudah berusaha untuk melakukan hal yang benar.

“Sampaikan salamku kepada Bapak dan Ibu ya, Bim” ucap Maya tersenyum tulus kepada Bima, tubuhnya sudah benar-benar diampang batas. Bima yang mendengar itu tidak bereaksi tatapannya datar namun memandang lurus kearah Maya.

Dilihatnya sekarang Buto Ireng tengah bersiap-siap, energinya begitu besar. Dalam sekedipan mata makhluk itu berlari menuju ke arah Maya. Tangannya sudah terangkat... Berniat menyelesaikan pertarungan.

Maya menutup mata, mencoba menyambut kematian yang sudah menunggunya. Kenangan demi kenangan muncul dikepalanya. Baru beberapa jam yang lalu dia merasa benar-benar bahagia, tapi sekarang kejadian itu seolah sudah terjadi berjuta tahun yang lalu.

Praaaankkk... terdengar suara benda yang saling beradu. Lama Maya menunggu, seharusnya ia merasakan kesakitan saat pukulan Buto Ireng mengenai tubuhnya.

“Jangan cuma merem Mbak” ucap Bima terengah menahan serangan Buto Ireng. Maya langsung membuka matanya, kaget mendengar suara Bima.

“Bim...” ucap Maya lirih, sesekali dia menggelengkan kepalanya. Takut apa yang dia lihat hanya sebatas halusinasi.

“Apa yang sebenarnya terjadi Bim” ucap Maya kebingungan.

Bima masih terus menahan serangan Buto Ireng, dari sudut matanya dia melihat Sembojo memandangnya penuh dengan dendam kesumat.

“Tidak ada waktu buat cerita, nanti saja kalau sudah selesai. Sekarang pulihkan dulu dirimu. Dan buat pagar gaib setebal mungkin” kata Bima yang terus saja terdesak mundur.

Tidak menunggu perintah dua kali, Maya langsung menuruti ucapan Bima. Dia langsung saja menyembuhkan dirinya.

“Dikiro aku bakal meneng, dulurku mbok gawe dolanan?” (dikira aku bakal diam, saudaraku dibuat mainan) ucap Bima kembali menatap tajam kearah Buto Ireng.

Tidak menjawab Bima, sosok demit itu terus saja menggeram dan mencoba menekan Bima dengan kekuatannya.

Bima berfikir cepat, dia tidak mungkin selamanya menahan serangan Buto Ireng sendirian. Tapi rencananya belum sepenuhnya terjadi, dia tidak menyangka kalau Maya akan melawan seperti ini.

“Kromosengkono” batin Bima memanggil sosok penjaganya.

“Percuma, wes tak omongi. Koe rak sadar yen aku wes mageri panggonan iki?” (percuma, sudah kukasih tahu. Kamu tidak sadar aku sudah memagari tempat ini?) kata Sembojo yang masih berdiri diam, matanya menyipit memandang Bima dengan angkuh.

Bima merutuki kebodohannya, dia lupa kalau Sembojo bisa membuat pagar gaib yang bisa menghalau demit lainnya untuk masuk. Terkecuali dengan ijinnya.

Otak Bima berfikir dengan cepat, satu-satunya orang yang bisa menghilangkan pagar gaib milik Sembojo adalah Maya.

“Mbak, tolong hilangkan pagar gaib milik Sembojo. Sementara aku menghalau mereka” ucap Bima menoleh kearah Maya.

Maya membuka matanya, memandang kearah Bima dan Sembojo.

“Gila... apa yang sedang kau rencanakan?” ucap Maya.

Bukan malah menjawab, justru Bima nyengir memamerkan giginya. Maya benar-benar geram, dia sama sekali tidak paham dengan tingkah polah saudaranya itu.

“Bisa kan?” ucap Bima mengerang, kekuatan Buto Ireng benar-benar mirip dengan Kromosengkono. Sesekali Bima melirik kearah Sembojo, dia hanya perlu waktu untuk mengulur. Tapi mampukah dia menghadapi Sembojo dan Buto Ireng? belum lagi antek-anteknya yang lain.

“Akan kucoba” ucap Maya yang langsung kembali memejamkan matanya.

Bima menunggu beberapa saat agar Maya bisa menciptakan pagar gaib yang cukup tebal. Terus saja dia merasa terdesak.

“Koe wes ra kepengen manungso sek neng alas iki iso balik neng donyo mu to le?” (Kamu sudah tidak ingin manusia yang di hutan ini bisa pulang ke dunia mu, Nak) ujar Sembojo dengan nada menghasut.

“Heh, ucapanmu cuma bualan. Sedari kemarin saat aku menerima tawaran mu aku sudah tahu niatan yang ada dibenakmu. Tak tahukah kau, kalau saudariku bisa membaca niatan manusia, aku bisa membaca niatan demit sepertimu” ucap Bima dengan nada tertekan.

Sembojo menatap Bima, kepalanya meneleng kekanan dan kiri, mempertimbangkan sesuatu.

“Jegrik, lumat bocah-bocah kae” ujar Sembojo.

Seketika Bima melihat kearah Sembojo, benar saja. Sosok siluman besar yang memiliki badan manusia dan berkepala kerbau mulai bergerak.

“Sial” ucap Bima yang langsung melepaskan tangannya dan mundur kebelakang. Dia sudah tidak bisa menahan lebih lama lagi.

Dummmm... satu serangan dilancarkan oleh Jegrik, namun Bima bisa menghindar dengan bergerak menyamping. Saat ini ia berusaha untuk menjauhkan mereka agar tidak dekat-dekat dengan Maya.

Konsentrasi Bima terpecah, antara melihat Maya, Sembojo dan dua Makhluk yang terus menerus melancarka serangan kepadanya.

“Apa yang harus kulakukan” batin Bima, Dia tidak mungkin terus menerus menghindari serangan yang dilontarkan kedua makhluk itu.

“Maju kabeh” ucap Bima, dia sudah memutuskan lebih baik menangani dua makhluk didepannya. Jika mereka tidak segera disingkirkan hanya membuat keadaan semakin memburuk.

“Kesuen” (Kelamaan) ucap Bima yang langsung saja menerjang kearah depan mencoba memberikan pukulan kepada Jegrik dan Buto Ireng. Kini dentuman suara terdengar memekakkan telinga. Bima dan kedua makhluk suruhan Sembojo bertarung untuk saling membunuh...

Sementara itu Maya masih terus duduk bersila, dia berusaha keras untuk menghancurkan pagar gaib yang menyelimuti Sanggar Pati.

Suasana mulai berubah, hutan yang awalnya terlihat tenang. Tiba-tiba saja terdengar deru angin dari berbagai arah. Bima tahu, Maya sudah mulai berhasil menghancurkan pagar milik Sembojo.

Bima melirik kearah Sembojo. Kali ini dia menatap kearah atas, seperti melihat apa yang sedang terjadi. Hingga tiba-tiba saja Sembojo bergerak cepat kearah Maya. Dia tahu kalau Maya sedang berusaha menghancurkan pagar Gaib yang dia buat.

Melihat pergerakan Sembojo, perhatian Bima terpecah. Bruuuaaakkk... Bima terpukul serangan yang diberikan oleh Buto Ireng. Seketika Bima langsung memuntahkan darah segar dari mulutnya.

“Ojo meleng” (jangan melamun) geram Buto Ireng.

Belum sempat Bima menjawab, Jegrik langsung memberikan serangan membabi Buta kepada Bima. Beruntung reflex Bima baik, dia dengan sigap langsung menghalau.

“Arrrggggg” teriak Maya dari sisi lain Sanggar Pati.

Mendengar teriakan dari Maya, Bima seketika menoleh. Lupa jika lawan didepannya sedang membuat serangan yang mematikan.

“Siaaal” ucap Bima, dia mendapati Sembojo tengah menjambak keras rambut Maya.

Bruaaakk... kembali Bima tersungkur. “Wes tak kandangi, ojo meleng” (sudah kukasih tahu jangan melamun) geram Buto Ireng.

Keadaan berubah, Bima benar-benar menjadi bulan-bulanan Buto Ireng dan JEgrik.

“Arrrggg” ucap Bima terpuruk ditanah, badannya terasa sakit sekali. Belum lagi saat melihat kearah Maya... hatinya terasa perih.

“Bocah ra ngerti dimesak ke, wes tak kei pilihan kepenak malah gawe goro-goro” (Bocah tidak tahu diuntung, sudah kuberikan pilihan yang enak malah membuat masalah) ucap Sembojo,-

wujudnya sudah berubah, energi yang dipancarkan Maya membuat sosok Sembojo yang cantik jelita, menjadi terlihat mengerikan.

Nafas Bima sudah terngah-engah, tubuhnya benar-benar remuk. Sekali lagi dia mendapatkan pukulan dari kedua makhluk itu, semua akan selesai. Namun dia tidak bisa hanya berdiam diri, semua karena kesalahannya. Bima terlalu sembrono dengan pilihannya...

***

Flashback
Sehari setelah Bima pulang dari Rumah Sakit

Bima tengah tertidur dikamarnya, pikirannya benar kacau. Sedari tadi dia mendengar banyak erangan demit dari luar kamarnya.

Bukan karena dia takut, tapi suara itu benar-benar mengganggunya. Berkali-kali dia mencoba untuk memanggil Kromosengkono. Namun tidak pernah ada sahutan sedikitpun. Bahkan dia mencoba memanggil Cempoko Kuning dan Simbah tapi tetap sama saja.

Sreeeek... terdengar suara seperti seseorang yang tengah menyeret kakinya. Bima menolehkan kepalanya kearah jendela. Dia melihat ada siluet seseorang tengah berdiri, seolah sedang memandanginya.

Bima penasaran, tanpa rasa takut dia mulai beranjak kearah jendela kamarnya. Sejenak dia terdiam, lalu menyibakan tirai dengan keras. Seolah ingin membuat makhluk yang sedang memandanginya terkaget.

Namun belum sempat Bima melihat siapa gerangan yang beridir di balik jendela kamarnya, sosok itu sudah lenyap dari pandangan. Sreeeekkk... Bima menoleh, suara itu kembali muncul. Tetapi kali ini tepat berada di depan pintu kamarnya.

“Astaga” ucap Bima jengkel, tanpa menunggu lebih lama. Dia berjalan kearah pintu, kreeeekkk... Bima sudah membuka pintu kamarnya, melihat kearah sekitar. Namun tidak ada siapapun disana.

“Bim...” Bima menoleh, dia mendengar suara Sekar. Akan tetapi dia tidak bisa melihat dimana keberadaan ibunya.

“Bim, tolong Bim” ucap Sekar lirih, Bima terkesiap. Merasa ada yang tidak beres, dia langsung bergerak munuju kearah sumber suara.

Jantungnya berdetak keras, dia takut terjadi apa-apa dengan keluarganya. Peringatan Sembojo terngiang-ngiang dikepalanya.

“Bu...” ucap Bima saat melihat Sekar tengah terduduk dilantai membelakanginya. Sekar Tidak menjawab, namun lirih Bima mendengar isak tangis.

“Bu... Ibu kenapa” ucap Bima khawatir saat mendengar isak tangis, dia mempercepat langkahnya.

“hiks...hiks...hiks...” isak Sekar sendu.

Bima sudah berada dibelakang Sekar, jaraknya kini hanya berkisar 1 meter. “Bu...” kembali Bima memanggil ibunya.

“Tolong Bim” ucap Sekar yang masih meringkuk menunduk menghadap lantai. Bima terus menatap Sekar, ada sesuatu yang aneh. Dia tahu ini bukan Sekar ibunya, jelas energi yang dipancarkan sangat berbeda dengan Sekar.

Bima mulai melangkah mundur, takut jika sosok didepannya berniat sesuatu yang buruk. Saat ini kondisinya benar-benar tidak menguntungkan.

Belum sempat Bima berputar, tiba-tiba saja sosok yang ada didepannya berputar dengan cepat. Kini dengan jelas dia melihat wajah Sekar yang sudah pucat. Air matanya meleleh dikedua pipinya.

“Tolongin Bapakmu Bim” ucapnya sambil mengangkat kepala Banyu.

Bima yang selama ini sudah tidak takut dengan mereka, tiba-tiba tersentak hebat. Ketakutan menyelimuti batinnya.

“Minggir, lungo” (Minggir, pergi) ucap Bima yang terus saja memandang sosok yang ada didepannya. Jantungnya berdegup dengan keras.

“BIm tolong, Bim tolongin Bapak. Hiks...” ucap Sekar dengan nada sendu.

“Bim...” terdengar suara Maya, Bima menoleh kearah samping. Tubuhnya makin melemas, dia benar-benar shock. Budhe dan Pakdhenya tengah tergantung disudut ruangan. Mata mereka melotot, lidahnya terjulur.

Sedang ada seseorang dibawah mereka, menangis tersedu-sedu.

“Bim tolong, tolong Bim” ucap Maya pilu.

Bima mundur, dia benar-benar tidak bisa melihat pemandangan seperti ini.

“Kui sek bakal kedadean, yen koe ra melu aku” (Itu yang akan terjadi , jika kamu tidak ikut dengan ku) ucap Sembojo yang sudah berdiri dibelakang Bima. Mendengar suara Sembojo, spontan Bima berbalik.

“Opo maksudmu? minggat” (Apa maksudmu, pergi) ucap Bima geram, hatinya terasa sakit sekali saat melihat kondisi keluarganya.

“Sak iki malem jumat, tak tagih pilihanmu” (sekarang malam jumat, aku tagih pilihanmu) ucap Sembojo tersenyum.

Bima mematung, kembali dia melihat kearah Sekar, kepala Banyu... memalingkan wajahnya, melihat kearah Maya... Pakdhe dan Budhenya.

Cukup lama Bima terdiam, matanya memanas.

“Aku bakal melu koe, tapi culno keluargaku” (aku akan ikut kamu, tapi lepaskan keluargaku) ucap Bima parau, dia sama sekali tidak punya pilihan.

Sembojo tersenyum, “Janjiku, ra bakal tak ingkari” (Janjiku tidak akan kuingkari) ucap Sembojo dan terus bergerak kearah Bima. Lalu mendekatkan kepalanya kearah telinga Bima, Sembojo membisikan sesuatu.

Mata Bima membulat sempurna. “Ngerti?” (Paham) ucap Sembojo tersenyum penuh kemenangan.

Bima ingin sekali memberontak, tidak mungkin dia melakukan apa yang diminta oleh Sembojo. Tapi sekali lagi dia melihat kearah keluarganya. Sebutir air mata turun membasahi pipinya.

“Baiklah, ku pegang janjimu” ucap Bima.

***

Bima teringat dengan kejadian dimana dia menerima tawaran Sembojo. Hatinya begitu marah, nyatanya memang benar. Sosok itu tidak akan pernah menepati janjinya.

“Pangil kami Bim, panggil kami” terdengar suara-suara ditelinga Bima. Bima tersentak, tubuhnya sudah tidak berdaya.

Sedari tadi dia telah mendapat serangan demi serangan yang diberikan oleh Buto Ireng dan Jegrik. Waktu berjalan dengan cepat, seolah sudah tahu dengan apa yang harus dia lakukan. Bima langsung memejamkan matanya,

Sing alebur kekilat ing donyo pati
Mulih panggonan dewa kamanungsan
Moro ing kadonyan mulih ing kayangan

Suasana berubah, tubuh Bima bergetar dengan hebat. Gemuruh suara gamelan mulai terdengar dari berbagai sisi.

Sembojo tersentak, mencari sumber energi besar yang tiba-tiba saja muncul disekitarnya. Saat melihat kearah Bima. Sembojo langsung menggeram, dia tidak menyangka. Kalau bocah Bima tahu mantra yang bisa membuat pagar miliknya terbuka.

“Pateni,” (Bunuh,) teriak Sembojo menggelegar, meminta Jegrik dan Buto Ireng untuk segera membunuh Bima.

Bima mendengar ucapan Sembojo, namun dia terus saja terlentang, mengucapkan mantra yang diberikan oleh Simbah saat terakhir kali mereka berlatih.

Sing alebur kekilat ing donyo pati
Mulih panggonan dewa kamanungsan
Moro ing kadonyan mulih ing kayangan

Jegrik dan Buto Ireng sudah mengangkat tangannya. Duanya kini benar-benar mengerahkan semua energinya untuk menyerang Bima secara bersamaan.

Duuuuummmm... suara dentuman hebat muncul, Bima kaget. Dia melihat sosok Jegrik dan Buto Ireng terlempar kebelakang.

Belum pulih dari kekagetannya, kini dia mendengar sayup-sayup suara gamelan.

“Mbak May” ucap Bima lirih. Dia tahu energi ini, entah kenapa ketakutannya bertambah.

Dilihatnya Maya mulai menari, matanya tertutup rapat. Gerakannya begitu gemulai mengikuti suara gamelan yang semakin kencang terdengar disekitar mereka.

“Bagaimana bisa” ucap Bima panik, dia benar-benar tidak mengerti. Seharusnya mantra yang dia ucapkan untuk memanggil Cempoko Kuning dan Kromosengkono.

Bahkan Sembojo yang berdiri disebelah Maya langsung bergerak mundur, menarik Jegrik dan Buto Ireng menjauh dari Bima dan Maya.

Suara gamelan makin keras terdengar. Maya masih terus menari mengikuti setiap alunan gamelan. Tubuhnya meliuk-liuk, mengingatkan Bima dengan satu sosok yang tidak akan pernah dia lupakan.

“Gendiswari” ucap Bima lirih.

Langit tiba-tiba saja menjadi kemerahan, udara disekitar mereka terasa menjadi lebih panas. Seketika ia melihat ada cahaya merah yang menukik cepat kearah Maya. Sejenak Bima mengira kalau itu adalah serangan yang dibuat oleh Sembojo.

Saat cahaya itu berada diatas kepala Maya, benda itu berubah menjadi bola api besar dan terus bergerak melingkar. Semakin lama gerakan bola api itu turun dan berputar disekeliling Maya yang masih menari dengan anggun.

“Banaspati” ucap Sembojo saat menatap bola api yang terus berputar mengiringi Maya yang tengah menari.

Mendengar apa yang Sembojo katakan, perasaannya membuncah bahagia. Tidak menyangka kalau salah satu sosok kuat penghuni Alas Lali Jiwo tengah hadir.

“Bocah ra due udel, bocah gendeng” (Bocah tidak punya pusar, bodah gila) Bima menoleh kebelakang, seketika bibirnya tersenyum lebar.

“Rasah cengar-cengir, wong koplak. Sak geleme dewe” (Tidak usah cengar-cengir, manusia bodoh. Semaunya sendiri) geram Kromosengkono memandang kearah Bima.

Mendengar ucapan Kromosengkono, senyuman Bima langsung hilang seketika.

“Lambemu” (mulutmu) ucap Bima.

“Kamu bertambah kuat Bim” Bima tersentak hebat, bulu kuduknya meremang hebat. Pandangannya mengabur.

“P—pak Arif?” gagap Bima saat melihat sosok yang ia nantikan saat melihat Banaspati hadir dihadapannya.

“Berdirilah, jangan jadi laki-laki lemah” ucap Arif sambil mengulurkannya tangan kepada Bima.

Bima terisak, dia benar-benar rindu dengan sosok yang ada dihadapannya.

“Jare due ilmu kanuragan, tapi cengeng” (katanya punya ilmu kanuragan, tapi cengeng) ucap Kromosengkono mengejek.

Bima langsung saja mengusap air matanya.

“Bagaimana? Bagaimana kalian bisa datang?” ucap Bima, mengabaikan Kromosengkono yang sudah menghadap kearah Sembojo dan antek-anteknya.

“Karena ketulusan dan niat kalian” ucap Dewi yang sudah muncul didekat Kromosengkono. Bima melongo, bagaimana mungkin mereka semua datang ketempat ini.

Belum sempat Bima membalas ucapan Dewi, seketika pohon-pohon bergerak dengan cepat. Tubuh Bima bergetar, dia tahu energi ini.

“Sue ora ketemu bocah ingon-ingonku” (lama tidak bertemu anak peliharaanku) ucap Ki Ganang yang sudah berdiri didepan Bima.

Reflex Bima langsung mencoba mengeluarkan energinya.

“Tenangkan dirimu Bim, dia datang untuk melakukan tugasnya” ucap Pak Arif,

“Tugas?” tanya Bima kebingungan.

“Tugas punggowo pitu untuk menjaga air sendang pitu” ucap Pak Arif sambil menunjuk kearah Maya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close