Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LABUH MAYIT (Part 2) - Sebuah Peringatan

“Koe sopo cah bagus, panggonan mu ora neng kene. MULIH!!!” (kamu siapa anak ganteng, tempatmu bukan disini. PULANG!!!) terdengar jelas sekali bisikan suara seorang perempuan.

Mendengar itu Bima langsung membuka matanya. Kini nampak sdengan jelas ada sesosok perempuan dengan pakaian jawa yang sederhana tengah mendelik menatapnya.

“D—dimana ini? Siapa kamu?” tanya Bima.
Tidak menjawab pertanyaan Bima, justru sosok tersebut berjalan menjauh, mendekati bibir pantai. Bima mencoba mengejar, namun sosok tersebut sudah hilang ditelan deburan ombak.

Sekali lagi Bima mengedarkan pandangannya. Tersentak, tiba-tiba saja dia merasakan tangan kanannya seperti sedang ditempeli bara api yang sangat panas.
“Cempoko Kuning...” ucap Bima saat merasakan mata tombak yang tersimpan di tangan kanannya bereaksi begitu kuat.


Part 2 - Sebuah Peringatan

Suasana sudah mulai tenang. Semua kegiatan malam itu ditiadakan, panitia beserta guru pembina tidak mau mengambil resiko jika nantinya terjadi hal serupa. Kini Bima dan Maya tengah duduk di UKS, sedari tadi mereka menunggu Panji terbangun.

Setelah Kromosengkono menarik paksa sosok yang merasuki Panji, dia langsung terjatuh dan tidak sadarkan diri. Beruntung tidak terjadi luka fisik yang serius, sehingga Panji hanya dibawa ke UKS.

“Bim...” tanya Maya yang tengah duduk di samping Bima.

“Ya Mbak?”

“Aku penasaran, apakah sosok yang merasuki Panji itu memang tidak sengaja atau memang ada orang yang sedang mengincarnya?”

Sejenak Bima berfikir,
“Jujur saja aku belum memikirkan itu semua, entah lah... Umur kita masih terlalu muda untuk semua ini. Aku tidak tahu.” jawab Bima sambil menggelengkan kepala.

Maya yang mendengar ucapan Bima menghela nafas, apa yang sudah dialami Bima di Alas Lali Jiwo pasti masih membekas diingatannya. Walau dia sudah mendapatkan cerita secara rinci, tapi tetap saja dia tidak bisa membayangkan kengerian yang terjadi saat itu.

“Aku hanya berfikir, dengan orang yang kulihat di ujung ruangan... Saat Panji mencoba menyerangmu... Jelas sekali ada sesuatu yang buruk dengan orang itu. Tapi dari jarak sejauh itu aku tidak bisa mengenalinya” ucap Maya.

“Aku hanya berharap semua hanya kebetulan, masih terlalu banyak pertanyaan yang ada dikepalaku. Andai Pak Arif ada disini, pasti dia bisa memberikan solusi” balas Bima.

Maya tidak membalas perkataan Bima, karena Panji tiba-tiba saja bergerak...
“Nyenyak tidurnya?” tanya Bima, saat melihat Panji sudah terbangun.

“Perasaan tadi masih dilapangan, sejak kapan?” tanya Panji masih mengantuk dan menggaruk-garuk lehernya.

“Kamu aja Mbak, yang cerita aku minta air hangat dulu ke panitia” ucap Bima yang langsung beranjak keluar ruangan.

Sesaat dalam perjalanan Bima memikirkan apa yang diucapkan oleh sepupunya, mungkin dia memang beberapa kali sudah berinteraksi dengan mereka selama setahun ini. Tapi malam ini berbeda, sosok-sosok yang muncul memiliki energi yang besar.

Bima berhenti tiba-tiba, dia menyadari sesuatu... apa yang dia lihat bukanlah hal kebetulan. Itu bukan masalalu dari sosok yang merasuki Panji.

Tapi sebuah kilasan kejadian bagaimana sosok itu bisa sampai datang ke tempat ini. Menghela nafas Bima kembali berjalan,
“Jangan ikut campur” ucap Willem yang sudah berada di samping Bima.

“Astaga, kalian ini apa tidak bisa muncul dengan cara yang tidak mengagetkan?” ucap Bima yang hampir saja terjatuh ke selokan kecil disamping kanannya.

“Apa maksudmu jangan ikut campur?”

“Kau tau mereka kiriman dari seseorang bukan? Mereka kuat dan bukan sembarangan demit. Aku juga tidak yakin kalau penjagamu itu mampu melawan mereka” ucap Willem yang melayang pergi meninggalkan Bima.

Berbegas Bima segera kembali ke UKS, segelas air panas dan 3 botol air mineral sudah dia bawa. Ada yang mengganjal didalam pikirannya, tapi dia juga harus memastikan sesuatu. Jika apa yang dia pikirkan benar, sebaiknya dia tidak ikut campur dalam masalah ini.

“Silahkan tuan, teh hangat untuk tuan” ucap Bima, sambil meletakan segelas teh hangat di meja samping ranjang.

“Emang bener Bim, aku kesurupan?” tanya Panji heran.

“Iya, emang kamu ngrasainnya gimana?” jawab Bima.

“Seingetku tadi baru mau balik dari masjid, terus tiba-tiba saja tengkuk ku terasa panas. Abis itu blank... aku lupa... bangun-bangun uda ada disini” ujar Panji.

“Kamu gak nglakuin sesuatu yang aneh-aneh kan JI?” tanya Maya curiga.
“Enggak lah, enak aja... ada niat ngintipin cewe-cewe, tapi gak jadi kok beneran suwer.” jawab Panji nyengir, sementara Bima dan Maya hanya mendengus.

***

Paginya semua peserta dipulangkan. Kegiatan yang seharusnya berjalan hingga sore, akhirnya dibatalkan. Ada rasa bahagia yang muncul didalam diri Bima, dia sudah membayangkan bisa tidur siang dengan nyenyak diatas kasur dikamarnya.

“Mukamu masih pucet gitu Ji” ujar Bima, saat mendapati muka temannya terlihat pucat.

“Gak tau Bim, sedari tadi malam rasanya lemes banget dan jadi gampang ngantuk” jawab Panji.

Mendengar itu Bima mencoba berkonsentrasi, melihat jika masih ada energi negatif yang tertinggal dari sosok yang merasuki Panji. Namun sekali lagi Bima tidak mendapati apapun.

“Kenapa Bim?” tanya Panji, yang melihat Bima terdiam.

“Engga, yuk aku anterin aja pulangnya. Sekalian mampir sudah lama gak main ke rumahmu” ucap Bima, yang langsung mengeluarkan handphonenya untuk menghubungi Maya.

Mereka bertiga kini sudah berada diperjalanan menuju rumah Panji. Terpaksa motor milik Maya harus dititipkan disekolah karena mereka memutuskan untuk memesan taksi. Tidak banyak orbolan yang terjadi diantara mereka, Bima melihat kondisi Panji yang semakin pucat.

20 menit perjalanan akhirnya mereka sudah sampai di salah satu perumahan, nampak jelas rumah Panji yang cukup besar. Dengan gaya modern dan banyak sekali tanaman yang menghiasi bagian depan rumahnya.

“Ayo, mampir dulu” ucap Panji, yang mencoba membuka gerbang rumah miliknya. Bima mencoba untuk membantu Panji, tapi Maya berdiri mematung dan terus melihat rumah Panji dengan pandangan yang aneh. Seolah-olah dia sedang bingung dengan apa yang dia lihat.

“Mbak... ayo kok malam bengong” ajak Bima, karena melihat saudarinya itu masih saja diam memandangi rumah.

“Kamu gak kerasa Bim?” tanya Maya lirih, saat berjalan masuk kedalam rumah. Bima hanya menggeleng, dia tidak merasakan sesuatu yang aneh.

“Semoga hanya perasaanku saja” ucap Maya.

“Bapak sama Ibu kemana, Ji?” tanya Bima, yang sudah duduk di salah satu sofa diruang tamu rumah Panji.

“Bapak mah kerja, Ibu paling sebentar lagi pulang. Biasa emak-emak belanja pagi” ucap Panji saat menaruh minuman dan beberapa camilan.

Sudah beberapa kali Bima datang ke rumah Panji, dia juga sudah tau apa saja yang menunggu rumah ini. Tapi siang ini semua nampak tenang, bahkan sosok wanita yang biasa Bima lihat ditaman depan juga tidak terlihat sama sekali.

“Kamu nyaman Ji, tinggal dirumah ini?” ucap Maya tiba-tiba, sontak Bima yang mendengar itu langsung menolehkan kepalanya. Panjipun terlihat heran dengan ucapan Maya.

Awalnya Bima mengira Panji akan mengatakan kalau dia nyaman dengan rumahnya. Tetapi Bima salah, justru Panji malah menghela nafas.

“Ada yang salah JI?, kalau ini soal masalah keluarga lupakan saja” ucap Maya yang terlihat menyesal telah menanyakan itu semua.

“Dulu memang nyaman tapi akhir-akhir ini aku sama sekali tidak merasakan hangatnya rumah” jawab Panji.

Bima masih diam, dia berfikir memang lebih baik jika Maya saja yang berbicara. Bima yakin pasti ada sesuatu yang sedang ingin dipastikan oleh saudaranya itu.

“Maksudnya?” ucap Maya yang masih belum sepenuhnya memahami apa yang Panji katakan.

“Kita bicara diluar saja, jadi aku bisa melihat kalau Ibuku sudah pulang” ujar Panji, yang sepertinya tidak mau kalau Ibunya sampai tahu dia sedang menceritakan sesuatu tentang keluarganya.

Kini mereka bertiga sudah duduk di bangku diteras rumah Panji. Untungnya jarak teras rumah dengan jalan cukup jauh, jadi tidak mungkin ada orang yang mendengar perbincangan mereka.

“Sudah beberapa bulan ini Bapak, menjadi aneh... Dan hampir aku tidak mengenalinya, awalnya aku mengira sedang ada permasalahan dengan pekerjaannya. Hingga keributan mulai terjadi, Ibu dan Bapak ku mulai bertengkar satu sama lain” ucap Panji murung.

Bima tidak bisa banyak berkomentar, walaupun dia selama ini sering ditinggal oleh orang tuanya. Tapi hubungan keluarganya bisa dibilang baik-baik saja.

“Terlebih aku juga sering mendengar ada sesuatu yang aneh... hampir setiap malam aku mendengar ada suara geraman yang mengitari rumah. Awalnya aku kira itu kucing atau anjing. Tapi saat aku mencoba memastikan... tidak ada seorangpun diluar" lanjut Panji.

“Bener kan, ada sesuatu yang aneh dengan rumah mu. Aku tidak tau apa itu, tapi ada yang aneh” ucap Maya.

“Maksudnya mbak?” sambar Bima, yang sebetulnya dia paham dengan maksud Maya.

“Beneran kamu enggak kerasa?” ucap Maya memastikan. Bima menggeleng, dia sama sekali tidak merasakan apapun.

“Aneh... Aku sedari tadi merasakan kalau ada sesuatu yang memperhatikan kita, terlebih perasaanku terasa begitu sesak. Aku juga tidak melihat apapun disini, tapi jelas ada sesuatu yang sedang terjadi dirumahmu Ji” ucap Maya lantang.

Panji yang mendengar itu hanya tersenyum kecut, apa yang sedang dia takutnya menjadi kenyataan.

Belum sempat mereka meneruskan pembicaraan. Terdengar ada suara motor yang masuk kehalaman rumah. Nampak seorang wanita paruh baya sedang turun dari motor dan menenten plastik berisikan sayuran.

“Loh uda pulang? Katanya sampai sore, sudah dari tadi Bim?” tanya Bu Eny sambil menyunggingkan senyum ramah.

Bima yang sudah mengenal Bu Eny langsung menyambut tangan wanita itu. Tapi berbeda dengan Maya, dia belum pernah bertemu dengan Bu Eny. Mungkin ada sedikit rasa canggung.

Namun saat Bima melihat Maya menyambut uluran tangan Bu Eny. Maya sedikit tersentak seperti sedang menahan sakit.

“Ada apa Mbak?” ucap Bima, buru-buru saat Panji diminta untuk membawakan barang bawaan Ibunya.

“Nanti aku jelasin Bim, ada yang aneh dengan rumah ini” jawabnya buru-buru.

Bima penasaran sebenarnya apa yang terjadi, berkali-kali dia berkonsentrasi melihat hal yang janggal tapi tidak menemukan apapun.

Bima dan Maya sudah berpamitan, tidak enak berlama-lama disana. Sedang kondisi Panji juga sedang tidak baik-baik saja.

“Tadi aku lihat Mbak Maya sedikit tersentak, saat mencium tangan Bu Eny” Bima memulai pembicaraan.

Saat ini mereka sedang berada di salah satu jalan trotoar yang ada dikota, sengaja untuk tidak langsung pulang kerumah.

“Ada sesuatu yang aneh Bim, saat aku menyentuh Ibunya Panji. Jelas sekali tiba-tiba saja tangan ku seperti menggenggam bara api” ucap Maya

“menurutmu apakah Bu Eny juga memiliki kelebihan Bim? atau dia sedang terkena guna-guna?” lanjut Maya.

“Jujur saja, aku tidak merasakan apapun. Ini aneh, atau mungkin karena kemampuanmu dalam mendeteksi gangguan gaib jauh lebih peka daripada punya ku?” tanya Bima penasaran. Maya hanya mengangkat bahunya menekankan kalau dirinya juga tidak tahu.

***

Semenjak peristiwa Alas Lali Jiwo entah kenapa Bima tidak pernah bisa tidur dibawah jam 12 malam. Matanya selalu nampak segar bahkan pernah dia mencoba meminum obat tidur, tapi tidak ada efek sama sekali.

Sedari tadi Bima berdiam diri bermeditasi. Selain untuk menenangkan pikirannya, dia juga masih belajar untuk mengendalikan kekuatannya. Terlebih saat ini dirinya juga belum bisa menguasai kekuatan yang diliki oleh tombak Cempoko Kuning.

Angin dingin tiba-tiba hadir melintasi tengkuk milik Bima, seketika kulitnya seperti terasa tersentuh air es yang sangat dingin. Bima membuka mata, nampak sosok Kromosengkono sudah hadir didepannya.

“Ada sesuatu yang ingin ku bicarakan denganmu” ucap Kromosengkono.
“Apa ini soal Alas Lali Jiwo?” tanya Bima, penasaran.

“Tidak, bukan itu...Kau masih belum mampu untuk membawa Arif pulang... Belum saatnya. Jangan ikut campur dengan hal yang belum kau ketahui” jawab Kromosengkono.

“Apa maksudmu?” kata Bima kebingungan, dia sedang tidak mencampuri urusan apapun saat ini.

“Sosok yang kemarin merasuki temanmu hanya suruhan, gunakan Maya untuk mencari tahu lebih banyak. Dia lebih peka darimu, dan jangan bertindak sembarangan” ucap Kromosengkono yang langsung saja menghilang.

Bima menghela nafas dalam-dalam. Ada sedikit rasa jengkel kepada penjaganya itu, Kromosengkono tidak berubah sama sekali, selalu saja memberikan informasi yang tidak mendetail.

Bangkit, Bima merebahkan tubuhnya diatas kasur. Benar dugaan Bima kalau Maya bisa lebih peka dalam merasakan keberadaan makhluk astral.

***

Bima tersentak dari tidurnya, saat ini ia tengah terlentang di suatu tempat yang asing. Memandang keatas, dia melihat hamparan langit gelap.

“Sejak kapan aku tidur diluar rumah?” batin Bima kebingungan. Namun ada sesuatu yang aneh, dia mencoba meraba-raba sekitarnya “Pasir?”.

Pelan Bima mencoba bangkit, diambilnya segenggam pasir dengan tangannya.

“Iya benar ini pasir, tapi sejak kapan aku ada dipantai?” ucap Bima.

Dipandanginya sekeliling, suasana begitu sepi. Lambat laun dia juga mendengar deburan ombak dan suara deru angin.

Kesadaran Bima belum pulih sepenuhnya, dia masih merasa bingung dengan perpindahan tempat yang begitu cepat. Sekali lagi dia mencoba mengambil segenggam pasir dan diremasnya kuat-kuat.

Dia merasakan kulit yang ada ditangannya bergesekan dengan pasir yang ia genggam.

“Aneh, kalau ini mimpi kenapa terasa sekali” ucap Bima.

“Kromosengkono” ucap Bima memastikan, ia menunggu beberapa saat. Tapi sosok penjaganya juga tak muncul saat ia panggil.

Beranjak Bima mulai melihat sekitarnya lagi, tidak ada siapapun disana. Dia mencoba mengingat-ingat, tempatnya berdiri saat ini begitu familiar. Tapi Bima tidak bisa mengingat kapan ia pernah singgah kesini.

Bima mencoba untuk berjalan mendekat kearah bibir pantai, namun baru saja dia melangkah beberapa meter. Terdengar sebuah teriakan yang tidak asing ditelinganya. Sontak Bima mencari sumber suara, tapi dia masih tidak menemukan apapun.

“Toooolonnng” sekali lagi Bima mendengar suara itu. Merasa ada yang aneh dengan dirinya, Bima mencoba untuk berkonsentrasi mengumpulkan tenaga. Perasaannya mengatakan kalau sedang ada yang tidak beres dengan semua ini.

“Koe sopo cah bagus, panggonan mu ora neng kene. MULIH!!!” (kamu siapa anak ganteng, tempatmu bukan disini. PULANG!!!) terdengar jelas sekali bisikan suara seorang perempuan.

Mendengar itu Bima langsung membuka matanya. Kini nampak dengan jelas ada sesosok perempuan dengan pakaian jawa yang sederhana tengah mendelik menatapnya.

“D—dimana ini? Siapa kamu?” tanya Bima. Tidak menjawab pertanyaan Bima, justru sosok tersebut berjalan menjauh, mendekati bibir pantai. Bima mencoba mengejar, namun sosok tersebut sudah hilang ditelan deburan ombak.

Sekali lagi Bima mengedarkan pandangannya. Tersentak, tiba-tiba saja dia merasakan tangan kanannya seperti sedang ditempeli bara api yang sangat panas.

“Cempoko Kuning...” ucap Bima saat merasakan mata tombak yang tersimpan di tangan kanannya bereaksi begitu kuat.

“Toooolonnng” sekali lagi Bima mendengar suara teriakan seseorang. Tapi Bima tidak mendapati apapun disana. Sekali lagi dia mencoba mengumpulkan tenaganya, berdoa meminta petujuk agar diperlihatkan sesuatu jika memang itu adalah hal yang harus diketahuinya.

“Toooolonnng” spontan Bima kembali membuka matanya. Kini dengan jelas Bima melihat seseorang yang ia kenal. Jauh beberapa meter didepannya, Panji tengah diseret menuju kearah bibir pantai oleh sekelompok orang.

Tanpa dikomando Bima segera berlari kearah Panji, berniat menolong temannya itu. Namun dalam keterburuannya, tiba-tiba saja dia menyandung sesuatu yang membuatnya terjatuh.

Mata Bima membulat seketika... Jantungnya nyaris copot, dia tengah menyandung tubuh manusia yang tengah terbaring diatas pasir. Sejenak Bima berfikir untuk meninggalkan tubuh itu,-

namun “Bim.. Tolong...” Bima kaget mendengar suara lirih dari tubuh yang ada didepannya. Bingung apakah dia harus menolong orang yang ada didepannya atau Panji yang tengah diseret kearah laut.

Mengikuti instingnya Bima segera membalikan tubuh yang tertelungkup itu. Saat sudah melihat muka dari orang itu, Bima langsung buru-buru mundur sampai jatuh terjengkang kebelakang.

“M—maya?” ucap Bima shock. Jelas sekali tubuh itu milik Maya, meskipun darah segar menutupi sebagian wajah Maya tapi jelas Bima mengenali sosok wanita itu.

“P—pulang sekarang Bim” ucap sosok Maya tiba-tiba.
“Toooolonnng” sekali lagi Bima menoleh kearah Panji yang sudah dekat sekali dengan bibir pantai.

Tanpa mengubris ucapan Maya, Bima langsung berdiri dan berlari menuju ke arah Panji. Namun semakin dekat dia kearah temannya justru perasaan Bima semakin tidak enak.

Kini dia sudah dekat dengan Panji, namun Panji beserta orang yang berusaha menyeretnya telah hilang, bagai asap yang terkena hembusan angin.

“Ada apa ini sebenarnya” ucap Bima kebingungan. Sesat Bima kembali meliat sekitar, kemudian melanjutkan berjalan...

Ada sesuatu yang menarik perhatiannyanya, ada sesuatu seperti karung yang tengah digantung dipinggiran tebing.

Saat sudah dekat dengan tebing, jelas sekali karung-karung itu bergerak menggeliat. Panik jika itu adalah manusia, Bima segera berlari menuju kearah tebing. Tapi langkahnya terhenti...

Bima ingat dia pernah kesini. Penglihatan yang diberikan oleh sosok yang merasuki Panji. Ya dia pernah melihat ada wanita yang sedang memanggil sosok demit wanita. Dan disanalah... Ditebing itu dia melakukan ritualnya.

Mempercepat langkah kakinya, justru Bima shock dengan apa yang dia lihat... Semua anggota keluarganya tengah tergantung disana dengan kondisi terpocong dan lehernya terjerat tali tambang...

“Astagfirulloh... Astagfirulloh... Astagfirulloh...” ucap Bima yang tiba-tiba saja terbangun. Bima tidak langsung membuka mata, dia meraba-raba dulu disekelilingnya. Batinnya masih merasakan kepanikan.

“Kain... ya ini kain, bukan pasir” batin Bima, sambil masih menggerak-gerakan telapak tangannya. Lalu dia mencoba membuka mata, saat melihat plafond kamarnya Bima mengeluarkan suara penuh rasa syukur.

“Tenangno awakmu” (tenangkan dirimu) kaget Bima langsung bersiaga.

“Astaga, kenapa selalu bikin kaget” ucap Bima, saat mendapati Kromosengkono sudah berdiri disudut kamar miliknya. Masih terengah-engah Bima mencoba mengambil botol air yang ada dimeja sebelah tempat tidur.

Setelah menenggak habis air dalam botol, dia menyambar rokok yang ada meja dan segera membakarnya berharap mendapat ketenangan.

“Apa yang sedang terjadi?” tanya Bima memandang Kromosengkono.

“Dia sepertinya menyadari siapa dirimu” jawab Kromosengkono.

“Dia?... Dia siapa?” tanya Bima kebingungan.

“Elengno. Getih mu ora getih biasa, sopo wae demit sek pengen due kesaktian bakal pengen dueni awakmu” (Ingat. Darahmu bukan darah biasa, siapa saja demit yang ingin punya kesaktian bakal kepingin untuk memilikimu) ucap Kromosengkono yang langsung saja menghilang.

Bima hanya menghela nafas. Memikirkan mimpi yang barusan ia alami, terlebih juga perkataan Kromosengkono.
“Darah Sangaraja” ucap Bima, yang langsung mengambil handphone miliknya dan mencari kontak Maya.

Sudah beberapa kali dia mencoba menelphone, tapi tetap saja tidak ada satupun panggilannya yang diterima. Menengok kearah jam, ternyata sudah pukul 3 pagi.

Drrrttt... Drrrttt... Drrrttt... Buru-buru Bima melihat, sebuah notifikasi yang membuat dirinya tenang.

“JANGAN GILA, ATAU BESOK AKU BUAT JADI GILA!!!” Bima tersenyum lega melihat pesan text yang dikirimkan oleh Maya.

***

“Sudah ayo, bolos aja... ada yang ingin aku ceritakan” ajak Bima kepada Maya saat mereka sudah mau sampai disekolah.

“Gila, mau kemana? Motorku masih disana, kalau Bapak tau bisa repot” ucap Maya menolak mentah-mentah ajakan Bima.

Tapi bukan Bima namanya kalau dia tidak bisa membuat orang-orang disekitarnya penasaran. Kini mereka berdua tengah duduk disalah satu cafe tak jauh dari tempat tinggal Bima.

“Jadi apa yang membuat Tuan Bima begitu antusias untuk bicara empat mata?” ucap Maya sengit menatap sepupunya.

“Ingatkan waktu Panji menyerangku?...” kemudian Bima menceritakan bagaimana dia sedang berdiri disebuah pantai.

Kemudian dia melihat ada seorang wanita yang berjalan terburu-buru seolah dia tidak ingin dilihat siapapun. Hingga saat kehadiran satu sosok yang membuat tubuh Bima gemetar secara spontan.

“Bahkan energinya jauh lebih mematikan daripada Dewi...” ucap Bima.

“Dewi? Maksudmu sosok kembar 3 yang menjaga sendang pitu?” tanya Maya, yang mengerutkan alisnya.

Dia memang selama ini belum pernah bertemu dengan Dewi namun entah kenapa didalam benaknya, dia sudah bisa membayangkan seperti apa sosok Dewi.

“Benar, dan juga Willem serta Kromosengkono memintaku untuk berhati-hati...” Kembali Bima menceritakan tentang peringatan Willem dan wejangan yang diberikan oleh Kromosengkono serta mimpi yang tengah dia alami semalam.

“Panji?” ucap Maya mengerutkan dahinya.
“Kau tau Bim, aku memang merasa ada yang aneh dengan dirinya dan rumahnya. Terlebih semenjak kejadian kesurupan itu dan ingat? Saat aku melihat ada sosok perempuan yang tengah memperhatikan dari jauh?” ujar Maya.

“Ya tapi bukan itu intinya. Justru kalimat dari Kromosengkono yang membuatku khawatir. Bukan hanya diriku saja. Tapi juga untukmu. Ingat apa yang kuceritakan soal darah Sangaraja?” tanya Bima yang sekarang mulai terlihat gusar.

Jelas sekali ingatan tentang seluruh keluarganya yang di gantung diatas tebing menggelayut bergoyang-goyang dikepalanya.

Maya mengangguk-anggukan kepalanya.
“Ya aku ingat, tapi aku juga bingung Bim. Kita tidak sedang menyeret masalah kedalam hidup kita. Dan kenapa kita harus yang mencari masalah itu?” ucap Maya yang mencoba untuk memutus kekhawatiran Bima.

“Sekarang kita hanya berdua, belum ada yang bisa kita mintai pendapat tentang hal-hal yang berbau gaib seperti ini. Kecuali...”

“Kecuali apa mbak...?” tanya Bima penasaran.
“Kecuali kau melupakan semua ini. Jika memang ini menyangkut nyawa keluarga kita. Aku beranggapan sosok yang sedang mengincar Panji sedang memberikan peringatan kepada mu untuk tidak ikut campur” ucap Maya dengan nada final.

Bima terhenyak, sejenak dia berfikir... Memang benar apa yang Maya ucapkan. Saat ini belum ada orang yang bisa dimintai pendapat.

Dan tidak mungkin bagi Bima untuk menemui Pak Arif sekarang. Kromosengkono selalu bilang kalau Bima belum siap, dan belum saatnya mereka pergi menemui Pak Arif.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close