Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMPAH POCONG 1992

Sumpah pocong menjadi awal dari teror yang terjadi di salah satu desa di Jawa Timur..


Mereka diperlakukan layaknya jenazah. Dimandikan, disholatkan, dan dibungkus dengan kain kafan.

“Edan, uwong-uwong kuwi wis edan..”
(Gila, orang-orang itu sudah gila) gumam bapak.

“Kuwi ngopo to pak? kok medeni?” (Itu kenapa to pak? kok nakutin) Tanyaku.

Bapak tidak segera menjawabku, ia masih melirik-lirik diantara warga desa lain sembari melihat pada kedua orang yang sekarang sudah terbungkus kain kafan sepenuhnya.

“Sumpah pocong…” (Jawab Bapak)
Mereka adalah Pak Kadirin suami dari Bu Denok, dan Imah anak dari Pak Raji.

Aku sempat mendengar Pak Rusli sudah bertemu dengan mereka untuk menengahi permasalahan mereka, tapi aku tidak menyangka hasilnya akan seperti ini.

“Setelah terbukti bahwa janin di perut anak sundal itu bukan anak saya, keluargamu juga harus meninggalkan desa ini malam ini juga!” Teriak Pak Kadirin yang sudah terbungkus kafan.

Iapun segera mengambil posisi di sebuah tikar yang telah disiapkan bersama beberapa saksi.

“Pak, Imah gimana pak? Imah takut..” rengek Imah ketakutan melakukan ritual itu.

Aku sedikit iba melihatnya. Umurnya yang baru belasan tahun sudah harus menghadapi masalah sepelik ini.

Dari desas desus warga barusan, aku baru tahu bahwa imah hamil dan menuduh Pak Kadirin yang menghamilinya. Pak Kadirin jelas membantahnya. Sudah beberapa hari pertikaian diantara keluarga mereka terus berlanjut hingga tidak menemukan titik temu.

Pak Raji yang terus berusaha menuntut keadilan terus mendesak Pak Kadirin untuk mengaku sampai akhirnya Pak Kadirin menantang Imah untuk melakukan suatu ritual yang lama tidak terdengar di desa kami.. Sumpah Pocong.

“Kamu yakin tidak berbohong kan, Mah?” tanya Pak Raji.

“Imah jujur pak..” ucapnya sambil menangis.

“Kalau kamu jujur, kamu akan selamat.. bapak akan jagain kamu” hibur Pak Raji.

Imah tidak punya pilihan, sepertinya Pak Rajipun sudah terdesak.

Kalau ia menghindar maka anaknya akan dicap warga desa sebagai pembohong, wanita murahan, dan harus hidup menanggung beban itu bersama anak di kandunganya. Apalagi nama keluarga mereka juga ikut rusak.

Seketika suasana rumah pak rusli menjadi hening. Tidak ada suara bisik-bisik sedikitpun di gelapnya malam saat itu. Semua penasaran menyaksikan ritual itu dengan hening hingga akhirnya Ustad Ramli itu menyelesaikan mantranya.

“Monggo Imah, ucapkan sumpahmu..” ucap Ustad Ramli.

Imah terisak menahan rasa takutnya, namun ia menegarkan diri untuk membuka mulutnya.

“Saya Imah bin Rajirin, dengan kesadaran dan tanpa paksaan dari siapapun melakukan sumpah Mubahala….

Waulaahi, Billahi, Taulaahi….

Laknat Allah atas diriku, dan matilah aku saat ini juga bila aku berdusta…

Anak yang berada di kandungan saya adalah anak Pak Kadirin….”

Seketika angin dingin bertiup diantara kami. Ucapan imah dengan isak tangis terdengar lirih di telinga kami.

“Masih berani bohong juga anak sundal?” umpat Pak Kadirin.

“Ssst… ini masih di dalam ritual, sekarang ucapkan sumpah bapak,” perintah Ustad Ramli.

Wajah Pak Kadirin seketika terlihat tegang. Matanya terpaku ke satu arah dan mulai terlihat pucat.

“Kenapa pak? ayo bacakan sumpah bapak,” ucap Ustad Ramli.

Pak Kadirin menoleh ke arah Imah, namun wajahnya malah terlihat ketakutan.

“Pak! cepat bacakan sumpahnya! Jangan bilang bapak takut!” ucap Bu Denok Istrinya dengan wajah kesal setengah mati.

Pak Kadirin terlihat menelan ludah..

“Bapak mau menarik ucapan bapak tadi?” tawar Ustad Ramli.

“Nggak!” teriak Bu Denok, “Bapak nggak salah, dia akan buktikan di sini.”

Mendengar ucapan istrinya, Pak Kadirinpun terus membacakan sumpah yang sudah tertahan di tenggorokanya.

“Saya Kadirin bin Hasbin, dengan kesadaran dan tanpa paksaan dari siapapun melakukan sumpah Mubahala….

Waulaahi, Billahi, Taulaahi….

Laknat Allah atas diriku, dan matilah aku saat ini juga bila aku berdusta…
Bahwa saya benar tidak berbuat apapun yang dituduhkan oleh imah. Anaknya bukan anak saya, Bila saya berbohong saya… Saya…”

Pak Kadirin terlihat pucat saat ingin mengucapkan kata-kata terakhirnya.

“Saya tidak akan terbangun dari wujud pocong ini”
Seketika perasaan aneh terjadi lagi dengan datangnya angin dingin di sekitar tengkuk kami.
Setelah menerima sumpah itu, Ustad Ramli pun mengelilingi tubuh sembari membacakan doa.

Tak lama kemudian mereka berduapun tertidur dan Ustad Ramli menutupi wajah kedua orang itu dengan selembar kain putih.

“Saat lewat tengah malam akan ada salah satu dari mereka yang tidak terbangun,” ucap Ustad Ramli.

Wajah Bu Denok dan Pak Raji saat itu terlihat pucat menahan rasa tegang akan hasil dari sumpah pocong ini. Tengah malam masih lama, kamipun merasa harus tetap berada di tempat itu sebagai saksi atas ritual ini.

***

Sudah tiga hari pasca kejadian sumpah pocong antaran Kadirin dan Imah. Sama sekali tidak ada yang menyangka hasil dari ritual yang sudah sangat lama tidak pernah dilakukan itu.

Tepat saat malam melewati puncaknya, Ustad Ramli membuka kain putih yang menutupi wajah Imah dan Kadirin. Namun tidak ada dari mereka berdua yang terbangun.

Mereka berdua meninggal…

Seluruh warga kebingungan. Pak Raji dan Bu Denok menangis menuntut jawaban pada Ustadz Ramli bagaimana itu bisa terjadi. Tapi Ustadz Ramli pun bingung. Penyesalan muncul di wajah Bu Denok dan Pak Raji.

Mungkin mereka berpikir seandainya saja mereka melarang anak dan suaminya itu melakukan sumpah pocong.
Paginya pemakaman pun dilakukan. Warga tidak terlalu banyak berbicara pada Pak Raji dan Bu Denok.

Mereka lebih banyak bergunjing sesama warga mempertanyakan tentang hasil sumpah pocong ini. Walau begitu setidaknya warga desa menganggap pemakaman itu adalah akhir dari konflik ini. tapi ternyata mereka salah.

Suatu malam aku dan beberapa warga sedang menonton tayangan sepak bola di pos. di masa itu televisi masih merupakan barang mewah dan tidak semua orang bisa memilikinya. Pos ronda adalah tempat favorit untuk kami untuk menonton televisi saat ada tayangan-tayangan yang ramai.

Saat malam semakin larut, ada seorang anak bernama Ragil yang menatap ke arah jalan yang berdekatan dengan kebun pisang. Wajahnya pucat, dan hanya terpaku ke arah itu.

“Gil! Ngapain?” aku memainkan tanganku di hadapan matanya.

“Mas, a—aku pulang duluan ya..” ucapnya terlihat ketakutan.
Kami pun curiga dan menoleh ke arah yang membuat Ragil ketakutan seperti itu.

Tidak jauh dari tempat kami berada, di jalan desa yang bersebelahan dengan kebun pisang terlihat sosok pocong yang melayang perlahan melintasi jalan desa.

“Po—pocong!!!”

Semua melihatnya dengan jelas, itu bukan bayangan putih layaknya asap.

Tapi sosok makhluk yang terbungkus kain kafan lusuh yang melayang.
Saat menyadari penampakan itu seketika pemuda yang berkumpul di tempat itu membubarkan diri dan lari terbirit-birit menuju rumahnya masing-masing. Aku dan Yono pun terpaksa memutar untuk sampai ke rumah.

Keesokan harinya kabar mengenai penampakan pocong itu menyebar ke warga desa, tapi cerita dari pemuda pos ronda saat itu hanya menjadi cerita biasa di desa Patirejo. Sampai pada malam berikutnya sesuatu terjadi.

Tok.. tok.. tok… tok… tok…

Suara ketukan terdengar di rumah Yono di malam hari. Saat itu Yono dan orang tuanya sudah tertidur. Ibu Yono tahu suara ketukan itu bukan berasal dari rumahnya namun karena suara ketukan itu terus terdengar ia pun terbangun dan mencoba mengintip dari gorden rumahnya.

Benar.. ketukan itu berasal dari depan rumahnya, rumah Bu Denok. Namun Ibu Yono tidak pernah menyangka dengan apa yang dilihatnya.
Kini ia tahu mengapa tetangga di depan rumahnya itu tidak membuka ketukan pintu itu. pemandangan yang Ia lihat saat itu seketika membuatnya lemas.

Di hadapannya ada pocong yang tak henti-hentinya mengetuk pintu rumah Bu Denok.
Makhluk yang terbungkus kain kafan itu berdiri di depan pintu dan mengeluarkan tanganya yang membusuk dan terus mengetuk pintu rumah Bu Denok.

Ia tidak bisa membayangkan bagaimana takutnya Bu Denok yang tinggal seorang diri dan mengetahui ada sosok pocong yang mengetuk pintu rumahnya.

Ibu Yono pun memilih untuk menutup gorden jendelanya dan kembali ke kamarnya.

“Kenapa, Bu?” Tanya ayah Yono yang juga terbangun.

“Jangan, jangan keluar pak! Ada Pocong…”

“Hah? Ngawur kamu…!” Ayah Yono ingin memastikan ucapan istrinya itu, namun istrinya bersikeras menahannya. Ia takut jika pocong itu sampai berbalik dan menuju rumahnya.

Kejadian itu tidak hanya terjadi sekali. Malam berikutnya giliran rumah Ragil. Saat itu Ragil sendiri yang mendengar suara ketukan pintu. Sebenarnya ia curiga dengan suara ketukan yang terjadi di tengah malam itu.

Namun karena merasa terganggu, ia pun membuka pintunya dan mendapati bahwa yang mengetuk itu adalah sosok pocong yang jadi perbincangan warga.

Wajahnya pocong itu menghitam seolah sudah membusuk. Ragil mencium sendiri bau amis dari sosok yang terbungkus kain kafan itu.

Entah apa yang terjadi setelahnya, tapi saat paginya Ibu Ragil menemukan Ragil terbaring tak sadarkan diri di pintu rumahnya.

“Sumpah! Itu pocong!! Mukanya serem!” Saksi Ragil.

Saati itu desa Patirejo mulai cemas dengan teror sosok pocong yang sudah terjadi selama berhari-hari. Ada yang melihat pocong itu melayang melintasi desa. Ada rumah yang diketuk tanpa henti.

Dan bahkan ada yang berpapasan di tengah jalan saat sedang memasuki desa,
Mbak indri namanya…
Ia merantau ke kota untuk bekerja dan pulang beberapa bulan sekali untuk menemui orang tuanya. Saat itu indri baru saja turun dari angkutan umum.

Ia berjalan melintasi jalan desa hingga memasuki gapura desa Patirejo.
Dari jauh, samar-samar ia melihat seseorang berdiri menatapnya. Sontak indri merasa tidak nyaman, ia merasa keanehan pada orang yang menatapnya itu.

Saat semakin dekat, tiba-tiba orang di hadapan Indri itu terjatuh lemas dan berpaling berlari ketakutan. Indri pun bingung, tapi saat itu juga ia mencium bau busuk.
Seketika indri merinding sejadi-jadinya, sesuatu menetes di lehernya membuat Indri merasa semakin panas dingin.

Ia pun menoleh dan sesosok pocong sudah berada di belakangnya.
Indri lari terpontang panting dan berteriak meminta tolong, setiap menoleh sosok pocong itu terlihat masih mengikutinya hingga sampai di dekat pos, ada beberapa pemuda yg menghampirinya.

Lelaki yang kabur tadi rupanya meminta pertolongan pada warga untuk menolong Indri, dan saat sudah banyak warga di sana. Pocong itu pun tak lagi terlihat.

Kejadian Indri semakin meresahkan ketika keesokan harinya Indri sakit dengan luka aneh di kulit bekas ludah pocong itu menetes. Rasa gatal di tubuhnya tidak mau menghilang dan terus mengeluarkan bau busuk.

Keresahan warga pun semakin memuncak, mereka mencoba melindungi diri dengan menaburkan garam krasak ke sekitar rumah mereka agar tidak didatangi pocong itu. Mereka juga sering mengadakan pengajian, berharap pocong itu tidak lagi mengganggu warga.

Tapi rupanya, usaha mereka tidak banyak membuahkan hasil. Masih ada yg mengaku rumahnya didatangi sosok pocong itu…
Pak rusli pun mengumpulkan perangkat desa dan warga yang berpengaruh untuk membahas tentang hal ini.

Ustad Ramli pun diundang untuk membahas tentang sosok pocong tersebut. Pertemuan itu mengaitkan kemunculan pocong itu dengan sumpah pocong yang dilakukan oleh Imah dan Kadirin.

Tak ada cara lain selain menghadirkan kedua orang terdekat almarhum untuk mencari tahu apa yang terjadi. Namun hal yang tidak terduga pun mereka temukan.
Bu Denok memang terlihat trauma saat didatangi sosok pocong itu,

namun sejak saat itu ia selalu mendapat mimpi bahwa ia didatangi oleh suaminya. Menurutnya, di mimpinya itu Kadirin masih bersikeras menentang bahwa ia bersalah.
Bu Denok hanya sedih melihat keadaan Kadirin di mimpinya, ia selalu mengatakan bahwa ia menuntut keadilan.

Tapi saat datang ke rumah Pak Raji, mereka pun kaget. Rupanya sudah beberapa hari Pak Raji sakit dan membuatnya tidak bisa meninggalkan ranjangnya.

"sakit… sudah hentikan.."

Bu Raji menceritakan keadaan suaminya yang selalu merintih kesakitan, bahkan saat tidur. Sudah ada beberapa obat obatan di meja yang menandakan bahwa Pak Raji telah mencoba pengobatan medis.

"Ada apa ini sebenarnya, Bu?" Tanya Ustad Ramli.

"Saya nggak tahu, Pak Ustad. Sudah kehilangan Imah, sekarang suami saya jadi seperti ini.." jawabnya sedih.

Ustad Ramli pun meminta izin untuk memeriksa Pak Raji. Ia melihat kejanggalan pada penyakit yang dialami olehnya.

Ada luka koreng di kulitnya yang terus mengeluarkan bau busuk, tubuhnya kaku, kesadaran terganggu. Pak Raji selalu berhalusinasi melihat sesuatu yang membuatnya ketakutan.

“Pe–pergi! Pergi!!!”

Pak Raji menunjuk ke arah jendela. Ia benar-benar ketakutan dan berusaha menutupi matanya. Ustad Ramli pun menoleh dan ia terperanjat melihat sosok pocong berdiri di luar dari balik jendela itu.

“Astagfirullahaladzim…” Istighfar Ustad Ramli.

Ia pun membacakan ayat kursi dan doa-doa di tempat itu juga. Sosok pocong itu menghilang, namun Ustad Ramli tahu ia akan kembali lagi. Kini ia yakin, kemunculan pocong itu berhubungan dengan Pak Raji.

“Sulit untuk menolong Bapak,” ucap Ustad Ramli pada Bu Raji.

“Maksudnya gimana, Pak Ustad?”

“Penyakit itu sudah menggerogoti tubuh Pak Raji, dan dia diganggu oleh makhluk halus. Saya bisa saja meminta bantuan Kiai di pesantren untuk meruqyah Pak Raji. Tapi semua Allah yang menentukan.

Penderitaan Pak Raji bisa berakhir dengan kesembuhan, atau dengan kepergiannya..” Jelas Ustad Ramli.

Bu Raji dan Pak Rusli yang mendengarnya pun cukup bingung. Tidak ada yang menyangka Pak Raji yang sebulan lalu masih sehat kini jatuh terpuruk dengan penyakit yang mengerikan.

Namun setelah tahu usaha medis yang dilakukan tidak berdampak, Bu Raji pun menyerahkan pengobatan suaminya pada pak ustad.

Kiai Gustaf namanya. Ia datang beberapa hari kemudian bersama beberapa santrinya atas permintaan Ustad Ramli dan Pak Rusli selaku kepala desa.

Ia datang bersama beberapa santri ke rumah Pak Raji.
Seusai menunaikan Sholat Maghrib, Kia Gustaf dan para santrinya mendoakan Pak Raji dan membacakan ayat-ayat suci di kamarnya. Alunan ayat-ayat suci itu membuat Pak Raji meronta-ronta. Ia merasa tidak nyaman dan terus berteriak.

“Wong iki sing nggawe perkoro!” (Orang ini yang membuat perkara!)

Suara mengerikan terdengar dari tubuh Pak Raji. Jelas itu bukan suara Pak Raji.

Sllappp!!!

Tiba-tiba listrik di rumah itu mati tanpa sebab. Kegelapan menyelimuti kamar Pak Raji dan membuat para santri gelisah.

“Astagfirullahaladzim…Astagfirullahaladzim…” Semua Santri membaca istighfar dengan apa yang terjadi.

“Semua tenang , lanjutkan ayat kursi kalian..” Perinath Kiai Gustaf.

Brakkk!!!

Daun jendela terbanting begitu saja. angin kencang berhembus bersama masuknya cahaya bulan yang sedikit menerangi kamar.
Dan sekarang, dia ada di sana..
Pocong itu ada disana…

Ia berdiri menginjak wajah Pak Raji yang tak mampu melawan.

Di Wajah…

“Urusanku selesai jika orang ini sudah mati…” ucap sosok itu dengan suara yang keluar dari tubuh Pak Raji. Sementara pocong itu hanya diam menatap tajam pada Kiau Gustaf.

“Aku tidak punya niat untuk berbicara dengan setan!” Ucap Kia Gustaf yang dengan tegas membaca doa-doa dengan tasbih di tangannya.
Pocong itu terlihat gelisah. Ia geram, suara erangannya terdengar membuat siapapun di ruangan itu merinding. tak lama kemudian pocong itu menghilang.

Mereka hampir saja bernafas lega, tapi tiba-tiba seorang santri berdiri. ia menatap Kiai Gustaf dengan mata yang memutih. kulitnya seketika memucat dan urat-urat di sekitar wajahnya menebal.

“Khek.. khek.. khe…” Santri itu tertawa mengerikan dengan liurnya yang terus menetes dari mulutnya.
“Mungkin kau mau mendengarkan bila santrimu yang berbicara.. Khek..khekk.khe..”

Kiai Gustaf geram, ia meminta santri-santrinya memegangi Santri yang kesurupan itu dan melakukan ruqyah padanya. Santri itu meronta-ronta dengan kekuatan yang tak masuk akal, namun Kia Gustaf menahan tenaganya dengan doa-doa yang ia bacakan.

“Ki–Kiai!” Teriak salah satu santrinya.
Santri yang keraskukan itu terkulai lemas, namun santri lainnya pucat melihat sesuatu di belakang Kiai Gustaf. “Po–pocong, Kiai!”

Kia Gustaf menoleh dan pocong itu tepat berada di belakang Kiai Gustaf.

Wajah hitamnya yang sudah membusuk bertatapan dekat dengan wajah Kiai Gustaf. Kali ini Kia Gustah terperanjat, ia mundur namun bukan karena takut.

“Bila tidak ingin berurusan denganku, setidaknya kau bisa menyampaikan kebenarannya.. Ini adalah kutukan yang disebabkan olehnya sendiri…”
Pocong itu berkata melalui tubuh Pak Raji lagi.

Namun sebelum Kiai membacakan doa-doanya lagi, pocong itu mundur pergi dan meninggalkan mereka. Ia benar-benar menghilang dari kamar itu.

Tapi untuk kali ini Kiai Gustaf memahami sesuatu.
Kia Gustaf meminta Pak Ruslin dan Bu Raji untuk berkumpul bersama mereka.

Ada sesuatu yang akan ia lakukan dan itu semua harus disaksikan oleh Bu Raji.
Sebuah doa panjang dibacakan oleh Kiai Gustaf dan Santri-santrinya. segelas air putih yang telah didoakan diminumkan pada Pak Raji. kali ini semua berjalan baik.

Pak Raji pun membuka matanya dan mulai mendapati kesadaranya.

“Ibu…” ucap Pak Raji dengan lemah.
“Alhamdulillah, Pak…” Sambut Bu Raji dengan haru.

Kiai Gustaf menghela nafas dan sedikit memalingkan wajahnya.

“Bu.. Ikhlasin bapak ya.. Bapak sudah berbuat salah, salah yang tidak termaafkan..” Ucap Pak Raji.

“Ma–maksudnya apa, Pak? Bapak sudah sadar, bapak sudah sehat, sebentar lagi pasti pulih..” ucap Bu Raji.

Pak Raji menggeleng mendengar ucapan itu.

Bu Raji menoleh pada Kia Gustaf, ia hanya mengangkat tanganya menunjuk agar Bu Raji terus memperhatikan ucapan suaminya itu.

“Demi imah, Bapak berbuat dosa. Imah mati karena dustanya, tapi Kadirin….”

Pak Raji menangis meneteskan air mata penyesalannya.

“Bapak yang meracuni Kadirin…”

Mendengar ucapan itu Bu Raji, Pak Ruslin, dan semua yang berada di tempat itu pun kaget. Kini mereka tahu penyebab mengapa sumpah pocong itu memakan dua korban.

“Imah hamil , ia dijebak oleh sasto warga pendatang desa sebelah yang tiba-tiba menghilang. Ia dibawa ke sebuah gubuk, dia diperkosa oleh Sasto dan teman-temannya yang mabuk.

Saat itu ia tersadar seorang diri di gubuk dengan tubuh yang sudah ternodai, dan saat ia ingin pulang ada Kadirin yang berada di tempat yang tak jauh darinya.”

“Imah cerita begitu, Pak?”

“Nggak, Bu.. Imah nggak pernah cerita. Bapak tahu dari orang yang menjual minuman itu ke orang-orang itu. Saat imah hamil dan menuduh Kadirin, Bapak nggak mau warga tahu kebohongan Imah.

Saat sumpah pocong diputuskan, Bapak memutuskan untuk membunuh Kadirin untuk membersihkan nama Imah…”

“Astaghfirullahaladzim pak…”

Semua orang di ruangan beristighfar saat itu.

“Bapak berdosa pada Ibu, Bu Denok, Warga desa, dan juga sama imah. Biarkan Bapak menebus dosa bapak…” Ucapnya.

Suara tangisan Bu Raji memenuhi ruangan itu. Ia tahu kepergian suaminya sudah tidak bisa dihindari.

Setidaknya, kali ini ia tidak pergi dengan tersiksa dan bisa mengakui dosa-dosanya sebelum kepergiannya.

Malam itu Pak Raji menghembuskan nafas terakhirnya. Kabar itu menyebar cepat ke warga desa termasuk ke Bu Denok.

Ia yang mendengar pengakuan itu langsung dari Bu Raji yang ditemani Pak Ruslin pun tak mampu menahan tangisnya.

“Kadirin nggak salah apa-apa… suami saya nggak salah, kenapa dia harus mati..” Tangisnya saat itu.
Namun Bu Denok berhati besar.

Ia tidak melimpahkan kesalahanmu pada Bu Raji dan menganggap bahwa Pak Raji sudah menerima balasan atas perbuatannya.

Sepeninggal Pak Raji cerita kemunculan pocong di desa Patirejo tidak lagi terdengar di telinga warga.

Terlebih pengajian semakin rutin diadakan oleh warga selain untuk menolak hal-hal buruk di desa, mereka juga berharap kegiatan itu membuat warga semakin menjauhi hal-hal buruk dan selalu mengingat akan penciptaNya.

Cerita tentang pocong Kadirin sempat menggegerkan desa Patirejo selama beberapa bulan.
Banyak yang mengaku masih melihatnya, namun warga yakin Kadirin sudah tenang di alam sana dan yang mereka lihat hanyalah sosok jin yang ingin menyesatkan manusia atau malah hanya bualan semata.

Yang pasti kisah ini telah berakhir dan menjadi pelajaran berharga untuk warga desa Patirejo.

***
Kejadian teror pocong seperti ini juga sempat terjadi di beberapa daerah. Banyak yang sudah viral dan menyebar di media sosial.

Salah satu yang paling mengerikan adalah kemunculan sosok pocong walisdi sang dukun ilmu hitam yang bangkit dalam sosok pocong.

Sekian
close