Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KUTUKAN SEWU LELEMBUT (Part 6) - Wanara

Mayat-mayat hidup yang dikumpulkan oleh Baron dan Keling kini bangkit dengan Kutukan Sewu Lelembut.
Tapi kali ini Danan dan Cahyo tidak sendiri, mereka yang pernah terbantu muncul untuk menolong mereka


Part 6 - Wanara
..
Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten…
--
Mendadak langit menjadi gelap, hujan turun begitu deras dan muncul sesosok wanita cantik dari rintikan hujan itu.

Sementara tak jauh dari tempatku berada telihat Gama sudah menghentakkan kakinya sebanyak tiga kali sembari membunyikan gelang genggenya.

Cring… cring… cring…

Angin berhembus dengan kencang menyatu dengan hujan dan menjadikannya badai.

Sosok kucing hitam yang sedari tadi berada di sekitar Gama kini berubah menjadi begitu perkasa dan bahkan menggentarkan banyak lawan di hadapan kami.

Tak berhenti sampai di situ, Kimpul yang sebelumnya terlihat tak berdaya seolah kembali terpulihkan degan tetesan air hujan yang turun bersama mantra yang kubacakan.
Kini ia tidak sendiri…

Pusaka Kerangeng Sukmonya rupanya mengikat sosok ular besar yang ikut turut campur dalam pertarungan ini.

“Wirangon! Bantu aku menyelesaikan ini semua!” Ucap Kimpul.

Aku tidak mengerti komunikasi antara Kimpul dan sosok ular itu, yang aku tahu kini kami siap menghadapi sosok terkuat dari trah ningrat yang sudah membangkitkan kutukan ini.
Raden Sengkuni…

“Meong Hideung! Ini saat yang tepat untuk mengamuk!”

Ucap Gama sembari memerintahkan sosok macan hitam besar itu untuk menyerang Raden Sengkuni yang sama sekali tidak terlihat khawatir akan kedatangan kami.

“Grraarr!!”

Kuku-kuku besar Meong hideung bersiap menyergap Raden Sengkuni di udara, namun dengan cepat ia dapat menghindar.

Wirangon sudah siap untuk melahapnya dari belakang, tapi dengan mudah Wirangon terpental dengan perlindungan banaspati yang melayang-layang diantara punggungnya.

“Nyi Sendang Rangu…” Ucapku mencoba memberi pertanda untuk ikut menyerang.

Saat itu Nyi Sendang Rangu mengangguk dan melayang dengan selendangnya yang berkibar membesar. Aku dapat menduga bahwa seluruh pandangan Raden Sengkuni yang dalam wujud lowo irengnya itu tertutup oleh selendang Nyi Sendang Rangu.

“Aku tidak bisa menduga, seberapa mengerikannya balasan atas dosa-dosamu!” Ucap Nyi Sendang Rangu yang seketika wajahnya berubah menjadi begitu mengerikan saat bertatapan dengan Raden Sengkuni.

“I—Itu apa, Mas Danan?” Kimpul heran.

“Dia Nyi Sendang Rangu, semakin banyak dosa yang dimiliki seseorang yang berhadapan dengannya, semakin buruk pula wajahnya di hadapan orang itu…” Jelasku.
Anehnya, Raden Sengkuni tidak terlihat gentar.

Nyi Sendang Rangu sudah melilitkan selendangnya dan menahan kedua sayap Raden Sengkuni untuk menjatuhkannya. Tapi saat Nyi Sendang Rangu mencoba menyerang jiwa Raden Sengkuni, tiba-tiba Nyi Sendang Rangulah yang terjatuh.

“Nyi!”

Aku berlari mencoba menangkapnya, namun sebelum itu Meong Hideung sudah lebih dulu melompat dan membiarkan Nyi Sendang Rangu jatuh di punggungnya.

“Apa yang terjadi?” Tanyaku.

“Jiwanya dilindungi oleh kekuatan yang ia dapat dari reruntuhan ini, jiwa dari seribu lelembut…”

Jawaban Nyi Sendang Rangu membuatku menelan ludah. Namun aku tidak ingin menyerah, sementara Raden Sengkuni sudah hampir menginjak tanah, akupun membacakan sebuah ajian pada keris ragasukma hingga cahaya putih menyelimutinya.

Aku menghujamkan kerisku mengincar salah satu sayapnya, setidaknya bila ia memijakkan kaki di tanah pertarungan akan lebih mudah. Tapi aneh, Setiap seranganku tidak ada yang mampu menyentuhnya.

Bahkan saat Kimpul ikut memberikan serangan mendadak untuk sekedar menggoresnya, Raden Sengkuni bisa menghindarinya tanpa kesulitan.

“Kupikir teman-temanmu bisa memberi perlawanan yang lebih baik,” Raden Sengkuni meremehkan Kimpul dan kami.

Ia pun melepaskan sebuah bola api dari punggungnya dan melayangkannya kepada kami begitu saja.

“Danan minggir!” Teriak Gama.

Aku melompat mundur bersama Kimpul, namun bola api itu mengejar kami dengan beringas.

Jelas bola api itu begitu berbahaya, Itu adalah bola api yang sudah menghanguskan Alas Rowosukmo. Seandainya menyentuh kami sedikit saja, mungkin akan menjadi abu dalam sekejap.

Aku pun mencoba kemungkinan dengan mengadu bola api itu dengan melemparkan cahaya putih dari kerisku sementara kami terus berlari. Dan seketika bola api itu meledak saat seranganku mengenainya.

Sayangnya kobaran api begitu besar tercipta dari ledakkan itu.

“Cari tempat aman!” Perintah Nyi Sendang Rangu yang bergegas membentuk tirai hujan untuk mengurung api dari ledakan itu.

Kami selamat, tapi Raden Sengkuni sudah bersiap mengirimkan seranganya lagi.

Beruntung Gama sudah lebih dulu memerintahkan Meong Hideung untuk menyerang Raden Sengkuni sehingga kami memiliki waktu untuk mempersiapkan serangan.

Aku melihat Kimpul seolah berkomunikasi dengan Wirangon seolah mempersiapkan sesuatu.

Sementara itu aku membacakan ajian pada kepalan tanganku dan melemparkan pukulan jarak jauh untuk menyerang Raden Sengkunu. Ajian lebur saketi.

Buggghh!!

Kali itu seranganku telak mengenai tubuhnya dan membuatnya sedikit goyah.

“Ajian lebur saketi? Aku tahu dengan jelas bahwa ajian itu takkan bisa melukaiku, apalagi membunuhku..” Raden Sengkuni meremehkan seranganku.

Tanganku mengepal geram, selama ini itu adalah ajian yang selalu mampu membuat pendekar manapun gentar.

Srett…

Di tengah kesombonganya, tiba-tiba segaris luka terukir di pipi Raden Sengkuni. Seperti sebuah luka yang disebabkan oleh sebuah pisau.
Aku pun tidak menyadari apa yang terjadi.

Tapi terlihat Kimpul sudah berpindah posisi dengan kerangkeng sukmonya sudah berhasil menggores pipi Raden Sengkuni.

“Apa yang kau lakukan, Raden lemah!” Ucap Raden Sengkuni.

“Aku mulai mengerti kekuatanmu, kau bukan makhluk yang tak terkalahkan..” Balas Kimpul.

Mendengar ucapan itu Raden Sengkuni semakin geram. Kekuatan hitam mengalir dari tubuhnya dan membuat berbagai makhluk yang sedang bertarung di tempat itu berkumpul ke arahnya.

“Menurutmu begitu?” Raden Sengkuni menatap Kimpul bersama setiap makhluk yang mengepung kami.

“Bicaralah saat kau sudah bisa menghadapi mereka.”

Sosok kera hitam besar tiba-tiba menerjang ke dalam pertempuran kami. Kimpul bersiap memerintah wirangon untuk menghadangnya, namun tiba-tiba seseorang menendang makhluk itu.

“Cari lawan yang setimpal!” Cahyo datang dengan kekuatan Wanasura menyelimutinya. Keringat menetes dan nafasnya terengah-engah. Sepertinya pertarunganya tidak mudah.

“Danan! Kita tidak bisa begini terus!” Teriak Cahyo yang terus menghalau serangan-serangan dari mayat pendekar yang bangkit di sekitarnya.

Keempat keris Dirga sudah melayang-layang bukan lagi untuk menghabisi setan-setan itu, melainkan hanya untuk menahan mereka.

“Mereka tidak bisa mati!” Teriak Dirga. Apa? Tidak bisa mati?

Raden Sengkuni tersenyum ketika kami menyadari posisi kami saat ini.

“Tidak ada makhluk yang tidak bisa mati di Bumi ini, Nan. Jangan Panik,” Ucap Gama yang sepertinya juga sedang berusaha membaca situasi.

Jlebb!!!

Sebuah pisau melayang menembus kepala siluman lowo ireng yang diam-diam mencoba menyerang Gama.

“Jangan sentuh Gama!” Teriak Budi yang bergegas merobek sayap siluman itu. “Jangan lengah, pasti dia punya kelemahan..”

Gama mengangguk kepada Budi. Sementara aku melihat Nyi Sendang Rangu menghampiriku.

“Kita harus menghentikan kutukan ini dulu, agar setan-setan itu bisa mati. Baru setelahnya kita urus Raden Sengkuni..” Ucap Nyi Sendang Rangu.

“Caranya?”

“Dengarkan baik-baik…”

Nyi Sendang Rangu berhasil mendapatkan petunjuk.

Kutukan sewu lelembut ini berpusat pada sebuah prasasti yang berada di dalam reruntuhan Astana Giridanyang. Seandainya prasasti itu bisa dihancurkan, kutukan ini akan lenyap dan semua makhluk ini tidak akan bisa hidup lagi.

“Tapi Raden Sengkuni memiliki ilmu pangaweruh, ia bisa mengetahui rencana kita,” Ucap Kimpul.

Benar ucapan Kimpul, Raden Sengkuni pasti tidak akan membiarkan kami melakukan hal itu.

“Biar aku saja,” Ucap Gama tiba-tiba. “Sorban Ki Langsamana sepertinya memiliki kemampuan untuk hal ini.”

Gama menceritakan bahwa ia telah mengetahui bahwa Sorban Ki Langsamana adalah benda yang selalu digunakan leluhurnya itu untuk menghilangkan keberadaan diri agar tidak disadari oleh orang lain. Semua itu dengan tujuan agar setiap doa dan wirit yang ia lakukan bisa semakin khusuk.

“Kamu yakin, Gam?” Tanyaku.

“Mungkin tidak bisa sesempurna itu untuk bersembunyi dari pangaeruh Raden Sengkuni, tapi aku merasa ini harus dicoba,” Balas Gama. Nyi Sendang Rangu mengangguk memahami situasinya.

“Kita lakukan, mungkin bila aku bertarung sendiri dengan Raden Sengkuni aku bisa mengurangi kemungkinanya menggunakan pangaweruhnya,” Ucap Kimpul.

“Berarti sisanya tinggal pendekar-pendekar mayat hidup ini?” Tanyaku.

Bruaaggh!!!

Empat orang pendekar terpental dengan pukulan seseorang yang muncul tiba-tiba di hadapan kami.

“Mereka biar urusan kami, Akan kami tahan sampai Prasasti itu dihancurkan!” Ucap Cahyo yang tiba-tiba muncul.

Aku pun mengangguk setuju. Saat itu juga kami berpencar dan mempersiapkan rencana masing-masing.

Aku menoleh ke arah Kimpul. Ada sosok Wirangon sang roh penjaga berwujud ular besar yang melindunginya. Sepertinya ia bukanlah lagi seorang raden lemah.

***

REUNI JENAZAH

Satu persatu berbagai sosok muncul di pelataran reruntuhan Astana Giridanyang. Ada jenazah yang bangkit, ada roh yang kembali ke alam manusia.

Semua itu adalah sosok yang pernah dibunuh oleh Raden Sengkuni, dan sosok pendekar yang jasadnya dikumpulkan oleh Baron dan keling.

“Tak kusangka, kita akan bertemu lagi dalam keadaan seperti ini..”

Tiba-tiba muncul sosok yang membuat Kimpul menahan gerakanya dan membuat matanya berkaca-kaca.

“K–Kang Waris?”

Kimpul terlihat mencoba mendekat, namun sosok yang dipanggil dengan nama Kang Waris itu malah mengumpulkan kekuatan hitam di tangannya.

“Minggir!”

Duarrrr!!

Ajian Lebur saketi ku beradu dengan sebuah ilmu yang tak jauh berbeda yang dilontarkan oleh Kang Waris.

“Jangan terkecoh, Kimpul! Ingat! Siapapun yang bangkit bukanlah orang yang kau kenal!” Ucapku.

“Ta–tapi?”

Sekali lagi sosok Kang Waris yang kembali bangkit itu mencoba menyerang, namun dalam sekejap Cahyo menyerangnya hingga terpental.

“Raden Muda ini punya tugas penting! Siapapun kau, takkan kubiarkan untuk menyentuhnya!” Teriak Cahyo.

Aku dan Cahyo pun memberi isyarat pada Kimpul untuk memulai rencananya.

“E–eyang! I–itu apaan?”

Dari jauh terdengar suara Guntur yang terlihat gentar akan sesuatu. Aku dan Cahyo menoleh ke arah Guntur dan menemukan seekor kera hitam dan seekor kera putih raksasa mengamuk di medan tempur.

“Gila! Ada makhluk seperti itu juga selain Kliwon dan Wanasura?” Tanyaku.

“Kamu urus yang lain, Biar aku yang melawan mereka dan mempertahankan kehormatan Ras Wanamarta!” Ucap Cahyo Geram.

***

Dua sosok manusia yang bangkit kematian tiba-tiba berubah menjadi sosok kera raksasa yang membalikkan keadaan.

“Sial! Mayat-mayat ningrat ini benar-benar merepotkan,” Nyai Jambrong bergegas mendahului Guntur menyambut serangan dua monyet raksasa itu.

Dengan lincah ia menepis pukulan keras dua makhluk raksasa itu tanpa menyentuhnya. Tanganya terselimuti kekuatan tipis yang ia manfaatkan sebaik mungkin.

Sayangnya saat ia berhasil mendekatkan diri ke sosok Ketek Ireng, pukulan yang bahkan sudah ia bacakan dengan ajian miliknya pun tak mampu membuat sosok kera raksasa itu terluka.

“Hati-hati eyang!”

Sementara Nyai Jambrong melancarkan serangan, sosok kera putih raksasa sudah mengincarnya dan ingin menepuknya seperti nyamuk. Namun guntur mampu mengejarnya dan menyerang persendian Monyet besar itu hingga pukulanya meleset dan menghantam sang ketek ireng hingga terjatuh.

“Khehehe… bagus bocah!” Ucap Nyai Jambrong.

“Je–jelas, Eyang.. itu sudah rencanaku,” Balas Guntur sombong. Tapi aku tahu, itu hanyalah kebetulan.

“Bisa aja kamu, Guntur..” Ucap Cahyo yang sudah sangat siap membantu pertempuran mereka.

“Mas Cahyo!” Guntur semangat melihat panutannya itu kembali.

Cahyo melakukan pemanasan dengan meregangkan tangannya sembari menatap tajam kedua kera raksasa itu.

“Wanasura, aku yakin kita tidak kalah dari mereka!”

Kera hitam perwujudan Raden Angkoro kembali berdiri sementara kera putih perwujudan Raden Jogopati sudah bersiap mengamuk ke arah Nyai Jambrong.

“Eyang, Minggir!” Teriak Cahyo.

Eyang Jambrong yang menyadari kedatangan Cahyo tidak segera menyingkir.

Ia malah melangkah santai seolah tidak menghindari serangan kera putih itu, tapi sekali lagi dengan sedikit gerakan pukulan tanpa perhitungan itu meleset begitu saja.

Cahyo segera menyadari bahwa tujuan Nyai Jambrong adalah mengalihkan perhatian kedua kera itu dari kedatangan Cahyo. Ia pun dengan leluasa menghantamkan pukulan dengan kekuatan Wanasura tepat di dahi kera Raden Jogopati,

dan sebelum kera hitam Raden Angkoro berdiri Cahyo sudah melemparkan sarungnya ke mata makhluk besar itu dan menendangnya hingga terjatuh lagi.

Braakkk!!!!

Kedua kera besar itu terjatuh di tanah yang dipenuhi pendekar-pendekar dari masa lalu.

“Ternyata ada yang lebih parah dari monyetmu, Khekhekhe..” Tawa Nyai Jambrong.

“Ternyata ada yang bangkit dari mati juga selain Nyai Jambrong, untung bukan dari dalam guci..” Balas Cahyo.

Guntur masih terkesima dengan pergerakan serangan mereka berdua, tanpa ia sadari bahwa ilmu bela dirinya saat ini seharusnya sudah bisa mengimbangi Cahyo dan Nyai Jambrong di medan pertempuran ini.

Sementara itu pendekar-pendekar yang bangkit dari jasad yang dikumpulkan oleh Baron sudah bersiap menyerang Cahyo, tapi sebelum itu terjadi sebuah tombang melesat tepat di kepala salah satu pendekar itu.

“Tahan saja kedua kera besar itu, mereka biar urusan kami!”

Mbah Widjan dan Panji maju diikuti oleh anak buah dari padepokanya yang sudah siap dengan pusakanya masing-masing.

“Hati-hati! Mereka tidak bisa mati!” Teriakku.

“Tenang mas, Kami tidak hanya dilatih untuk menghadapi pendekar hidup saja..” Balas Panji yang kembali mengambil Tombak lembu waroknya dan melaju ke tengah-tengah setan-setan itu.

Setiap murid-murid mbah waja dan Panji dibekali sebuah tambang hitam. Aku menyaksikan sendiri ketika murid mbah Widjan dan Panji mengikatkan tambang itu pada jasad hidup itu. Seketika tambang itu terbakar dan menahan pergerakan sosok yang tidak bisa mati itu.

Sayangnya, saat aku yakin mereka bisa menahan pasukan itu, tiba-tiba beberapa murid mbah Widjan terjatuh dengan sendirinya. Ada sesuatu yang menyerang mereka secara diam-diam.

“Berdiri! Belum waktunya kalian tumbang..”

Sebuah cawan kuningan berdenting menggema semakin keras di medan pertempuran itu. Aku sangat yakin, suara itu berasal dari Bli Waja. Suara itu menenangkan murid-murid Mbah Widjan dan memunculkan sosok yang rupanya sedari tadi menghisap darah murid-murid mbah widjan.

“Ku–Kuyang?”

“Kenapa bisa ada Kuyang di tanah jawa ini?”
Benar, ya terlihat di hadapan mereka adalah sosok kepala wanita yang melayang-layang dan menghisap darah mereka tanpa mereka sadari.

“Rupanya Nyi Randasari juga dibangkitkan. Hati-hati, dia sudah memakan banyak bayi dan bisa dengan mudah menghisap darah manusia. Akan sangat mengerikan bila ia tidak bisa mati..” Ucap salah seorang teman Kimpul, Banurasmi.

Aku mengetahui bahaya itu dan segera berlari untuk menghadapi Nyi Randasari itu. Tapi sekali lagi Ajian Tapak Sukmo Kang Waris menghalangiku dan hampir mendarat di tubuhku.

“Sial!”

Aku pun kembali beradu ilmu dengan Kang Waris yang dibantu dengan beberapa pendekar berbaju keraton. Ada beberapa dari mereka yang cukup merepotkan, sebagian dari mereka mampu mengubah ranting, bebatuan menjadi senjata yang terus menyerangku.

“Nyi, apa tidak ada cara untuk menghentikan pergerakan mereka?” Tanyaku pada Nyi Sendang Rangu.

“Tidak, hanya ada dua cara. Hancurkan prasasti itu atau bunuh Raden Sengkuni,”

Balasnya yang terlihat kerepotan membakar jasad itu dari dalam dengan kekuatannya satu persatu yang seketika menjadi sia-sia karena kebangkitan mereka lagi.

Aku yakin, pasti ada cara untuk mengendalikan gelombang serangan ini.

“Nyi, bisa lindungi tubuhku sebentar?”

“Jangan lama-lama..”

Aku duduk bersila dengan meletakkan keris ragasukma di hadapan dadaku. Di tengah pertempuran aku tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana alur dari pertarungan ini.

Tepat saat rohku meninggalkan tubuh, Nyi Sendang Rangu mengambil posisiku untuk menghadapi Kang Waris dan pasukan yang bersamanya.
Rohku melayang setinggi-tingginya melihat dari atas tentang bagaimana pertarungan ini terjadi.

“Mereka yang kembali dari kematian bukanlah orang yang sebenarnya,”
Dari belakang muncul sosok rangda yang melayang menyusulku.

“Bli Waja?”

Ketika Bli waja sudah mengambil wujud rangda, itu artinya pertarungan sudah semakin tidak terkendali.

“Kutukan itu mengendalikan jasad dan memanfaatkan ingatan yang ada di otak mereka. pisahkan kepalanya dari tubuh, dan jasad itu tak akan berkutik,” ucap Bli Waja.
Aku setuju dengan pendapatnya, tapi itu saja tidak cukup. Ada roh pada pendekar yang bangkit tanpa jasad.

Merekalah masalah paling serius.

“Satu lagi Bli,” ucapku yang menyadari sesuatu.

“Ada sosok-sosok besar yang menjadi poros pertempuran ini. Kera Raden Angkoro dan Raden Jogopati, Kang Waris dan pasukan trah Kanthi, Pendekar dari makam alas mayit,-

dan Nyi Randasari yang menyerang kita dalam senyap. Kalau bisa mengalahkan mereka kita bisa menahan sampai Gama dan Budi menemukan prasasti sumber kutukan ini..”

Bli Waja terbang semakin tinggi dan mencoba mengenali sosok sosok yang kusebut.

“Saya mengerti, Biar saya menangani Nyi Randasari dan memulihkan yang terluka. Tapi setidaknya kita kurangi dulu pasukan yang kembali bangkit ini..” ucap Bli Waja.

Setelah berkata itu tiba-tiba Rangda Bli Waja berubah menjadi bola api yang menyerupai meteor besar dan menjatuhkan dirinya ke sisi belakang pasukan lelembut itu.
Seketika puluhan mayat yang sudah hampir siap untuk bangkit itu kembali terkapar di tanah.

“Gila… untung saja Bli waja ada di pihak kami..” Gumamku.
Aku pun segera kembali ke ragaku dan menghampiri Nyi Sendang Rangu yang tengah terkepung oleh pasukan Trah Kanti yang hampir membuatnya kewalahan.

“Danan, aku sudah kesal,” ucap Nyi Sendang Rangu.

Baru beberapa saat aku kembali ke tubuh, tiba-tiba pasukan-pasukan Trah Kanti yang bangkit terangkat di udara bersamaan dengan tatapan menyeramkan Nyi Sendang Rangu dengan wajahnya yang menghitam.
Pasukan itu terlihat menahan rasa sakit yang amat sangat.

Mereka seperti ingin berteriak tapi tak ada sedikitpun suara yang keluar dari mulutnya.
Dan beberapa saat kemudian, kepala pasukan trah kanti itu meledak dan memuncratkan darah dari lehernya.
Mengerikan, Nyi Sendang Rangu memang terlalu mengerikan saat dikuasai oleh amarahnya.

“Nggak usah sekejam itu bisa kan, Nyi,” ucapku mencoba mengingatkan.

“Berisik!” Balasnya sembari terengah-engah mengatur nafas dan emosinya.

“Bukan begitu, percuma Nyi Sendang Rangu melakukan itu. Toh sebentar lagi mereka akan bangkit lagi..”

Nyi Sendang Rangu pun menoleh ke arahku seolah baru teringat akan hal itu. Sepertinya emosinya membuat ia lupa bahwa yang kami hadapi saat ini adalah mayat hidup yang akan terus bangkit kembali. Tapi Setidaknya, kali ini aku memiliki waktu untuk melumpuhkan Kang Waris.

Ajian tapak sukmo miliknya memang merepotkan. Aku mengadunya dengan Ajian lebur saketi beberapa kali dan hasilnya kekuatan kami hampir seimbang.

Ledakan energi berkali-kali beradu di udara, namun masalahnya energiku akan habis sedangkan kekuatan dari Kutukan sewu lelembut akan terus memulihkan tenaga Kang Waris.

“Ajian kita sama, tapi berasal dari jaman yang berbeda. Seharusnya kau tahu celah dari jurus ini..” Ucap Kang Waris.

Aku sedikit tertegun. Saat ini Kang Waris memang dalam pengaruh Raden Sengkuni tapi ucapannya kali ini seolah-olah ada kesadaran dalam dirinya yang mencoba memberiku petunjuk.

Blarrr!! Blarrr!!

Pertarungan kami berdua membuat sebuah celah dimana tak ada siapapun yang bisa mendekat. Ledakan energi gaib yang beradu dari ajian kami memiliki kekuatan yang bisa mencabut nyawa siapapun yang di dekatnya.

Tapi benar ucapan Kang Waris, ada celah dalam ajian yang kami miliki.

Sekali lagi kami bersiap mengadu ajian kami, tapi kali ini Keris Ragasukma sudah berada di gengGamanku. Sebuah mantra kubacakan pada kepalan tanganku dan bersiap melepaskan pukulan.

Namun tepat saat ajian tapak sukmo Kang Waris dilepaskan, aku menahan ilmuku.

Dhuaggg!!!

Tubuhku terpental dan terhempas dengan kekuatan yang begitu kuat.
Tapi memang itulah rencananya…
Tubuhku terhempas, namun tidak dengan rohku. Aku memisahkan rohku dan terus menerjang ke arah Kang Waris.
Ajian pukulan jarak jauh membutuhkan waktu untuk mengumpulkan kekuatan.

AKu menggunakan jeda waktu itu untuk mendekat dan melepaskan kekuatan dari ajian lebur saketi yang meliputi kepalan tanganku.

Bhuggg!!

Darah hitam bermuncratan dari mulut kang wari. kali ini ia benar-benar tidak berdaya, namun aku tahu bahwa ia akan pulih kembali.

“Maakan aku kang, ini satu-satunya cara untuk menahan Kang Waris..” ucapku yang segera memenggal kepala Kang Waris dengan keris ragasukma dan membawanya menjauh dari tubuhnya.

Tepat saat aku kembali ke ragaku rasa sakit menjalar di sekujur tubuhku. masih ada sisa darah di bibirku akibat organ dalamku yang terluka dengan serangan Kang Waris.

***

WANARA

“Kamu terlalu nekat..” ucap Nyi Sendang Rangu.
“Tidak ada cara lain, Nyi…”
Kini kami sedang di atas angin. Amukan Nyi Sendang Rangu, serangan bli waja, dan kalahnya Kang Waris membuat kami tidak begitu sulit menangani pergerakan mereka.

Tapi, seperti yang kuduga.. Raden Sengkuni tidak akan tinggal diam.
“Siapa sebenarnya kalian?” Ucap Raden Sengkuni dengan wajah geram.
Aku menoleh ke arah Kimpul dan mendapati mereka sedang kewalahan menghadapi ilmu Raden Sengkuni.

“Kami hanya orang yang akan menghentikan kegilaanmu,” ucapku.
“Aku belum pernah melihat kalian di antara seluruh Trah Ningrat?” Balas Raden Sengkuni.
“Kami memang bukan dari trah bangsawan seperti kalian, tapi jangankan setan-setan yang kau bangkitkan.

Bahkan setan-setan dan danyang dari Setra Gandamayit Pun sudah pernah kami hadapi!” Teriak Cahyo.
Bukannya ingin sombong, aku tahu Cahyo hanya ingin membuat Raden Sengkuni Gentar dan mungkin saja membuatnya berpikir dua kali untuk meneruskan peperangan ini.
“Jangan sombong!”

Raden Sengkuni kembali memanggil banaspati yang melayang-layang di belakangnya. Kami bersiap menerima serangan yang mungkin saja dapat membakar tempat ini begitu saja.

Tapi sebelum itu terjadi sebuah sabit dan sebuah pisau menerjang Raden Sengkuni dan menahan niatnya.

“Kamilah lawanmu!” Kimpul dan sekutunya masih mencoba menahan Raden Sengkuni.
Raden Sengkuni sangat tahu, pusaka kerangkeng sukmo adalah sesuatu yang mungkin bisa menggagalkan rencananya. ia tidak mungkin mengacuhkan Kimpul dan ingonya Wirangon begitu saja.

“Bangkit!” ucap Raden Sengkuni.
“Urus mereka! Biar kuberi pelajaran pada raden bodoh ini!”
Bersama ucapan itu tiba-tiba ada sebuah bayangan hitam yang membentuk seorang manusia.

Anehnya, Raden Jogopati dan Raden Angkoro yang berwujud kera tiba-tiba menjauh dan mengaum seperti mengamuk.

“Hati-hati, dia bukan makhluk biasa. Wanasura merasa gelisah,” peringat Cahyo.

Sekali lagi muncul seorang pria tua yang bangkit dengan mengenakan pakaian khas keraton.

Pria itu berbeda, ia hidup jauh lebih lama dibanding pendekar yang lain.

Raden Angkoro, dan Raden Jogopati bergetar bersamaan kemunculan kera kecil berwarna putih dan kera kecil berwarna hitam di bahu orang itu.

“Raden Brotoseno…! Hati-hati! Dia pemilik sebenarnya ilmu kanuragan ketek ireng dan ketek putih! Dialah yang membagi kedua imu itu pada Raden Angkoro dan Raden Jogopati!”
Mendengar ucapan itu seketika kami waspada.

“Brotoseno berbeda dari yang lain, dia bangkit dengan jauh lebih kuat dari saat dia hidup. hahahaha!” Tawa Raden Sengkuni.
Aku tidak mengerti bagaimana kehidupan orang ini sebelum mati.

Tapi dari keberadaan Raden Jogopati dan Raden Angkoro yang meneruskan ilmunya, sudah pasti dia bukanlah orang biasa.

“Iki wayahe kowe ngamuk meneh, tangio rojo ketek!” (Ini saat kamu mengamuk lagi, bangkitlah raja kera!)

Kalimat itu diucapkan oleh Raden Brotoseno yang segera disusul dengan raungan dari dalam bumi. Sosok kera bermahkota dan perhiasan kerajaan muncul diikuti dengan Raden Jogopati dan daren Angkoro di belakangnya.
Kini tiga kera raksasa mengamuk di medan pertempuran.

Tapi itu saja belum cukup…
“Tidak mungkin seorang raja bangkit tanpa membawa pengikutnya..” ucap Raden Sengkuni.
Benar saja, entah datang dari mana tapi di belakang mereka muncul puluhan pasukan kera seukuran manusia.

Sebagian dari mereka memegang senjata, dan sebagian lagi terlihat buas dengan gigi-giginya yang tajam.

“Bangsa wanara?” tanyaku pada Cahyo.
Cahyo hanya menggeleng tanpa bisa memastikan pasukan apa itu.

Mereka mirip seperti teman-teman Kliwon yang kami temui di Jagad Segoro demit, hanya saja mereka terlihat lebih tidak beradab.
Sebuah bola api melayang ke arah pasukan kera itu, namun sang raja kera yang dipanggil Raden Brotoseno mementalkannya dengan begitu mudah.

Dhuarrr!!!

Bola api itu meledak di langit. Kejadian itu sudah membuktikan pada kami sekuat apa pasukan yang kami lawan saat ini.

Trang!!!

Empat keris yang melayang terpental dengan prajurit kera yang dengan sigap melindungi raja mereka.

“Dirga!”

Tak menyerah beberapa batu pusaka melesat dengan menyala melayang menuju pasukan kera itu.

Dhuarr!! Dhuarr!!! Dhuarr!!

Itu ajian watugeni milik Jagad. Saat ini mereka menyadari betapa berbahayaanya pasukan kera di hadapan kami.

Asap dan kobaran api dari serangan Jagad menutupi medan tempur. Tapi sial.. Ketiga kera raksasa itu dan pasukanya berjalan begitu saja melewati kobaran api itu seolah tidak terpengaruh dengan serangan Jagad.

“Apa memang bangsa wanara sekuat itu?” Tanyaku pada Cahyo.

“Tidak, Kutukan itu yang membuat mereka tidak mengindahkan dan tak gentar dengan rasa sakit..” balas Cahyo yang terlihat cemas memikirkan apa yang harus kami lakukan melawan pasukan itu. Aku mulai cemas dengan arah pertarungan ini.

“Tenang, sebentar lagi dia akan datang..”

Tiba-tiba Nyi Sendang Rangu muncul dihadapan kami seolah bersiap menghadang pasukan kera itu.

“Be–benar! Dia akan datang!”

Cahyo merasakan sesuatu. Ia pun segera berdiri bersebelahan dengan Nyi Sendang Rangu untuk menghadapi pasukan kera itu.

Srrrrrrrrkkkk! Srrrrrrkkk!

Tiba-tiba dari tebing sisi barat terjadi longsor yang meruntuhkan bebatuan menuju tempat kami berada. Ada sesuatu yang mendekat dari tempat itu.

“I–Itu? Kliwon?!!” Teriakku.

“Benar itu Kliwon!” Teriak Guntur yang menyadari Kliwon telah kembali ke tempat ini.

Ia tidak sendiri, kawanan kera kecil mengikuti di belakangnya. Tapi aku tahu, tidak mungkin sekawanan kera kecil bisa menimbulkan longsor seperti itu.

“Untuk menghadapi mereka Wanasura harus menggunakan wujud aslinya,” Ucap Cahyo.

Menanggapi ucapan Cahyo, aku pun menghampiri Nyi Sendang Rangu.

“Apa bisa Nyi?” Tanyaku.

Suara petir menggelegar seketika.

“Sampaikan pada teman-temanmu, yang kali ini datang bukang sekedar hujan. Tapi badai yang akan menyelimuti seluruh bukit ini..”

Nyi Sendang Rangu Melayang bersamaan dengan datangnya hujan yang begitu deras. Hujan Nyi Sendang Rangu membawa energi gaib, sehingga sosok roh Wanasura dan Kliwon bisa muncul dengan wujud aslinya. Aku yakin begitu juga dengan pasukannya.

“WANASURAAA!!!” Teriak Cahyo sekuat tenaga bersanding dengan suara petir yang bersahutan.

GGRAAAAORRRR!!

Dari tubuh Cahyo muncul sosok kera besar yang sudah sedari tadi menahan amarahnya. Kliwon pun melompati pundak Cahyo dan menyusul saudara kembarnya itu.

“Mengamuklah Wanasudra!” Tambah Cahyo yang segera memberi isyarat padaku untuk berlari menaiki tubuh mereka.

“Kliwon! Jangan galak-galak sama Danan!” Teriak Cahyo.

“Tenang, nanti habis ini aku temenin ngeborong pisang dari kebun Mbok Darmi!” Ucapku semangat.

Kliwon sosok kera kecil itu kini berubah tak lain dengan wujud Wanasura. Senyumnya yang sebelumnya terlihat menggemaskan, kini mampu membuat gentar makhluk sebuas apapun di sekitarnya.

“Akhirnya kita melihat wujud itu lagi!” Ucap Guntur pada Dirga dengan begitu semangat.

Dirga hanya menggeleng kagum melihat kedua sosok kera raksasa sahabat Cahyo ini.

“Heh! Jangan bengong! urusin monyet-monyet demit itu juga!”

Teriak Nyai Jambrong yang seketika menghentikan kekaguman Guntur dan Dirga itu.

Kera hitam dan Kera putih Raden Angkoro dan Jogopati mendahului raja kera Raden Brotoseno untuk menghadang Wanasura dan wanasudra.

Dhuaagg!!!

Secara bersamaan pukulan Kliwon dan Wanasura menghantam dagu kedua raksasa itu.

Tak cukup sampai disitu, seolah sudah tidak menahan diri Wanasura dan Kliwon melompat menghantam tubuh kedua kera raksasa dan memukulinya tanpa ampun.

Kera putih Raden Jogopati kembali berdiri, tapi dengan mudahnya Wanasura memasukkan tanganya ke mulut Raden Jogopati dan merobek rahangnya hingga terpisah.
“Sabar, Wanasura! jangan termakan emosi!” ucap Cahyo.

Kera Raden Jogopati terjatuh, namun saat Kliwon hendak melakukan hal serupa pada Kera Raden Angkoro tiba-tiba sosok raja kera itu meniupkan asap berwarna merah yang seketika membuat kera hitam Raden Angkoro terbakar seperti api.

GGROAAAARRR!!!

Raden Angkoro mengamuk! ia tidak lagi memiliki kepribadian manusianya. Tanpa kusadari sebuah pukulan sudah mendarat di tubuh Kliwon dan membuatnya terseret, namun Kliwon tidak sudi untuk kalah dan membalas pukulan itu.

Cahyo yang menyadari sumber kekuatan Raden Angkoro berasal dari raja kera pun memerintahkan Wanasura untuk mengincar Raja Kera yang dikendalikan oleh Raden Brotoseno itu.

“Habisi mereka sampai tak tersisa! Bunuh, makan dagingnya, minum darahnya, remukan tulang mereka!”

Perintah Raden Brotoseno pada seluruh pasukan raja kera itu.

Ngiiik!! Ngikkk!!

Peperangan mayat hidup itu seketika berganti dengan pertempuran antar ras kera yang begitu mengerikan.

Kera-kera itu bertempur dengan acak untuk saling menghabisi.

“Kita bantu pasukan Kliwon!” Ucap Jagad. Layaknya pertarungan hewan buas, darah pun bermuncratan dimana-mana. Bli Waja pun mengamuk dengan wujud Rangdanya dan memakan satu persatu kera anak buah Raden Brotoseno.

Sementara itu Panji dan Mbah Widjan mengarahkan murid-muridnya untuk bertarung bersama pasukan Kliwon. Tujuan utama mereka adalah mengarahkan pasukan liar itu agar bertarung dengan cara yang terbaik.

Dhuarrr!!!

Ledakan api sekali lagi muncul di medan tempur. Aku tahu itu adalah ulah mas Jagad. Kepulan asap menghalangi penglihatan kami, namun suara teriakan kera-kera terdengar keras di telinga kami.

Keris Dirga dan Tombak Lembu Warok terliha sudah beterbangan sedari tadi, dan saat asap itu mulai menghilang kepala kera-kera anak buah Raden Brotoseno itu terlempar ke udara dan terjatuh tak jauh dari hadapan sang raja kera.

“Gggrrrr….” Sang Raja Kera itu geram, tapi Raden Brotoseno sama sekali tidak gentar. Mungkin ia tahu bahwa mereka akan bangkit lagi dengan kutukan Raden Sengkuni.

“Jangan sombong hanya dengan mengalahkan kera-kera bodoh itu,” ucap Raden Brotoseno.

Brrrruaaaaak!!!

Baru beberapa saat Raden Brotoseno mengucap kata itu, tiba-tiba dua buah kepala kera raksasa hitam dan putih yang seukuran dirinya terjatuh tak jauh di hadapannya.

“Gimana? Tadi Raden ngomong apa?” Ucap Cahyo yang yang menyusul ke hadapan Raden Brotoseno bersamaku dan Kliwon.

“GGrrrr… Grrr…. GGROAAAARRR” Raja kera itu mengamuk. Wajah Raden Brotoseno berubah seketika.

“Habisi mereka!” Raden Brotoseno yang mulai geram memerintahkan sang raja kera itu menyerang kami.

Ia juga membacakan sebuah mantra bersama kedua kera di bahunya yang seketika membuat Raja kera itu mengeluarkan energi hitam yang mengerikan.

“Hati-hati!” ucapku.

Cahyo membacakan ajian penguat raga untuk Wanasura. Sedangkan aku membacakan ajian lebur saketi, bukan untuk dikepalan tanganku, tapi untuk di kepalan tangan Kliwon.

Raja kera brotoseno menghantam Wanasura dan memukulnya mundur, namun Kliwon melontarkan pukulan yang sudah diperkuat dengan ajianku. Aku tahu, itu saja tidak cukup tapi Cahyo dan Wanasura segera kembali dan menghantamkan kedua tangan Wanasura ke tubuh Raja kera itu.

Kuat.. terlalu kuat.

Tak satupun serangan Wanasura dan wanasudra berhasil membuat Raja kera itu kewalahan. Ia dengan mudah bisa membalas serangan kami dan membuat kami kewalahan.

“Bakar mereka sampai ke tulang-tulangnya!” Perintah Raden Brotoseno.

Seketika firasatku menjadi tidak enak. Kekuatan besar mengalir dari dalam tubuh raja kera itu. Benar saja, belum sempat kami membalas serangannya raja kera itu membuka mulutnya dan menyemburkan api hitam yang begitu besar dari mulutnya.

“Minggir!!!” Teriak Cahyo.

Wanasura dan Kliwon bergegas menghindar namun entah ada berapa pasukan Kliwon yang terbakar oleh api itu.

“HHrrrr….” Kliwon geram.

“Tenangkan dirimu,” ucapku sembari mengelus leher Kliwon.

“Gila, aku belum pernah ngeliat serangan begitu..” ucap Cahyo.

Ia pun memerintahkan Wanasura untuk memutar mengincar sisi lemah Raja Kera Brotoseno itu dan membalas seranganya.

“Sekarang Wanasura! Semburan api!!!” Teriak Cahyo.

Bruakk!! Wanasura pun berhenti dan menoleh pada temanya yang sedikit bodoh itu dengan wajah bingung.
“Hehe.. siapa tau kamu bisa juga,” Balas Cahyo dengan wajah pura-pura polosnya.

Seandainya saja aku ada di dekat mereka, mungkin aku harus mengikhlaskan sandalku hilang sebelah untuk menimpuk Cahyo.

“Ayo, Kliwon! Pasti ada cara untuk mengalahkan kera itu,” ucapku.

Kliwon pun menuruti petunjukku untuk mengincar sisi butanya.

Sayangnya tidak seperti sebelumnya, kali ini pukulan Kliwon tak lagi berdampak banyak pada raja kera yang sudah berselimut kekuatan hitam itu.

Sebaliknya, gelagatnya seolah bersiap untuk menyemburkan api hitam lagi.

“Cahyo! jangan sampai dia melakukan itu lagi!” Teriakku.

Aku memikirkan sebuah siasat dan menjelaskan pada Cahyo melalui wujud sukmaku. beresiko, tapi patut dicoba.

Sekali lagi Cahyo menggunakan ajian penguat raga pada Wanasura, dan aku membacakan ajian lebur saketi pada Kliwon.

Sebelum sempat memuntahkan api hitam dari mulutnya, Kliwon dan Wanasura sudah bersiap menghantamkan pukulan terkuat mereka ke tubuh Raja kera Brotoseno.

Dhuaakkk!!!!

Serangan raja kera itu pun tertahan. Ia meraung se keras-kerasnya, namun serangan kami belum selesai.

Tanpa mereka sadari, Kliwon dan Wanasura sudah melempar kami ke atas raja kera itu dengan keris ragasukma yang sudah menyala-nyala dengan kilatan cahaya putih.

“Sekarang Jul!” teriakku.

Dari atas, Cahyo memberiku tumpuan dan melemparkanku sekuat tenaga.

Dengan sebuah mantra, kilatan cahaya putih itu membesar seolah memperlihatkan keris ragasukmaku memanjang.

Jlebbb!!!

Keris ragasukma menancap tepat di ubun-ubun kera raksasa itu. kilatan cahaya putih memendar dan melubangi kepala makhluk besar itu.

Seketika kekuatan hitam yang menyelimuti makhluk itu menghilang.

Wanasura dan wanasudra menyadarinya. Mereka pun bergegas mendekat dan menarik kepala makhluk yang mengaku sebagai raja kera itu hingga terpisah dari kepalanya.

SSSRRRAKKK!!!!!

Darah hitam bermuncratan menghujani medan tempur. Jelas saja Raden Brotoseno geram melihat apa yang terjadi. Tapi sebelum ia sempat melakukan sesuatu, sebuah wujud roh keris ragasukma sudah menancap di lehernya dan memisahkanya sama seperti ingon andalanya itu.

“Alam ini sudah tidak pantas untuk kalian,” ucapku mengakhiri kengerian kekuatan dari kanuragan raja kera dari Raden Brotoseno ini.
Cahyo pun kembali ke tubuh Wanasura sembari membopong tubuhku.

Aku memastikan seluruh pasukan kera yang dipanggil oleh Raden Brotoseno kembali ke asalnya.

“Sekarang giliran makhluk menyebalkan itu!” Ucap Cahyo.

kami semua berkumpul dan bersiap menghadapi Raden Sengkuni.

Ia sudah melihat keadaan Raden Brotoseno dan ingonnya, tapi tetap saja wajahnya terlihat tidak gentar.

“Aku sudah tahu akhir pertempuran ini semenjak kemunculan monyet itu..” ucap Raden Sengkuni dengan sombongnya.

“Berarti kau juga tahu kalau akan kalah kan?” Balas Cahyo.

Jelas kami percaya diri, kini seluruh pasukan alas wanamarta dan pendekar terkuat kami berkumpul di tempat ini.
“Bodoh, itu juga artinya aku sudah melihat hal ini..” Seketika pusaran asap hitam muncul di sekitar kami.

Sontak aku pun teringat bahwa ini juga pernah terjadi pada Kimpul.

“Awasss!!! Ini Waringin Sukmo milik Keling!”

Aku mencoba memperingatkan mereka semua, namun aku terlambat. Seketika kami semua sudah berpindah tempat di sebuah alam yang begitu luas dan gelap.

Ada mayat-mayat pendekar yang bergelimpangan di beberapa sisi.

“Ini?” Nyai Jambrong mencoba mengenali alam ini.

“Siti Kawaruhan, jangan menjauh, biar kucoba membawa kalian kembali ke hadapan makhluk sialan itu!”

Ucap Jagad yang segera menggenggam ukiran kayu pemberian Bah Jajang.

Belum sempat aku menganalisa keadaan, tiba-tiba kami sudah kembali ke Astana Giridanyang. Kali ini aku semakin salut dengan kekuatan Mas Jagad.

“Mas Danan?!” Teriak Kimpul yang lega dengan kemunculan kami kembali.

“Tenang, Ilmu kami tidak akan kalah dengan jurus murahan seperti itu,” sesumbarku.

“Bodoh, dengan sisa orang sebanyak itu kalian bisa apa?” Ucap Raden Sengkuni.

Brukkkk!!

Jagad terjatuh, wajahnya pucat dan darah mulai mengalir dari mulut dan telinganya.

“Mas!” teriak Dirga.

Bli Waja dengan cekatan mengangkat tubuh Mas Jagad dan mengamankanya. “Dia kelelahan, energinya terkuras. Biar aku yang mengurusnya,”

Aku lega ada Bli Waja di sini.

Tapi aku baru sadar, tidak semua dari kami kembali dari Siti Kawaruhan. Kliwon dan pasukanya, Mbah Widjan dan murid-muridnya masih tertinggal disana. Sepertinya ini batas kekuatan mas Jagad saat ini.

Aku mengepalkan keras tanganku, kini keadaan tidak lagi sebaik sebelumnya.

“Aku sudah lelah bermain-main dengan kalian, ada runtutan trah ningrat yang harus kuhabisi setelah ini,” Ucap Raden Sengkuni.

Ia pun mengulang sebuah bacaan yang berisikan kutukan. sebuah mantra yang sebelumnya juga ia ucapkan untuk membangkitkan Kutukan Sewu Lelembut.

“Bangkitlah kembali, dan habisi mereka!” Perintah Raden Sengkuni.

Aku menelan ludah bersiap menghadapi lagi makhluk-makhluk yang sedari tadi telah kami kalahkan. Kali ini tanpa bantuan Kliwon dan teman kami yang tertinggal di Siti Kawaruhan. Apa kami bisa?

“Jangan cemas…”

Tiba-tiba terdengar suara Nyi Sendang Rangu bersama hujan yang mulai mereda.

Aku menoleh ke arah Nyi Sendang Rangu yang tiba-tiba ada di sisiku dan ucapannya benar. Tidak ada satu pun pasukan mayat hidup itu yang kembali bangkit.

Raut wajah Radeng Sengkuni berubah. Ia memanggil panggaweruhnya mencari tahu apa yang terjadi.

“Tidak… tidak mungkin bagaimana mereka bisa bersembunyi dari pangaweruhku?! Manusia brengsek!!!” Umpatnya.

Aku sedikit tersenyum dan menoleh ke arah Cahyo. “Sepertinya Gama dan Budi berhasil,”

“Mereka memang bisa diandalkan!” Teriak Cahyo lega.

Sayangnya, kelegaan kami hanya berlangsung sementara.

Seluruh banaspati yang berada di punggung Raden Sengkuni berputar dan berpencar ke seluruh penjuru astana giridanyang.

“Seharusnya aku hancurkan seluruh tempat ini dari awal!”

Blarrr!! Blarr!! Blarr!!!

Sama seperti hancurnya Alas Rowosukmo, Seketika kobaran api membakar berbagai sisi tempat ini. Beruntung Nyi Sendang Rangu sudah bersiap dan memadamkan api yang mendekat ke arah kami, tapi aku yakin ini tidak akan berlangsung lama.

“Cepat Gama!!” Terdengar suara Budi keluar dari reruntuhan. “Raden Sengkuni mengamuk!”

Itu mereka! Gama dan Budi kembali, tapi keadaan kali ini benar-benar menghkhawatirkan. Kobaran api kali ini jauh lebih besar dari yang melahap Alas Rowosukmo.

Aku benar-benar khawatir pada mereka, bahkan dengan bantuan Nyi Sendang Rangu saja kami masih sulit untuk bernafas dengan seluruh hawa panas ini.

Brukk!!!

Sebuah kepala terjatuh tak jauh dari tempat Raden Sengkuni berada.

“I–itu kepala Birawa?” Ucap Kimpul.

“Selanjutnya adalah kepala dan tubuhmu!” Ucap Budi dengan tatapan dingin ke arah Raden Sengkuni.

Sosok Raden Sengkuni yang penuh wibawa dan kehormatan itu kini bertatapan dengan pria gondrong yang tubuhnya sudah dipenuhi dengan keringat dari pertarungan dan panasnya api di tempat ini.

“Bajingan! Biadab!” Teriak Radeng Sengkuni.

Aku melihat Cahyo ingin bergegas menolong Budi. “Hati-hati Mamang Gondrong!” Teriak Cahyo.

Tapi sebelum ia melangkah, aku memilih untuk menahanya.

Ia tidak melihat bahwa banaspati milik Raden Sengkuni tengah berkeliaran dan terus membakar seluruh wilayah sekitar kami dengan begitu buasnya.

“Kita lihat hal baiknya, kini yang tersisa hanya kita dan Raden Sengkuni.” Ucapku yang mencoba melihat arah pertempuran ini.

Kimpul dan sekutunya mendekat kearahku dengan geram setelah melihat apa yang sudah diperbuat oleh Raden Sengkuni.

“Satu-satunya cara menghentikan ini adalah dengan kematian Raden Sengkuni. Tapi jelas, ini tidak akan mudah.
Pangaweruh itu akan menjadi halangan terbesar kita,” Ucap

Kimpul. Satu orang dan sisa sisa mayat hidup melawan puluhan pendekar. Memang terdengar tidak adil, tapi dia saat ini mungkin adalah orang yang mampu menghabisi satu kota dalam waktu singkat.

Mungkin ini saatnya aku menggunakan permata kedua dari Keris Ragasukma….

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

Terima kasih sudah mengikuti part ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.
close