Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LABUH MAYIT (Part 4) - Wanita berkebaya Kuning


Part 4 - Wanita Berkebaya Kuning

Bima sudah terlihat kelelahan, nafasnya mulai tersenggal-senggal.

“Wes tekan batesmu, cah?” (Sudah sampai batasmu, Nak?) ucap Kromosengkono menyeringai.

Bima tersenyum, dia benar-benar tidak menyangka. Kekuatan dari sosok penjaganya begitu hebat, yang Bima sadari makhluk itu belum sepenuhnya mengeluarkan kekuatan yang dimiliknya.

“Kita istirahat dulu, jangan terlalu memaksakan diri” kata Kromosengkono yang sudah memudarkan energinya.

“Tunggu... Aku masih bisa bertarung...” Bruk, Bima tersungkur. Ia merasa badannya begitu letih. Sigap Kromosengkono langsung berpindah ke samping Bima dan membawanya ke amben yang ada di depan gubuk Simbah.

“Bima kenapa?” tanya Maya panik saat melihat Kromosengkono merebahkan tubuh Bima di amben.

“Dia terlalu memaksakan diri, Energinya habis terkuras” jawab Kromosengkono.

“Sak iki, jajalen. Tambani dulurmu, ndug” (sekarang, coba. Sembuhkan saudaramu, nak) ucap Simbah yang sudah ada disamping Maya. Kaget, Maya menjerit kecil, dia belum terbiasa dengan kemunculan mereka yang tiba-tiba seperti itu.

“Pripun carane Mbah?” (gimana caranya Mbah?) kata Maya sambil melihat kearah Simbah.

“Koyo sek tak ajarke mau, terus tenogomu mbok alirke neng Bima” (Seperti yang kuajarkan tadi, terus tenagamu dialirkan ke Bima).

Mengerti, Maya segera berjalan dan duduk bersila disamping Bima. Ia buru-buru menutup mata dan mencoba mengalirkan energinya.

“Kakean ndug, ojo nafsu” (kebanyakan Ndug, jangan nafsu) tegur Simbah saat melihat Bima menggelepar.

“Sek tenang, ben ke ngalir dewe. Koe gek nambani sukmo. Dudu rogo. Ojo sampek malah tenogomu ngrusak sukmane Bima” (yang tenang, biarkan mengalir sendiri. Kamu sedang menyembuhkan sukma. Bukan raga. Jangan sampai malah tenagamu merusak sukmanya Bima) terang Simbah.

Mengangguk, kali ini Maya menghela nafas berkali-kali. Dia memusatkan perhatiannya untuk menyembuhkan Bima, sekaligus juga melepaskan semua emosi yang ada didalam batinnya.

Kini terlihat aliran enery dari Maya merambat kearah tubuh Bima, perlahan energi tersebut seperti tersedot masuk ke dalam tubuh Bima.

Simbah yang melihat itu hanya tersenyum, sedang Kromosengkono menggelengkan kepalanya. Takjub dengan kemampuan Maya yang langsung bisa belajar dengan cepat.

“Darah Sangaraja memang hebat” ujar Kromosengkono.

“Eleng pesenku ndug, jogo dulurmu” (ingat pesenku nak, jaga saudaramu) terdengar suara Simbah, berbarengan dengan perasaan seperti tertarik kebelakang. Mengerjap Maya sudah berada di kamar Bima.

“Astaga Bim” ucap Maya yang langsung merangkak kearah saudaranya. Kini Maya melihat dengan jelas, tubuh Bima terbaring kebelakang dengan posisi kaki masih bersila.

Serta ada darah yang keluar dari mulutnya. Buru-buru Maya mencoba membenarkan posisi Bima dan mengelap darah yang hampir sudah mengering. Menengok kearah jam, ternyata sudah hampir subuh.

***

Bima terbangun, badannya begitu sakit dan pegal-pegal. Jam juga sudah menunjukan pukul 11 siang. “astaga” ucap Bima yang langsung bangkit berdiri. Dirinya benar-benar lelap sekali tertidur, terakhir dia ingat kalau masih ada didepan gubuk milik simbah.

Keluar dari kamar, Bima tidak mendapati seorang pun. Suasana rumah Budhenya terlihat begitu sepi.
Merasa dirumah sendirian, Bima segera pergi ke kamar mandi. Berniat untuk membersihkan dirinya, baru saja Bima melangkah...

“Sudah bangun Bim” ucap Maya, yang baru saja keluar dari dalam kamarnya,

“Loh, kirain sekolah mbak. ngapain kamu dirumah” tanya Bima keheranan.

“Males, capek rasanya... apalagi semalam badanmu demam. Yauda sekalian aja libur buat nemenin kamu. Buruan mandi, ada yang ingin kubicarakan” ucap Maya.

***

“Budhe kemana mbak?” tanya Bima saat sudah duduk ditaman belakang.
“Lagi ada acara diluar sama temannya Bim”

“Kenapa Mbak?” sekali lagi Bima bertanya saat melihat expresi dari saudaranya itu, seakan sedang memikirkan sesuatu.
“Aku hanya berfikir, bagaimana kalau aku mencoba untuk mengecek apa yang sebenarnya terjadi dengan Panji”

Bima terdiam, mengambil rokok yang ada dikantung celananya dan mulai membakar satu batang.

“Bagaimana caranya?” tanya Bima bersamaan dengan kepulan asap putih yang keluar dari mulut dan hidungnya. Dia masih belum paham bagaimana cara Maya bisa mengecek keadaan Panji, karena kemarin saja saat mereka disana tidak melihat apapun.

“Saat berada di gubuk Simbah, waktu kau sedang bertarung dengan Kromosengkono... Simbah mengajariku bagaimana caranya untuk melihat niatan buruk seseorang” kata Maya.

Bima tertegun, kembali dia memikirkan perkataan Maya, disisi lain dia setuju dengan usulan maya tapi disisi lainnya dia juga khawatir.

“Entahlah Mbak... Sebenarnya aku setuju dengan usulanmu. Tapi aku juga khawatir dengan apa yang pernah ku lihat dan kurasakan saat bertemu dengan makhluk itu. -

Sedang aku sendiri juga masih belum tahu bagaimana caranya mengeluarkan Cempoko Kuning” ucap Bima, sambil mengankat tangan kanannya dan memperhatikan dengan seksama.

Maya diam, berfikir..
“Benar, kita masih terlalu muda... lebih baik kita lihat dulu semuanya” kata Maya sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

“Tapi aku juga penasaran dengan kemampuanmu, mbak!!!” kata Bima tersenyum jahil.

“Maksudnya?” ujar Maya, kini perasaannya mulai tidak tenang, dia tahu persis expresi dari Bima jika sudah seperti itu.

“Ya, idemu bisa kita coba... toh kita juga mau membantu Panji, kan?”

Maya mendecakan lidahnya, dia paham dengan maksud Bima. Sedikit menyesal, memang awalnya dia hanya ingin mencoba namun sekarang justru malah seperti menguji kekuatan yang dimiliknya.

“Tenang mbak, kita punya teman yang bisa kita andalkan” ucap Bima tersenyum, saat melihat Kromosengkono sudah muncul dihadapannya.

Mereka diam cukup lama, sama halnya seperti seorang anak remaja lainnya. Kadang mereka masih mengikuti nafsu secara terburu-buru.

Bahkan sampai tidak memikirkan resiko yang akan mereka terima. Namun dibalik itu semua, Bima dan Maya hanya ingin membantu teman mereka yang sedang terkena musibah.

“Lalu bagaimana dengan mu Bim? Cempoko Kuning” tambah Maya saat melihat alis mata Bima terangkat.

Sekilas Bima melihat kearah Kromosengkono mencoba mencari jawaban.
“Ono wektune, pas awakmu butuh Cempoko Kuning... Sak iki tinggal niatanmu. Cempoko Kuning ora muk sedekar pusoko”

(ada waktunya, ketika kamu membutuhkan Cempoko Kuning... Sekarang tinggal niatanmu. Cempoko Kuning itu bukan hanya sekedar pusaka) ucap Kromosengkono.

Bima termenung, dia berfikir. Mengingat-ngingat kejadian saat dimana Cempoko Kuning masuk dan menggendalikannya.
“Wadah” ujar Bima lirih. Seketika Kromosengkono tersenyum.

“Maksudmu, Bim?” tanya Maya kebingungan, kini dia memalingkan kepalanya kearah Bima dan Kromosengkono bergantian.

“Cempoko Kuning selalu muncul disaat aku sedang tejepit. Dua kali dia menggunakan tubuhku. Pertama saat bertemu Gendiswari dan yang kedua saat berhadapan dengan Dewi... -

Dan kalau memang benar, berarti yang harus kulakukan adalah memperkuat diriku dan juga membuat hubungan atau koneksi dengan Cempoko Kuning, begitu kan?” jelas Bima bersemangat.

Kromosengkono menggangguk dan tersenyum. “Sekarang apa efeknya ketika aku harus berlatih dengan mu setiap hari?” tanya Bima kepada Kromosengkono.

“Ora sak muk perkoro sinau kanuragan, kui muk sebagian... niatan, teteg e ati, nafsumu...” (Tidak hanya perkara belajar kanuragan, itu hanya sebagian... niat, ketetapan hati, nafsumu...)

Deg... Bima terdiam kali ini, otaknya berputar cepat, memori kecil tiba-tiba saja mencuat keatas permukaan ingatannya.

Teringat dengan ucapan Pak Arif kalau semua tergantung dengan Bima. Jika dia berniat atau melakukan sesuatu yang buruk maka mereka akan melakukan hal yang sama, begitu juga sebaliknya.

Sementara itu Maya hanya diam dan terus memperhatikan, dia masih menerka-nerka apa yang sedang saudaranya itu pikirkan.

“Wes paham?” (sudah paham) ujar Kromosengkono.
“Sampun” ucap Bima, bersamaan dengan sosok Kromosengkono yang menghilang.

“Bim?” tanya Maya pelan.
“Sekarang aku paham Mbak, Cempoko Kuning akan muncul jika aku sebagai wadahnya sudah siap dan mampu untuk menampung energinya” terang Bima.

“Tunggu, apa maksudmu dengan wadah? Bisa saja nanti justru dia yang malah mengendalikan dirimu seutuhnya” kata Maya sedikit panik.

Bima terdiam, ia memejamkan matanya.
“Tidak mbak, bukan seperti itu... berbeda dengan Gendiswari saat mencoba menguasaimu... Sukmaku tidak keluar, dia masih tetap ditempatnya.-

Kupikir karena energi kami yang sudah menyatu satu sama lain. Dan jika teoriku ini benar, maka semua ini masih ada hubungannya dengan darah Sangaraja” jelas Bima.

Maya terpana, dia tidak mengira kalau Bima bisa berfikir sejauh itu... Teringat dengan wejangan Simbah, Maya hanya tersenyum dan mengangguk. Berniat mulai saat ini dia akan lebih memperhatikan Bima.

“Siap-siap Mbak, setelah ini kita pergi kerumah Panji. Beruntung kalau kita bertemu dengan orang tuanya” kata Bima yang mulai beranjak meninggalkan tempat duduknya.

Sedangkan Maya masih terdiam mencoba meyakinkan hatinya kalau apa yang akan dilakukannya tidak akan membuat masalah baru.

***

“Uda siap?” tanya Bima yang sudah nangkring diatas motor miliknya.

“Enggak... Enggakk... aku aku aja yang depan Bim, aku masih mau hidup lama” protes Maya, dia masih trauma dengan cara Bima mengemudikan sepeda motor.

“Udah, ayok... kalau kamu yang bawa bisa besok pagi kita baru sampai di tempat Panji” kata Bima yang mulai menstarter kendaraan yang dinaikinya. Maya hanya pasrah, berkali-kali dia menghela nafas dalam-dalam.

Sepanjang perjalanan Maya hanya terdiam, hatinya tidak pernah berhenti untuk berzikir. Sungguh sangat gila, Bima mengendarai motornya dengan kecepatan diluar nalar.

Satu hal yang Maya ingat-ingat, dia harus memberitahu Sekar untuk segera menjual motor sport yang dibelikan untuk Bima. Agar tidak ada korban lain selain dirinya.

“Turun Mbak” ujar Bima 20 menit kemudian.

“Kenapa sih mukamu... besok kalau uda ngerasain pindah tempat bareng Kromosengkono jadi gak kaget Mbak” kekeh Bima saat mendapati wajah Maya yang memucat, belum lagi lututnya yang gemetaran.

“Kalau rencana kita gagal, setelah diboncengin kamu... dan aku mendapat trauma psikologis... lihat aja Bim obat penenang yang kau minum tidak akan pernah manjur” geram Maya.

Mendengar itu justru malah Bima tertawa, dan langsung saja berjalan kearah gerbang rumah Panji.
Maya segera mengejar Bima yang sudah masuk kedalam pekarangan rumah.

“Bim tunggu” panggil Maya.

Bima segera berhenti dan membalikan badannya, “Saat sudah didalam... jika nanti kita tidak bertemu dengan orang tua Panji, aku butuh foto mereka. Dan ingat jangan sekalipun mengeluarkan energimu disini, paham?” ucap Maya.

“Yang kedua aku paham mbak, tapi buat apa foto dari orang tua Panji?” tanya Bima mengerutkan alisnya. Dia bingung dengan permintaan aneh Maya.

“Aku bisa mengecek dari mana saja, asal sudah tahu nama dan wajah dari orang yang ingin kulihat... dan aku tidak mau melakukannya disini” jelas Maya. Tersenyum Bima hanya mengangguk, mengerti dan langsung saja berpaling melanjutkan berjalan kearah teras rumah.

Tok...tok...tok... “Assalamualaikum” lama Bima mengetuk dan mengucap salam, tapi sepertinya sedang tidak ada orang dirumah Panji.

“Kau tahu mbak? bagaimana kalau Panji sudah masuk sekolah” ucap Bima nyengir merasa bersalah.

“Astaga, bego kamu Bim” ujar Maya kesal dan langsung saja duduk disalah satu bangku yang ada disana.

Sudah satu jam lebih mereka menunggu, hingga Bima melihat ada sebuah mobil yang masuk kedalam pekarangan rumah.

“Sepertinya itu mereka mbak” ucap Bima yang sudah berdiri dari duduknya. Benar saja, kini mereka melihat keluarga Panji tengah keluar dari mobil bersama satu orang yang belum pernah Bima lihat.

“Eh, Bim. Sudah lama?” tanya Akbar sambil menyalami Bima.
“Engga Pak, barusan dateng” jawab Bima.

Sejenak Bima memperhatikan kearah Panji, entah kenapa dia melihat ada kekosongan disorot mata temannya itu.

“Ya sudah ayo masuk dulu” giring Akbar yang diikuti oleh Bima dan yang lainnya.

“Gimana kondisi kamu Ji?” tanya Bima saat sudah duduk diruang tamu. Kini Panji terlihat berbeda, tatapannya kosong. Bahkan hampir seperti orang yang sudah tidak memiliki semangat hidup sama sekali.

Bima tidak berani mengecek keadaan Panji menggunakan kemampuannya, selain peringatan dari Maya. Kini laki-laki dengan pakaian serba hitam itu terus memperhatikan Bima dan Maya bergantian.

“Kenalin Bim, ini Ki Suratno yang akan mengobati Panji” terang Akbar, Bima hanya tersenyum dan mengangguk kearah Ki Suratno.

“Memangnya Panji kenapa, Pak?” tanya Bima pura-pura, dia mencoba untuk mencari tahu lebih banyak apa yang sedang ingin dilakukan oleh keluarga Panji.

“Yah mungkin kamu gak bakal percaya Bim, sudah beberapa waktu Panji seperti ini. Dibawa berobat kedokter tidak ada perubahan. Sekarang kami coba berobat alternatif... Kata Ki Suratno saat ini Panji sedang terkena guna-guna” jelas Akbar.

“Guna-guna? memang siapa yang sudah ngelakuin, Pak?” Kata Bima mengerutkan dahinya. Disebelahnya Maya terus saja terdiam dan melihat kearah Panji, sesekali dia melirik kearah Akbar dan Ki Suratno.

“Entah Bim, Bapak juga tidak tahu” ucap Akbar dengan nada getir.

“Terus ngobatinnya gimana?” tanya Bima, terus saja dia mencoba menggali informasi. Tidak menjawab kini Akbar justru melihat kearah Ki Suratno.

“Nanti ada semacam ritual yang harus dilakukan, Demit yang ada ditubuh Panji harus segera dihilangkan” jawab Ki Suratno.
“Sebaiknya kita siapkan sekarang, Pak” lanjutnya sambil berpaling kearah Pak Akbar.

“Bima...” kata Akbar.
“Kalau boleh, saya mau nemenin Panji, Pak” ucap Bima memotong ucapan Akbar. Maya langsung saja menolehkan kepalanya kearah Bima, ingin sekali dia menjitak kepala bocah ingusan itu.

Akbar terlihat bingung dengan permintaan Bima.
“Sudah biarkan mereka ikut Pak, asal tidak mengganggu proses ritual yang sedang saya lakukan nantinya” ucap Ki Suratno menjawab kebingungan Akbar.

Setelah itu mereka menyiapkan beberapa perlengkapan yang ditempatkan diruang keluarga. Seperti kasur untuk tempat berbaring Panji, serta beberapa kembang, kopi hitam, air putih, kemenyan dan dupa.

Bima yang melihat itu sedikit geram, setahu dirinya justru syarat-syarat yang digunakan malah bisa menggundang sosok lainnya.

Kini Panji diminta untuk tiduran, Ki Suratno juga sudah duduk bersila serta membakar kemenyan dan dupa didepannya.

Beberapa menit berlalu, semua nampak normal. Hingga tiba-tiba saja tubuh Bima sedikit tersentak. Ada sesuatu yang hadir... Nafas Bima mulai terasa sesak dan putus-putus, hidungnya seketika membaui air laut dan garam yang begitu pekat.

“Tenang Bim” bisik Maya yang sudah memegangi lengan Bima. Suasana ruang keluarga Panji sudah berubah, udara yang awalnya terasa hangat kini berganti menjadi hembusan angin tipis yang dingin.

Tepat didepan mereka, Bima melihat lagi sosok yang pernah ditemuinya saat Panji kesurupan disekolah. Makhluk hitam berbulu, dengan mata merah serta memiliki delapan tangan dan gigi yang mencuat tidak beraturan.

Kini dengan jelas Bima bisa mendegar nafas dari sosok yang ada didepannya, giginya saling bergemeletak... tiba-tiba saja bulu kuduk Bima meremang dengan hebat, bahkan dia merasakan pegangan tangan Maya yang menguat.

Sosok demit itu kini terus saja memandang Ki Suratno yang masih duduk bersila dan membaca mantra. Hingga tiba-tiba saja sosok itu seperti tersenym dan...

Pyaarrrr.... gelas kopi dan air putih yang ada diatas tampah seketika pecah, seolah ada orang yang menaruh petasan didalamnya.

“Bocah wingi sore arep main-main” (Bocah kemarin sore mau main-main) geram sosok itu.
Bima sudah bersiap, jika tiba-tiba saja sosok itu menyerang. Mau tidak mau dia harus mengeluarkan kemampuannya.

Namun sepertinya sosok itu hanya tertarik dengan Ki Suratno yang kini sudah mengangkat sebuah keris. Sosok itu masih terus saja memandangi Ki Suratno, sesekali kepalanya meneleng ke kanan dan kiri... hingga...

“Arrrrgggg” teriak Ki Suratno, kejadian itu terjadi begitu cepat, tidak ada yang bisa mencegah. Bima yang melihat itu shock dan matanya membulat. Ki Suratno tiba-tiba saja menghujamkan keris yang dipegangi kearah betis miliknya.

Panik, Pak Akbar langsung saja menghambur kearah Ki Suratno. Sedang Bu Eny yang sedari tadi diam melihat, kini hanya bisa berucap istifar berulang kali.

“Bocah goblok, bariki sukmamu dadi duwek e nyai, bhaahaha” (bocah goblok, setelah ini sukmamu jadi milik nyai, bhaahaha) ucap sosok demit itu sambil tertawa keras.

“Bim... bantuin bapak” kata Akbar panik. Tersadar, Bima langsung beranjak dan membantu Pak Akbar membawa Ki Suratno kedalam mobil miliknya.

“Bima, Tolong jaga Panji sebentar ya, Bapak sama Ibu bawa Ki Suratno ke rumah sakit” ucap Eny ketakutan.

Bima hanya mengangguk, buru-buru dia masuk kedalam rumah. Disana Bima mendapati Maya masih berdiri diam melihat Panji dan sosok Demit yang ada didepannya.

Bima sudah bersiap, jika harus bertarung dengan sosok itu. Namun entah kenapa justru demit itu hanya tersenyum dan seketika menghilang dari pandangan. Dibarengi dengan Panji yang mulai terbangun.

“Lah, apaan nih” ucap Panji kebingungan saat melihat sekitarnya.
“Kerjaan kamu ya Bim?” tuduh Panji, saat melihat Bima tengah berdiri tidak jauh darinya.

Bima berpaling, melihat expresi dari sepupunya, yang kini terlihat keheranan dengan mulut setengah terbuka.
“Kamu aja Mbak yang cerita” ucap Bima yang lansung saja berjalan kearah teras.

“Kamu beneran gak inget, Ji?” tanya Maya saat mereka sudah duduk diteras depan. Panji menggeleng.

“Seingat ku, tadi Bapak sama Ibu ngajak pergi berobat... Terus pas udah sampai disatu rumah ada bapak-bapak yang keluar pakai pakaian serba hitam. Nah abis itu kami disuguhi minum. Setelahnya aku ngantuk dan gak inget apa-apa” jelas Panji.

“Sirep” kata Bima singkat.

“Jadi aku gak bisa sembuh ya, May?” tanya Panji dengan tatapan sendu, mengabaikan ucapan Bima.

“Kayanya sih enggak, Ji.” Sambar Bima. Mendengar itu Panji terlihat lemas dan matanya mulai memerah.

“Bim” tegur Maya. Sedang Bima hanya nyengir merasa bersalah.

“Sudah lah, Ji. Paling tidak kamu masih hidup, walau dengan muka penuh burik” kata Bima enteng.

“Sekali lagi ngomong, kubuat mukamu penuh dengan luka codet Bim” geram Maya yang kesal dengan ucapan sepupunya itu.

“Mampus” ucap Panji senang.

Sejenak Bima menatap Panji, sedetik kemudian keduanya nyengir dan tertawa terbahak-bahak. Masing-masing membayangkan bentuk codet yang akan dibuat Maya dimuka Bima.

Maya yang melihat itu hanya menghela nafas, tangannya spontan bergerak memegangi pelipisnya yang tidak terasa sakit.
“Kedua bayi ini benar-benar ajaib” batin Maya.

“Dapur dimana Ji?” tanya Maya setelah beberapa saat.

“Dikamar” jawab Bima dan Panji bersamaan, saling tatap kembali mereka tertawa. Sedang Maya yang kesal langsung saja beranjak masuk kedalam rumah.

Sebenarnya Maya tidak berniat kedapur, dia hanya ingin memastikan kedalam rumah Panji, siapa tahu bisa menemukan petunjuk lainnya.

“Lama banget Mbak?” tanya Bima saat mendapati Maya berjalan kearah mereka membawa nampan dengan tiga gelas minuman.

“Ketoilet tadi... Setelah orang tuamu pulang, kita balik ya Ji, takut dicariin” kata Maya yang sudah berpaling menghadap Panji.

“Iya May” jawab Panji mengganggukan kepalanya.

***

“Gimana mbak” tanya Bima, saat mereka berdua tengah duduk ditaman belakang setelah makan malam dirumah Budhe Yanti.

“Gimana apanya?” tanya Maya balik, walau sebetulnya dia paham apa yang simaksudkan oleh Bima.

“Ya kalau pesuruhnya aja begitu kuat, gimana dengan tuannya Mbak... Justru sekarang aku benar-benar khawatir kalau kita melangkah terlalu jauh” terang Bima.

Maya menghela nafas panjang “Tadi aku juga sempat berfikir seperti itu. Tapi aku juga ingat, walau fisik ku tidak terluka. Tapi terjerat dengan mereka sungguh sangat menyiksa” ujar Maya.

“Sekarang lihat Mbak apa yang sudah terjadi dengan Ki Suratno”

“Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau kita punya teman yang hebat Bim” kilah Maya, dia sudah tahu semua resiko yang akan terjadi. Tapi dengan kejadian yang tadi dia lihat justru dirinya malah merasa harus membantu Panji.

Bima terdiam, kembali meyakinkan batinnya. “Kalau kita mau mencoba kemampuanku, sebaiknya nanti setelah Bapak dan Ibu sudah pergi tidur” ujar Maya yang langsung beranjak meninggalkan Bima.

***

“Sudah siap Mbak?” tanya Bima.

Kini mereka berdua tengah duduk bersila di kamar Bima, beberapa jam sebelumnya Bima mengukuhkan niatnya.

Bahkan dia sampai memanggil Kromosengkono untuk meminta pendapat, tapi bukannya merasa lebih baik justru Bima kesal karena sosok penjaganya itu hanya diam dan tidak menjawab pertanyaan Bima.

“Sudah, jika nanti aku masuk terlalu jauh. Segera bangunkan ya Bim” ucap Maya. Bima hanya mengangguk.

“Yen, ora kuat ojo dipekso... koe wes ngerti resikone” (kalau, tidak kuat jangan dipaksa... kamu sudah tau resikonya) geram Kromosengkono yang tiba-tiba saja sudah berdiri diujung kamar Bima. Sontak keduanya menoleh dan tersenyum.

Maya mulai memejamkan matanya, mengatur nafas senatural mungkin. Pikirannya terfocus dengan Panji, dia ingin melihat kilasan apa yang sudah dilakukan oleh laki-laki itu.

Udara tiba-tiba saja menjadi dingin, terasa seperti ada yang menaruh es dikulit Maya yang terus saja menjalar dari kaki hingga kepala. Perlahan dia bisa merasakan dan melihat rumah Panji walau masih terlihat kabur. Maya terus saja berkonsentrasi.. Hingga...

Kini Maya tengah berdiri sisi samping ranjang Panji. Dia melihat laki-laki itu tengah meringkuk dengan badan menggigil. Sesaat tidak terjadi apa-apa, hingga masuklah Eny yang tengah berbicara kalau dia mau pergi keluar.

Adegan berganti... Panji beranjak menuju pintu, langkahnya terlihat sempoyongan. Saat membuka pintu dia mendapati ada seorang wanita dengan kebaya warna gelap.

Maya memperhatikan wanita itu, ada semacam asap hitam tebal yang terus saja menguar dari atas kepalanya.

Adegan berganti lagi, kini Panji meringkuk ketakutan. Dia melihat sosok hitam besar berbulu tengah menatapnya dari arah jendela.

Hingga ada suara gemerincing tapak kuda, seketika tubuh Maya merinding dengan hebat, walau dia tahu ini bukan kejadian saat ini. Tapi nafasnya terasa memburu, jantungnya berdebar dengan kuat.

Pintu kamar milik Panji terbuka tiba-tiba dengan suara keras. Kini Maya benar-benar ketakutan dia dengan jelas melihat sosok wanita anggun dengan kebaya berwana kuning dan selendang yang dislampirkan dikedua tangannya.

Bruaaakkkk.... tiba-tiba saja Maya terpental saat melihat mata sosok wanita itu.

Tersadar Maya sudah berada ditempat yang tidak dikenalinya. Banyak pohon-pohon jati besar yang tubuh disekitarnya.

Mengedarkan pandangan, Maya melihat didepannya ada sebuah rumah kayu kecil. Melangkah perlahan dia menuju ketempat tersebut, merasa ada sesuatu yang memanggilnya untuk kesana.

Belum juga sampai, kini dia mendapati ada seorang wanita yang tengah buru-buru berjalan kearah gubuk itu. Maya benar-benar curiga dengan wanita yang ada didepannya. Buru-buru dia melangkah lebih dekat.

Kini wanita itu tengah mengetuk pintu gubuk, dan keluar seorang perempuan tua yang sudah setengah bungkuk, mereka sedang membicarakan sesuatu.

“Wes oleh syarat e?” (sudah dapat syaratnya?) ucap perempuan tua dengan suara serak.
“Sampun, nyi”

“Yawes ayo mlebu” (Ya sudah ayo masuk) ujar perempuan tua itu sambil masuk kedalam rumah. Maya mengikuti, perasaannya tidak menentu, kecurigaannya semakin besar. Berfikir kalau wanita-wanita ini pasti ada hubungannya dengan kondisi Panji saat ini.

“Sak iki lakumu tinggal moro neng sisih segoro kono. Malem sebtu legi, paham?” (sekarang ini lakumu tinggal pergi ke sisi laut sana, malam sabtu legi, paham?) ucap suara perempuan itu.

Jantung Maya berdetak lebih keras, kepanikan muncul didalam dirinya. saat melihat wanita muda yang duduk besimpuh didepannya adalah wanita yang sama... yang dia lihat saat Panji tengah membuka pintu rumahnya.

Tiba-tiba saja Maya merasa ada yang menarik tubunya. Membuka mata dia melihat kepanikan tergambar jelas diwajah Bima.

Badan Maya penuh dengan keringat.
“Ada apa Bim?” tanya Maya penasaran saat melihat Bima tiba-tiba saja beranjak dan keluar dari kamar.

Menghela nafas, Maya mencoba mengembalikan kesadarannya dan segera menyusul Bima yang sudah berdiri ditaman belakang.

“Bim, ada apa?” ucap Maya lirih takut membangunkan orang tuanya.

“Ada yang datang Mbak” ucap Bima, namun baru kali ini dia melihat ada nada getir yang muncul dari ucapan Bima. Biasanya Bima selalu cuek saat ada sosok demit yang hadir disekitarnya.

Benar saja, baru beberapa detik Bima terdiam, kini mereka mendengar sayup-sayup suara gemerincing tapak kuda.

“Apa itu Bim?” ucap Maya ketakukan. Bima hanya menggeleng. Suara itu semakin kencang sampai mereka menoleh kearah pintu utama. Disanalah suara itu berhenti.

Tidak ada seorangpun yang berani bergerak, kini dengan jelas. Bima mendengar suara pintu yang terjeblak terbuka dengan keras.

Satu sosok yang membuat dirinya merasa gentar, tengah berjalan anggun. Sosok perempuan dengan baju kebaya berwana kuning dengan selendang yang dislampirkan dikedua tangannya.

Tidak ada senyum dari wanita itu, walau wajahnya terlihat datar. Tapi tatapannya benar-benar menghunus. Bahkan Sosok Kromosengkono yang sedari tadi ada didekat Bima kini sudah pergi entah kemana.

Sosok itu kini sudah berdiri didepan Bima dan Maya. Lama dia memandangi mereka berdua.
“Cah Bagus, nak edok sek ayu... Aku akan wes ngei eruh karo koe wong loro. Ojo meluk-meluk opo sek dudu urusan mu”

(Anak ganteng, anak perempuan yang cantik... Aku kan sudah memberi tahu sama kalian berdua. Jangan ikut-ikut apa yang bukan menjadi urusanmu) ucapnya sambil tersenyum, bukan senyum lembut tapi senyum penuh dengan ancaman.

Bima dan Maya terdiam, mereka benar-benar tidak bisa berkutik sama sekali. Tangan kanan Bima mulai terasa panas.

Seketika sosok itu melihat kearah tangan kanan Bima. Dia tersenyum dan berkata,
“Barang sek ono neng tanganmu durung mesti iso jamin slamete keluargamu. Tak kei pilihan jarno wong-wong kae dadi ingon-ingonku. Opo tak osak asik panggonanmu”

(Barang yang ada ditanganmu belum tentu bisa menjamin keselamatan keluargamu. Aku kasih pilihan biarkan mereka jadi peliharaanku. Apa aku buat berantakan tempatmu) ujar wanita tersebut masih dengan senyum yang mengerikan.

“S—sopo koe?” ucap Bima gagap, entah dari mana keberanian itu muncul didalam dirinya.

“Ora penting aku sopo, pisan meneh tak omongi cah bagus, aku ijeh delok getih sek ngalir neng awakmu. Makane aku ora sembarangan jumuk nyawamu... koyo manungso sek mau awan arep melu-melu urusanku”

(tidak penting aku siapa, sekali lagi aku beri tahu anak ganteng, Aku masih melihat darah yang mengalir dibadanmu. Makanya aku tidak sembarangan mengambil nyawamu.. Seperti manusia yang tadi siang ikut campur dengan urusanku) jawab wanita itu yang langsung saja menghilang dan meningalkan bau bunga sedap malam yang begitu pekat.

Seketika tubuh Bima melemas, dia tahu apa yang dimaksudkan dengan ucapan demit yang ada didepannya ini. Sedang Maya sudah merosot terduduk dilantai. Dia benar-benar ketakutan sekarang.

“Bim mau kemana” tanya Maya saat melihat Bima berjalan menjauh darinya.
“Sebentar” hanya itu yang Bima ucapkan.

Beberapa saat Maya menunggu, memejamkan matanya. Mencoba mengatur nafas dan detak jantungnya.

“Mbak?” panggil Bima yang sudah ada disamping Maya. Membuka mata, Maya mendapati Bima tengah jongkok disampingnya dan memegani handpone miliknya.

“Kenapa?” tanya Maya khawatir. Tidak menjawab Bima hanya menyerahkan handphone miliknya,

“Bim... Ki Suratno meninggal barusan. Dia lari dari bangsal dan menabrakan dirinya ke mobil yang tengah melaju kencang dijalanan” mata Maya membulat seketika saat memebaca pesan text yang dikirimkan oleh Panji.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close