"Baiklah Bunda Ratu saya bersedia menikahi putri Bunda Ratu dan terima kasih banyak atas semuanya, kata Jaka Indi dengan gembira sembari mencium punggung telapak tangan Bunda ratu.
"Lantas siapa saja dari putriku yang akan kau nikahi ?" Tanya Bunda Ratu.
"Cukup satu saja Bunda Ratu, yaitu Dewi Yuna,, "Saya ingin menikahi Dewi Yuna putri bungsu Bunda Ratu, karena sepertinya kami punya kegemaran yang sama, yaitu berpetualang." Jawab Jaka indi dengan kalem.
Dalam hati Jaka Indi,
"Dewi Yuna selalu mengembara, saat ini bahkan belum diketahui kapan kepulangannya, itu berarti ia tidak harus segera menikah dalam waktu dekat. yang artinya ia masih punya cukup waktu mencari akal guna mengatasi permasalahan resiko kematian karena menikahi peri."
"Bukankah ananda belum pernah berjumpa dengan Dewi Yuna, dan saat ini keberadaan Dewi Yuna, bahkan masih belum diketahui." Kata Bunda Ratu.
"Tidak apa-apa Bunda Ratu, mengenai pernikahan bisa kapan saja dilaksanakan." Terang Jaka Indi.
Tiba-tiba bunda Ratu membisikan sesuatu ke telinga Dewi Wening, lalu Dewi Wening berjalan kedalam ruangan, yang tak lama kembali keluar dengan membawa dua peti berupa kotak kayu cendana kecil. yang kemudian diserahkan pada bunda ratu.
Bunda Ratu membuka peti kecil pertama, yang ternyata isinya Mustika Tasbih Citra Ghaib.
Cara menggunakan mustika ini adalah dengan mengalungkannya pada leher, maka seluruh anggota tubuh tidak akan terlihat, kemudian Bunda Ratu menyerahkan mustika tersebut pada Jaka Indi.
Selanjutnya Bunda Ratu membuka peti kecil satunya, yang ternyata berisi sepasang cincin giok hijau yang indah. Kemudian bunda ratu mengambil sepasang cincin batu giok itu, dilanjutkan dengan mengambil salah satu bross berlian (hiasan pakaian) yang ada peniti dibelakangnya, dan dengan menggunakan peniti dibelakang bross, bunda ratu mulai mengukir kedua cincin batu giok. Pada cincin yang lebih besar yang teruntuk Pria, terukir nama Dewi Yuna, sedang pada cincin giok yang lebih kecil terukir nama Jaka Indi.
Berikutnya Bunda ratu memberikan salah satu cincin yang terukir nama Dewi Yuna pada Jaka Indi dan berkata,
"Ini adalah cincin pertunanganmu dengan Dewi Yuna, kenakanlah cincin ini sampai diputuskannya waktu pernikahan kalian berdua."
Jaka Indi kemudian mengenakan cincin giok itu pada jari manisnya dan mengucapkan terima kasih, seraya salim mencium punggung telapak tangan kanan Bunda Ratu.
"Ananda istirahatlah hari sudah semakin Larut, iar Dewi Nawang sari atau Dewi Wening yang mengantarmu ketempat peristirahatanmu."
"Biar saya saja yang mengantar ananda Jaka Indi Bunda Ratu, kata Dewi Wening,"
Dewi Nawang Sari, mengangguk tanda menyetujui. Lalu Jaka Indi berpamitan dengan Dewi Nawang Sari, kemudian berjalan menuju kereta kencana, ditemani oleh Dewi Wening. Dalam perjalanan menuju kereta, Dewi Wening mulai membuka percakapan, "Raden, saya adalah ibu angkat Achitya, saya ingin menitipkan sesuatu pada Raden." Kata Dewi Wening, seraya memberikan sebuntal kecil kain warna kuning yang terikat rapat.
Kemudian Jaka Indi menerimanya, sambil berkata,
"Apakah ibu Dewi Wening tahu kalau Achitya akan pergi kemana?" Tanya Jaka Indi.
"Iya Raden, tadi Achitya sempat pulang dan membawa beberapa stel pakaian serta beberapa barang kesayangannya." ujarnya dengan menghela nafas.
"Ia sudah lama ingin pergi ke dunia asalnya, selama ini saya selalu melarangnya, karena mengkhawatirkannya." Katanya dengan nada sedih.
"Saya tahu ia pergi tanpa pamit karena ia khawatir kalau saya akan melarangnya."
"Saya fikir ia akan pergi dengan ikut Raden, karena saat ini, hanya Raden jalan satu-satunya yang bisa membawanya kembali ke dunia asalnya."
"Maafkan Saya ibu Dewi Wening,.."
Kata Jaka Indi, dengan nada merasa bersalah dan perasaan tidak enak hati.
"Achitya memohon untuk bisa pergi ke dunia asalnya, karena ingin mengetahui keluarganya, dan tempat asalnya." Jelas Jaka Indi.
"iya tidak apa-apa."
"Tolong jaga Achitya baik-baik Raden." Pinta Dewi Wening dengan nada memohon.
"Tentu, ibu Dewi Wening." Kata jaka indi berusaha menenangkan.
Lalu sampailah mereka didepan kereta kuda unicorn, kereta yang lainnya sudah tidak terlihat, sepertinya para tamu sudah kembali ketempat peristirahatannya masing-masing. Berikutnya pintu kereta dibuka oleh pengawal Istana. Setelah ibu Dewi Wening naik kedalam kereta, giliran Jaka indi naik kedalamnya.
Ibu Dewi wening membuka sebagian tabir kereta dan berkata pada pengawal istana yang duduk didepan.
"Kita ke istana terlebih dahulu, setelah itu baru ke peristirahatan Kaputran."
Terlihat pengawal itu menganggukkan kepalanya dan langsung kereta bergerak melaju ke depan.
"Raden minumlah ini, kata Ibu Dewi Wening," sembari menyodorkan segelas kecil minuman yang berisi cairan berwarna kehijauan, seukuran satu sendok teh kecil.
"Ini madu hijau, madu spesial yang hanya ada di negeri kami, berguna untuk menyehatkan badan."
Kemudian Jaka Indi menerima dan meminumnya.
Setelah meminumnya badan jaka indi langsung terasa segar, bahkan tulang-tulang dan organ dalam tubuh seperti terasa dialiri hawa dingin yang sejuk dan menyegarkan, aliran di pembuluh darah terasa berjalan lebih cepat, tubuh seperti menjadi lebih kuat, juga terasa ringan, kulit pun terlihat perlahan berubah lebih lembut, putih dan menjadi cerah Jaka Indi merasa tubuhnya nyaman sekali setelah meminumnya.
Ibu Dewi Wening melanjutkan perkataannya,
"Madu hijau tersebut telah ditambahkan setetes air keabadian atau air Ainul Hayat, ini Juga merupakan perintah Bunda Ratu agar memberikannya kepadamu."
"Benarkah setelah meminum air ini dapat membuat seseorang menjadi berusia ribuan tahun bahkan lebih?" Tanya Jaka Indi, dengan rasa ingin tahu.
"Menurutku itu tak sepenuhnya benar, karena ajal itu ditangan Yang Maha Kuasa. Kalau semisal dalam peperangan kepala sampai terpenggal, tentunya bisa mengalami kematian juga." Jelas Dewi Wening dengan tersenyum.
"Hanya saja yang kutahu memang air keabadian ini bisa menyehatkan badan, menyembuhkan penyakit, menguatkan tubuh, meremajakan kulit, membuat selalu terlihat awet muda, dan dapat pula memanjangkan usia, tentunya dalam hal tidak terjadi suatu musibah pada mereka yang meminumnya. dan memang belum waktunya ajal datang menjemputnya." Terang Dewi Wening.
Tak lama sampailah mereka di bangunan putih Istana utama Suralaya, Dewi wening lantas turun, sambil kembali berkata, "Raden, tolong jaga Achitya baik-baik," pintanya dengan nada memohon..
"Baik Ibu Dewi Wening." Jawab Jaka Indi santun.
Kemudian kereta kembali melanjutkan tujuannya ke paviliun Kaputran, Jaka Indi melihat Jam pasir di kereta, yang telah menunjukkan waktu sekitar Jam 12.30, "Tentu Achitya telah sampai di kamarku," bathin Jaka Indi.
Saat kereta melayang melewati hutan, lamat-lamat Jaka Indi mendengar suara lirih wanita yang menyanyikan sepenggal bait tembang jawa,
"Lingsir wengi sliramu tumeking sirno...(Menjelang malam, bayang dirimu mulai sirna)
Ojo Tangi nggonmu guling...
(Jangan terbangun dari tidurmu)
Awas jo ngetoro...
(Awas, jangan memperlihatkan diri)
Aku lagi bang wingo wingo...
(Aku sedang gelisah)
Jin setan kang tak utusi...
(Jin setan ku perintahkan)
Dadyo sebarang...
(Jadilah apapun juga)
Ketika Jaka Indi menyingkap tirai samping kereta, terlihatlah seorang wanita berbaju putih panjang, berwajah putih pucat dan berambut hitam yang sebagian rambutnya tergerai tertiup angin menutupi sebagian wajahnya, wanita itu berdiri pada salah satu ujung ranting, disalah satu pohon yang cukup tinggi. Tampak tubuhnya bergoyang mengikuti gerakan ranting yang tertiup angin.Saat Jaka Indi berusaha melihat lebih Jelas, wanita itu langsung melayang berkelebat pergi kedalam hutan.
Kemudian Jaka indi membuka tirai yang menghadap kearah sais kereta dan prajurit,
"Pengawal, apakah kalian melihat dan mendengarkan apa yang barusan terjadi?" Tanya Jaka Indi.
"Tidak Raden... kami tidak melihat dan mendengar apapun," Kata mereka hampir bersamaan"
"Aneh sekali.., mengapa para pengawal tidak mendengarnya," Gumam Jaka Indi.
Walau wanita itu berdendang dengan lirih, tapi terdengar jelas oleh Jaka Indi.
Kalau pengawal tidak melihatnya, itu mungkin saja.. Karena boleh jadi para pengawal hanya fokus melihat ke depan, tapi bila tidak sampai mendengar, ini aneh sekali. Renung Jaka Indi.
"Apa ini karena efek meminum madu hijau dan air ainul hayat yang menjadikan pendengaran dan penglihatan ku menjadi jauh lebih tajam." Ucap Jaka Indi pada diri sendiri.
Beberapa saat kemudian sampailah kereta di paviliun Kaputran, Jaka Indi sengaja tidak turun menggunakan anak tangga kereta, tapi langsung melompat turun kebawah, anehnya, tubuhnya dapat turun dengan ringannya, dengan melayang perlahan, seperti punya kemampuan ilmu meringankan tubuh saja.
.
"Wow... amazing...." Pikir Jaka Indi.
Lalu Jaka Indi berkata kepada Pengawal dan sais Kereta, "Terima kasih, telah menghantar ku, silahkan kalian kembali, ini ada dua buah apel yang kubawa dari jamuan istana, terimalah." tutur Jaka Indi kepada kedua prajurit pengawal wanita tersebut., sambil menjulurkan tangannya ke depan.
"Terima kasih tuan Raden," seraya menerima buah apel merah itu, ucap pengawal wanita yang merangkap sais kereta, sedang pengawal wanita satunya seperti terlihat mulai mengantuk, jadi hanya menjawab dengan bergumam saja.
Kemudian masuklah Jaka indi kedalam ruang kamarnya. Lilin penerangan masih menyala, jam pasir telah menunjukan sekitar pukul 01.00 dini hari.Terlihat Achitya tertidur di-dipan yang ada dikamar, ada sedikit suara dengkur halus. Achitya mengenakan semacam daster panjang warna hitam dan mantel panjang warna abu-abu. Achitya tampak tertidur lelap, tanpa melepaskan mantelnya.
Dimeja terlihat sebilah pedang, satu buntel kain motif kembang-kembang yang cukup besar, dan juga anak panah berikut busurnya.
Lalu Jaka Indi ambil buntalan kecil warna kuning pemberian Dewi Wening dan dimasukan dengan cara diselipkan lewat celah ikatan kedalam buntelan kain besar tersebut.
Jaka Indi tidak membangunkan Achitya, tapi menuju meja dan mengambil alat tulis. lalu menulis dua pucuk surat, dan dilipatnya dengan rapi.
Setelah itu Jaka Indi menuju kamar mandi untuk berwudhu, lalu melaksanakan sholat sunnah malam dua rakaat, setelah itu sholat witir, berzikir dan meditasi.
Selesai meditasi Jaka Indi mengeluarkan suling bambu kuning kecilnya, dan mulai meniupnya dengan nada tertentu. Tak lama datanglah Khodam Macan Putih,
"Hhhauuuuwmm....."
"Ada apa tuan muda.... ?"
Jaka Indi mengelus kepala macan putih itu dengan kedua tangannya, dan berkata,
"Paman aku mau minta tolong agar paman membawa gadis ini ke rumahku di Pondok Kelapa Jakarta.
"Nanti setelah menghantar gadis ini, tolong segera paman kembali lagi kesini." Kata jaka Indi lebih lanjut.
"Sementara ini, paman tunggulah sebentar di diluar pintu, aku akan membangunkan gadis ini terlebih dahulu." Maka berjalan keluarlah khodam macan putih tersebut dengan menunggu didepan pintu. Lalu Jaka Indi menuju pembaringan, ditepuknya perlahan bahu Achitya..
Dengan mata masih setengah terpejam, bangunlah Achitya dari pembaringan.
Begitu melihat Jaka indi yang berada dihadapannya, Achitya langsung berdiri dan memeluknya dengan kuat.
"Aduuuh, Raden...!"
"Saya kira...Raden ingkar Janji." Kata Achitya, dengan nada cemas.
Sekali lagi Jaka Indi merasakan tubuh lunak dan dada lembut Achitya. Perlahan didorongnya bahu Achitya.
"Achitya, ini ada dua buah surat, yang aku kasih nomor 1 pada sampul depan surat, adalah untuk Bik Inah, penjaga rumahku. yang biasa bersih-bersih rumah. Sedang yang aku kasih nomor 2 adalah untuk kakakku Asmarani Putri, berikanlah padanya bila ia kebetulan ke rumahku."
Kemudian Jaka Indi mengeluarkan kartu ATM dari dompetnya, nah ini kasih ke bik Inah, didalam surat nomor 1 juga ada nomor pin-nya, nanti bik Inah yang akan menjelaskan cara penggunaannya untuk keperluanmu sehari-hari."
"Ingat selama di alam dunia sana, bila tidak perlu jangan keluar rumah. pelajari dahulu adat istiadat dan kebiasaan masyarakat di sana, dan ingat jangan sembarangan memeluk laki-laki, itu pamali, dan gak sopan." Kata Jaka Indi seraya mendorong lembut kening Achitya dengan ujung jari telunjuknya.
Achitya menerima kedua surat dan kartu atm pemberian Jaka Indi, lalu memasukkannya kedalam mantel. panjang yang dikenakannya.
"Kemudian mengenai pedang dan busur juga anak panah ditinggal saja disini, itu tidak ada gunanya di alam dunia sana." Lanjut Jaka Indi menjelaskan.
"Ayo... cepat jalan sebelum ketahuan penjaga," Ujar jaka Indi, seraya menggandeng tangan Achitya dan membawa buntalan motif bunga dengan tangan kirinya.
Saat keluar pintu dan melihat ada harimau putih didepan kamar Jaka Indi, Achitya sangat terkejut, sampai menjerit kecil, sangking takutnya. "Jangan takut, ini paman Hamzah, khodam macan putih yang selalu mendampingiku."
Kemudian Jaka indi memberikan Buntalan kain motif bunga kepada Achitya.
"Naiklah ke punggungnya dan rangkul lehernya paman Hamzah dengan kedua tanganmu erat erat."
"Karena paman hamzah ini yang akan membawamu ke alam dunia manusia, dengan sangat cepat."
Bukannya naik kepunggung harimau putih, tapi malah Achitya kembali memeluk Jaka Indi, sambil menangis haru,
"Raden terima kasih.., terima kasih banyak, "Cepat menyusul ya Raden.." kata Achitya seraya mencium pipi Jaka Indi, lalu baru naik ke punggung macan putih dan merangkul lehernya.
Khodam macan putih pun sigap melompat dan melesat ke depan membelah kegelapan malam. Dalam sekejap mata khodam macan putih beserta Achitya hilang dari pandangan Jaka Indi.
[BERSAMBUNG]