Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LABUH MAYIT (Part 1) - Pembawa Petaka

Bagi yang belum baca Cerita Tentang Mereka disarankan untuk membaca terlebih dahulu. Karena cerita ini merupakan Chapter 2 dari kisah Bima dkk.


Chapter sebelumnya bisa dibaca di Index dengan judul Cerita Tentang Mereka di bawah ini


LABUH MAYIT

Prolog
“Debur suara ombak mendayu-dayu lembut, menghantam bebatuan karang dan merambat kedalam relung gendang telinga. Tak ubahnya perilaku manusia yang tanpa sadar sedang menghantarkan pada sebuah kisah pilu nan nestapa. Dengki, dendam, dan amarah sudah menyatu dengan mantra”

Part 1 - Pembawa Petaka

Debur suara ombak terdengar sendu membuat keheningan malam itu terpecah. Tidak ada seorang pun yang terlihat disepanjang garis pantai yang tidak luas. Hanya ada sosok wanita yang sedang bersimpuh disebuah lubangan yang hampir mirip dengan gua kecil.

Bau dupa dan kemenyan sesekali menyeruak masuk kedalam hidung si wanita, namun bau itu hilang timbul bersamaan dengan hembusan angin pantai yang kencang. Suara bisikan mantra terus terucap dari bibir tipis wanita itu.

“Sukmo lebur ing aji pangestune, Sukmo lebur ing segoroning pati, Sukmo Lebur Ing sakjroning pati.”

Sudah beberapa menit berlalu. Udara dingin dan hembusan angin tiba-tiba saja lenyap, semua menjadi tenang. Bahkan suara deburan ombak seolah menghilang.

“Opo pengenmu, Ndug?” (Apa keinginan mu, Nak?) terdengar suara lembut tepat dihadapan wanita itu.

“Nyai... Matur nuwun sampun rawuh” (Nyai... terimakasih sudah datang)

Sosok didepan wanita itu hanya tersenyum lembut, sorot matanya benar-benar terlihat tenang.

“Opo pengenmu, Ndug?” sekali lagi sosok itu bertanya, namun kali ini nadanya terlihat sangat mengintimidasi. Seolah dia sudah tidak sabar menunggu apa yang sedang diinginkan oleh wanita yang sedang bersimpuh didepannya.

“Labuh Mayit Nyai” ucap Wanita itu lantang.

“Yen ngono koe wes ngerti aturan e lan lelakune. Tak tunggu olehmu sebtu pahing wulan iki”

(kalau begitu kamu sudah tau aturan dan lelakunya. Aku tunggu kamu sabtu pahing bulan ini) ujar sosok tersebut dan langsung menghilang begitu saja. Kembali suasana menjadi riuh ramai. Suara deburan ombak, kilatan petir dan angin yang berhembus begitu kencang.

***

Bima tersentak, terbangun dari tidurnya. Sudah setahun semenjak peristiwa Alas Lali Jiwo berlalu. Malam ini Bima memimpikan kembali pertemuan terakhirnya dengan Pak Arif. Ada rasa sesal, jengkel, rindu dan bahagia yang menyatu dan bercampur didalam hatinya.

“Hah... mimpi itu lagi, Pak Arif kalau kangen Bima, datang langsung kesini” ucap Bima, sadar dengan apa yang diucapkan, Bima terkekeh dan merutuki kebodohannya.

Kembali Bima membaringkan tubuhnya, tetapi matanya menyalang... ingatan demi ingatan muncul silih berganti, bagai sebuah roll film yang diputar begitu cepat dikepalanya.

Flashback
Bima Abishta Mahendra
5 Januari 2007

Bima sudah memutuskan, dengan niat dan tekad dia akan membawa Pak Arif untuk bisa kembali kedunia mereka. Malam itu kebahagiaan yang seharusnya mereka rayakan sedikit berkurang dengan rasa sesal dan sedih akan pengorbanan Pak Arif.

“Bim... boleh duduk?” ucap May, dengan suara yang terlihat cemas.

“Kenapa Mbak, duduk ya duduk aja” jawab Bima, yang tengah duduk disalah satu bangku di taman belakang rumah Budhenya.

“Maafin aku ya Bim, karena keteledoranku semua jadi seperti ini” kata Maya.

“Percuma menyesali semuanya Mbak, tidak ada yang perlu disalahkan” Ujar Bima dengan senyum tulus. Sesaat Bima melihat, ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh saudaranya itu, cukup lama mereka diam.

“Aku ingat semua kejadian saat berada di alam mereka, bahkan ketika kalian bertarung untuk menyelamatkan ku... aku dengan jelas bisa melihatnya” ucap Maya. Bima hanya diam memperhatikan, menunggu apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh sepupunya itu.

“Aku melihat, betapa mengerikannya perilaku Gendiswari. Wanita sialan itu benar-benar mengerikan. Jeritan dan tangisan dari tumbal Gendiswari membuatku benar-benar ketakutan, aku takut tidak bisa pulang, aku takut tidak bisa kembali kedunia kita” lanjut Maya.

Bima melihat ada air mata yang turun dari matanya yang cantik, memang secara fisik. Sepupunya ini dianugerahi kecantikan yang luar biasa.

“Sekarang sudah aman, semua yang terjadi hanya bisa kita jadikan pelajaran Mbak” ucap Bima, dia sendiri juga bingung harus menjawab apa, tidak tau apa yang sedang dirasakan sepupunya itu.

“Ada satu hal yang tidak... belum aku ceritakan kepada kalian” ucap Maya, kini dia memandang Bima lekat-lekat. Nampak sekali ada keseriusan dari dalam sorot matanya.

“Maksudnya?”

“berhari-hari Aku, Ibu, dan Bulek menunggu kalian, tidak ada satupun yang bisa dihubungi. Kami semua khawatir bahkan sempat Bulek Sekar ingin menyusul kalian.

Hingga pada tengah malam saat itu aku benar-benar tidak bisa tidur. Aku berfikir bahwa semua ini adalah kesalahan ku, disinilah... sosok itu datang menemuiku” kata Maya.

“Sosok? sosok siapa Mbak?” tanya Bima penasaran.

“Seorang laki-laki tua dengan sebuah tongkat ditangannya, memakai pakean jawa khas dengan blangkon yang ia pakai dikepalanya” jawab Maya.

“Simbah...” ujar Bima, dia bingung apa yang terjadi saat mereka belum sampai dirumah, kenapa Simbah tiba-tiba mendatangi Mbak Maya.

“Kau tau siapa orang itu Bim?” tanya Maya.

“Simbah, sosok yang selama ini membantuku dan yang lainnya saat berada di Alas Lali Jiwo. Kenapa dia mendatangimu?” tanya Bima, dia benar-benar penasaran saat ini.

Ditengoknya para orang tua sedang sibuk dengan makanan dan minuman yang sedang mereka siapkan. Bima berfikir akan jauh lebih baik jika mereka tidak tau tentang kejadian ini.

“Dia mengatakan, kalau kalian baik-baik saja. Bersiaplah karena semua sudah merupakan takdir Tuhan. Dan...” sejenak Maya menghela nafas, Bima menunggu apa yang akan selanjutnya Mbak Maya katakan. “Dan sekarang aku bisa melihat mereka sama sepertimu” Ucapnya dengan nada ketakutan.

Deg... Jantung Bima serasa merosot dari tempatnya. Misteri apa lagi ini, apakah masih ada hubungannya dengan apa yang dikatakan Gendiswari tentang darah Sangaraja?. Bima ingat perkataan dari Kromosengkono bahwa memang awalnya dia mengira bahwa Maya yang akan dia jaga.

***

Suara bising kendaraan bermotor saling beradu pagi itu. Entah ini hanya perasaan Bima saja atau memang kota tempatnya hidup semakin padat. Sudah puluhan kali juga Sekar meminta Bima untuk menggunakan kendaraan yang sudah disediakan untuknya.

Tapi tetap saja Bima menolak, baginya duduk dihalte, menunggu angkutan umum yang akan membawanya kesekolah menjadi sensasi tersendiri.

“Yok manggisan... manggisan” ucap salah seorang kenek. Bima yang sudah lama menunggu langsung saja masuk kedalam angkot tersebut. Tidak menghiraukan kalau didalamnya sudah penuh sesak dengan para pelajar.

Perjalanan menuju ke sekolahnya pagi ini benar-benar membuat Bima merasa tidak nyaman. Sedari tadi ia hanya diam, memandang kearah luar. Pikiran liar silih berganti dalam benaknya, ada sesuatu yang mengganjal.

Namun Bima tidak bisa mengetahui apa yang sebenarnya sedang ia rasakan. Sejenak Bima memejamkan matanya, mencoba untuk benar-benar merasakan perasaannya. Namun tetap saja dia tidak bisa menafsirkan itu semua.

Tersadar dengan lamunan, ternyata angkot yang dia tumpangi sudah hampir sampai jalan masuk menuju sekolahnya. Jam sudah menunjukan pukul 6.50, yang berarti 10 menit lagi gerbang sekolah akan segera ditutup oleh Pak Ogi, satpam yang menjaga sekolah. Seorang laki-laki tua yang tegas dan begitu menyebalkan menurut Bima.

Bima berjalan begitu cepat hampir setengah berlari. Tin..tin...tin... suara klakson motor jelas sekali berbunyi tepat di belakangnya. Menoleh, ternyata itu adalah Mbak Maya “buruan ayok” ucapnya.

Tanpa menunggu lama Bima langsung melompat duduk di jok motor milik sepupunya itu. “Haish pelan-pelan napa Pak?” sungut Maya, saat merasa tiba-tiba saja ada beban kuat yang menekan jok motor miliknya.

“Uda buruan, nanti telat” ujar Bima tersenyum, pagi ini dia selamat dari siksaan Pak Ogi dan Guru Bp yang menyebalkan itu.

Bima ingat, beberapa waktu setelah Maya sadar. Tidak ada kabar apapun dari sepupunya itu. Hingga pagi itu, Bima dikagetkan dengan kedatangan seorang murid baru dikelasnya.

Wanita yang selama ini Bima kenal... dan jelas sekali akan membuat semua pergerakan Bima disekolah akan terbatas.

Benar, seorang Maya Paramesti Suganda. Tanpa ada angin dan hujan tiba-tiba saja memutuskan untuk satu sekolah dengan Bima. Bukan hal yang sulit memang, Pakdhe Wawan yang memiliki koneksi di Kotanya menjadikan semuanya menjadi lebih mudah.

“Kebiasaan bengong, ayo turun” sungut Maya yang mendapati Bima masih betah nangkring diatas motornya, padahal sudah sedari tadi dia turun dan memperhatikan Bima.
“Lah, sudah sampai?” ucap Bima bingung.

“Terserah kamu Bim...” ujar Maya yang langsung pergi ngeloyor meninggalkan Bima. Segera saja Bima turun dari motor dan bergegas menyusul sepupunya itu.

Suasana ramai nampak jelas sekali, bukan hanya dari siswa yang bersekolah disitu. Namun sosok-sosok “mereka” juga turut serta menambah keriuhan pagi itu.

Sesampainya di kelas, Bima langsung mengedarkan pandangannya. Tersenyum, dia melangkah menuju bangku paling ujung dekat dengan jendela. Namun baru beberapa saat melangkah.

Bima berhenti, dipandanginya lekat-lekat laki-laki yang sedang duduk dibangku yang sedang Bima tuju. “Panji... kenapa?” batin Bima.

Bima melihat ada sebuah asap tipis kehitaman yang menguar dari atas kepala Panji. Bima sendiri cukup yakin dengan apa yang dia lihat. Ingatan tentang kejadian saat Maya di tempeli Gendiswari membuatnya langsung bersiaga.

Jika memang ada sosok yang mengganggu, dia akan langsung menariknya dari tubuh sahabatnya itu.

“Ji, sehat kamu?” sapa Bima, saat sudah duduk di bangku favoritnya, bangku yang dulu selalu ia hindari.
“Kenapa emang? sehat kok.” jawab Panji dengan mengerutkan dahinya.

“Engga apa-apa, cuma kelihatan pucet kamu” kata Bima, Panji yang mendengar itu tidak menjawab dan segera menidurkan kepalanya diatas meja.

Tidak mau bertanya lebih, ia mencoba untuk mendeteksi keberadaan makhluk astral disekeliling Panji, namun dia tidak melihat apapun. Justru malah Bima melihat Willem yang melayang keluar menuju pohon Tanjung diluar kelas.

Bel istirahat terdengar berkumandang, banyak suara bangku yang diseret para penghuninya. Begitu juga Bima dan Panji yang segera beranjak menuju kantin, perut mereka begitu keroncongan. Pelajaran Fisika tentang hukum newton membuat tenaga mereka habis berkuras.

“Nitip ya, biasa...” ucap Panji yang langsung saja menyodorkan uangnya. Bima hanya mendecakan lidah dan langsung pergi kekantin yang paling ujung, kantin yang menurutnya aman karena tidak menggunakan penglaris apapun.

Sesaat dia sedikit bergidik, merasa mual membayangkan anak-anak yang memakan bakso atau mie ayam dari penjual disekolahnya. Semua tampak biasa saja, namun tidak berlaku bagi Bima,-

semenjak dia tau kalau ada pocong yang ikut serta membantu pemilik kantin, tidak pernah sekalipun Bima melangkahkan kakinya disana.

Celingukan mencari Panji, terlihat dia sedang duduk dengan Maya disalah satu bangku dekat dengan pohon yang dulu pernah Bima hindari. Tapi setelah semua kejadian yang dia alami justru dia terkekeh sendiri dan segera berjalan menuju ke arah mereka.

“Eh Bim... uda liat pengumunan?” tanya Maya saat melihat Bima duduk disebelahnya. “Belum, ada apa emang?” jawab Bima. Memang sedari Bima bersekolah disini, tidak pernah sekalipun ia menengok papan pengumuman. Semua informasi pasti sudah dia dapatkan dari Panji.

“Besok sabtu minggu diadakan persami 'perkemahan malam sabtu minggu' disekolah, semua murid kelas 2 diwajibkan untuk ikut” ucap Panji malas, sedang Bima? Jelas dia lebih memilih untuk tidur dirumah.

“Uda kalian ikut aja, dari pada dapet masalah” ujar Maya dan langsung menyambar mangkuk bakso milik Bima.

***

Hari berganti dengan cepat, kini Bima tengah duduk di ruang keluarga milik orang tuanya, “Sudah Ibu siapin semua, nanti jangan lupa kabarin kalau ada apa-apa” ucap Sekar sambil menaruh tas ransel milik Bima.

“Bu, Bima cuma semalem lo disekolah, kan pasti juga ada guru disana” ucap Bima jengah.
Memang sejak kejadian Alas Lali Jiwo, Sekar lebih banyak dirumah dan perhatiannya menjadi luar biasa... yah hampir saja Bima mengatakan menjadi “menyebalkan”.

“Uda Bim, nurut aja sama Ibu mu itu” ucap Banyu, Bima hanya mengangguk tidak ingin melanjutkan berdebat. Jelas sekali awalnya Bima tidak mau ikut, terlebih harus bermalam disekolah? Bukan karena dia takut, hanya malas jika harus berinteraksi dengan mereka.

Tapi Maya yang sebagai dalang dari semua ini, bersikukuh agar Bima dan Panji harus ikut. Tidak bisa menolak akhirnya mereka berdua mengikuti kemauan wanita itu.

***

“Jadi nanti kita tidur diatas meja, terus mandi ditoilet sekolah?” ucap Panji, saat mereka sudah duduk sisi lapangan dibawah pohon Tanjung yang rimbun.

“Gak usah macem-macem, dari pada nanti bonyok” ucap Maya, yang seolah tahu apa yang sedang Panji pikirkan.

Nyengir karena niatannya ketahuan, Panji langsung merepet tidak jelas. Sedang Bima dia masih diam, entah kenapa perasaannya begitu tidak nyaman.

Kegiatan dimulai dari dikumpulkannya para siswa ditengah lapangan. Dibawah teriknya panas matahari, Bima terus saja mendecakkan lidahnya.

Dia benar-benar tidak suka kegiatan seperti ini, seharusnya dia sudah enak tiduran dikasur dan membaca buku-bukunya.
“Sial, kenapa mesti dibagi perkelompok” ucap Panji yang ada disebelah Bima.

“Kenapa emang?” tanya Bima penasaran, baginya tidak masalah dia harus berkelompok dengan siapa saja.
“Ya, setidaknya saat malam nanti aku bisa tenang kalau deket kamu Bim, tau sendiri kan rumor sekolah ini penuh dengan hantu” jawab Panji.

Bima nyengir, sepintas ada pikiran jahil yang muncul dikepalanya untuk menggoda temannya itu, namun dia urungkan.

Benar saja, mereka semua dibagi perkelompok. Bima, Panji dan Maya terpisah kali ini.

Kumandang Adzan maghrib mulai terdengar, suasana sekolah kini sudah mulai terlihat gelap. Beberapa kali Bima memperhatikan ada sosok-sosok yang mulai terbangun, entah itu hanya sekedar lewat atau memperhatikan Bima. Namun, Bima tidak menghiraukan itu semua.

Berjalan, dia mulai menyusuri koridor. Celingukan mencari keberadaan Panji atau Maya, namun Bima tidak mendapati mereka berdua. Bahkan saat Bima melongok kedalam kelas yang dipakai Panji, dia juga tidak menemukan temannya tersebut.

Kembali Bima berjalan, dia malas jika harus melakukan sholat magrib di masjid sekolahnya... “pasti penuh” batin Bima.

“Berhati-hatilah” bisik Willem yang sudah ada disampingnya.
“Kenapa?” tanya Bima, seketika menghentikan langkahnya. Tidak menjawab justru Willem melangkah pergi menjauhi Bima.

Ada sedikit kecemasan yang timbul dihati Bima. Tidak biasanya Willem mengatakan seperti itu, lama dia diam berdiri di koridor gelap diujung kelas. Teringat perkataan Pak Arif untuk tidak langsung percaya dengan “Mereka”, Bima sedikit tenang, dan melanjutkan langkahnya.

Setengah jam lebih Bima berputar-putar keliling sekolah. Selain mencari keberadaan Panji dan Maya, seolah ada daya tarik tersendiri saat melihat sudut-sudut gelap yang menyeramkan disekolah itu.

Bima terhenti didepan salah satu ruangan, bibirnya langsung tersenyum simpul. Ingat dulu dia pernah menggosok toilet ini dengan Panji. Nyengir dengan sosok yang ada didalamnya, Bima kembali melangkah.

“Bim... Bima...” terdengar suara jelas dari arah samping Bima, menoleh suara tersebut berasal dari Maya.

“Ngapain berdiri sendirian disitu?” tanya Maya saat Bima sudah mendekat kearahnya.
“Nyariin kalian, yauda sekalian jalan-jalan” jawabnya.

“Mentang-mentang uda biasa lihat mereka ga ada takut-takutnya ya... Bim ada yang aneh ga sih? Sedari tadi perasaanku ga enak” ucap Maya.

“Gak tau mbak, tadi Willem juga mengatakan kalau aku diminta untuk berhati-hati” ujar Bima.

Saling padang... tanpa sadar mereka menghela nafas bersamaan... menyadari itu, sontak mereka berdua langsung tertawa. Semenjak kejadian Alas Lali Jiwo entah kenapa selalu saja ada kejadian diluar nalar yang terjadi di hidup Bima dan Maya.

“Yah, semoga ini hanya persaan kita saja Bim, aku tidak mau kejadian setahun lalu terulang kembali. Meskipun aku tau...” Maya tiba-tiba saja berhenti dan menatap Bima, ada raut kegelisahan yang tepancar dari sorot matanya.

Bima menunggu apa yang akan dikatakan sepupunya itu “apa kau masih berniat untuk menyelamatkan Pak Arif?” ucap Maya lirih.

Bima sekali lagi menghela nafasnya,
“Tidak ada yang bisa merubah keputusan ku Mbak, cuma kamu yang tau apa niatanku saat ini. Kau tau sendiri bagaimana kita belajar untuk bisa mengendalikan ini semua” ucap Bima.

Maya termenung...
“Benar, setelah dirinya tiba-tiba saja bisa berinteraksi dengan mereka, beberapa hari kemudian Bima langsung mengenalkannya kepada sosok Kromosengkono” batin Maya.

Dia melihat kesungguhan anak laki-laki yang ada disampingnya itu. Tersenyum dia langsung mengusap-usap kepala Bima.

“HEH!!! Ngapain kalian disitu berduaan” teriak salah satu senior, sontak Bima dan Maya langsung terlonjak berdiri.
“Sial, dapet masalah” ucap Bima, sedang Maya hanya nyengir.

“Malah pacaran... ayo ikut...” ucap senior laki-laki itu sok galak. Bima hanya menyipitkan matanya dan berjalan mengekor dibelakangnya.

Angin tiba-tiba saja berhembus dengan kencang. Seketika perasaan Bima tersentil akan sesuatu. Dia hapal dengan sensasi ini, menengadah ke arah kanan dan kiri... Bima tidak mendapati apapun. Sedang Maya seolah tersentak, tiba-tiba saja ia menundukan pandangannya.

“HEH.. malah bengong, ayo...” bentak senior laki-laki itu.

Bima hanya memandangi laki-laki didepannya, tidak menjawab apapun dan kemudian lanjut berjalan.
“Bim...?” ucap Maya lirih.
“Aku tau, tenanglah, semoga tidak terjadi apa-apa” kata Bima mencoba menenangkan.

Bukan dia merasa takut, tapi khawatir jika ada sesuatu yang akan menyerang mereka. Selama setahun ini dia terus berlatih, baik secara fisik dan batin untuk menambah kepekaannya. Ucapan Dewi masih terngian jelas, bahwa Ki Ganang akan mencoba mengincar Bima.

Ternyata mereka diarahkan ke ruang osis. Dimana memang tempat itu menjadi basecamp bagi para pengurus kegiatan persami (perkemahan sabtu malam minggu) ini.
“Jadi kalian ngapain di sana gelap-gelapan? Pacaran?” ucap senior yang membawa Bima dan Maya.

Mereka berdua diam tidak menjawab. Pikiran Bima masih dipenuhi dengan sensasi yang tadi sekilas ia rasakan. Ingin dia segera mengecek, apa memang ada makhluk astral yang memiliki energi kuat didekat mereka, tapi konsentrasinya pecah dengan keadaannya sekarang.

“HEH!!! Jawab” bentak senior itu, seketika Bima kaget. Hampir saja dia lepas diri, namun tangan Maya memenganginya.

“Tidak ada yang melanggar peraturan, kami disana hanya ngobrol-ngobrol biasa, toh ada bebera orang yang sedang berjalan didepan kami, dan bukannya ini sedang jam istirahat?” ucap Maya.

“Berani kamu ya...” ucap senior itu maju selangkah. Namun belum juga dia mencapai Maya tiba-tiba saja terdengar jeritan seorang wanita.

“AARRRGGGGGGG” semua orang yang ada didalam ruangan itu seketika menolehkan kepala mereka menuju sumber suara.

“Tolong... tolong” terdengar lagi jeritan wanita, suasana menjadi riuh. Semua orang yang ada didalam ruangan itu kecuali Bima dan Maya langsung berhamburan keluar.

Bima menghela nafas panjang.
“Ayo... jangan jauh-jauh dariku Mbak” ucap Bima, sambil melangkah santai menuju kearah sumber keributan. Sesampainya di sana Bima melihat disisi lain lapangan sedang banyak orang yang bergerombol... terbagi menjadi beberapa kelompok.

“Sepertinya ada yang kesurupan Bim” ucap Maya penasaran. Bima juga sudah menduga pasti ada sesuatu yang aneh. Mereka berdua berjalan mendekat, benar saja... Beberapa siswa sedang meronta-ronta. Ada yang menangis ada pula yang tertawa seperti orang gila.

“Apa yang harus kita lakukan Bim?” tanya Maya.
Bima menolehkan kepalanya menghadap ke sepupunya. Tidak ada sorot takut yang terpancar dari mata wanita itu, padahal jelas sekali sosok-sosok yang sedang masuk ke badan para siswa itu benar-benar membuat jijik. Bau mereka juga sangat memuakan.

“Tidak ada mbak, bukan urusan kita” ucap Bima nyengir. Maya langsung menolehkan kepalanya ke Bima, dia kaget dengan ucapan Bima barusan. Sejak kapan Bima tidak peduli dengan keadaan orang lain.

“Ini beneran kamu kan Bim?” tanya Maya keheranan.

“Ya bener lah, emang siapa lagi? maksudku lebih baik untuk tidak banyak berurusan dengan mereka, sudah cukup Alas Lali Jiwo yang menjadi pengingat kita” ucap Bima masih terus memandangi kerumunan itu.

Maya tau apa yang Bima maksudkan, tapi dia sendiri juga tidak tega dengan teman-temannya yang dipermainkan seperti itu. Tanpa bertanya kepada Bima, Maya langsung berjalan mendekat.

“Hey mbak mau kemana?” tanya Bima.

“Menolong mereka, kalau kau tidak mau, tunggu saja disini. Aku tau rasanya menjadi mereka” kata Maya dengan seringai mengerikan.

Mau tidak mau Bima juga mengikuti langkah sepupunya. Namun baru beberapa langkah pandangannya tertuju pada satu titik. Maya pun juga demikian, mereka kembali berhenti.

“Panji?” ucap Maya.
Mereka melihat panji sedang duduk bersila dengan seringai yang menakutkan... Ada sesuatu yang berbeda, seolah Panji sedang memegangi sebuah tali yang terjulur dan terikat dimasing-masing demit yang merasuki para siswa.

Bima melihat dengan jelas, saat beberapa orang mendekat dan mencoba memegangi Panji, dengan sekali sentakan mereka langsung terlempar begitu saja. Tawa Panji menjadi gila-gilaan seolah sedang menikmati itu semua.

Seketika Bima langsung mencoba mengumpulkan energinya, jelas sekali sosok yang merasuki Panji bukan sosok sembarangan. Tiba-tiba saja Panji terdiam dan menatap Bima nyalang.

Tanpa diduga-duga Panji langsung berlari dan menubruk Bima. Maya langsung menjerit dan mundur beberapa langkah. Sedangkan Bima yang sedang berusaha di cekik oleh Panji berusaha memberontak.

Saat tangan Bima menyentuh Panji seketika suasana berubah...

Kini dia sedang berdiri dipinggir pantai... Pantai yang sangat sunyi dan tidak luas. Bima melihat ada seorang wanita dengan menggunakan kemben dan jarik berjalan tergesa-gesa sambil menengokan kepalanya kebelakang berkali-kali.

Seoalah tidak ingin ada orang yang mengetahui keberadaannya. Segera Bima mengikuti wanita itu.

Bima sudah berdiri disebuah lubangan kecil mirip gua. Hembusan angin pantai yang cukup kuat tidak membuat wanita itu bergidik.

Bima memperhatikan dia sedang berusaha menyalakan kemenyan dan dupa diatas anglo kecil yang sedari tadi ia bawa.

Sekali lagi Bima mengedarkan pandangannya, tempat itu sebenarnya memiliki pemandangan yang indah, namun entah kenapa suasana yang alami justru membuat bulu kuduknya meremang.

Terlebih Bima juga mendapati ada sosok-sosok yang sedang mengamaati mereka. Bukan sosok yang biasa dilihat Bima, justru lebih banyak sosok yang menyerupai siluman. Berkepala manusia dan setengah hewan.

“Sukmo lebur ing aji pangestune, Sukmo lebur ing segoroning pati, Sukmo Lebur Ing sakjroning pati”

Bima langsung tersentak dan menoleh kearah wanita yang ada didepannya. Saat perempuan itu mengucapkan sesuatu yang tidak ia pahami, tiba-tiba saja ada energi besar yang mendekat. Bahkan tanpa sadar tubuh Bima gemetar dengan sendiri.

“Opo pengenmu, Ndug?” (Apa keinginan mu, Nak?) terdengar suara lembut tepat dihadapan wanita itu.

“Nyai... Matur nuwun sampun rawuh” (Nyai... terimakasih sudah datang) sosok didepan wanita itu hanya tersenyum lembut, sorot matanya benar-benar terlihat tenang.

“Opo pengenmu, Ndug?” sekali lagi sosok itu bertanya, namun kali ini nadanya terlihat sangat mengintimidasi. Seolah dia sudah tidak sabar menunggu apa yang sedang diinginkan oleh wanita yang sedang bersimpuh didepannya.

“Labuh Mayit Nyai” ucap Wanita itu lantang.

“Yen ngono koe wes ngerti aturan e lan lelakune. Tak tunggu olehmu sebtu pahing wulan iki” (kalau begitu kamu sudah tau aturan dan lelakunya. Aku tunggu kamu sabtu pahing bulan ini) ujar sosok tersebut dan langsung menghilang begitu saja.

Bima tersadar, dia tengah tiduran dilapangan sekolah. Sosok Panji sudah entah kemana, nafas Bima memburu... Bima begitu panik dengan apa yang barusan dia liat,
“Bahkan energi Dewi tidak sebesar ini” batinnya. Tiba-tiba saja tangan kanan Bima terasa begitu panas, dia tau Tombak Cempoko Kuning sedang bereaksi.

“Kamu gapapa?” terdengar ucapan yang tidak Bima hiraukan, dia mencari keberadaan Maya. Namun tidak mendapati sepupunya dimanapun. Justu malah melihat Panji yang sedang meronta-ronta dipegangi oleh beberapa orang.

“Kromosengkono” batin Bima, seketika penjaganya sudah berdiri disebelahnya.
“Carilah Maya, akan ku urus mereka” ucapnya.

Bima masih celingukan mencari keberadaan Maya, tidak menghiraukan gumam kebingungan orang-orang yang ada disekitarnya.

Bima melihat Maya sedang berdiri tidak jauh dari sebuah bangunan diujung lapangan.
“Mbak ngapain disini sudah ku bilang untuk tidak jauh-jauh dariku” ucap Bima jengkel.

“Tenang Bim, aku bisa menjaga diriku, aku tadi melihat ada seorang wanita yang mengamati dari arah sana. Energinya benar-benar membuatku sesak” ucapnya sambil menunjuk kearah salah satu sudut bangunan yang gelap.

“Sudah ayok...” ucap Bima sambil menarik tangan sepupunya itu. Kembali kekerumunan Bima melihat Kromosengkono sedang menarik paksa sosok yang merasuki Panji.

Tidak heran jika Maya memekik, sosok yang merasuki Panji begitu mengerikan. Memiliki delapan tangan dengan mata yang begitu banyak dimukanya. Belum lagi taring-taring yang mencuat tidak beraturan disela-sela bibirnya.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” ucap Bima saat melihat Kromosengkono berjalan menuju kearahnya.
“Mereka hanya kiriman, bukan penunggu tempat ini, berhati-hatilah” ucapnya dan langsung lenyap dari pandangan.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” ucap Bima saat melihat Kromosengkono berjalan menuju kearahnya.
“Mereka hanya kiriman, bukan penunggu tempat ini, berhati-hatilah” ucapnya dan langsung lenyap dari pandangan.

Bima menghela nafas panjang,
“Apa lagi sekarang..” ucapnya dan langsung berjalan menuju kearah Panji.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close