Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KERIS KELABANG SEWU

KERIS KELABANG SEWU terinspirasi dari keris maut buatan Empu Gandring di jaman Singosari. Keris yang telah menumpas nyawa tujuh orang termasuk Ken Arok sendiri. Di cerita KERIS KELABANG SEWU bercerita tentang ambisi, nafsu dunia dan cinta kasih. Cerita ini fiktif belaka berlatar belakang berdirinya kerajaan Mataram Islam di bawah kepemimpinan Danang Sutowijaya atau lebih dikenal sebagai Senopati Ing Alogo Sayidin Panotogomo.


SEJAK dini hari gumpalan awan hitam menggantung di langit. Walaupun sang surya telah menampakkan diri namun karena masih adanya awan hitam itu, suasana kelihatan mendung sekali. Kokok ayam dan kicau burung tidak seriuh seperti biasanya, seolah-olah binatang-binatang itu tidak gembira menyambut kedatangan pagi yang tiada muram itu. Di lereng selatan Gunung Merapi, seorang laki-laki tua yang mengenakan kain serba putih berdiri di depan pondok kediamannya. Janggutnya yang putih panjang hampir menyentuh dada melambai lambai ditiup angin pagi. Orang tua ini menengadah memandang ke langit yang berwarna suram.

"Mendung sekali pagi ini..." katanya dalam hati.

Untuk beberapa lamanya dia masih berdiri di depan pondok itu. Kemudian terdengarlah suaranya berseru memanggil seseorang. "Rana Wulung! Kau kemarilah..."

Meski umurnya hampir mencapai delapan puluh, namun suara yang keluar dari mulut orang tua itu keras lantang dan berwibawa. Sesaat kemudian seorang pemuda berumur sekitar dua puluh tahun tahun muncul dari dalam pondok. Parasnya tampan. Rambutnya yang panjang nampak rapi dengan lilitan ikat kepala berwarna coklat. Dia mengenakan sehelai celana panjang sebatas lutut. Dadanya yang tidak tertutup kelihatan bidang tegap penuh otot-otot.

"Empu memanggil saya...?" pemuda itu bertanya.

Si orang tua yang bernama Empu Wanabaya, menganggukkan kepalanya. "Keris Kelabang Sewu yang ku buat sudah hampir siap..." berkata orang tua itu.

"Hanya ada beberapa bagian yang harus di pertajam dan masih ada sedikit ritual untuk memohon petunjuk pada Gusti Allah. Di dalam keris itu bersemayam ruh yang masih belum sepenuhnya bisa ditundukkan. Sinar yang keluar dari pamor keris masih berwarna kemerahan”.

“ Mengapa bisa seperti itu Empu?”

Rana Wulung bertanya pada Empu Wanabaya.

“Warna merah menyiratkan sifat panas, berangasan. Akan jadi malapetaka jika sampai jatuh ke tangan orang yang hatinya tidak bersih. Perasaan yang dipenuhi dengan ambisi tetapi tidak diimbangi dengan kerja keras dan doa. Sudah Rana, sekarang pergilah cari kayu-kayu besi kering di lereng Merapi untuk api penempa. Aku khawatir kalau hujan turun kau tak bisa mencari kayu-kayu kering..."

"Persediaan kayu yang saya kumpulkan dua hari yang lalu sudah habis, Empu?" tanya Rana Wulung.

"Ya, sudah habis. Nah, kau pergilah dan cepat kembali."

Rana Wulung segera meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian dia sudah kembali dengan setumpuk kayu-kayu kering di bahu kanannya.
"Bawa terus kedalam Ngger, dan sekalian nyalakan api. Kalau sudah ambilkan Kelabang Sewu dari dalam lemari."

"Baik Empu," sahut Rana Wulung.

Sementara pemuda itu menyalakan api, Empu Wanabaya mengisi sebuah mangkok tanah dengan air bening lalu ditaburi bunga-bunga tujuh rupa. Dari perapian yang telah menyala disiapkannya sebuah perasapan (semacam cerobong asap kecil) yang ditaburi dengan setanggi dan kemenyan sehingga suasana di dalam pondok tua itu harum semerbak baunya.

"Kalau Kelabang Sewu sudah siap nanti, berarti kesampaianlah cita-citaku untuk memberikan sumbangan pada Gusti Senopati di Mataram..."

"Aku tak mengerti maksud kata-kata Empu," kata Rana Wulung sambil menyeka butir-butir keringat yang terbit di kulit keningnya akibat panasnya perapian.

Orang tua itu mengelus janggutnya yang panjang. Dua bola matanya bersinar-sinar.

"Kelabang Sewu adalah sebilah keris sakti, Ngger. Lima tahun aku menempanya bukanlah satu masa yang singkat. Seorang yang tidak punya kedigdayan, jika memegang keris itu pasti akan dibimbing oleh satu kekuatan hingga ia menjadi seorang pendekar yang sukar untuk dikalahkan. Disamping itu, Kelabang Sewu ini bisa meredam segala racun jahat. Pamor kelabang yang ada di badan keris ini akan menghisap habis racun dari tubuh. Jika racunnya tertelan, air rendaman keris ini menjadi obat segala macam racun jahat"

"Dan keris sakti itulah yang bakal kuserahkan pada Gusti Senopati di Mataram untuk ikut membantu mencapai cita-cita beliau untuk menjadikan Mataram menjadi salah satu negeri yang besar di Pulau Jawa ini. Sekarang bumi Mataram sedang mempersiapkan diri. Karena aku dengar suasana Pajang dan Mataram sedang memanas. Mungkin sebentar lagi akan terjadi perang saudara. Dan kau Ngger... kaulah nanti yang akan ku utus untuk menyampaikan Kelabang Sewu ke Mataram."

"Jadi senjata yang bertahun-tahun Empu buat ini hendak diserahkan pada Mataram?" tanya Rana Wulung heran.

"Ya..."

"Aku kira tadinya untuk Empu pakai sendiri."

Empu Wanabaya tertawa pelahan. "Aku sudah tua, Ngger. Sebentar lagi bakal mati. Dan kalau aku mati tak satupun yang akan kubawa ke liang kubur. Disamping itu apakah sumbangan dan balas jasaku kepada tanah Mataram? Aku ini masih ada darah keturunan trah Selo. Keris sakti itu berguna bagi Mataram dan bagi anak-anak cucuku... termasuk kau."

"Nah, sekarang kau pergilah ambil keris itu didalam lemari."

"Baik Empu."

Rana Wulung lalu beranjak masuk kedalam sebuah kamar. Di kamar sederhana itu ada satu lemari kayu jati yang diletakkan di sudut ruangan. Di sanalah keris Kelabang Sewu disimpan. Keris Kelabang Sewu adalah keris berluk tiga belas. Memiliki pamor (corak gambar di dalam hulu badan keris) menyerupai kaki lipan yang menutupi penuh badan keris. Sehingga oleh empu pembuat kerisnya dinamakan Kelabang Sewu. Ketika lemari dibuka, sinar biru bersemu merah yang berasal dari pamor keris merembes keluar. Itulah sinar Keris Kelabang Sewu yang terletak diatas sehelai kain putih. Keris itu sengaja tidak dimasukkan ke dalam sarungnya karena ada beberapa bagian yang masih belum diperhaluskan dan dipertajam.

Kedua tangan Rana Wulung menjadi bergetar sewaktu mengangkat kain putih di mana Keris Kelabang Sewu terletak. Dirasakannya ada satu hawa aneh mengalir dari keris sakti ke lengannya. Hawa itu awalnya hangat kemudian menjadi panas. Dengan membawa senjata itu di kedua tangannya Rana Wulung keluar dari Kamar. Tubuhnya bergetar hebat. Empu Wanabaya dilihatnya sudah duduk di muka perapian membelakanginya, tengah mengatur-atur perkakas. Dalam melangkah mendekati orang tua itu tiba-tiba selintas pikiran jahat muncul di benak pemuda ini. Selintas pikiran jahat itu datangnya seperti satu bisikan melalui telinga Rana Wulung.

"Rana Wulung, kenapa kau begitu buta hingga tak melihat kesempatan baik di depan matamu? Bukankah sudah sejak lama terniat di hatimu untuk dihormati orang, memiliki kekuasaan dan kedudukan, tidak selamanya jadi jongos kakek tua itu? Salah satu jalan memiliki Keris Kelabang Sewu itu. Kau tunggu apa lagi? Kau punya kesempatan itu sekarang!"

Rana Wulung terjerat dalam kebimbangan. Langkah kakinya terhenti.

Dan suara aneh jahat berbisik lagi ketelinga pemuda itu. "Bodoh, sungguh kau dungu! Tusuk saja dia dengan Kelabang Sewu. Bunuh! Dan kalau dia sudah mati, kau bisa memiliki keris itu dan kau akan jadi pemuda sakti, ditakuti di delapan penjuru angin. Disamping itu jika namamu sudah dikenal kau akan mudah menduduki jabatan di Mataram atau di Pajang! Tidakkah kau inginkan jabatan yang tinggi dan terhormat itu? Ayolah! Bunuh orang tua tak berguna itu!"

Di dalam diri Rana Wulung saat itu seolah-olah terjadi perang antara kejahatan dan kebenaran. Bagaimanapun pemuda ini bertahan diatas kebenaran namun lama-lama, kebenaran yang ada dalam dirinya berhasil ditumbangkan oleh kejahatan yang melanda hati dan jalan pikirannya!

Ketika dia cuma tinggal dua langkah dari tubuh Empu Wanabaya yang duduk bersila menghadapi alat-alatnya dan perapian, pemuda itu tiba-tiba mengambil keputusan bahwa dia harus membunuh si orang tua! Digenggamnya hulu Keris Kelabang Sewu erat-erat. Sesaat kemudian senjata itu akan dihunjamkannya ke punggung kiri Empu Wanabaya.

Tiba-tiba Empu Wanabaya menoleh.

“Ada apa Rana? Mengapa kau hanya berdiri terpaku saja. Cepat.. kemarikan keris itu !”

Rana Wulung mengurungkan niatnya untuk membunuh Empu Wanabaya. Dia goyah jika bertarung dengan Empu Wanabaya sudah tentu dalam hitungan detik dirinya akan terkapar berkalang tanah. Akhirnya, Keris Kelabang Sewu diserahkan kepada orang tua itu. Saat itu di telinganya terdengar bisikan itu lagi.

“Tolol, sungguh tolol. Kau terlalu lama berpikir Rana. Kau lamban! Tapi, jangan khawatir masih ada kesempatan satu lagi. Pada waktu empu tua itu terlelap dalam tidurnya“

Malam menjelang dengan cepat. Suasana di lereng Gunung Merapi sangat dingin. Di tambah lagi dengan sisa hujan yang mengguyur sangat deras seharian tadi. Kabut tipis yang kemudian menebal membungkus pucuk-pucuk pohon dan puncak Gunung Merapi.
Rana Wulung gelisah di dalam biliknya. Pemuda itu masih resah. Bisikan gaib yang tadi siang terngiang-ngiang di telinganya kembali mengganggu. Dan bisikan itu muncul lagi.

“Rana saatnya. Ini sudah tengah malam. Empu tua itu sudah pasti terlelap. Kesempatan yang bagus. Laksanakan keinginan mu. Bunuh Empu Wanabaya dan ambil keris Kelabang Sewu“

Rana Wulung yang sudah termakan hasutan hawa nafsu dan menjelma menjadi iblis di dalam hatinya perlahan-lahan bangun dari ranjang kayu nya. Langkah kakinya mengendap-endap keluar dari pintu bilik. Di depan pintu kamar Empu Wanabaya langkah kakinya terhenti. Telinganya di tempelkan ke daun pintu. Tidak ada suara sama sekali. Kamar itu sunyi. Hanya terdengar sayup-sayup nafas Empu Wanabaya yang sepertinya orang tua itu sudah tertidur lelap.

Di dorong pintu kamar itu dengan perlahan-lahan. Terlihat Empu Wanabaya tertidur lelap terlentang di atas ranjangnya. Rana Wulung memandang sebentar ke arah Empu Wanabaya. Orang tua yang telah membesarkan dan merawat semenjak kecil tatkala kedua orang tua Rana Wulung meninggal dunia. Lalu di hampirinya lemari tempat menyimpan keris Kelabang Sewu berada.

Diambil keris di dalam lemari. Cahaya biru kemerahan dari pamor keris memancar. Di genggam erah hulu keris itu. Di hampirinya ranjang tempat Empu Wanabaya terlelap. Setelah dekat. Keris Kelabang Sewu diangkat tinggi-tinggi ke udara. Lalu dengan cepat ditikamkan ke dada kiri empu tua itu.

Jleb !!!!

Orang tua itu mengeluh tinggi, matanya mendelik. Darah cepat membanjiri dada dan kain putih yang dikenakannya, tapi dia belum lagi menghembuskan nafas penghabisan. Sepasang matanya yang agak mengabur dimakan umur dan dijelang ajal itu memandang sayu tapi mengerikan pada Rana Wulung yang berdiri dengan Keris Kelabang Sewu berlumuran darah di genggaman tangan kanannya.
"Anak tidak tahu diuntung..." desis Empu Wanabaya diantara nafasnya yang mulai menyengal. "Apakah yang membuat kau sampai melakukan hal terkutuk ini terhadapku...?"

Tenggorokan orang tua itu turun naik beberapa kali lalu.

"Aku tahu... aku ta... hu. Kau inginkan keris itu bukan?!" Empu Wanabaya menyeringai pucat. "Kau bisa memiliki Kelabang Sewu. Tapi apa yang kau lakukan terhadapku kelak akan mendapat balasnya di kemudian hari. Demi Gusti Alloh... kelak kau bakal mati di ujung Keris Kelabang Sewu juga. Dan... se... sebelum mati hidupmu a...kan menderita lahir ba... ba..."

Ujung kata-kata yang diucapkan Empu Wanabaya lenyap oleh suara guntur yang menggelegar dengan tiba-tiba. Di luar pondok kilat menyambar, lalu suara guntur lagi dan sesaat kemudian hujan lebat turun membasahi bumi, seakan-akan alam ciptaanNya turut menyaksikan dan menangisi kematian Empu Wanabaya. Untuk sesaat lamanya Rana Wulung berdiri mematung dengan bulu kuduk merinding.

Ketika diperhatikannya paras Empu Wanabaya, kedua mata orang tua itu, sudah tertutup sedang dari mulutnya membuih darah kental. Keris yang masih dilumuri darah itu dimasukkan Rana Wulung ke dalam kain putih. Kain putih itu seketika menjadi berwarna merah. Tapi itu tak diperdulikan Rana Wulung. Dia masuk ke dalam kamarnya, mengemasi pakaian serta barang-barangnya lalu dibawah hujan lebat yang mencurah bumi pemuda itu berlari menuruni lereng selatan Gunung Merapi.

BERSAMBUNG
close