Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUMBAL SEWU NDAS (Part 11 END)


JEJAKMISTERI - "Yuda... Yuda sekarang yang menjadi pangarupan sukma anakmu, bukan Diyah."

Mbah Han terdiam. Ada kebimbangan di sela-sela rasa cemas dan tegang di wajahnya. Tangannya masih begitu erat menggenggam bungkusan kain hitam berisi seikat rambut kaku, akibat rekatan darah kering membaluri.

Mata Mbah Han terus mengikuti pergerakan wanita tua yang belum dirinya kenal. Tapi dari cara bicara dan sikapnya, Mbah Han yakin jika wanita tua itu adalah Punden Susur hasil persekutuan Sanusi dulu. Apalagi, melihat wanita tua itu mengunyah dan menelan aneka ragam bunga, semakin memperjelas dengan siapa saat itu Mbah Han berhadapan.

Sebentar tubuh Mbah Han terjingkat, mendengar rintihan memelas dari ranjang beralaskan tikar. Membuat mata Mbah Han beralih menatap lekat tubuh di atasnya. Tubuh ringkih milik Diyah, yang tertutup kain batik sebatas leher membujur antara utara dan selatan. 

Lagi-lagi Mbah Han tersuguhi pemandangan aneh nan menyeramkan. Ketika sosok wanita Punden Susur, mengeluarkan semangkok darah merah dari bawah kolong ranjang. Lalu dengan begitu telaten, tangannya menyuapi setetes demi setetes darah amis ke mulut Diyah. 

Tak lama, tubuh Diyah mengejang kuat. Bola matanya melotot, dengan dada terlihat naik turun begitu cepat. Dan beberapa lama, tubuh ringkih Diyah bangkit.

Mbah Han tersurut mundur. Terkejut dengan sosok Diyah, yang terbangun dan duduk tepat menghadap ke arahnya. Menatap nyalang sembari menyeringai. 

Desiran darah panas di rasa Mbah Han. Kakinya sedikit gemetar, menggambarkan rasa takut pada sosok Diyah dan tawa melengking wanita tua Punden Susur. 

"Banggelan lapis telu wes kebukak, Mbah. Ngrasakne lorone Jengges pincuk, goro-goro penghianatane Zul, marang aku." Pelan, namun tegas suara Diyah.

Mbah Han yang mengerti arti dari ucapan Diyah, tertunduk.
Merasakan kecemasan luar biasa. Sebab, ia tau, bila ucapan Diyah bukanlah sebuah gurauan atau candaan belaka.

"Mulih o, Mbah. Wes gak ono nang kene seng bakal iso gawe nulung patine Zul." (Pulanglah, Mbah. Sudah tidak ada di sini yang akan bisa buat menolong kematian Zul.) Sambung Diyah, sebelum memperdengarkan tawa keras melengkingnya.

Pucat tak berdarah Mbah Han saat itu. Di samping ketakutannya pada tawa kematian dari Diyah, juga dirinya yang sudah merasa usahanya sia-sia. 

Demi mendengar penuturan Diyah bukanlah guyonan, juga tak mau berlama-lama di tempat mengerikan itu, segera Mbah Han memutar balik badan, berlalu tanpa berkata apapun.

Buru-buru langkah Mbah Han, meninggalkan tempat itu. Tak perduli lagi dengan suara tawa Diyah berubah menjadi tangisan menyayat. Mengabaikan hawa lembab, bau anyir dan busuk dari empat bayangan hitam panjang, yang tiba-tiba muncul di sekitaran makam. 

Mbah Han terus melangkah. Menyusuri kembali lorong-lorong, ruang demi ruang rumah mewah peninggalan Sanusi. Hingga tiba di pintu depan, terpaksa Mbah Han harus menghentikan langkahnya. Mendapati puluhan ular hitam sebesar lengan, bersliweran.

Tubuh Mbah Han sesaat saja di penuhi keringat. Menatap sepintas puluhan ular seolah berbaris menghadang jalannya. Tapi tak lama, matanya spontan beralih mengedar ke samping kiri. Manakala suara gemerasak keras di barengi sapuan angin membawa bau langu mencekik, menyadarkannya akan kehadiran sesosok berwajah sangat ia kenal, namun dalam wujud aneh.

"Pak Sanusi!" lirih dan hampir tak terdengar suara Mbah Han. Tertahan rasa takut dan ngeri pada wujud Sanusi.

Mbah Han merasakan tubuhnya seperti sudah tak bertulang. Ketika sosok Sanusi perlahan mendekat dengan iringan desisan-desisan ramai bersahutan dari puluhan ular di halaman, seakan ikut menyambut kedatangan sosok Sanusi.

Suara gemeresak semakin nyaring di telinga Mbah Han. Bersambut gemuruh di dada menjadikan nafasnya mulai tersengal. Kala sosok aneh Sanusi berhenti dan menatapnya lekat, berjarak beberapa jengkal saja dari tempatnya berdiri.

"Kang Han, sak bare Iki, ojo sepisan-sepisan meneh, moro rene." (Kang Han, setelah semua ini, jangan sekali-kali lagi datang kemari.")

Aneh, pikir Mbah Han. Mendengar beberapa kalimat dari sosok Sanusi hanya sebuah  peringatkan tanpa ada hal lain. Padahal, dalam hati Mbah Han, sudah berpasrah diri dengan nasib bakal di terimanya oleh sosok Sanusi yang berwujud setengah badan, seekor ular bersisik hitam.

Sejenak Mbah Han bersitatap dengan sosok Sanusi yang mendenguskan desisan panjang, menambah tajam bau langu tercium semakin menyeruak. Tak ada lagi ucapan, kata-kata, keluar dari bibir tak berlekuk Sanusi, saat tubuh hitam panjangnya merayap pelan meninggalkan Mbah Han, yang masih terpaku dalam kengerian.

Tarikan nafas panjang, menjadi tanda kelegaan diri Mbah Han. Dadanya terasa longgar setelah sosok Sanusi menghilang bersama puluhan ular hitam yang menghadang. 

Sedikit goyah, langkah Mbah Han. Kembali menapak halaman depan nan luas, berhias beberapa pohon berbuah menjulang. dimana, di setiap pangkal pohon di kitari patung semen ular melingkar. Mencerminkan sesuatu di rasa aneh, pada tiap-tiap mata memandang. Sebab, semakin lama mata memandang, seakan patung bergambar ular seperti hidup dan mendesis.

Tak sampai sepuluh menit, akhirnya Mbah Han keluar dari halaman berhawa anyep. Merasakan kembali semilir angin dingin, dari udara malam yang entah jam berapa tepatnya, Mbah Han tak bisa lagi memastikan.

Ayunan kaki Mbah Han tak lama sampai di samping kuda besinya. Namun, ia tak langsung meninggalkan tempat itu, melainkan terduduk lesu, dengan wajah kembali di liputi kecemasan.

Lama Mbah Han terdiam membisu sendiri. Membiarkan nyamuk-nyamuk menghinggapi dan menghisab darahnya. Pikirannya melayang jauh, mengulas kembali peristiwa yang baru beberapa detik, menit, dan jam, lalu ia alami. Dari sekian banyak kengerian di lihat matanya, satu yang masih membayang serta membekas kuat. Yaitu, sosok Sanusi. 

Mbah Han menangkap ada sesuatu tersimpan pada wajah Sanusi. Mulai dari pancaran mata, hingga guratan-guratan mencerminkan satu penyesalan sangat mendalam. 

Mbah Han baru beranjak meninggalkan tempat dan rumah penuh misteri serta kengerian baginya itu, setelah dalam benaknya terbayang Zul dan Wiwik. Meski kini yang bisa dirinya lakukan hanyalah berdoa mengharap satu keajaiban atau mukjizat. Tapi Mbah Han tetap berusaha meyakinkan dirinya, jika Zul dan Wiwik akan bisa terselamatkan.

Embun-embun pagi menjadi saksi perjalanan Mbah Han, sekembalinya dari rumah Sanusi yang sudah menjadi hak Diyah. Melaju kencang tanpa hambatan, sampai tak terasa lama baginya untuk sampai ke rumah Mbah Malik.

Jarum pendek jam dinding menunjuk ke angka tiga lebih. Saat Mbah Han, masuk ke dalam rumah Mbah Malik. Menghenyakan pikirannya akan waktu selama di rumah Diyah berasa begitu cepat. Padahal, ia merasa tak secepat itu waktu yang di laluinya.

Tak satupun terlewatkan oleh Mbah Han, dari semua kejadian yang ia lihat, dengar dan di rasa, ketika bercerita pada Mbah Malik. Membuat Mbah Malik sendiri, termangu dan sering berganti expresi. Namun tak bersimpati akan keadaan sosok Diyah dan Sanusi.

"Iku ngono wes dadi ganjarane sopo wae seng gelem kebujuk dadi sekutune Iblis. Koyo Sanusi lan Diyah." (Itu semua sudah jadi imbal balik siapa saja yang mau kerayu jadi sekutunya Iblis. Seperti Sanusi dan Diyah.), ucap Mbah Malik, menanggapi sedikit cerita Mbah Han, yang baru saja selesai.

"Tapi, terus piye Zul lan Wiwik, Mbah? Padahal wes ketemu barang seng ndadekno perkoro Iki dowo." (Tapi, terus gimana Zul dan Wiwik, Mbah? Padahal sudah ketemu barang yang menjadikan perkara ini panjang), sahut Mbah Han, parau.

"Saiki dewe isone mek dungo, Mbah. Pasrahke Karo seng kuoso, mugo-mugo ae, Wiwik lan Zul, iso selamet." (Sekarang kita bisanya hanya berdoa, Mbah. Pasrahkan pada yang maha kuasa, moga-moga saja, Wiwik dan Zul, bisa selamat), jawab Mbah Malik yang di Amini lirih oleh Mbah Han.

Kepasrahan berangsur-angsur tampak menyirat di wajah Mbah Han. Selepas panjang lebar obrolannya dengan Mbah Malik tak membuahkan hasil. Karena Mbah Malik sendiri sudah tak mampu lagi berbuat apa-apa, untuk mencari jalan lain, guna menyelamatkan nyawa Wiwik dan Zul.

Malam itu, menjadi malam terberat buat Mbah Han dari malam-malam sebelumnya. Lepas dari kengerian, berganti bayang-bayang kematian Zul dan Wiwik, terus saja menghias dalam benak pikiran, membuat matanya tak mampu terpejam barang semenit saja. 

Mbah Han baru merasakan hawa sejuk dan tenang, saat duduk di Masjid, menunaikan dua Reka'at berjamaah. Setelahnya, puluhan bahkan ratusan lantunan Dzikir terlafat dari bibirnya mengikuti Mbah Malik, membuat kepasrahan sebuah takdir terbilang dalam linangan air mata.

Ketenangan baru berubah desiran tak enak, ketika Mbah Han kembali ke rumahnya. Mendapati Zul dan Wiwik belum juga pulang. Pikiran Mbah Han sesaat melayang jauh, menduga menerka dengan kepergian mereka. Ingin rasanya pagi itu mendatangi kediaman Yuda sekedar mencari tau dan memastikan. Namun, setelah banyak persoalan yang harus ia pertimbangkan, Mbah Han memupus keinginan itu.

Lama Mbah Han terduduk menyandar sendiri di ruang tamu. Menatapi paparan sinar matahari yang masuk lewat jendela dan celah pintu. Hingga tak terasa, matanya mengerjap ingin terpejam. 
Tak lama, Mbah Han benar-benar tertidur. Mengistirahatkan tubuh sepuhnya yang sudah lelah dari beberapa hari kemarin, terkuras akan persoalan masa lalunya. Bersinggungan dengan beberapa sosok alam ghaib, dijadikan Dewa, Tuhan, oleh segelintir Manusia-Manusia serakah terbujuk kilauan gemerlap harta duniawiyyah.

Entah berapa lama Mbah Han menikmati buaian mimpi dan lepas dari degup ketegangan. Sampai akhirnya, terbangun dengan suara sapaan salam dari luar pintu depan. Sebentar Mbah Han terdiam. Merenggangkan otot-ototnya, sebelum menjawab dan bangkit.

Seorang lelaki 30an, dan dua orang berseragam, menjadi pemandangan awal mata Mbah Han, setelah membuka lebar-lebar daun pintu kayu bermotif kupu tarung. Tercenuk heran Mbah Han saat itu. Pandanganya tak lepas dari dua orang berseragam Polisi, kala mempersilahkan ketiganya masuk ke dalam.

Meski sudah beberapa kali Mbah Han dengar. Meski sudah ia siapkan berlapis-lapis mental. Meski sudah mencoba untuk berpasrah diri, menguatkan hati dan pikiran. Toh, Mbah Han masih saja merasa bagai terhantam palu Godam, meluluh lantakan batinnya, ketika dua Polisi memberikan sebuah kabar kecelakaan, mengakibatkan meninggalnya sepasang suami istri tak lain dan tak bukan adalah Zul dan Wiwik.

Kaku membeku tubuh Mbah Han. Ia sama sekali tak mampu berbicara sepatah kata pun. Jiwanya seolah hilang, hidupnya seakan sudah tak berguna, setelah apa yang di khawatirkan telah terjadi.

Hanya buliran-buliran bening deras mengalir membasahi pipi keriputnya. Tak peduli dengan puluhan orang yang datang mencoba menguatkan dengan ucapan-ucapan. Tak peduli seberapa ramai dan hebohnya berita meninggalnya Zul dan Wiwik, akibat mobil barunya bertabrakan dan terpental masuk ke dalam sungai.

Mbah Han hanya tau, jika yang ia rasakan adalah keheningan dalam sebuah ruang hampa. Tanpa mengetahui sedang apa dan dimana dirinya sendiri saat itu.

Suara tangis penyesalan baru bisa keluar dari tenggorokan Mbah Han, ketika usai semua acara pemakaman Zul dan Wiwik. Ia juga baru tersadar jika beberapa jam lamanya, tertidur di rumah Mbah Malik. Sehingga, dirinya tak sempat lagi melihat jasad anak dan menantunya untuk terakhir kali...

*****

Tujuh hari berturut-turut acara keAgaman digelar kerabat dan keluarga Mbah Han serta wakil keluarga Wiwik. Membantu Mbah Han, yang masih di rundung dalam penyesalan. 

Seperti pagi itu, kembali ungkapan penyesalan terlontar dari bibir Mbah Han, kepada dua orang laki-laki tamunya. Buliran bening seolah tak pernah kering, mengiringi setiap dirinya teringat dan berucap kesalahan masa lalu yang begitu suram, sampai harus membuat satu-persatu orang terdekat ikut merasakan akibatnya.

"Sudahlah Mbah, di ikhlaskan. Saya minta maaf, karena baru bisa datang," ucap lelaki tinggi, sedikit muda dari Mbah Han.
"Saya juga, Mbah. Maaf sekali, tak bisa membantu Mbah Han. Padahal, waktu itu saya berjanji untuk bisa menghubungi Paklek Sarno secepatnya. Tapi, saat datang sudah terlambat." sahut satu lelaki lainya, yang tak lain adalah Hadi, anak Mbah Dar.

"Tidak apa-apa, tak ada yang salah. Ini semua adalah hukuman buat saya, atas apa yang sudah saya perbuat dulu," sahut Mbah Han menimpali. 

"Apa maksudnya, Mbah?" tanya lelaki berbaju batik lengan panjang, dan bertutup blangkon di kepala.

"Semua sudah berlalu. Bahkan sudah terjadi puluhan tahun silam. Tak di sangka, ternyata masih berimbas hingga sekarang. Kang Hadi sudah tau semuanya dari awal. Dari pertama ketika saya mengenal Mbah Dar. Dari kebutaan saya terhadap kebenaran, menjadi sebuah kesalahan besar dalam hidupku," ujar Mbah Han pada lelaki tak lain adalah Sarno, adik dari Mbah Darmono, baru saja datang dari tanah sebrang, tepatnya dari sebuah Kabupaten di Jawa Tengah, yang terkenal dengan satu nama, Pangeran Sukowati.

"Sangat mengerikan. Sampai Bapak sendiri mengalami trauma hebat waktu itu," timpal Hadi, saat Sarno menatapnya.

"Peristiwa mengerikan akibat sebuah ritual perjanjian, yang meminta 'Tumbal Seribu Kepala' dari sepasang sosok angker, demi pembangunan sebuah bendungan raksasa," sambung Hadi dengan wajah mempias.

"Apakah, Pak Sanusi pelaku utama ritual itu?" tanya Sarno pada Mbah Han, yang mulai sedikit mengerti, tapi juga bertambah penasaran.

Mbah Han menggelengkan kepalanya sebentar. Sebelum matanya lurus menatap ke depan, mengingat-ngingat kembali nama dan wajah beberapa orang.

"Pak Sanusi, bukan orang yang mengawali ritual itu. Dia hanya meneruskan. Pelaku awal adalah orang dari tanah sebrang, dan sampai sekarang garis keturunannya masih melakukan pemujaan itu, meski sudah menjadi orang terhormat," jawab Mbah Han, mengakhiri penjelasan singkatnya pada Sarno, yang mengangguk pelan...

---===SELESAI===---
close