Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KUTUKAN SEWU LELEMBUT (Part 8 END) - Takdir

Kerangkeng sukmo sudah menancap di tubuh Raden Sengkuni, namun mereka ragu apakah ini adalah akhir dari Kutukan Sewu Lelembut?

PENGORBANAN (Sudut pandang Danan…) Kobaran api yang membakar hutan di sekitar reruntuhan perlahan mulai padam bersama tetesan hujan yang membasahi wajah kami. Napas kami terengah-engah setelah kenekatan kami untuk memasuki alam itu sekali lagi. Jagad Segoro Demit. “Gimana yang lain?” tanyaku pada Cahyo. Cahyo berusaha untuk berdiri dan menyaksikan Kimpul, Gama, dan Budi masih berusaha untuk bangkit dari kelelahanya. Namun setelah ia menoleh lagi tiba-tiba raut wajah Cahyo berubah. Ia pun segera menghampiri seseorang yang tak jauh dari tempat kami berada. “Nan! Mas Jagad!” Teriak Cahyo.Aku segera bangkit dan merasakan perasaan yang tidak enak. Benar saja di sana Mas Jagad terkapar tak berdaya dengan Nyi Sendang Rangu yang hanya terdiam menatap tubuh itu. “Mas! Mas Jagad!” Teriak Cahyo berusaha membangunkan Mas Jagad yang sama sekali belum membuka mata itu. Aku mengecek nafas dan detak jantungya. Sialnya aku sama sekali tidak menemukan detak jantung dan merasakan hembusan nafasnya. “Mas! Bangun mas!” Ucap Cahyo yang segera menyadari itu dan memompa jantung Mas Jagad. Aku membacakan ajian pemulih untuk menutup semua luka gaib dan mengurangi luka di tubuhnya. Terdengar suara langkah beberapa orang mendekat. Gama dan yang lain cemas dengan apa yang terjadi. “Nan? Mas Jagad…?” Tanya Gama. Aku tidak mau menjawabnya, aku tidak mau menerima kenyataan bahwa harus ada korban di tragedi ini. Namun saat aku menoleh ke arah Nyi Sendang Rangu, ia tidak berbuat apapun dan hanya menitikkan air matanya. “AAAAAAAARRRRGGGHHH!” Teriakku menghantamkan tinjuku sekuat mungkin ke tanah tak mampu menahan perasaanku.

***

Alam Jagad Segoro Demit, beberapa waktu yang lalu…
Ketiga pusaka menancap di tubuh Raden Sengkuni dan sayap lowo irengnya tercabik-cabik oleh amukan Wanasura dan Meong hideung. Sukmanya terbelenggu dengan kerangkeng sukmo sementara kutukanya sirna dengan ajian pemutih raga. Kedua sosok pecahan sukma Raden Sengkuni pun tak luput mulai sirna dan kembali ke jasad Raden Brotoseno dan Birawa.
Ini adalah akhir dari Raden Sengkuni… “Perseturuan trah ningrat tidak akan pernah habis dan akan terus meminta nyawa. Itulah kutukan yang sebenarnya.
Harus ada yang menggantikanku menumpas Trah Ningrat. Mungkin kau raden bodoh, atau mungkin kau.” Raden Sengkuni mengangkat tangannya menunjukku dengan sisa tenaganya.
“Keturunan mahapatih yang mengingkari darah birunya…”
Aku menelan ludah, bagaimana ia bisa mengetahui tentang leluhurku?
Namun itu hanyalah ucapan terakhirnya sebelum teriakkan kesakitan yang muncul saat menyadari rasa takutnya akan kematian.
“AAAaaarrrgghhhh!!!”
Mata Raden Sengkuni melotot tajam seolah melihat berbagai siksaan yang akan dialami setelah kematianya. Tanpa teriakkan itu pun kami semua sudah mengetahui dari raut wajahnya betapa takutnya Raden Sengkuni akan siksaat yang paling menyakitkan itu.
Dan itu akan berlangsung selamanya…
Kami menjauh dari tubuh yang perlahan terkikis dan sirna itu. Nafas kami terengah-engah dan merasa hampir tak ada lagi tenaga yang tersisa setelah serangan terakhir tadi.
Namun ini adalah Jagad Segoro Demit, pertarungan tadi memancing kedatangan makhluk-makhluk berbagai wujud. Aku tahu, mereka sebelumnya hanya memantau kami menunggu celah untuk memangsa kami. Dan saat ini mereka mulai berdatangan.
“Nyi! Mas Jagad! Kembalikan mereka ke alam manusia!” Teriakku pada Nyi Sendang Rangu dan Mas Jagad.
Aku dan Cahyo menaiki tubuh Wanasura dan bersiap menghadang mereka.
“Danan? Kalian?” Gama bingung dengan perintahku.
“Kami akan menyusul setelah menahan mereka! Pergi!” Teriakku.
“Ta—tapi?” Kimpul terlihat khawatir. “Kami sudah pernah tinggal di alam ini cukup lama, kami cukup mengerti. Tapi sangat berbahaya bagi kalian untuk terlalu lama berada di tempat ini..” Ucap Cahyo.

Gama, Budi, dan Kimpul pun mengerti. Sebuah jalur yang tertutup kabut muncul dari sebuah ilmu yang dirapalkan oleh Mas Jagad. Sementara itu Nyi Sendang Rangu mempertahankan portal itu untuk Gama dan yang lain.
“Grrrr… Gerbang itu terbuka, Kita bisa ke alam manusia…grrr…” Suara mengerikan dari makhluk berwujud raksasa bertaring terdengar mendekat dengan cepat. “Wanasura! Jangan biarkan dia mendekat!” Teriak Cahyo.
Dhuaagg!!!
Pukulan keras menahan raksasa yang lebih besar dua kali dari tubuh Wanasura itu hingga terpukul mundur.
“Khikhikhi…Aku akan memasuki kabut itu dan mendapatkan banyak mangsa manusia…khikhikhi” Nenek berekor ular melayang-layang bersama pasukanya mendekat ke arah Jagad. Aku pun memisahkan sukmaku dan melayang menghadang mereka.
“Sebaiknya hentikan saja niatmu!” Ucapku yang segera mengadu kerisku dengan tongkat kayu dari sosok nenek ular itu.
“Hisssshh.. bocah sialan!” Aku bertarung sengit dengan setan-setan itu sementara Cahyo dan Wanasura menghadang raksasa tadi.
“Danan?!” Tanya Gama cemas, namun Budi segera menarik tubuhnya dan membawa Gama bergegas menuju kabut bersama Kimpul.
“Mereka pasti menyusul, Bocah monyet itu tidak selemah itu,” Ucap Budi.
Jagad dan Nyi Sendang Rangu pun mengantar kepergian mereka dan memastikan mereka selamat sampai di alam manusia.
Sraattt!! Srattt!! Srattt!
Pasukan siluman ular itu tumbang satu-persatu. Raksasa itu pun mundur saat mengetahui gerbang sudah tertutup. Namun masih banyak makhluk lain yang memantau ingin memangsa kami. “Akhirnya kita harus bertahan di alam ini lagi ya, Jul!” ucapku.

“Haha, walaupun sudah beberapa kali sepertinya aku tetep nggak akan terbiasa,” Balas Cahyo sembari menunjuk ke ratusan makhluk kerdil bertubuh hitam yang seolah siap mengeroyok kami.
“Nggak papa, Jagad dan Nyi Sendang Rangu pasti akan menjemput kita…”
Aku mempercayai itu, ia pasti akan kembali dalam waktu dekat setelah memulihkan tubuh dan kekuatanyna. Aku tahu, Nyi Sendang Rangu tidak bisa lagi membuka gerbang Jagad Segoro Demit lagi dan Jagad tidak memiliki kekuatan untuk melintasi gerbang Jagad Segoro Demit lagi dalam waktu dekat. Entah dalam hitungan hari, bulan, atau tahun kami yakin mereka pasti akan datang.
Aku dan Cahyo sama-sama membacakan doa dan ayat-ayat suci yang kami pelajari selama terjebak di alam Jagad Segoro Demit. Ini adalah amalan agar kami bisa bertahan dari pengaruh kesadaran alam ini.
“Mereka datang..” ucap Cahyo.
GGGRRRRRRRR!!
Wanasura menggeram, aku pun sudah siap menghadapi makhluk-makhluk itu lagi. “Setelah ini, kita pergi dan mencoba mencari jalan keluar sendiri..” ucapku.
Cahyo menangguk setuju. Tapi sebelum serangan kami beradu, tiba-tiba ledakkan besar muncul menghadang pasukan setan-setan itu.
Blarrr!!! Blarrr!!!
Aku dan Cahyo pun kaget dan menoleh ke arah serangan itu.
“Danan! Cahyo! Cepat!!!” Itu Ajuan Watugeni Mas Jagad, ia kembali lagi. Tak melewatkan kesempatan itu kami pun segera menghampiri Mas Jagad.
“Mas yang lain?” Tanya Cahyo.
“Nyi Sendang Rangu yang mengantar mereka, Tak mungkin aku meninggalkan kalian lagi setelah melakukan hal yang sama saat kejadian Setra Gandamayit dulu..”
Ratusan makhluk tadi kembali mencoba menyerang, namun ajian watu geni Jagad membuat ledakkan besar dan menghadang mereka semua.
“Cepat!!” Teriak Mas Jagad.
Tapi tepat saat teriakkan itu, aku menyadari Mas Jagad segang menahan darah yang seharusnya termuntahkan dari mulutnya.
Aku dan Cahyo Pun tak ingin memakan waktu lagi. Cahyo mengembalikan Wanasura ke dalam tubuhnya dan menembus kabut yang dibuka oleh Mas Jagad itu.

Alam Jagad Segoro Demit hampir tertutup, kami mengikuti mas Jagad yang berjalan menuntun kami ke jalur alam manusia. Langkahnya mulai lemah, rupanya tak hanya kami saja yang kehabisan tenaga. Kami sangat tahu, membuka gerbang Jagad Segoro Demit adalah pertaruhan nyawa dan orang yang berada di depan kami adalah satu dari sekian juta orang yang memiliki kemampuan itu.
“Sampai…”
Jagad membentuk mengangkat telapak tanganya ke depan dan membacakan rangkaian mantra lintas Jagat untuk mengembalikan kami ke alam manusia.
Cahaya bersinat menyelimuti kami, namun sekilas kami sempat melihat sosok-sosok mengerikan yang masih mencoba menembus gerbang Jagad Segoro Demit yang mulai tertutup. ***


HARAPAN Sebelumnya, para pengguna ilmu hitam memerlukan ratusan tahun penantian hingga gerbang Jagad Segoro Demit terbuka, saat itu mereka saling berlomba untuk memasukinya dengan mempertaruhkan segalanya.. Saat memindahkan dedemit setra gandamayit, Jagad terbantu oleh pusaka dan saat itu aku, Cahyo, dan Paklek yang menahan dedemit di sana sehingga Mas Jagad hanya memfokuskan kekuatannya untuk membuka gerbang saja. Tapi kali ini, ia bahkan memindahkan puluhan orang, menyelamatkan kami dari Siti Kawaruhan, dan membawa kami ke Jagad Segoro Demit. Dia benar-benar sangat melewati batasnya. Seharusnya aku sadar bahwa tidak ada tubuh manusia yang bisa bertahan melintasi pembatas alam semengerikan itu. “Sudah Jul..” Ucapku meminta Cahyo menghentikan dirinya yang masih berusaha memompa jantung Mas Jagad. “Nggak! Mas Jagad belum boleh pergi…” Aku ingin menitikkan air mata, namun sebelum itu terjadi terdengar suara gelang gengge Gama. Ada seekor kucing hitam berkaki pincang, sang meong hideung mendekat ke arah kami dan melompati tubuh mas Jagad. Ia pun menoleh ke arah Nyi Sendang Rangu seolah mengkomunikasikan sesuatu. “Danan! Keris Ragasukma!” Ucap Nyi Sendang Rangu tiba-tiba. Aku pun memanggil keris ragasukma dan menyadari ada yang sesuatu yang berbeda. Permata biru yang menghubungkanku dengan ilmu Eyang Daryana masih menyala. Entah apa maksudnya ini. “Mantra leluhur, Nan! Mantra itu menghubungkanmu dengan darah sambara kan?” Ucap Nyi Sendang Rangu. “Ta—tapi?” Aku tidak mengerti, apa maksudnya mereka memintaku memanggil roh Mas Jagad? “Terjadi sesuatu di Jagad Segoro Demit, Sukma Jagad tertinggal di sana!” Jelas Nyi Sendang Rangu. Sepertinya ia mendapat petunjuk itu dari Meong Hideung.

Mendengar itu aku pun bergegas mengambil posisi untuk membacakan mantraku di depan tubuh Mas Jagad. “Jul, Minggir!” Cahyo masih belum mengerti, tapi kali ini ia mengikuti perintahku. Keris ragasukma kuletakkan tepat di hadapan dadaku. Sukmaku menyatu dengan mantra yang diwariskan oleh leluhurku. … Jagad lelembut boten nduwe wujud Kulo nimbali Surga loka surga khayangan Ketuh mulih sampun nampani Tekan Asa Tekan Sedanten… … Hujan Nyi Sendang Rangu pun kembali turun. Aku menoleh ke segala arah mencari kemunculan sosok yang kuharapkan untuk hadir. Benar, ada seseorang yang melangkah di sisi hujan yang begitu deras. Aku memicingkan mataku berusaha mengenali orang itu namun sosok yang muncul itu tiba-tiba menghilang bersama derasnya hujan. Ting…. Suara denting dari benda kuningan yang dipukul menggema di antara suara hujan. Bli Waja muncul dan mendekatkannya pada tubuh Jagad. Ada mantra yang dilantunkan bersama suara yang menggema dari pusaka yang dibawa oleh Bli Waja. “Dia kembali…” Nyi Sendang Rangu mulai terlihat tersenyum. Aku pun menoleh kepada Mas Jagad dan benar, ia mulai membuka matanya. “Danan?!” Teriak Mas Jagad. Aku tak mampu berkata-kata melihat raut wajah mas Jagad yang biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa. Sebaliknya ia seolah kebingungan mencari sesuatu. Aneh, sebelumnya tidak ada apapun di tangan Mas Jagad. Tapi saat ia tersadar, ada sebuah benda yang tergenggam di tangannya. Ia bernapas lega melihat benda itu. “Mas? Mas Jagad nggak papa?” Tanyaku yang bingung harus berkata apa. “Apa yang terjadi?” Mas Jagad bingung. Aku menceritakan kejadian sebelumnya saat mas Jagad tidak bernafas dan kami tak lagi menemukan detak jantungnya. Kami sempat mengira bahwa dirinya tidak selamat setelah membawa kami kembali ke alam ini.

Mas Jagad memperhatikan tangan dan tubuhnya dan terlihat merenung, “Mungkin sebenarnya itu yang akan terjadi bila tidak ada kejadian tadi..” Aku mengernyitkan dahi tak mengerti maksud ucapan itu, namun Mas Jagad menceritakan sesuatu yang sama sekali tidak kusangka. “Aku ketemu leluhur kita di alam itu, Nan! Seorang pendekar pemilik pertama dari Trah Sambara yang mewarisi Keris Ragasukma..” “Eyang Daryana?” Mas Jagad mengangguk. Ia menceritakan bahwa saat kehabisan tenaga untuk menghalangi dedemit dari alam Jagad Segoro Demit tiba-tiba sosok pendekar yang mengenakan pakaian jaman dulu membantunya melarikan diri dengan membawa roh mas Jagad, dan mengembalikan tubuhnya ke alam manusia. Tujuannya agar tetap ada jalur penghubung antara roh dan tubuh mas Jagad untuk bisa menyatukannya kembali. “Dia sedang melakukan perjalanan di alam itu, Nan. Sepertinya dia menghampiri kita karena merasakan ilmu dari permata biru keris ragasukma. Menurutnya, energi yang terpancar mirip dengan miliknya…” Benar ucapan Jagad, permata ini memang menghubungkanku dengan ilmu Eyang Daryana. Tapi aku tidak menyangka bahwa Eyang mengembara di alam itu? Tapi untuk apa? “Sama seperti pertemuan kita dengan Eyang Widarpa muda dulu kah, Nan?” Tanya Cahyo. “Sepertinya begitu…” Aku sedikit tersenyum mengingat kejadian itu dimana saat itulah sekali lagi kami bisa mendengarkan Eyang Widarpa mengatai kami dengan sebutan “Bocah Asu..” “Yah.. alam itu memang penuh misteri, Mas..” Ucapku. “Nggak cuma itu Nan, Eyang Daryana memberiku ini..” Mas Jagad menunjukkan sebuah pusaka berbentuk gelang emas yang kini ada di genggamanya. “Ia benar-benar tahu, bahwa salah satu garis keturunannya akan tidak beruntung dengan pusaka. dimana setiap pusaka yang ia miliki akan hancur. Eyang Daryana pun melakukan perjalanan mencari pusaka ini untuknya. Namun saat mengetahui aku adalah keturunan dari sang ‘Sambara penghancur pusaka’ ia pun mewariskan pusaka ini padaku…” Aku mulai mengerti apa yang terjadi dengan Mas Jagad. Rupanya leluhur kami pun juga memiliki takdir dengan alam Jagad Segoro Demit, dan itu masih menghubungkan mereka dengan kami di saat ini. Ia pun berdiri dan melangkah menjauh dari kami. “Mau kemana mas?” Tanyaku Bingung. “Tenang saja, aku merasa sudah pulih sepenuhnya. Sekarang saatnya menjemput mereka yang masih tertinggal di Siti Kawaruhan..” Mas Jagad kembali berdiri dan mengenakan pusaka barunya. Kali ini ia terlihat semakin tangguh dan bisa diandalkan. Seseorang yang lagi-lagi berjasa besar dalam tragedi ini pun kembali menggunakan ilmu yang menjadi keahliannya. Kabut muncul menggantikan rintikan hujan Nyi Sendang Rangu. Dan Sekali lagi sosok itu menghilang untuk menyelamatkan teman-teman kami lagi. Jagad Putra Sambara… … Cahyo mendekat kepadaku, wajahnya masih terlihat bingung. ia pun memutuskan untuk bertanya kepadaku. “Berarti bener, orang mati kalau dilompatin kucing hitam bisa hidup lagi ya, Nan?” Aku pun hanya menoleh ke arah Cahyo dengan wajah kesal dan meninggalkanya sendiri. “Lho, Aku muk tekok!” *** Enaknya Cahyo diapain?

TAKDIR
Desa Dawuilir… Kobaran api hitam membakar puluhan makhluk berwujud manusia kelelawar hingga tubuhnya berserakan di sekitar desa. Sayangnya sosok manusia berbaju ningrat yang bersayap hitam itu tidak gentar. “Aku harus menunggumu kehabisan tenaga, atau kuhabisi kau sekarang?” ucap sosok itu. Paklek benar-benar kesulitan mengatur napasnya. Ia benar-benar mengerahkan segenap kekuatannya untuk melawan pasukan siluman lowo ireng itu. Paklek tidak sendiri, ada kekuatan yang tak menampakkan wujudnya melindungi mereka dari sosok itu. Semua itu berasal dari salah satu sosok yang menghuni wayang keramat Ki Arsa yang diwariskan oleh ayahnya. Sayangnya, wayang-wayang itulah yang diincar oleh pasukan lowo ireng yang mengincar mereka. “Seandainya aku sudah bisa mengendalikan warisan Bapak ini..” ucap Ki Arsa yang masih menyayangkan kemampuannya yang terbatas. “Tenang, Ki. Akan ada saatnya, saat ini percayakan sama Paklek,” balas Naya. Banaspati di yang melayang dari sosok Raden Sengkuni itu melayang dan melesat menghantam rumah dimana mereka berada, tapi Paklek membalasnya dengan gumpalan api miliknya dan meledakkanya di langit. “Benar, Kau bukan Raden Sengkuni…” ucap paklak. Sosok yang menyerupai Raden Sengkuni itu mulai tersenyum. “HAHAHAHA, lambat sekali kau menyadari. Wujud ini membuatku bisa mengendalikan pasukan Lowo Ireng ini!!” Paklek Geram, ia masih gusar belum bisa memastikan siapa sosok yang mengincar mereka dan apa yang ia inginkan. Tak ingin lebih memakan waktu, sosok itu memerintahkan siluman lowo ireng yang mulai berdatangan untuk menyerang Paklek.

Dengan sigap Paklek menghindar, namun serangan sebanyak itu membuat Paklek tak luput dari luka-luka yang mulai menggores tubuhnya. Paklek tidak menyerah dan terus berusaha menggoreskan kerisnya ke tubuh makhluk-makhluk bersayap itu. Ia pun mencoba mengincar sosok menyerupai Raden Sengkuni itu untuk mengakhiri pertarungan ini, namun sialnya sosok itu terbang menjauh seolah tak ingin menghabiskan tenaganya melawan Paklek. “Hanya wujudmu saja yang sama, namun kau jauh lebih lemah dan lebih pengecut dari Sengkuni!” ucap Paklek. Sosok itu terlihat kesal, namun ia tidak peduli. “Katakan itu setelah mengalahkan pasukanku!” Pasukan lowo ireng itu pun bersiap mengeroyok Paklek. Tanpa menoleh, Paklek membacakan mantra yang terikat dengan bilah hitam Keris Sukmageni miliknya. Darrr!! Darrr!! Darrrr!!!! Seluruh pasukan lowo ireng itu tiba-tiba terbakar dengan api hitam yang berasal dari luka yang digoreskan oleh Paklek. Krieeeeek!!!! Teriak siluman-siluman itu merasa kesakitan. Sayangnya api itu tidak ada niat untuk padam hingga mereka mati. “Bahkan silumanmu jauh lebih lemah dari Lowo ireng bahawan Sengkuni!” Ucap Paklek. Sepertinya kali ini Paklek berhasil memancing emosi makhluk itu. “Bisa-bisa Paklek membuat makhluk itu marah… Bahaya,” Cemas Arsa. “Itu tujuan Paklek, ia memang memancing makhluk itu agar mau menghadapi Paklek sendiri..” jelas Naya yang mengerti maksud Paklek. Arsa mengangguk mengerti, sedikit-demi sedikit ia mulai mempelajari pola pertarungan Paklek. “Cih! Kau pikir kau pantas berhadapan denganku!” Ucap sosok itu. Namun Paklek tidak kehabisan akal, tepat ketika makhluk itu kembali menjauh tiba-tiba kobaran api menabrak tubuhnya dari belakang. Blarrr!!

Makhluk itu terpental. Itu adalah geni baraloka Paklek yang sudah ia nyalakan dan ia letakkan melayang di punggung sosok yang mirip dengan Raden Sengkuni itu. Paklek membuatnya semirip mungkin dengan banaspati yang melayang-layang di punggung sosok itu. “Sial! manusia brengsek!” Umpatnya. “Api berikutnya akan jauh lebih besar dan tak akan bisa kau padamkan!” Ancam Paklek. Sayangnya serangan kejutan Paklek itu tidak berdampak banyak pada sosok itu. Ia masih bisa kembali melayang menjauh dan semakin tak bisa menahan emosinya. “Kerahkan semua! Hancurkan seluruh desa ini! Bunuh setiap makhluk yang bernyawa, hancurkan setiap bangunan yang berdiri! Kirimkan lagi seratus pasukan lowo ireng!” Teriak sosok itu. Mendengar itu wajah Arsa dan Naya pucat seketika. Paklek tetap menjaga napasnya untuk menerima setiap kemungkinan yang terjadi. Seratus pasukan siluman lowo ireng. Walaupun lemah, tapi itu bukan sesuatu yang bisa Paklek kalahkan seorang diri. Paklekpun bersiap dengan Keris Sukmageni yang sudah mengobarkan api di bilah hitamnya. “Tolonglah, sekali ini tolong kami lagi…” Arsa mengibaskan beberapa wayangnya dengan panik berharap ada salah satu dari sosok yang bersemayam di wayang keramat itu akan membantunya. “Kamu belum pantas untuk mendapatkan pertolongan mereka…” ucap sosok hitam yang muncul dari salah satu wayang yang sedari tadi membantu mereka memberikan pelindung dari serangan siluman-siluman itu. Dia adalah sosok yang sama yang melindungi anggota padepokan mereka dari kutukan jengges. “Lalu kenapa kau bisa membantu kami? sedangkan yang lain tidak!” Keluh Arsa. “Kelak kau akan mengerti bila memang ditakdirkan…” Sosok itu kembali menghilang dengan terus mempertahankan perlindungan yang entah apa bisa bertahan dari serangan seratus siluman lowo ireng atau tidak. “Terima saja kematianmu!” Sosok yang menyerupai Raden Sengkuni itu menunjuk ke arah desa memerintahkan seratus pasukan siluman lowo ireng yang ia panggil. Makhluk bersayap itu pun mulai mendekat. Tapi Paklek melihat ada yang aneh. Seratus pasukan? bukan! hanya ada tidak lebih dari hitungan jari siluman lowo ireng yang mendekat mengikuti perintah. “PAKLEK!!!!” TIN!! TIN! TINNN!!! Terdengar suara mobil bak yang mendekat bersama rombongan orang di atas baknya. “Nan! Bener Nan! itu Raden Sengkuni!” Terdengar suara Cahyo yang tiba-tiba menyadari sosok yang menyerupai Raden Sengkuni. “Nggak mungkin, Raden Sengkuni sudah binasa!” Balas Danan. Paklek memicingkan matanya melihat kedatangan mereka, namun ia tersenyum ketika menyadari bekas bekas-bekas sayap lowo ireng menempel di mobil Jagad. “Mana? Mana pasukan Lowo Irengku!!” Geram Raden Sengkuni itu. “Maksudmu lalat-lalat yang beterbangan tadi?” Ucap Cahyo dengan sombongnya. “Mereka sudah menjadi makanan Bli Waja!” Paklek menoleh kepada sosok yang sudah lama tidak ia jumpai itu. Bli Waja duduk bersila dengan tenang di sisi paling belakang tidak mau ikut campur kehebohan Cahyo.

Paklek penasaran, ucapan Cahyo memang sebuah ledekan atau memang benar bli waja yang melakukan itu. Namun ketika sisa siluman lowo ireng itu mulai berkumpul dengan Raden Sengkuni palsu itu Bli Waja membuka matanya dan sekali lagi melayang dalam bentuk rangda. “Bli waja! butuh bantuan?” Tanya Danan. Rangda itu hanya menggeleng singkat mendatangi sisa siluman-siluman itu dan memakan mereka. Raden Sengkuni palsu itu pun menghindar menjauh dari Rangda Bli Waja. Ia memasang perisai dengan bola-bola api di tubuhnya. Jelas, walaupun lebih lemah dari Raden Sengkuni ia juga tidak bisa diremehkan. BLarr!! Blarr! BLar!!! Bola-bola api itu menyerang Bli Waja hingga terlempar mundur, namun itu bukan masalah besar untuknya. Raden Sengkuni palsu itu pun melihat ke sekitar dan menyadari bahwa tidak ada lagi pasukan lowo ireng yang masih hidup. “Siapa kalian?!” Teriak sosok itu. Bli Waja tidak ingin gegabah, ia tidak serta merta membunuh Raden Sengkuni palsu itu demi mengetahui apa yang sebenarnya mereka incar. “Kamilah yang seharusnya bertanya, SIAPA KAMU!” Balas Cahyo dengan suara Wanasura menggeram dari dalam tubuhnya. Raden Sengkuni itu pun mundur menjauh menyadari keberadaan Wanasura. “Sepertinya tidak ada gunanya lagi aku menggunakan wujud ini…” Sosok itu pun berubah menjadi seorang pria tua berambut putih panjang dan berjanggut. Ia masih melayang, namun bukan lagi dengan sayap lowo irengnya melainkan dengan kekuatan gaib yang ia miliki. “Hati-hati, kalau dia benar-benar bisa melayang, dia pasti bukan makhluk lemah!” Ucap Nyai Jambrong yang seolah mengenali sesuatu dari makhluk itu. Benar saja, kilatan-kilatan hitam tiba-tiba mencoba menyambar Danan dan yang lainnya. Beruntung setiap dari mereka mampu cekatan dan menghindari semua serangan orang itu. “Kau lengah..”

Dalam sekejap, sukma Danan sudah berada di belakang makhluk itu. Keris ragasukma pun menancap di tubuhnya. Darah hitam pun termuntahkan dari mulut pria tua itu. “Brengsek!” Sebuah Kilatan hitam menyerang sukma Danan, namun Danan mencabut kerisnya dan mengadunya dengan kilatan putih miliknya. “Darah hitam pekat, dia siluman bukan manusia!” Teriak Paklek. Danan dan Cahyo pun menyadari berbahayanya makhluk itu. Cahyo segera melompat dengan kekuatan Wanasura hingga pukulannya mencapai tubuh makhluk itu, namun seranganya dapat tertangkis dan membuat Cahyo kembali terjatuh ke tanah. Guntur dan Dirga dengan cekatan menangkap Cahyo yang terjatuh dan bersiap untuk menyerang lagi. Tapi anehnya tiba-tiba makhluk itu tidak lagi ada di langit. “KAU!!!” Sosok itu tiba-tiba muncul di belakang Dirga. Guntur pun menarik Dirga yang panik dan membawa Dirga ke tempat yang aman di dekat Cahyo. “DARAH PEWARIS DARMAWIJAYA!!! TUANKU HARUS TAHU INI!! HAHAHA!!” Seketika makhluk itu terlihat senang melihat Dirga. Makhluk itu pun membakar kekuatannya dan mencoba menangkap Dirga. “Darah Darmawijaya! Tubuhnya! Setiap tulangnya adalah korban terbaik untuk kebangkitan Trah Pakujagar!!!” Teriaknya. Dhuaaag!!

Cahyo menghajar makhluk itu tapi kali ini ia tidak peduli dan membiarkan setiap luka di tubuhnya. Ia benar-benar ingin menangkap Dirga apapun yang terjadi. Sratt!! Srattt!! Srattt!!! Paklek tidak tinggal diam dan terus menghalangi makhluk itu untuk menangkap Dirga. Pertarungan sengit terjadi saat itu. Namun Paklek dan yang lain tahu bahwa tidak ada kesempatan dari makhluk itu untuk menangkap Driga. “Cukup..” Makhluk itu kembali melayang menjauh dan menghindari pertarungan itu. Ia tersadar dari kegirangannya menemukan Dirga. “Aku tidak boleh mati di sini! Tuanku pasti senang mendapatkan kabar ini.” Sosok itu pun melesat menjauh meninggalkan desa ini, namun Bli Waja sudah menghadang di ujung desa dengan wujud Rangdanya. Srraaatt!!! Kuku besar rangda Bli Waja mengoyak tubuh makhluk itu, tapi itu saja tidak cukup. Makhluk itu tidak kembali melawan dan terus melesat meninggalkan mereka. “Danan! dia kabur!” Teriak Cahyo. Danan tidak menaggapinya dengan serius dan berjalan menuju desa.”Tenang, dia sudah tidak bisa kemana-mana.” Danan pun menoleh ke arah Paklek yang sudah siap membacakan mantra bersama keris di genggamanya. Sebuah mantra yang diwariskan oleh Mbah Jiwo saat membuat bilah hitam di keris sukmageni. Blarrrrr!!!!!! Cahaya api hitam terlihat muncul dari kejauhan. “AAAARRRGHHH!!! PANAAAASSS!!! HENTIKANNN!!” Sosok siluman berwujud manusia peliharaan Trah Pakujagar itu terbakar dengan api hitam Paklek. Ia jatuh dan meronta kesakitan dengan panas yang begitu menyiksa. “AMPUN!! HENTIKAN!” “Rupanya api itu juga membakar kesombonganmu,” ucap Bli Waja. Sayangnya membiarkan makhluk itu hidup mungkin saja akan memancing kedatangan sosok lain. Mereka pun membiarkan api hitam Paklek membakar habis tubuhnya hingga tak bersisa. … “Trah pakujagar lagi…” Gumam Guntur. “Kamu tahu sesuatu?” Tanya Cahyo pada Guntur. “Terjadi sesuatu di Siti Kawaruhan, ceritanya cukup panjang. Sebaiknya kita bahas ini setelah menolong warga desa.” ucap Nyai Jambrong. Mendengar itu terlihat wajah cemas diantara Danan, Cahyo, dan yang lainnya. namun benar, nyawa warga desa lebih utama.

“Aku sudah menyimpan sukma warga desa, saatnya mengembalikan pada tubuhnya masing-masing,” ungkap Bli Waja. Sebenarnya saat kematian Raden Sengkuni, sukma warga desa dawuilir yang menjadi bahan bakar kutukan Raden Sengkuni bisa kembali dengan sendirinya. Namun keadaan Astana Giridanyang yang dikerubuti oleh makhluk-makhluk tak kasat mata membuat ada kemungkinan sukma mereka dilahap oleh makhluk-makhluk itu. Saat itulah Bli Waja memutuskan untuk mengantarkan sendiri sukma warga desa dawuilir yang akhirnya ia amankan. Tubuh-tubuh siluman lowo ireng itu pun menguap menyisakan beberapa tulang dan bagian tubuh yang menjadi katalis mereka. Entah darimana siluman-siluman ini berasal, namun mereka merasa bahwa mereka akan berurusan lagi dengan siluman-siluman itu. Setelah memastikan keadaan benar-benar aman, Naya pun berlari menghampiri Danan dan meluapkan rasa cemasnya. “Kamu nggak papa, Naya?” Tanya Danan khawatir. “Kebalik, Mas! yang babak belur itu kamu!” Balas Naya menepuk pundak Danan. “Oh iya bener juga,” Entah mengapa rasa sakit yang Danan rasakan saat itu mendadak berubah menjadi anugerah ketika mengingat ada seseorang yang akan merawatnya dengan baik. “Adudududuh!Kakiku! kesleo, badanku sakit semua!” Cahyo tiba-tiba terduduk kesakitan setelah melihat Danan dan Naya. “Ah, perlu ada yang ngerawat!” Danan pun melirik sebal melihat tingkah laku Cahyo yang mencoba menggoda dia dan naya. “Kenapa, Mas? Luka habis pertarungan tadi?” Tanya Guntur khawatir. “Coba biar diperiksa sama Nyai Jambrong!” Cahyo pun menoleh dan melihat pendekar nenek tua itu mulai mendekat. “Nggak! Nggak jadi! Udah sembuh!” Balas Cahyo yang memilih untuk segera berdiri dan buru-buru masuk ke balai desa. Danan pun menoleh ke arah Guntur dan memberikan kode berupa jari jempol padanya. Mereka berdua pun tertawa atas keberhasilan siasat mereka. “Kalian ngetawain apa?” Tanya Nyai Jambrong yang sudah sampai di dekat mereka.

“Eh! Eng–enggak eyang! biasa Mas Cahyo..” Jawab Guntur kaget. Danan pun lebih memilih untuk pura-pura tidak tahu dan menggandeng naya mengajaknya segera masuk ke balai desa. Senyum kecil terlihat di bibir Naya melihat drama kecil antara mereka dan Cahyo. Mereka memang tidak pernah gagal mencairkan suasana yang tegang setelah berbagai tragedi yang menimpa mereka. ***

Suara lantunan mantra dan doa-doa terdengar di sebuah ruangan yang terdapat puluhan warga desa yang terbaring tak sadarkan diri. Wajah-wajah ragu para petugas medis menghiasi ritual yang dilakukan oleh Bli Waja, namun raut wajah seperti itu sudah tidak mengherankan di mata mereka. Ting… Suara denting itu menggema bersama mantra Bli Waja. Suasana mencekam sebelumnya berubah menjadi tenang saat mangkuk kuningan itu di pukul. Ting… ting… ting… gema itu secara sendirinya memulihkan jiwa siapapun yang mendengarnya. Suara yang menenangkan terlebih dibalut dengan doa-doa yang dibacakan dengan bahasa bali oleh Bli Waja. “I–ini dimana?” Tiba-tiba terlihat salah seorang warga desa terduduk dan terlihat bingung dengan situasinya. “Apa yang sudah terjadi?” “Ada apa dengan saya?” Satu persatu warga desa mulai tersadar. wajah pucat mereka mulai menghilang menandakan semua kutukan yang merasuki mereka sudah sirnah sepenuhnya. “Jangan memaksakan diri dulu, tubuh kalian masih lemah..” Ucap Naya yang sigap menghampiri mereka dan mencoba menahan mereka untuk merespon secara berlebihan. Bagaimana tidak, saat ini tubuh warga desa lebih kurus dengan sedikitnya nutrisi yang mereka serap saat mereka tidak sadarkan diri. Tapi tenaga medis, mantri, dan anggota padepokan wayang ki arsa sudah bersiap membantu mereka dan merawat mereka sebelum memulangkan mereka kembali ke rumah. “Mas Danan, istirahat dulu saja. Yang lainnya juga. Biar kami yang mengurus warga desa,” ucap Naya. “Iya, mas. biar gantian kami..” Tambah Arsa. Danan pun mengangguk dan mengajak yang lain untuk beristirahat di tempat yang telah disiapkan untuk mereka. Setelah menghabiskan minuman di gelas mereka masing-masing pun mereka tidak menahan diri untuk meletakkan kepalanya kasur-kasur lipat sederhana yang sudah disiapkan. Rasa lelah yang menumpuk membuat kesadaran mereka hilang hanya dalam beberapa saat. Biar bagaimanapun, mereka baru bisa tidur dengan nyenyak setelah memastikan seluruh warga desa telah selamat. ***

Saat itu matahari masih malu-malu menunjukkan cahayanya. Dinginnya udara subuh dan kabut pagi masih setia menyelimuti desa dawuilir. Tapi, sebuah perasaan membuat Danan terbangun. Ada sesuatu yang mengganjal pikiranya, ada sesuatu seolah seperti sebuah isyarat yang memaksanya untuk terbangun. Danan tidak sendiri, sesuatu juga membangunkan Cahyo dan Paklek. Terlebih Dirga tiba-tiba terbangun dengan wajah cemas dan buru-buru berlari keluar. Danan yang menyadari itu segera menyusul Dirga bersama yang lain. Tak ada yang bisa menebak maksud dari kecemasan Dirga sementara di luar hanya kabut yang menyambut Dirga. “Kenapa, Dirga?” Tanya Jagad. “Aku ngerasa ada yang datang,” balasnya masih dengan wajah yang bingung. Jagad melihat sekeliling dan tidak menemukan siapapun yang mendekat baik manusia maupun makhluk halus. Tapi untuk Danan dan Cahyo, firasat yang mereka rasakan bersamaan sudah pasti merupakan sebuah pertanda. Bruuuggg!!! Di tengah kebingunan mereka tiba-tiba sebuah benda jatuh tepat di hadapan Dirga. Ia melihat ke arah benda itu dan seketik wajahnya pucat, ia jatuh terduduk. “Ke–kepala!!!” Jagad menjemput Dirga dan membantunya berdiri. Ada sebuah kepala dari seseorang yang berwajah sangat berumur di hadapan Dirga. Napas Dirga berderu cepat, ia berusaha mengenali kepala seseorang di hadapannya yang seolah tidak asing. “Nan, Itu..” Ucap Cahyo yang terlihat begitu geram. Tangannya sudah mengepal dengan kekuatan Wanasura yang meluap-luap. “Iya, ini keterlaluan…” Balas Danan.

Jelas saja Danan, Cahyo dan mereka yang berada di sana geram. Mereka sangat mengenal kelapa seseorang yang terjatuh di hadapan Dirga itu. “Tidak, tidak mungkin.. itu Eyang Topo! ITU KEPALA RADEN TOPO!!!!” Dirga tidak mampu menahan emosinya, matanya berkaca-kaca mendapati kepala salah satu kerabatnya yang membantu melawan Ki Luwang itu telah mati. “KELUAR!! KELUAR KALIAN!!” Teriak Dirga. Di tengah emosinya tiba-tiba muncul seseorang yang melesat dengan parangnya mengincar leher Dirga. “Bodoh…” Tepat sebelum parang itu memisahkan kepala Dirga dari tubuhnya, sebuah tendangan melesat menghantam orang itu. Dhuaaggg!!! Orang itu terpental oleh tendangan Guntur yang juga muncul tiba-tiba. Terlihat sudah… Dia adalah seorang kakek berjanggut panjang yang hanya mengenakan kaos putih lusuh dan celana panjang hitam dengan bertelanjang kaki. Sebuah parang yang berlumuran darah tergenggam di tangannya. “Siapa kalian?!” teriak Dirga. “Aku tidak harus menjawab kalian,” ucap orang itu yang segera kembali menyerang. Tapi kali ini Jagad dengan sigap menangkis serangan orang itu. Pertarungan mereka begitu sengit, namun Cahyo melesat turut dalam pertarungan itu untuk segera menyelesaikannya. Sayangnya sebelum ia sempat membantu Jagad tiba-tiba sebuah anak panah melesat dari tempat ya tak mereka ketahui. Cahyo menghindar, namun ia tidak cukup cepat sehingga pipinya tergores oleh serangan itu. “Hati-hati, kakek gila itu tidak sendiri!” Teriak Danan. Benturan serangan terjadi antara Jagad dan Kakek tua itu hingga mereka sama-sama terpental. Dhuaggg!! “Cukup! Mundur!” Teriak seseorang dari yang tiba-tiba muncul dari dalam kabut. Ia adalah seorang pria tua berambut panjang yang hanya mengenakan pakaian hitam sederhana layaknya dukun pada umumnya. namun tubuhnya terlihat kekar seolah ia dalah petarung terlatih. Ada sesuatu dari orang itu yang membuat mata Danan dan yang lainya cukup heran. Ada sebuah keris di tangannya. Sebuah keris yang sangat mereka kenal. “Itu! Itu Keris Dasasukma! Bagaimana keris itu bisa berada di tangannya?” Tanya Mas Jagad. “Dia merebutnya dari Dirga saat kami berada di Siti Kawaruhan,” Jawab Guntur. Dirga terlihat sangat kesal, saat itu keris yang selama ini bertarung dengannya berada di genggaman sosok yang menyerangnya. “Berarti tidak salah lagi, mereka berasal dari Trah Pakujagar,” ucap Dirga. Mendengar ucapan itu Danan, Cahyo, dan yang lain segera mengelilingi Dirga dan melindunginya. “HAHAHAHA!!! aku tidak berniat bertarung dengan kalian. Awalnya kami hanya ingin mencari tahu siapa yang membunuh salaah satu ingon kami. Tak kusangka kami bertemu dengan bocah Darmawijaya itu lagi, hanya bocah itu saja yang kuinginkan!” Ucap sosok pengguna Keris Dasasukma itu.

“Hentikan, Prabu Junoyo. Kekuasaanmu sudah hancur ratusan tahun lalu…” Tiba-tiba Nyai Jambrong muncul dari dalam rumah. Ia seperti mengenali sosok dari Trah Pakujagar. “Sebuah kehormatan bila Nyai Jambrong akhirnya mengingat namaku,” Prabu Junoyo. “Prabu? Dia seorang raja?” tanya Danan. “Raja yang dikutuk, Raja terjahat dari kerajaan terkejam..” Jelas Nyai Jambrong. Ucapan Nyai Jambrong membuat Danan dan yang lainnya semakin waspada. dan benar saja, tanpa mereka sadari Prabu Junoyo sudah menghilang dari tempatnya. “Yang kubutuhkan saat ini hanyalah bocah pewaris darah darmawijaya itu!”

Suara itu menggema diantara mereka, namun perlindungan Jagad, Danan, dan yang lain terlalu rapat untuk disusupi. Sebuah panah melesat, namun Danan menghalaunya dengan keris ragasukma. Kakek tua pembawa parang itu menyerang, namun Cahyo dengan sigap melayaninya. “Kalian tidak mungkin mengalahkan kami,” Ancam Jagad. “Mengincar orang lemah tanpa pusakanya bukanlah perkara sulit!” ucap Prabu Junoyo yang tiba-tiba berada diantara Danan dan Jagad dengan bentuk tubuh yang menipis dan kembali melebar saat mendekati Dirga. “HAHA! Mati dengan kerismu sendiri adalah hal menarik, Bukan!!” Ucap Prabu Junoyo sombong. Trang!!! Keris Dasasukma Prabu Junoyo beradu. Dirga mengeluarkan sebuah keris yang bisa mengimbangi Keris Dasasukma di tangan Prabu Junoyo. Kini Danan bisa memiliki kesempatan untuk menghalau Prabu Junoyo dari Dirga. “Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin benda itu juga ada di tanganmu? Aku sudah memastikan yang kumiliki saat ini benar-benar Keris Dasasukma?!” Ucap Prabu Junoyo yang menyadari keanehan pada keris yang digenggam Dirga.

“Seorang Darmawijaya tidak akan melarikan diri tanpa perlawanan! Saat Guntur berhasil membantu merebut keris itu, Aku sudah memecah Keris Dasasukma dan menyatukan pecahannya dengan sukmaku. Saat ini aku memiliki satu pecahan dari Keris Dasasukma..” Ucap Dirga. Prabu Junoyo berhasil dibuat geram oleh Dirga. “Bocah licik!” Guntur menepuk pundak Dirga memuji siasat pintarnya. “Menyerah saja, kalian tidak akan bisa mengalahkan kami..” UCap Cahyo sombong. “Tidak bisa? Bahkan membaca keberadaan kami pun kalian tidak mampu. itu sudah menandakan seberapa lemah kalian! HAHAHA!” Ledek Prabu Junoyo. “Khekhekehe…. Benar! Jangan lupa bahkan kakek tua jagoanmu itu saja tidak bisa merasakan kedatangan muridku ini, Guntur! Benar-benar lemah!” Balas Nyai Jambrong.

Kakek pembawa parang itu kesal dengan ledekkan Nyai Jambrong. Namun ucapannya tidak salah. Kelebihan dari Trah Pakujagar adalah ilmu beladirinya. hal itu semakin mengerikan ketika mereka memadukannya dengan pusaka dan ingon terkuat yang mereka miliki. Tanpa mereka sadari, di sekitar desa tiba-tiba terlihat bola api yang melayang-layang. Geni Baraloka Paklek sudah menjaga titik-titik desa dan bersiap menyerang mereka. Sementra itu, cahaya matahari mulai bersinar dan menunjukkan keberadaan sosok mereka dengan lebih jelas. “HAHAHA! Ini menyenangkan! aku ingin tahu sekuat apa kau saat semua keluarga Trah Darmawijaya kuhabisi!! Kita akan bertemu lagi setelah Trah Pakujagar bangkit sepenuhnya. Kita bangkitkan perang terbesar sepanjang masa! Perang dari semua ras yang hanya pernah terjadi di Padang Kurusetra!” Ucapnya. Makhluk itu pun mundur bersama beberapa sosok yang melesat dalam gelap. Ternyata ada lebih dari tiga orang yang bersama mereka, namun sayangnya Danan dan Cahyo hanya menyadari keberadaan ketiga orang tersebut. Hal itu membuat mereka menyadari kekurangan di diri mereka.

“Kita harus melawan mereka!” ucap Danan. “Benar, mereka akan membunuh banyak kerabat Dirga,” tambah Cahyo. “Jangan, belum waktunya…” ucap Nyai Jambrong. Ia memerintahkan Danan, Dirga dan yang lain untuk kembali. dan membicarakannya di dalam. Menurut Nyai Jambrong, Trah Pakujagar tidak akan bertindak sebelum bangkit sepenuhnya. mereka harus menemukan kembali keturunan dari Trah Pakujagar murni untuk bisa mendapatkan kembali pusaka dan ingon mereka di jaman kejayaanya dulu. “Tapi, Kematian Raden Topo?” Tanya Dirga. “Itu hanya peringatan, Raden Topo mungkin lengah dan tidak mengetahui kebangkitan trah Pakujagar. Namun setelah ini mereka pasti lebih waspada dan tidak akan semudah itu dikalahkan,” Balas Nyai Jambrong. Sama seperti persiapan kebangkitan dedemit dari Setra Gandamayit, Trah Pakujagar membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk kembali bangkit seutuhnya sembari bersembunyi dalam gelap.

Sementara itu, mereka juga harus mempersiapkan kemungkinan terburuk bila pada akhirnya harus menghadapi pertarungan besar melawan Trah Pakujagar.

“Yang terburuk, mungkin kalian harus menghadapi perang santet, adu ilmu dari berbagai ras, dan betarung melawan ingon kerajaan jaman dulu yang belum pernah kalian lihat wujudnya..” ucap Nyai Jambrong.

Penjelasan itu membuat mereka menelan ludah. Danan melihat keris ragasukmanya dan mulai membayangkan bagaimana caranya ia membangkitkan kekuatan terakhir dari permata merah keris ragasukma.

Cahyo mulai merenung dan berkomunikasi dengan Wanasura yang berada di dalam tubuhnya. Ia masih membayangkan apa ada ingon keramat yang lebih mengerikan lagi dari Wanasura? Tak ada lagi yang bisa mereka lakukan.

Pagi itu adalah sebuah pernyataan dimana mereka dipastikan akan berkumpul sekali lagi. Dengan masing-masing dari diri mereka yang berjanji akan menjadi semakin kuat dan dapat diandalkan.

Namun tak hanya mereka, dari alam tak kasat mata di sekitar mereka berkumpul sosok-sosok keramat yang berasal dari wayang keramat Ki Arsa. Keberadaan mereka memastikan bahwa mereka tidak akan sendiri.

-SEKIAN-

EPILOG Astana Giridanyang… Tumpukan tanah berjejer rapi menyembunyikan jasad-jasad dari korban dan makhluk yang dihidupkan oleh Raden Sengkuni. Seseorang tengah duduk melepas lelahnya setelah membutuhkan waktu berhari-hari menguburkan jasad-jasad yang mulai membusuk itu.

“Bah Jajang, kenapa tidak bilang sama kami buat bantu menguburkan mereka,” Ucap Danan yang baru sempat kembali ke Alas Rowosukmo yang tak jauh dari bekas warung Bah Jajang.

“Kalian sudah bertarung sampai sebegitunya, benar-benar tidak pantas bila saya meminta kalian melakukan ini juga..” “Banyak dari mereka yang memang berniat menghabisi manusia, kenapa Bah Jajang kepikiran buat menguburkan mereka?” Tanya Cahyo.

“Tuhan itu maha pengampun, mengapa kita harus membenci mereka yang sudah mati? toh kita tidak tahu apa dosa mereka terampuni atau tidak, kan?” Balas Bah Jajang. Cahyo mengangguk tersenyum mendengar jawaban Bah Jajang.

Di satu sisi Bah jajang sebenarnya hanya ingin mengakhiri apa yang telah ia lakukan semasa hidupnya mengenai mencari tahu tentang reruntuhan astana girindanyang dan kutukan sewu lelembut demi kerabatnya.

Dengan memakamkan mereka, Bah Jajang menganggap ini adalah akhir dari kutukan sewu lelembut yang sudah berkali-kali bangkit di banyak jaman. “Kalian janjian bertemu di sini?” Tanya Bah Jajang. Danan mengernyitkan dahi dan menoleh pada Cahyo yang juga bingung.

“Janjian? Memangnya siapa yang ke sini Bah?” Tanya Cahyo. Bah jajang menoleh ke arah salah satu sisi pemakaman. “Raden muda itu sudah ada di sana sejak tadi. hanya dia yang mengingat nama-nama dari jasad-jasad ini, dialah yang menamai semua makam ini.”

Danan dan Cahyo mendapati Kimpul tengah merenung dihadapan kuburan-kuburan orang-orang yang mungkin ia kenal. Memang banyak korban berjatuhan dari kerabat Kimpul yang masih masuk dalam trah ningrat. Tapi lebih dari itu, Danan dan Cahyo menyadari banyaknya luka di tubuh Kimpul.

“Masih ada pertempuran lagi setelah Raden Sengkuni?” Danan menyapa Kimpul. “Eh, Mas Danan? Mas Cahyo?” Kimpul cukup kaget melihat kedatangan mereka. “Kayaknya ngelamunnya serius banget,” tegur Cahyo yang segera mengambil posisi duduk di sebelah Kimpul.

“Iya mas, setelah Raden Sengkuni kalah masih banyak yang ingin merebut kutukan sewu lelembut dan mengincar pangaweruhku. Pertarungan di Siti udapiyan tidak bisa kuhindarkan..” Jelasnya.

Rupanya pertarungan trah ningrat tidak selesai sampai di situ saja. Mungkin benar apa kata Sengkuni, kutukan sebenarnya dari trah ningrat adalah perseteruan yang abadi dan tak kunjung henti, dan Kimpul harus menghadapi itu semua. “AAARRRGGH!!!”

Tanpa ada tanda-tanda tiba-tiba Kimpul memegangi kepalanya dan kesakitan. Danan menangkap badan Kimpul dan mencoba menyadarkanya. “Kimpul? kenapa?!” Perlahan Kimpul tiba-tiba mulai tenang dan berusaha untuk berdiri.

“Pangaweruhku, aku melihat kalian berada di pertempuran yang mengerikan lagi?!” Ucap Kimpul. Danan dan Cahyo pun melepaskan Kimpul setelah memastikan Kimpul mulai tenang. “Ooh.. kirain apa,” balas Cahyo tenang.

Kimpul bingung mengapa Danan dan Cahyo tidak khawatir dengan apa yang ditunjukkan oleh pangaweruhnya. “Kami sudah tahu dan sudah bersiap akan itu, tidak usah khawatir..” ucap Danan. “Tapi…”

“Kalau terus memikirkan perang lawan demit, kita nggak akan bisa menikmati masa damai. sudah, jangan terlalu diambil pusing,” ucap Cahyo. Baru saja selesai berbicara suara langkah kaki terdengar dari dari belakang. Ada seseorang yang sangat tidak asing mendekati mereka bertiga.

“Sepertinya ada yang mengumpulkan kita tanpa kita sadari,” ucap gama. Melihat kedatangan Gama, Cahyo menoleh ke arah sekitar. “Mamang gondrong?” Tanya Cahyo. Gama tidak berbicara, namun wajahnya menoleh sedikit ke salah satu arah yang merupakan isyarat dimana Budi bersembunyi.

“Ngapain jauh-jauh, Mang! sini ikutan! ada sisa sesajen disini!” Ucap Cahyo yang terlihat tidak bisa bila tidak menggoda Budi. Melihat kedatangan Cahyo budi mencoba menghindar, namun sayangnya kecepatan Cahyo tidak kalah dari budi. “Jangan tarik-tarik bajuku!!” protes budi.

“Udah, jangan malu-malu!” balas Cahyo. Danan, Kimpul, dan Gama hanya tertawa melihat tingkah mereka. Bersama kedatangan Gama, terlihat beberapa orang yang datang menghampiri Bah Jajang. Umur mereka tidak begitu jauh. Ki Duduy dan Abah berniat memastikan keadaan di tempat ini.

Terlebih, sepertinya mereka tidak ingin membiarkan Bah Jajang merasa sendirian. “Bagaimana mereka berdua bisa begitu cocok,” ucap Bah jajang yang terhibur dengn polah Cahyo dan Budi.

Ki duduy menghela nafas memandangi kedua orang itu. “Entah bagaimana menjelaskannya, tapi yang terlihat mereka memiliki kesamaan. Mereka sama-sama memiliki masa lalu yang kelam…” ucap Ki Duduy.

Ada seekor kucing hitam yang berjalan pincang memandang sisa-sisa reruntuhan astana giridanyang dari atas batu. namun lebih dari seekor kucing,

entah mengapa mereka merasa melihat sosok seorang ulama yang mendampingi kucing itu memandangi sisa-sisa tragedi yang hampir memakan ribuan nyawa. Dia sudah pergi, namun ia tidak benar-benar pergi. Hidupnya adalah perjalanan mencari kebijaksanaan,

dan saat kepergiannya adalah waktu yang sebenarnya bagi sang Ki Langsamana untuk menyelesaikan tujuannya. Membersihkan manusia dari kuasa-kuasa jahat yang mencoba memanipulasi mereka.

Dan dengan hebatnya sosok itu berhasil melakukannya melalui keturunan dan mereka yang mewarisi kebijakannya. ***

Epilog 2 Di Desa Guntur… Brugggh! Sebuah pukulan medarat di pipi Dirga yang membuatnya terjatuh terpojok ke tembok. “Nggak ada sejarahnya pendatang bisa macam-macam di desa ini!” teriak salah seorang pemuda berbaju SMA yang mengerubungi Dirga bersama teman-temannya.

“Tapi saya teh nggak ngapa-ngapain,” balas Dirga. “Banyak omong!” Buggh!! Pemuda itu kali ini memukul perut Dirga dan membuat Dirga tertunduk. Namun sebelum pukulannya kembali mendarat di tubuh Dirga, tiba tiba sebuah biji salak menghantam wajah pemuda itu.

“Sama anak SMP beraninya keroyokan!” tiba-tiba Guntur muncul dari atas pohon dan melempari pemuda-pemuda itu dengan biji salak. “Heh, kalau berani turun kamu!” Teriak anak-anak SMA itu. “Kalau aku turun bisa-bisa kalian babak belur,” balas Guntur.

“Jangan sombong kamu! Awas!” Mereka pun menaiki pohon yang dipanjat oleh Guntur. Sementara itu Guntur meledek mereka dari salah satu dahan hingga mereka begitu emosi. “Sekarang mau lari kemana kamu?!” Ancam mereka yang sudah sampai di dekat Guntur.

“Ke bawah lah!” Balas Guntur yang segera melemparkan biji salak ke sebuah sarang lebah besar yang menggantung di pohon itu. Setelah melakukan itu, Guntur melompat dengan mudahnya ke bawah dari ketinggian yang tidak masuk akal itu.

“Eh? Dia kok bisa lompat?” Tanya salah satu dari anak SMA itu yang bingung melihat kekuatan fisik Guntur. “Jangan diem aja, kabur!” Teriak Guntur sembari mengajak Dirga meninggalkan anak-anak SMA itu bersama lebah-lebah yang mulai meninggalkan sarangnya. “Ta–tawonnya keluar!!!”

Guntur pun tertawa terbahak-bahak sambil berlari meninggalkan orang-orang yang mengintimidasi Dirga itu. “Parah kamu, Tur!” ucap Dirga. “Kamu yang parah, udah dipukulin masih diem aja” balas Guntur. “Lha nggak sakit kok…” “Tapi kan harga diri,” balas Guntur kesal.

Setelah cukup lama berlari mereka pun tiba di sebuah rumah yang terpayungi sebuah pohon besar. ada seorang nenek yang sudah menanti mereka di sana. “Pokoknya kali ini kita harus menang, Aku nggak mau puasa lagi!” Ucap Guntur memperingatkan Dirga.

“Tenang, aku sudah punya rencana buat menang,” balas Dirga yang segera melempar tasnya dan berlari menuju Nyai Jambrong yang sudah memasang kuda-kudanya. Dhuagg!! Dhuagg!! Tendangan dari kedua pemuda itu dapat ditahan dengan mudah oleh Nyai Jambrong.

“Kurang tenaga!” Teriak Nyai Jambrong yang membalas tendangan mereka dengan menapakkan kedua tangannya di perut mereka. Hanya dengan gerakan itu saja Guntur dan Dirga bisa terpental. “Ayo, lagi!” ajak Dirga. Kini ilmu bela diri Dirga mulai bisa mengimbangi gerakan Guntur.

“Kalau cuma segini kalian cuma akan jadi sate lawan pendekar Pakujagar!” Teriak Nyai Jambrong. “Kalau begini?!” Tiba-tiba Dirga muncul dari dalam bayangan dan sebuah pukulan tiba-tiba saja menggapai pipi Nyai Jambrong. “Belum!” Bruaggg!!! Dirga kembali terpental.

“Bersembunyi di bayangan hanya jurus dasar bagi pendekar telik sandi,” balas Nyai Jambrong. Mereka tidak tahu, apakah mereka akan bisa sampai di tahap mampu untuk mengalahkan pendekar Trah Pakujagar atau tidak.

Namun bila ada yang bisa memperbesar kemungkinan itu, mungkin pelatihan dari Nyai Jambrong adalah jawabannya. … Malam itu warga desa tiba-tiba menutup pintu-pintu rumahnya.

Ada kabar mengenai warga desa yang hilang selama dua malam dan kembali dengan tubuh penuh luka dan bau yang sangat amis. Ada penyakit gaib yang menjangkit tubuhnya. Warga desa ketakutan, sementara kelompok ronda terlihat cemas walau sudah berkeliling secara berkelompok.

“Heh! Kita nggak pulang? udah gelap nih.. katanya lagi ada demit berkeliaran,” ucap salah seorang dari anak SMA yang memukuli Dirga. “Halah penakut, akal-akalan orang gede aja itu!” balas yang lainnya.

Mereka melanjutkan permainan kartu gaple mereka di salah satu kebun di pinggir desa tanpa menghiraukan peringatan dari warga. Namun, di tengah permainan mereka tiba-tiba hawa dingin begitu menusuk. Bulu kuduk mereka berdiri dan merinding dengan tidak wajar.

“Udah, balik aja yuk. makin dingin nih..” “Ya udah, laper juga aku..” Entah apa alasan mereka, yang pasti mereka merasakan keanehan yang membuat mereka benar-benar tidak nyaman.

Baru saja mereka hendak pergi, tiba-tiba dari ujung kebun muncul sosok pocong setinggi dua meter dengan kain kafan yang menghitam. sosok itu memandang ketiga pemuda itu dengan wajah yang sudah membusuk dan liur hitam yang terus menetes dari mulutnya. “Po–pocong?!!! Pocongg!!”

“To–tolong!!!” Mereka ketakutan, namun tak satupun dari mereka mampu bergerak sementara pocong itu mulai melayang dan mendekat ke mereka. Sayangnya, Pocong itu tidak sendirian…

Di belakang pocong besar itu ada beberapa makhluk lagi yang terbungkus kain kafan mengikuti pemimpinya. “A–ampun! Tolong!” “Jangan teriak aja! ayo lari!” “Kakiku nggak bisa gerak! Bantuin!” “Sama.. aku juga! Celanaku udah basah”

Mereka bertiga pun menangis tak mampu menahan rasa takutnya. Cerita warga tentang warga yang menghilang dan ditemukan dalam keadaan mengenaskan membuat mereka semakin ketakutan. “To–tolong!! siapa aja tolong!!” Teriaknya dengan putus asa.

Namun tepat saat setan itu mulai mendekat, ada langkah kaki dari belakang mereka. “Yah, lagaknya aja jagoan. Sama setan beginian takut!” Guntur berjalan dengan santainya dan melewati ketiga anak SMA itu.

“Pocong! itu pocong bukan orang! nggak mungkin nggak takut!” Mereka mencoba membela diri. “Padahal teh, pocong tuh hantu paling lucu lho, coba mana ada hantu yang pake kunciran di kepala selain pocong,” ucap Dirga menyusul Guntur.

Ketiga anak SMA itu heran melihat tingkah laku Guntur dan Dirga yang sama sekali tidak gentar dengan pasukan pocong itu. “Yang item besar itu urusanku aja, sana urusin yang lain,” ucap Dirga.

“Jangan kena ludahnya, nyembuhinnya repot..” Balas Dirga yang segera berlari ke arah pasukan pocong pengikut pocong hitam itu. Bait-bait ayat suci dilantunkan bersama doa-doa pengusir roh oleh Dirga. Pocong hitam itu terganggu, namun ia semakin marah dengan perbuatan Dirga itu.

Tanpa diduga, tiba-tiba pocong itu sudah berada di belakang Dirga dan ingin menyemburkan cairan hitam dari mulutnya. Namun cairan itu hanya jatuh ke tanah tanpa ada Dirga di hadapannya. Kini Dirga lah yang dalam sekejap berada di belakang pocong itu.

“Harusnya kau nurut sama doa-doa itu biar bisa pergi dengan tenang,” ucap Dirga. Sementara itu Guntur terlihat sedang menghalau sosok pocong yang muncul dengan setiap pukulan dan tendangan yang telah diselimuti doa olehnya.

Dirga menghabisi pocong hitam itu dengan amalan api yang membakarnya hingga sirna, sementara sosok pasukan pocong itu menghilang setelah setiap doa yang Guntur lantunkan berhasil menenangkan mereka yang terikat dengan pocong hitam itu. “Wis, aman..” ucap Guntur.

“Ya udah, langsung balik aja,” balas Dirga. Mereka berdua pun meninggalkan ketiga pemuda SMA itu begitu saja. “Ka–kalau kalian sekuat itu, kenapa kau tidak melawan saat kami pukul?!” Tanya anak SMA itu. Dirga berhenti sejenak dan menoleh ke arah mereka.

“Mas Danan dan Cahyo pernah bilang, kekuatan kami ada untuk melindungi manusia dari makhluk-makhluk seperti tadi. Terus kenapa kami harus melawan kalian yang seharusnya kami lindungi?” Jawab Dirga.

Ketiga Anak SMA itu tercengang mendengar jawaban Dirga. Raut wajah menyesal terlihat di wajah mereka. “Asal kalian tahu, yang harus kita hadapi nanti seribu kali lipat dari kekuatan kalian..” tambah Guntur sembari berjalan dengan santai. ***

EPILOG 3 Desa Windualit… Mungkin purnama pernah menjadi mimpi buruk bagi setiap insan di Desa Windualit. Namun tenangnya malam tetap menjadi penawar dari rasa lelah yang didapat dari melalui hari.

Tapi untuk Cahyo, purnama itu adalah saat dimana ia menemukan seseorang yang mampu mengalihkan dunianya. Seseorang yang juga memberi arti bahwa ‘pulang’ tidak hanya berarti rumah. Tapi juga tentang kembali pada seseorang yang selalu menantinya walau tersiksa dalam cemas.

“Mereka hebat ya, Nan. Sudah tahu kita ini jarang bisa ketemu mereka, kadang nggak sempet ngasih kabar, dan bisa saja kita pulang tinggal nama. Tapi mereka masih aja mau nungguin kita,” Ucap Cahyo sambil memandangi Sekar dan Naya di desa Windualit.

“Aku sudah tahu bagaimana hebatnya ibu. Dan Naya seolah mengingatkanku tentang bagaimana tegarnya Ibu saat kepergian Bapak. Mereka adalah perempuan-perempuan istimewa, Jul..” Balas Danan

“Bener,Nan! Tapi kita kenapa jadi melankolis gini sih? Mana ngomongnya sambil nangkring di pinggir kandang ayam. Nggak cocok, Nan!” Danan pun melirik sebal pada temannya itu. “Kowe sing mulai, Nyuk!” “Opo kuwi?”

“Kunyuk!” Teriak Danan yang segera berdiri dan pergi meninggalkan Cahyo. “Uaseem!! Awas kowe!” Protes Cahyo yang mengejar Danan. Danan pun bermain aman dengan bersembunyi di belakang Sekar. “Iki ono opo seh?” tanya Sekar.

“Itu lho, si Danan ngatain aku Kunyuk. kalau diledek ketek aku terimo! kalau Kunyuk lain cerita!” Cahyo membela diri. “Lah, emang bedanya apa?” Tanya Sekar. “Yaa.. sama sih,” “Terus kenapa marah?” “Eh.. errr”

Cahyo mendadak menjadi bingung menjawab Sekar, sementara itu Danan mengintip dari belakang sekar dan menjulurkan lidahnya. “Awas kamu, Nan!” ancam Cahyo sambil berbisik. Danan pun merasa menang dan menertawakan temannya itu.

Tapi tiba-tiba tangan seseorang menjewer telinga Danan dan membawanya pergi. “Udah gede masih kayak bocah! Pantes Nyai Kirana pusing mikirin kamu,” Ucap Naya sembari menjewer kuping Danan. “Aduudududuh.. Ampun Naya! Becanda doank itu!” Jelas Danan. “Mbuh!”

Kali ini gantian Cahyo yang tertawa melihat nasib Danan di tangan Naya. Walau begitu di mata Cahyo ia benar-benar melihat sosok Naya yang benar-benar seperti Nyai Kirana, ibu dari Danan. Entah mengapa ia merasa tenang bila akhirnya Danan bisa berujung pada Naya.

Siang itu Cahyo dan Sekar menemani Pak Sardi untuk memeriksa keadaan warga desa yang terkena dampak kutukan dari makam alas mayit. Hampir semua sudah mulai pulih, namun keangkeran alas mayit masih selalu menghantui warga desa windualit.

“Sebenernya bisa nggak sih kita meruwat hutan itu, biar nggak ada kejadian seperti ini lagi?” Tanya sekar. Cahyo tidak semata-mata menjawab dan malah menoleh pada Pak Sardi.

“Tapi bukannya tidak mungkin, jika ditakdirkan mungkin kita bisa menemukan orang-orang berkemampuan seperti itu..” Tambah Cahyo. Sekar pun mengangguk mengerti, sepertinya masih ada harapan untuk desa windualit hidup berdampingan dengan alas mayit. …

Sementara itu, Danan pun mengajak Naya ke sebuah tempat. Bukan tempat yang romantis, tapi ke sebuah makam dimana tertulis nama seorang perempuan di sana. Laksmi.. “Dia siapa, Nan?” tanya Naya penasaran. “Maaf ya, Naya. Mas sengaja ngajak kamu ke sini.” Balas Danan.

Danan pun menaburkan bunga dan membacakan beberapa bait doa. Naya pun mengikuti Danan mendoakan seseorang yang tidak sempat ia kenal itu. “Namanya Laksmi, seorang perempuan yang nolong mas waktu tersesat dari pendakian merapi,” Jelas Danan.

“Kayaknya umurnya nggak beda jauh dari Naya. Meninggalnya kenapa, Mas? Sakit?” Ucap Naya saat membaca tanggal yang tertulis di batu nisan itu. Danan menggeleng dan mengajak Naya duduk. Sebenarnya ia cukup ragu untuk bercerita,

tapi dalam hati ia ingin Naya tahu tentang perempuan yang pernah mengisi hatinya itu. “Mas kenal Laksmi dulu, sewaktu kita belum saling kenal..” Danan mulai menceritakan bagaimana ia tersesat dan terbangun di desa windualit.

Saat itu Laksmi lah yang merawat luka-lukanya hingga sembuh. Ada perasaan yang tumbuh antara Danan dan Laksmi saat tinggal di desa itu, namun sayangnya Danan tetap harus pulang dan meninggalkan seseorang yang sudah menjadi sangat istimewa untuknya itu.

Nasib Laksmi benar-benar jauh dari kata baik. Ia dijebak oleh seorang juragan desa windualit bernama Aswangga. Ia dipaksa untuk memenuhi nafsu Aswangga hingga hamil. Namun ketika ia meminta pertanggung jawaban, Laksmi malah disiksa dan diusir dari desa.

Anak buah aswangga membuang Laksmi ke alas mayit, namun sebelum itu mereka menikmati tubuh Laksmi dan menyiksanya hingga berada di jurang kematian. Dendam Laksmi begitu besar hingga membangkitkan kutukan Gending alas mayit.

ia dimanfaatkan oleh dedemit yang bersemayam di alas mayit hingga harus membayar dengan nyawanya. … Tanpa sadar Danan meneteskan air matanya. Entah mengapa sama sekali tidak terbesit rasa cemburu di diri Naya. Rasa pedulinya lebih besar menutupi kemungkinanya untuk cemburu.

“Maaf ya Naya, mas jadi cerita begini..” Ucap Danan. Naya menggeleng sembari tersenyum. “Nggak mas, Nggak papa.. Ceritain aja semua yang pingin mas ceritain. Naya siap ngedengerin.” “Makasi ya, Naya..” Danan pun mengajak Naya untuk kembali berdiri dan meninggalkan tempat itu.

Namun sebelum pergi, Danan mengucapkan beberapa patah kata di depan Makam Laksmi. “Laksmi, Ini Naya... Orang pilihan Mas Danan. Mas sudah nemuin seseorang yang bisa melengkapi hidup Mas Danan. Seseorang yang dengan setia menunggu kepulangan mas Danan.

Seseorang yang bisa membuat Mas Danan merasa sebagai laki-laki yang paling bahagia di bumi ini. Doakan kebahagian kami ya, dan semoga kamu juga disana mendapatkan tempat yang terbaik.

Mas Selalu mendoakan walau Laksmi belum sempat bahagia di alam ini, setidaknya Tuhan sudah menyiapkan tempat terindah untukmu di sana. Karena mas percaya, Laksmi adalah orang baik. Mas siap menjadi saksinya di akhirat nanti..”

Danan mengusap air matanya. Ia menyelesaikan perkataanya dan mulai berpaling untuk mengajak Naya kembali ke desa. Tapi tiba-tiba Naya menahan tangan Danan... Naya kembali menurunkan kakinya dan memandang batu nisan Laksmi.

“Laksmi, mungkin kita tidak memiliki waktu untuk saling berkenalan. tapi, kamu bisa tenang di sana. Danan mu ada di tangan yang tepat kok! Dia memang sering nekat, tapi aku udah berhasil pelajari masakan ibunya supaya dia makin kangen pulang.

Dia sering banget pulang dengan banyak luka, tapi aku juga udah belajar dari Paklek cara buat ngerawat luka-lukanya. Jadi, jangan khawatir. Ada aku yang gantiin kamu buat jagain Mas Danan. Semoga kamu nggak keberatan ya…” Seusai mengucapkan hal itu, Naya pun kembali berdiri.

Danan tak henti-hentinya tersenyum melihat naya. Tak ada yang melihatnya, tapi hutan itu dan segala isinya menjadi saksi tentang keteguhan sepasang manusia untuk saling menyayangi dan saling menjaga di akhir hayatnya.

Tak ada yang melihat pemandangan yang begitu indah dimana seorang perempuan menggandeng dan menyandarkan kepalanya di bahu seorang pria yang sangat dicintainya. ~TAMAT~

Terima kasih sudah membaca cerita ini hingga selesai. Mohon maaf bila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.
close