Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LABUH MAYIT (Part 3) - Keputusan


Part 3 - Keputusan

Hari-hari telah berlalu, semenjak Bima mengalami mimpi tentang keluarganya dan Panji. Sudah beberapa hari ini pula Bima tidak melihat Panji datang ke sekolah.

Awalnya memang Bima tidak begitu peduli dan mencoba melupakan semuanya. Saat ini fokusnya hanya terus berlatih agar segera bisa membawa pulang Pak Arif ke alam mereka.

“Kenapa Bim? Masih mikirin soal mimpi itu?” ucap Maya yang sudah duduk disebelah Bima.

“Iya Mbak, entah kenapa semenjak aku memimpikan kejadian itu, perasaanku menjadi tidak tenang. Apalagi ditambah dengan perkataan Kromosengkono kalau mereka sudah menyadari siapa aku sebenarnya” jawab Bima gusar.

“Aneh ya Bim, padahal kita sendiri juga tidak tahu siapa itu Sangaraja. Namun justru mereka sendiri yang malah mengincar kita” kata Maya, sambil menghela nafas panjang.

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Bima. Memang benar apa yang diucapkan oleh Maya. Bahkan Bima sendiri juga tidak tahu apa yang dimaksud dengan darah Sangaraja.

“Apa sebaiknya kita pastikan kondisi Panji, Mbak?” tanya Bima sambil memandang kearah sepupunya.

“Kamu yakin Bim? Kali ini tidak ada yang membantumu. Sedang aku sendiri juga tidak bisa berbuat banyak. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan mu? -

- Terlebih dengan semua penglihatan yang kamu lihat itu berbeda dengan apa yang menimpaku dulu” kata Maya yang mulai merasa khawatir dengan keputusan Bima.

“Bukannya kamu sendiri Mbak yang bilang kalau tidak bisa melihat temanmu dipermainkan oleh mereka?” tukas Bima.

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Maya, cukup lama wanita itu memandangi Bima dengan penuh pertimbangan.

“Kita coba pergi kerumah Panji siang ini, Bim” kata Maya sambil beranjak pergi menuju bangku yang ia tempati.

Tersenyum... Bima hanya mengangguk. Akhirnya dia bisa mengajak Maya untuk mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Panji.

Entah kenapa dia merasa semua ini ada kaitannya dengan pusaka yang tertanam di tangan kanannya. Terlebih memang Krosomosengkono juga meminta untuk mencari tahu semua kejadian ini menggunakan kemampuan yang Maya miliki.

“Ah andai Pak Arif disini, semua akan terasa lebih mudah” keluh Bima sambil memandang keluar kearah pohon tanjung.

***

Siang sepulang sekolah, Bima dan Maya langsung saja memutuskan untuk pergi ke rumah Panji. Sedari awal memang semestinya Maya tidak mengijinkan Bima untuk mengendarai motornya.

Bukan perkara Bima tidak bisa mengendari sepeda motor, akan tetapi Bima terlalu brutal dijalanan. Hampir saja Maya kehilangan kepalanya karena cara mengendarai Bima yang diluar nalar.

“Bim, pelan... astaga” teriak Maya yang shock saat Bima melajukan motornya begitu kencang.

“Uda tenang aja... Pegangan yang kenceng, dari pada kamu yang terbang Mbak” balas Bima sedikit mengencangkan suaranya karena angin yang menderu-deru ditelinganya.

Cittttt.... Terdengar suara decitan ban motor ketika Bima tiba-tiba saja mengerem kendaraannya saat masih berada dikecepatan tinggi.

“Sudah sampai Mbak,... Kamu kenapa?” ucap Bima bingung saat melihat wajah pucat Maya.

Dengan gemetar Maya turun pelan-pelan dari jok motor yang baru saja dia tumpangi.
“Mau bikin aku mati Bim?” ucap Maya lemas.

“haha, naik Kromosengkono bisa lebih cepat Mbak” kekeh Bima saat tahu sepupunya gemetaran karena ulahnya saat mengendarai motor.

Tanpa menunggu jawaban dari Maya, Bima langsung beranjak menuju gerbang rumah Panji. Sejenak Bima memandangi rumah itu dan mencoba kembali merasakan jika ada sesuatu yang aneh.

Namun tetap saja Bima tidak melihat maupun menemukan sesuatu yang menggkhawatirkan. Memantapkan hatinya, Bima segera mendorong gerbang dan masuk kedalam pekarangan rumah milik keluarga Panji.

“Bim, tidak apa-apa kita langsung masuk kedalam?” tanya Maya yang sudah berada disamping Bima.

“Kalau diusir yang tinggal pulang Mbak” jawab Bima cuek sambil terus melangkah menuju kearah pintu utama.

Tok...tok...tok... “Assalamualaikum...” salam Bima, sambil mencoba untuk mengetuk rumah milik Panji.

“Sepertinya Panji sedang pergi Bim, kita pulang aja sekarang” kata Maya sambil celingukan memandang kearah sekitar, sesekali badannya juga bergidik ngeri.

“Waalaikumsalam” terdengar suara Panji dari dalam rumah. Bima sedikit lega saat mendengar suara temannya yang sudah beberapa hari ini tidak dijumpainya. Namun saat mereka melihat kondisi Panji. Keduanya melongo dan tidak menyangka Panji mendapatkan penyakit seperti ini.

“Panji...” pekik Maya kaget saat melihat kondisi Panji yang sudah berubah semenjak terakhir kali mereka bertemu. Sedang Bima hanya terdiam dan terus menatap wajah dan tubuh temannya itu.

“Kamu kenapa, Ji?” tanya Maya, Panji hanya menggelengkan kepalanya dan terus mencoba menggaruk-garuk bagian tubuhnya yang sudah penuh dengan benjolan yang bernanah.

“Sejak kapan?” tanya Bima, saat mereka sudah duduk di sofa ruang tamu.

“Semenjak kejadian disekolah, malamnya badanku panas dan rasanya gatal sekali. Entah, aku juga tidak tahu, tapi pagi harinya semua sudah seperti ini” jawab Panji dengan muka lesu.

“Coba Ji, ceritain. Kenapa bisa jadi seperti ini” kata Bima. Sesekali Maya dan Bima berjengit saat melihat kondisi tubuh dari temannya itu.

Awalnya Panji nampak ragu, kadang dia melihat kearah belakang dengan pandangan yang kurang nyaman. Hal itu justru membuat Bima bingung, sedangkan Maya seperti terpaku melihat sesuatu.

“Mbak?” tanya Bima, tapi Maya menggeleng meminta Bima untuk diam.

Panji terdiam, dia tidak langsung berbicara. Jelas sekali Bima melihat ada sedikit air mata yang menggenang diujung kedua bola matanya.

“Ji...” ucap Bima mencoba menguatkan temannya.

“Tepat setelah kalian pulang, aku sudah bilang kalau semua badanku terasa tidak enak. Bahkan suhu tubuhku juga naik secara drastis. Awalnya aku berpikir kalau itu cuma kecapean, -

dan akan hilang dengan sendirinya, tapi bahkan setelah aku meminum obat dan tidur sampai sore... tidak ada bedanya sama sekali bahkan suhu tubuhku semakin naik...” ucap Panji sambil terus saja mencoba menggaruk badannya.

***

Fashback
Kenangan Panji

“Ji, sudah sehat belum?” tanya Eny saat sudah berada didalam kamar Panji. “Sudah mendingan Bu, tadi sudah minum obat” jawab Panji parau.

“Ya sudah, Ibu pergi ke tempat Budhe dulu ya, nanti kalau laper makanan sudah Ibu siapkan.” Kata Eny sambil meningalkan tempat tidur anaknya. Sedang Panji hanya mengiyakan dengan sedikit mengerang.

Panji yang mendengar ucapan Ibunya hanya tersenyum kecut, dia berharap mendapatkan perhatian lebih, tetapi saat dia sakit pun tetap sama saja. Mendengar suara kendaraan yang keluar meninggalkan rumah, Panji kembali meringkuk diatas kasur.

Tok..tok..tok... mata Panji kembali terbuka, jelas dia mendengar suara ketukan dari pintu depan. Enggan sekali rasanya untuk beranjak, terlebih kepala Panji juga semakin terasa berat.

Namun suara ketukan itu semakin lama semakin kencang. Mau tidak mau Panji beranjak, berniat melihat siapa gerangan yang bertamu di waktu magrib seperti ini.

Melangkah sempoyongan, Panji berjalan pelan-pelan. Nampak sekarang dia bisa melihat siluet seorang perempuan yang tengah berdiri didepan teras rumahnya.

Tidak mau membuat tamunya menunggu lebih lama, Panji bergegas membuka pintu. Kini jelas sekali didepan Panji nampak seorang wanita seumuran Ibunya tengah berdiri menatap dirinya. Wanita dengan rambut tergerai, serta menggunakan pakaian kebaya berwarna hijau.

“Maaf Bu, cari siapa ya?” tanya Panji memastikan kalau memang wanita itu tamu dirumahnya. Tidak menjawab pertanyaan Panji, justru wanita itu tersenyum dan berbalik dan melangkah pergi keluar menuju jalan raya.

Sempat Panji merasa kebingungan, tapi rasa sakit dikepalanya benar-benar membuat Panji tidak bisa berfikir. Bergegas dia kembali ke kamar dan segera merebahkan badannya.

Baru saja Panji tertidur, entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja Panji tersentak bangun. Tubuhnya sudah penuh dengan keringat. Sejenak Panji ingin beranjak, mengambil minum yang ada disamping tempat tidurnya.

Namun, seketika tubuhnya terpaku ada seseorang yang tengah mengamatinya dari luar. Jelas sekali itu adalah sosok bayangan seseorang. Lama Panji melihat sosok tersebut, awalnya dia mengira itu hanya imajinasinya.

Tapi semakin lama Panji melihat, banyangan itu semakin memadat dan terus saja membentuk menjadi sebuah sosok yang belum pernah Panji lihat selama ini.

“Astagfirulloh...” ucap Panji sambil mengusap-usap matanya, namun tetap saja sosok tersebut masih terus memandangai Panji. Sosok hitam berbulu dengan 8 tangan serta taring yang tumbuh tidak beraturan disekitar mulutnya.

Melihat itu, sontak Panji langsung merebahkan dirinya kembali dan menutupi tubuhnya dengan selimut hingga kepala. Badannya bener-benar gemetar, bukan karena penyakit yang sedang dideritanya tapi karena rasa takut yang tidak bisa dikendalikan olehnya.

“Bu... Ibu...” Panggil Panji mencoba untuk mencari pertolongan. Tidak ada jawaban, rumahnya terasa begitu sepi.
“Pakk... Bapaakkk” sekali lagi Panji mencoba untuk memanggil orang tuanya. Namun tetap sama saja, tidak ada jawaban.

Kini Panji hanya bisa meringkuk dibawah selimut, pikirannya benar-benar kacau. Terlebih suara geraman dari mahkluk itu juga tak kunjung hilang. Ingin rasanya dia lari, tapi tubuhnya benar-benar terasa lemas.

***

“Dan tiba-tiba semua benjolan itu muncul, setelah kamu melihat sosok itu, Ji?” tanya Maya, saat Panji berhenti menceritakan apa yang tengah dilaluinya kemarin. Panji menggeleng,

“Tidak, setelah itu aku seperti tertidur kelelahan, tapi aku kembali terbangun karena mendengar suara riuh gemerincing tapak kuda. Aku tidak berani melihat apa yang ada diluar, sudah cukup dengan sosok yang terus mengamatiku dari arah jendela. -

Tapi tiba-tiba saja pintu kamarku terbuka dengan keras. Kaget... ku kira itu adalah orang tuaku, namun ternyata disana sudah berdiri sosok wanita yang sangat cantik namun begitu mengerikan” terang Panji sambil menerawang mengingat-ingat kejadian yang menimpanya.

“Wanita? Seperti apa wanita itu Ji?” tanya Bima yang mulai merasa khawatir, entah kenapa saat mendengar cerita dari Panji. Beberapa kali dia merasakan panas di tangan kanannya.

“Wanita dengan pakaian kuning, dengan rambut disanggul serta mata yang berwana kemerahan” ucap Panji bergidik.

“lalu? Apa yang dilakukan oleh wanita itu?” Tanya Maya yang juga sudah mulai diliputi rasa khawatir didalam hatinya. Jelas sosok yang mendatangi Panji bukan sosok sembarangan.

“Dia berjalan kearahku dan mengusap-usap kepalaku, aku sama sekali tidak bisa bergerak. Setelah itu seketika menjadi gelap dan paginya keadaanku sudah seperti ini” jawab Panji.

Bima langsung menghenyakan tubuhnya ke punggungan sofa. Pikirannya benar-benar kalut, ketakutannya benar-benar terjadi. Apa yang Bima lihat dan mimpikan memang menjadi sebuah peringatan untuknya.

Tidak perlu orang pintar untuk menggabungkan semua ini, sudah jelas kalau memang sedang ada yang berniat mencelakai keluarga Panji.

***

“Aku penasaran dengan wanita yang Panji katakan Mbak” ucap Bima saat mereka sudah ada ditaman belakang rumah Pakdhenya. Sesekali Bima tersenyum simpul, mengingat betapa mereka sibuk memikirkan keselamatan Maya ditempat ini.

“Wanita yang mana Bim?” tanya Maya, mencoba untuk mengikuti arah pembicaraan Bima.

“Yah, ke dua wanita yang menemui Panji. Entah kenapa setiap kali aku teringat dengan ke dua wanita yang kulihat di pantai, terus saja aku merasakan Cempoko Kuning selalu bereaksi. Apa memang semua ini ada hubungannya?” kata Bima, sembari menghisap rokok mencoba untuk mencari jawaban dari semua peristiwa yang dia alami.

“Aku tidak tahu Bim, sekarang aku hanya bisa menduga. Saat kau berusaha untuk mengecek apa yang sedang terjadi dirumah Panji... -

Aku dengan jelas melihat energimu keluar dan merambat mengelilingi rumah. Aku berfikir mungkin itulah yang menyebabkan kamu mendapatkan peringatan” ucap Maya

“Lalu?” tanya Bima yang masih memandangi sepupunya dengan serius. “Ya itu semua pilihanmu Bim. Bagiku, kau yang sudah menantang mereka... -

Kalau semua sudah memperingatkanmu dan kau masih mencoba untuk mencari tahu, brarti sudah jelaskan kan?” ucap Maya sambil menolehkan kepalanya kearah pohon mawar yang ada ditaman itu.

Bima terdiam dengan apa yang diucapkan Maya. Disatu sisi dia tidak tega dengan kondisi Panji saat ini, akan tetapi dia juga merasa penasaran dengan dengan semua rentetan kejadian yang diterimanya akhir-akhir ini.

“Simbah” ucap Bima lirih.
“Kenapa dengan Simbah Bim?” tanya Maya yang mulai keheranan sekaligus waspada dengan Bima. Perasaannya mengatakan kalau Bima sudah memutuskan sesuatu.

“Simbah pasti tahu sesuatu, bahkan aku tahu sendiri... saat aku berhadapan dengan Ki Ganang. Dia yang mengembalikan Cempoko Kuning kepadaku. -

Aneh kan dengan adanya peristiwa yang kualami dan tiap kali aku mengingatnya pasti Cempoko Kuning selalu bereaksi” ucap Bima yang langsung mengangkat tangan kanannya.

Tiba-tiba saja udara sekitar menjadi sesak, angin dingin mulai hadir disekitar mereka. Maya tersentak dengan perubahan medan energi yang terjadi disekitarnya.

Dia tahu pasti Bima sedang melakukan sesuatu... Benar saja, didepan mereka saat ini sosok Kromosengkono sudah hadir dengan rupa wujud buto yang mengerikan. Meskipun Maya sudah sering melihat sosok tersebut tapi tetap saja tubuhnya gemetar saat sosok itu hadir.

“Ono opo le?” (ada apa Nak?) geram Kromosengkono yang tengah berdiri menatap Bima dan Maya bergantian.

“Bisakah kau membawa kami bertemu dengan Simbah?” ucap Bima lantang tanpa memperdulikan ketakutan Maya disampingnya.
“Kami? Siapa maksudmu dengan kami Bim?” tanya Maya kebingungan.

“Ya aku sama kamu Mbak, emang siapa lagi?” jawab Bima sambil nyengir tidak berdosa. Kromosengkono tidak langsung menjawab, beberapa saat dia terdiam dan menutup matanya. Seolah sedang berkomunikasi dengan sesuatu yang tidak nampak di mata Bima.

“Engko bengi lakokno tirakat koyo sek wes tak ajarno” (Nanti malam, lakukan tirakat seperti yang sudah kuajarkan) kata Kromosengkono yang langsung saja menghilang dari pandangan Bima dan Maya.

“Gila kamu Bim!!!” ucap Maya sambil beranjak pergi meninggalkan Bima. Tersenyum... Bima tahu sebenarnya sepupunya itu juga sudah lama penasaran dengan sosok Simbah yang dulu pernah menemuinya setahun yang lalu.

***

Malam sudah datang, Bima memutuskan untuk menginap ditempat Budhenya. Sedari sore Maya selalu mengoceh untuk memikirkan kembali keputusan yang dia buat,-

tapi bukan Bima namanya kalau sudah berkeinginan. Pasti sebisa mungkin dia akan selalu mencoba untuk mendapatkan apa yang dia mau, terlebih ini menyangkut keluarganya dan Panji.

“Sekali lagi Bim, apa kau sudah mantap dengan pilihanmu?” ucap Maya memandang serius Bima. Kini mereka berdua sudah berada di kamar yang Bima tempati setahun lalu.

“Serius mbak, kalau memang Mbak Maya tidak mau ikut, aku tidak memaksa” ucap Bima tenang.

Bima sadar, kekhawatiran yang sepupunya rasakan. Dia tidak mau memaksa Maya, terlebih apa yang akan dilakukannya sangat beresiko nantinya. Maya terus saja memandang Bima, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.

“Yah, aku sudah berhutang nyawa kepadamu. Setidaknya aku bisa mencegahmu untuk berbuat bodoh nantinya... Mari kita lakukan” ucap Maya sambil menghembuskan nafas panjang dan kasar. Bima yang mendengar itu hanya terkekeh dan langsung duduk bersila.

Kini mereka saling berhadapan, Bima sudah berkonsentrasi. Beberapa waktu dia tidak merasakan apa-apa. Namun lama kelamaan Bima hanya mendengar tarikan nafas dan detak jantung yang ada didalam dadanya.

Suasana semakin terasa senyap, angin dingin mulai berhembus. Sesekali Bima merasakan kulitnya seperti tersentuh es batu yang sangat dingin.

Hingga dia merasakan sensasi yang amat dia kenali, sebuah tarikan tarikan kecil di ujung kepalanya... Tiba-tiba saja ada sesuatu yang menariknya kuat kebelakang.

“Buka matamu” ucap suara yang sudah Bima kenali. Membuka matanya, dia saat ini tengah berada di pekarangan gubuk Simbah. Dilihatnya Maya juga sudah berdiri dan memandanga sekeliling.

Ada sesuatu yang jatuh ke perut Bima, sebuah kenangan saat sosok laki-laki itu tengah berdiri didepan amben yang dulu sering mereka gunakan.

Sekali lagi Bima memandang kesekitar, keadaan disini tidak banyak berubah. Masih banyak penduduk Alas Lali Jiwo yang bersliweran tapi tidak berani mendekat kearah gubuk Simbah.

“Ayo...” ucap Kromosengkono yang sudah berjalan beberapa meter didepan Bima dan Maya. Tidak mau berlama-lama, akhirnya mereka berdua berjalan mengikuti Kromosengkono.

“Simbah sedang pergi?” tanya Bima saat mereka sudah duduk diamben depan gubuk.

“Ora ngerti, ditunggu wae” (Tidak tahu, ditunggu saja) ucap Kromosengkono. Sedang Maya sedari tadi hanya diam dan terus saja memperhatikan sekelilingnya.

Lama mereka menunggu, bahkan tidak ada satupun dari mereka yang berani mengetuk pintu gubuk milik Simbah.
“Wes sue le do ngenteni?” (Sudah lama kalian menunggu) tiba-tiba saja terdengar suara.

Mendengar itu Bima yang sedang melamun langsung melompat jatuh sedang Maya menjerit dan langsung berdiri menoleh ke sumber suara.

“La, ngopo do kanget koyo weduh demit wae” ucap Simbah terkekeh melihat kelakuan Bima dan Maya. Sedang Bima hanya mendengus mendengar ucapan Simbah.

“Simbah...” kata Bima yang langsung menghampiri sosok tersebut. Melihat itu Simbah tersenyum dan mengusap-usap kepala Bima. Sedangkan Maya masih terus diam, dia bingung apa yang harus dilakukannya.

“Rene ndug, rasah wedi” (Sini nak, tidak usah takut) ucap Simbah sambil melambaikan tangannya kepada Maya. Mendengar itu Maya langsung melangkah dan mencium punggung tangan Simbah.

“Wes do jagongan disik, tak mlebu disik” (sudah, kalian duduk dulu, aku masuk dulu) kata simbah yang langsung beranjak masuk kedalam rumah.

“Wes iki diombe disik, sue to ora ngombe ne wedang bening e simbah” (wes iki diombe disik, sudah lama kan tidak minum air beningnya simbah) kata Simbah yang sudah keluar dari dalam gubuk dan membawa kendi ditanganya.

Tidak berlama-lama Bima langsung saja menerima air tersebut dan langsung meminumnya. Sedang Maya yang baru pertama kali melihat itu hanya diam memandang Bima dengan expresi khawatir di mukanya.

“Kenapa Mbak? minuman simbah itu enak, bisa bikin badan seger dan kuat” ucap Bima terkekeh sembari menyerahkan kendi tanah liat itu kearah Maya.

Sempat ada keraguan didalam batin Maya, tapi melihat muka Bima yang bahagia, hatinya tiba-tiba saja mantap menerima kendi berisikan air bening tersebut.

“Gimana enak kan Mbak?” ucap Bima yang terus saja memandang. Sejenak Maya terdiam, diam mengecap-ngecapkan lidahnya seolah sedang merasakan sesuatu.

“Aneh, air ini bening tapi rasanya manis, apalagi ada pendar warna keemasan yang muncul didalamnya” ucap Maya sambil terus memutar-mutar kendi dihadapannya.

Mendengar ucapan Maya justru Bima yang kebingungan dia sama sekali tidak melihat pendar cahaya yang dimaksudkan oleh sepupunya itu. Bima menoleh kearah Simbah.

“Ora popo, koe ro dulurmu ya jelas bedo to le, siji iso gelutan siji iso nambani” (tidak apa-apa, kamu sama saudaramu yang jelas berbeda to nak, satu bisa berkelahi satu bisa menyembuhkan) kata Simbah terkekeh melihat expresi Bima yang kebingungan.

“Wes kui engko iso di omongke, sak iki opo keperluan mu moro rene” tanya Simbah yang sudah duduk diamben. Bima dan Maya sejenak saling tatap, sedang Kromosengkono masih diam berdiri dibelakang Bima.

“Ngapunten Mbah, kulo ajeng tanglet...” (Maaf Mbah, saya mau tanya...) ucap Bima yang langsung saja menceritakan semua kejadian yang dia alami. Tentang bagaimana dia melihat sosok wanita dengan energi yang begitu besar sampai rasa panas yang muncul di tangannya.

“Kabeh wes memang dalan e Gusti le, ora iso ono sek nyegah utowo nglancarke... Getih sek ana neng jero awakmu kui due sejarah dewe. Sangaraja kui ora sembarangan uwong, nek wes wayah e koe ngerti bakal ngerti. -

Sak iki perkorone ora kui, tapi yen koe emang niat nulungi koncomu koe kudu iso gawe Cempoko Kuning metu seko pusoko sek mbok gowo”

(Semua sudah kehendak Tuhan nak, tidak ada yang bisa nyegah atau melancarkan... Darah yang ada didalam dirimu itu punya sejarah sendiri. Sangaraja bukan sembarangan orang, kalau sudah waktunya kamu akan tau. Sekarang masalahnya bukan itu, tapi kalau kamu memang berniat menolong temanmu kamu harus bisa membuat Cempoko Kuning keluar dari pusaka yang kamu bawa) jelas simbah dengan senyum khasnya.

“Tapi mbah, pripun carane ben kulo saget gawe Cempoko Kuning keluar?” (Tapi Mbah, bagaimana caranya biar saya bisa membuat Cempoko Kuning keluar) tanya Bima kepada Simbah, yang kini sudah duduk bersila didepannya.

Simbah terdiam, dia memandang lurus mata Bima tanpa berkedip sedikitpun. Seolah sedang membaca sesuatu yang tidak Bima ketahui.

“Kromosengkono...” panggil Simbah sambil memalingkan mukanya kearah Kromosengkono.

“Njih Mbah, sendiko dawuh” ucap Kromosengkono yang langsung saja berjalan kearah Bima. Tanpa ada peringatan dan aba-aba tiba-tiba saja dia menyentuh pundak Bima.

Sekali lagi Bima merasakan sensasi terhimpit benda padat yang menyesakkan. Saat membuka mata dia sudah berpindah ke halaman gubuk Simbah.

Bima memandang Kromosengkono, tidak paham apa maksud Simbah meminta Kromosengkono untuk membawanya pindah ke pekarangan gubuk.

“Ada apa?” tanya Bima melihat lurus kearah Kromosengkono. Bukannya menjawab justru Kromosengkono tersenyum menyeringai.

Seketika Bima sadar, apa tujuan Simbah. Tanpa menunggu komando, langsung saja dia memusatkan energi dikedua tangannya.

“Bagus, didalam pertarungan tidak pernah akan ada aba-aba. Sudah setahun aku melatihmu. Saatnya kini menguji kemampuanmu Bim” ujar Kromosengkono yang juga sudah bersiap.

Bima tersenyum, jantungnya berdebar dengan keras. Sudah lama sekali Bima ingin memukul kepala Kromosengkono. Entah kenapa dia selalu merasa sebal saat mulut pedas Kromosengkono mengucapkan sesuatu yang menyebalkan.

“Kau takut Bim?” ucap Kromosengkono mengejek.

“Maumu...” ujar Bima yang terus saja memandang Kromosengkono. Tersenyum, tiba-tiba saja Kromosengkono sudah menghilang. Bima menajamkan batinnya.

Brukkkk.... Benar saja, untung Bima sudah belajar menajamkan batinnya. Sesuai perkiraannya pasti Kromosengkono akan menyerang dari belakang. Beruntung Bima langsung sigap menghindar. Walau dia harus mundur beberap langkah karena efek serangan yang diberikan oleh Kromosenkono.

“Kau tau, itu curang... aku tidak pernah bisa berpindah tempat sepertimu. Apa ini yang biasa dilakukan demit seperti kalian. Selalu bermain licik” ucap Bima mencoba memprovokasi Kromosengkono.

“Semua sah dalam perang” ucap Kromosengkono yang masih tersenyum menyeringai.

Kali ini giliran Bima yang mencoba menyerang Kromosengkono. Keduanya saling serang dengan kekuatan yang mengerikan. Bahkan pohon-pohon yang terkena serangan mereka tiba-tiba saja langsung terbakar dengan hebat.

Sementara itu...

“Astaga...” ucap Maya yang melongo melihat kekuatan yang dimiliki Bima dan Kromosengkono.

“Kenopo ndug? Ojo kagetan yen wes neng kene” (kenapa nak, jangan kaget kalau sudah disini) kata Simbah yang berdiri disamping Maya.

“Njih Mbah, namung kulo mboten ngertos. Yen Bima saget gelutan” (ya Mbah, tapi saya tidak tahu. Kalau Bima bisa berkelahi) ucap Maya yang masih saja terbengong.

“Awakmu ya iso ndug, tapi dudu Kromosengkono sek bakal ngajari koe. Sak iki tak ajari carane ben koe iso delok wong-wong sek due niat elek marang wong lio”

(dirimu juga bisa nak, tapi bukan Kromosengkono yang akan mengajarimu. Sekarang Simbah ajari caranya biar kamu bisa melihat orang-orang yang punya niat jelek kepada orang lain) ucap Simbah yang langsung meminta Maya untuk duduk diamben.

Maya terpukau, dia sejenak memandang Simbah.
“Kenopo ndug? Rene tak omongi sitik” (kenapa nak? Sini kukasih tau sedikit) ucap Simbah yang menepuk-nepukan tangannya ke amben meminta untuk Maya segara duduk disebelahnya.

“Kabeh manungso kui due kelebihan, ora ana sek podo... sek ana kui mirip. Dadi yen Bima ajar kanuragan emang dewe e due kelebihan gelutan. Yen koe mekso sinau kanuragan yo iso neng ora bakal ngluwihi sedulurmu”

(Setiap manusia itu punya kelebihan, tidak ada yang sama... yang ada itu mirip. Jadi kalau Bima belajar ilmu kanuragan ya memang dia punya kelebihan untuk bertarung. Kalau kamu memaksa belajar ilmu kanuragan ya bisa, tapi tidak akan bisa melebihi saudaramu) jelas Simbah yang seolah mengerti pertanyaan yang ada dikepala Maya.

“Njih Mbah, Maya manut mawon” (Ya Mbah, saya ikut saja) ucap Maya yang masih merasa sungkan dengan sosok yang ada disampingnya itu. Simbah terkekeh.

“Emang lanang ro wadon kui bedo. Sak iki jagong silo. Terus rasakano opo wae sek ono neng sekitar kene. Tenangno awakmu benke kabeh ngalir seko ati tekan pikiran”

(memang laki-laki dan perempuan itu berbeda. Sekarang duduk bersila. Terus rasakan apa saja yang ada disekitar sini. Tenangkan pikiranmu biarkan semua mengalir dari hati sampai ke pikiran) jelas Simbah.

Maya mulai melakukan apa yang Simbah minta. Awalnya dia tidak merasakan apa-apa. Namun tiba-tiba saja semua berubah. Dia mendengar dan melihat didalam kepalanya semua yang terjadi disekitarnya. Semua teriakan dan amarah. Kebahagiaan dan kesedihan bercampur menjadi satu.

“Sak iki focus karo opo sek pengen mbok delok. Jarno kabeh sek ora pengen mbok delok. Rasakno sampe atimu iso ngrasak ke sek pengen mbok ngerteni”

( Sekarang fokus dengan apa yang ingin kamu lihat. Biarkan semua yang tidak ingin kamu lihat. Rasakan sampai hatimu bisa merakan apa yang ingin kamu ketahui) ucap Simbah.

Maya mencoba untuk memfokuskan keinginannya untuk mengetahui apa yang Bima rasakan. Melihat apa yang ingin Bima lakukan. Perlahan dia bisa melihat Bima yang sedang bergerak lincah menghindari serangan demi serangan yang dilontarkan oleh Kromosengkono.

Bahkan beberapa kali Bima juga membuat serangan yang mematikan. Lebih jauh lagi Maya sekarang merasakan kegigihan yang ada didalam batin Bima. Namun tiba-tiba saja semua berubah...

Kini Maya sedang berdiri diatas pasir,... kebingungan dengan apa yang sedang terjadi. “rasah sumelang” (Tidak usah khawatir)

“Simbah?” ucap Maya saat mendengar suara Simbah. Kini dia mengedarkan pandangannya. Tidak ada seorangpun yang ada disana. Pantai itu benar-benar sepi.

Maya berjongkok, mencoba mengambil pasir dengan tangannya. Jelas dia bisa merasakan butiran pasir yang menggesek kulit telapak tangannya. Duaarrrr... Seketika Maya menoleh, jauh didepannya kini dia melihat... Sebuah pertarungan...

Buru-buru dia melangkah. Kaget dengan apa yang dia lihat... Bima sedang berdiri dengan satu sosok cantik dan dihadapannya ada sosok Kromosengkono, Banaspati serta Pak Arif yang tergeletak tidak sadarkan diri.

Menarik nafas dalam-dalam, Maya sudah berada diamben gubuk Simbah. Nafasnya memburu, sesekali dia melihat Bima yang tengah menikmati pertarungannya dengan Kromosengkono.

“Mbah?” ucap Maya lirih, matanya mulai memanas.

“Kui tugasmu jogo dulurmu ben ora salah dalan” (itu tugasmu menjaga saudaramu biar tidak salah jalan) ucap Simbah yang langsung bangkit dan kembali melihat Bima bertarung dengan Kromosengkono.

“Ngapunten Mbah, kulo kudu pripun?” (maaf Mbah, saya harus bagaimana) ucap Maya saat sudah berada disamping simbah.

“Koe engko bakal ngerti opo sek kudu mbok lakoni. Simbah ora iso ngei ngerti kabeh. Getih sek ana neng jero awakmu karo Bima kui iso gawe tentrem tapi yo iso gawe ciloko”

(kamu nanti akan tau apa yang harus kamu lakukan. Simbah tidak bisa memberi tahu semua. Darah yang ada didalam dirimu dan Bima itu bisa membuat tentram tapi juga bisa membuat cilaka) ujar Simbah.

Maya terdiam, dia memikirkan apa yang barusan dia lihat.
“Nopo niki enten hubungan e kalian demit sek gawe Panji ciloko Mbah?” (apa ini ada hubungannya dengan demit yang membuat Panji cilaka Mbah?) tanya Maya yang masih saja menatap simbah.

“Kabeh ana hubungan e, sengojo koe tak jak mrene ben putuku wedok iso jogo sedulur e” (semua ada hubungannya, sengaja kamu aku ajak kesini biar cucu perempuan ku bisa menjaga saudaranya) ucap Simbah yang langsung saja menghilang dari pandangan Maya.

Tersentak... Maya hanya bisa menghela nafas. Sedari awal memang dia sudah curiga, semenjak pertemuannya dengan simbah setahun lalu pasti ada sesuatu yang memang berkaitan antara dirinya dan Bima.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close