Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bapak (Part 1)

Namun belum sempat Wati membuka mulut, mendadak muncul wajah Ryan yang melongok dari dalam rumah.

"Mbak, kamu baru pulang? Itu bapak di kamar dari tadi nanyain kamu."

"Hah?!"

Wati spontan menoleh!

Kosong. Bangku di sebelahnya kosong. Membuatnya terperangah bagai hilang kata-kata.

"Kenapa mbak? Kok bingung gitu? Itu bapak di kamar dari tadi nanyain kamu. Katanya sudah malam begini kok kamu belum pulang." Ucap Ryan mengulangi perkataannya.

"I-iya. Aku baru pulang lembur. Bapak sudah makan belum?" Sahut Wati coba bersikap senatural mungkin demi sembunyikan rasa gugup.

"Sudah. Tadi sudah makan bubur. Ya sudah sana, temui bapak dulu." Balas Ryan lalu kembali masuk ke dalam rumah.

Wati kembali melirik kursi kosong. Kini dia malah jadi merinding. Meski akal sehatnya bilang kalau tadi hanyalah imbas dari rasa lelah, namun hati kecilnya berkata sebaliknya.

Apa aku baru saja melihat hantu?

Kejadian itu pun akhirnya terlupakan...

Hingga beberapa malam berikutnya, Wati mendengar seperti ada suara orang batuk dari teras rumah. Wati menghampiri jendela lalu sedikit menyibak tirainya mengintip keluar.

Bapak? Batinnya bergumam heran saat melihat bapak yang tengah duduk merokok di sana. Bukannya tadi bapak ada di kamar? Kok bisa ada di luar? Sambil merokok pula.

Dada Wati jadi berdebar-debar. Dia merasa ada yang tak benar. Sejenak dia diam di situ dengan benaknya yang ribut.

Jujur saja, dia jadi takut, tapi penasaran. Akhirnya dia paksakan nyali untuk mengintip sekali lagi.

Pelan-pelan dia kembali menyibak tirai dengan tangannya yang jadi gemetar..

AAAH!

Wati spontan menjerit! Bapak tiba-tiba sudah berdiri di luar jendela persis di hadapannya sambil menyeringai!

Wati lari terbirit-birit menuju kamar bapak. Tapi di situ dia jadi melongo melihat bapak yang sedang berbaring di tempat tidur.

Lalu yang di luar siapa?


Lututnya jadi lemas. Nyalinya amblas. Keringat dingin keluar dari pori-pori. Hingga muncul Ryan datang menghampiri.

"Mbak, kamu kenapa? Kok mukamu pucat begitu?" Tanya Ryan.

Wati menjawab dengan suara gemetar sambil menunjuk-nunjuk ke arah luar. "Di teras Yan, di teras... Ada.. ada orang mirip bapak." Jawab Wati terbata-bata.

Ryan kaget. Dia bergegas memeriksa ke depan. Tapi di situ dia tak menemukan apa-apa. Hanya ada bau rokok yang masih santer tercium.

Ryan kembali ke kamar bapak. Wati langsung menyambutnya dengan tatapan mata seolah minta jawaban secepatnya.

"Nggak ada siapa-siapa mbak. Mungkin kamu salah lihat. Atau barangkali cuma orang yang kebetulan lewat sambil merokok. Baunya kebawa sampe ke dalem."

Wati ingin sekali percaya penjelasan itu. Namun hati kecilnya menolak. Apa yang dilihatnya tadi terlalu nyata. Sudah dua kali dia begitu. Terlalu janggal untuk dianggap sebuah kebetulan.

***

Esok harinya, kondisi bapak mendadak drop. Wati dan Ryan pun langsung melarikan bapak ke rumah sakit.

Setelah itu, selama berhari-hari, bapak dirawat di ruang ICU. Namun sejak hari pertama masuk, bapak tak pernah siuman lagi.

Dokter bilang kalau beberapa organ tubuh bapak sudah tak berfungsi. Dokter juga bilang hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan nyawa bapak. Bisa dibilang, bapak tengah sekarat.

Hal itu jelas membuat Wati dan Ryan amat terpukul. Meski mereka telah siap dengan kemungkinan yang terburuk, tapi tetap saja mereka tak mau kehilangan bapak.

"Kamu pulang aja Yan. Sudah berhari-hari kamu nunggu bapak di sini. Biar aku yang gantian jagain bapak." Pinta Wati malam itu.

Ryan menurut. Dia pun pulang sambil berpesan agar Wati cepat menghubunginya kalau ada apa-apa. Dia masih berharap kalau bapak bisa melewati masa kritis meski kemungkinannya amatlah kecil.

Tiba di rumah, Ryan ingin langsung mandi. Namun dia kaget begitu melihat seperti ada orang yang sedang duduk di atas ranjang di dalam kamar bapak.

"Bapak?"

Orang lain mungkin akan lari terbirit-birit. Tapi tidak dengan Ryan. Dia bukan penakut. Hal itu justru membuatnya jadi penasaran.

Benaknya bilang kalau itu bukan bapaknya. Dia pun langsung menyeruak masuk lalu tanpa basa-basi menghardik lantang.

"Siapa kamu? Pergi dari sini! Jangan ganggu!"

Tapi bapak malah menyeringai. Alih-alih takut, Ryan makin meradang. Nyali pemuda yang satu ini memang patut diacungi jempol. Sudah jelas kalau dia mewarisi mental baja dari bapaknya.

Ryan membaca ayat-ayat suci dengan lantang, sementara bapak masih duduk di sana seolah menantang. Tapi mendadak lampunya berkedip-kedip lalu mati.

Pet!

Ryan mundur selangkah. Dia meraba saklar lampu tanpa melihat, sementara matanya terus tertuju ke arah ranjang.

Lafalan ayat suci dari mulutnya kian keras. Tapi ketika lampunya kembali menyala, bapak sudah hilang entah kemana.

Astaghfirullah.. Astaghfirullah..
Allahuakbar.. Allahuakbar..

Mulut Ryan tak henti mengucap. Dipandanginya seisi kamar yang kini kosong. Dia tak tau apa yang baru saja dia alami. Tapi dia merasa kalau ada sesuatu yang tak beres.

***

Pagi-pagi sekali, Ryan kembali ke rumah sakit. Dirinya tak sabar ingin menceritakan kejadian semalam pada kakaknya.

Tapi sesampainya di sana, dia malah disambut oleh Wati dan dokter yang langsung mengajaknya untuk bicara serius.

"Bapak kita bawa pulang Yan." Ucap Wati.

Ryan kaget. Sudah gila apa? Dia pun langsung protes tanda tak setuju. "Kenapa dibawa pulang?" Tanya pemuda itu sedikit tak senang.

"Barusan aku konsultasi sama dokter. Bapak sudah nggak punya harapan lagi. Kamu ingat kan? Bapak pernah bilang kalau bapak nggak suka rumah sakit. Bapak juga pernah bilang kalau bapak nggak mau sampai meninggal di sini." Sahut Wati.

Ryan membisu. Lidahnya kelu. Meski hatinya menolak, tapi ucapan kakaknya ada benarnya. Bapak memang pernah berpesan seperti itu.

Bapak bilang kalau meninggal di rumah sakit akan merepotkan. Bapak memang tak pernah mau menyusahkan anak-anaknya.

Sejak dibawa pulang, tetangga tak henti berdatangan demi tunjukkan rasa simpati.

Sosok bapak yang selama ini begitu disegani, membuat banyak orang ikut prihatin, apalagi mereka tau kalau bapak kini tengah menjelang ajal.

Lantunan Surat Yasin tak henti mengalun dari mulut orang-orang yang duduk mengaji mengelilingi ranjang dimana bapak tergolek di atasnya.

Wati tak henti menitikkan air mata. Sementara Ryan berusaha terlihat tegar meski hatinya pilu.

Tapi menjelang tengah malam, tiba-tiba bapak membuka mata!

Semua orang kaget. Lalu terdengar suara mengorok dari mulut bapak pertanda sang malaikat pencabut nyawa tengah menjalankan tugasnya.

Kkhhhhkkh... Kkhhhhkkh...

"Bapaaaak... Paaaak... Nyebut pak, nyebut.." Wati meratap sambil menggenggam tangan bapak erat-erat.

“Laa ila ha illallaah.. Laa ila ha illallaah.."

Orang-orang mengucap bersahutan coba menuntun bapak menuju kematian yang sempurna.

Hingga tak lama berselang, bapak menghembuskan napasnya yang terakhir.

nnalillahi...

BAPAAAAAAAK!"

Wati menjerit histeris. Ryan yang sejak tadi coba terlihat kuat, kini tak mampu lagi membendung air matanya.

Malam itu, derai isak tangis mengantarkan kepergian seorang lelaki menghadap penciptanya.

Sang pejuang telah pergi....

***

Bendera kuning dipasang. Tenda didirikan. Jenazah bapak disemayamkan di ruang tamu.

Para pelayat terus berdatangan. Sebagian coba menenangkan Wati yang tak henti menangis, sementara yang lain ikut mendampingi Ryan yang duduk terdiam di samping jenazah bapak yang ditutupi kain.

"Nak Ryan. Semua sudah saya urus. Besok pagi-pagi jenazah bapak kita makamkan." Ucap pak RT.

Ryan hanya mengangguk. Pak RT menepuk-nepuk pundak Ryan lalu beringsut mundur.

Orang-orang terlihat sedih dan murung. Namun semua wajah seketika terperangah saat terjadi sesuatu..

BAPAK TIBA-TIBA BANGKIT!

ASTAGHFIRULLAH!

Sebagian orang spontan menyingkir ketakutan. Sementara yang lainnya hanya diam terpana bagai terhipnotis sambil menantap dengan pandangan ngeri.

"BAPAAAAK!"

Wati menjerit histeris. Dia ingin mendekat namun tubuhnya terlanjur lemas. Sementara Ryan hanya bisa melongo persis di samping jasad bapak yang kini duduk berselonjor dengan mata melotot!

Suasana berubah jadi mencekam. Suara orang-orang yang beristighfar terus mengudara bercampur dengan rasa takut yang merajalela.

Bruk!

Jenazah bapak tiba-tiba kembali rebah. Untuk sesaat, tak ada yang berani mendekat. Siapa pula yang berani?

Jasad bapak kini terbaring dengan mata terbuka lebar. sampai akhirnya Ryan memberanikan diri mengusap mata bapak hingga kembali terpejam.

Subahanallaaaah...

Kemudian datang ustad Jailani, sang guru ngaji yang coba meredam situasi. "Ayo, nggak apa-apa. Nggak perlu takut. Ayo ngaji lagi. Usahakan jangan sampai putus." Ucapnya memberi saran yang menenangkan.

Meski ragu-ragu, orang-orang pun menuruti permintaan itu. Namun mereka tetap menjaga jarak.

Ustad Jailani coba memberi contoh dengan duduk persis di samping jenazah bapak. Tapi tetap saja tak ada yang punya nyali untuk mengikuti.

Menjelang pagi, makin banyak orang yang berdatangan. Kabar tentang jenazah bapak yang sempat bangun, langsung menyebar dengan cepatnya.

Hingga waktunya tiba, jenazah bapak segera dimandikan lalu dikafani untuk selanjutnya disolatkan. Dan setelah semuanya siap, jenazah bapak langsung dibawa untuk dimakamkan dengan diantar begitu banyak orang yang berbisik-bisik.

***

Malam itu, malam pertama tanpa bapak. Ryan dan Wati duduk muram. Tak sepatah kata pun terucap dari mulut keduanya yang sejak tadi bungkam.

Rumah yang dulunya hangat, kini jadi sepi dan dingin. Kamar bapak yang kosong meninggalkan berjuta memori. Semuanya terasa tak sama lagi.

Entah butuh berapa lama hingga duka ini bisa hilang. Namun yang pasti, semua tentang bapak akan selalu terkenang.

"Lebih baik kamu tidur mbak. Sepertinya kamu kecapekan." Ucap Ryan memecah keheningan. Wati mengiyakan. Dia pun langsung masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintunya dari dalam.

Ryan duduk melamun di ruang tamu. Kejadian kemarin sungguh mengusik hati. Bagaimana bisa jenazah bapak mendadak bangun lalu melotot? Ada apa ini?

Ada yang memberi alasan logis dengan bilang, kalau tubuh orang mati masih bisa bereaksi beberapa jam setelah kematian. Tapi banyak juga yang bilang kalau bapak mati suri. Entah mana yang benar. Ryan tak tau.

Sejak tadi Ryan ingin sekali membicarakannya dengan Wati. Ryan tau kalau kakaknya juga punya keresahan yang sama.

Tapi dia pikir ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakanya. Duka ini sudah terlalu berat. Dia tak ingin menambahkannya dengan sesuatu yang makin membebani pikiran.

Ryan memutuskan untuk pergi tidur. Sudah cukup untuk hari ini. Bukan hanya badannya yang lelah, tapi juga pikirannya. Mungkin dengan tidur, semua itu bisa dikurangi sambil berharap bermimpi bertemu bapak dan ibu yang tersenyum bahagia.

Entah berapa lama Ryan tertidur, hingga dia jadi terbangun begitu mendengar suara berdebum keras dari teras rumah.

Bruk.. Bruk.. Brak!

Ryan terbangun sembari kernyitkan dahi. Suara apa itu? Dirinya curiga kalau ada maling yang mau masuk.

Dia lekas bangkit lalu melangkah tergesa-gesa mendekati jendela. Namun aroma bunga bercampur kapur barus membuat benak Ryan malah jadi bertanya-tanya.

Pelan-pelan Ryan menyibak tirainya dan langsung terperanjat!

Ada pocong di kursi teras!

Ryan bergegas membuka pintu. Hatinya begitu kesal. Bagaimana bisa di saat seperti ini, ada orang usil tak punya otak yang coba menakut-nakuti dengan candaan yang tak lucu? Sungguh keterlaluan!

Ryan ingin segera menumpahkan kekesalannya. Tapi alih-alih marah, dia malah jadi terdiam. Pocong yang tadinya dia pikir hanya boneka, ternyata bukan..

Ryan bagai kehilangan kata-kata. Sukar dipercaya. Pocong itu duduk bersandar di kursi dengan kain kafan yang masih baru walau sedikit kotor.

Bagian kepalanya terbuka hingga menampakkan wajah yang begitu dia kenali.

"Ba-bapak.."

Wangi bunga bercampur kapur barus begitu tajam menyengat. Tapi Ryan tak takut. Perlahan dia mendekat hingga berdiri persis di depan pocong itu.

Sebentar dia perhatikan lekat-lekat. Dia ingin yakinkan diri kalau dia tak salah lihat. Tapi itu benar-benar jenazah bapaknya. Bagaimana bisa?

Lalu mendadak Wati muncul dari dalam rumah. Rupanya dia juga ikut terusik lantas terbangun. Dan ketika dia melihat pocong bapak, seketika dia memekik histeris..

"Bapaaaaaak!"

Wati pun terkulai pingsan. Ryan sigap membopong tubuh kakaknya masuk ke dalam rumah.

Teriakan Wati memancing para tetangga untuk berdatangan. Sama seperti Ryan dan Wati, mereka pun ikut terperanjat! Ya Allah!

Tempat itu pun seketika gempar!

Orang-orang berduyun-duyun berdatangan lalu berkerumun sambil terheran-heran menyaksikan jenazah bapak yang duduk bersandar di kursi teras. Semua bergidik ngeri, menerka dan menebak apa yang sebenarnya telah terjadi.

Ryan tak ingin jenazah bapaknya jadi tontonan. Dia segera meminta tolong pak RT dan beberapa orang untuk membantunya membawa jenazah bapak masuk ke dalam rumah.

Ryan masih tak habis pikir. Kenapa jenazah bapak bisa ada di sini? Siapa pula yang telah berani membongkar makam bapak? Apa maksudnya? Lalu bagaimana cara orang itu membawanya? Sama sekali tak ada saksi mata.

Dia ingin sekali melaporkan kejadian itu pada polisi. Kehormatan bapaknya benar-benar telah tercoreng. Apa salah bapak? Setaunya bapak tak punya musuh. Semasa hidupnya bapak dikenal sebagai orang yang baik dan tulus.

Apalagi melihat Wati yang terus menangis. Hati Ryan makin nelangsa. Apa tak cukup semua duka ini mereka terima?

Tapi Ryan tak mau memperpanjang masalah. Dia masih berduka. Lalu atas saran pak RT dan ustad Jailani, jenazah bapak pun kembali dimakamkan di antara suara sumbang orang-orang yang bergunjing.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close