Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MEREKA YANG TAK TERLIHAT DI RUMAH SAKIT (Part 1) - Rumah Sakit Umum Delima

Pasien itu mengaku telah diganti infusnya oleh perawat bangsal. Faktanya, tak seorang pun perawat disana melakukannya. Lantas, siapa yang melakukannya?

"MEREKA YANG TAK TERLIHAT DI RUMAH SAKIT"


Sempat mengalami kesulitan karena hasil rekaman suara dengan narasumber tiba-tiba tidak muncul suaranya. Padahal, selepas percakapan kala itu, sudah saya pastikan jika suaranya ada. Aneh.

Tapi, syukurlah, beliau bersedia saya wawancara ulang, agar cerita ini bisa saya sajikan

Rentetan panjang itu, berawal dari sini.....

Pukul 07.50 WIB, Rani baru saja membuka matanya yang masih berat itu, kemudian duduk di pinggir kasur sambil merentangkan kaki dan tangannya.

Badannya terasa lemas, pikirannya pun demikian, setelah semalaman galau memikirkan hubungannya dengan Satria yang baru saja kandas. Ternyata, patah hati menguras banyak energinya.

Sekarang, bangun tidur dan memulai hari adalah hal berat bagi Rani. Putus cinta memang benar-benar membuat separuh semangatnya hilang entah kemana. Hubungannya yang sudah empat tahun, pupus hanya karena wanita yang baru dikenal Satria belum lama.

Parahnya, wanita tersebut adalah adik tingkat Rani di kampus.

"Pelakor!" Begitu orang-orang sekarang menyebutnya.

“Huhhh. Udah pagi lagi” gerutu Rani sambil melihat notifikasi HP nya yang hanya ada pesan dari grup kuliahnya saja. Padahal, biasanya, pagi-pagi begini selalu ada notifikasi pesan dari Satria yang akan menjemputnya berangkat kuliah.

“Satria, Satria. Aku kurang apa, sih” Rani terus- terusan menyalahkan dirinya sendiri. Meskipun ia tahu bahwa Satrialah yang salah karena sudah menduakannya.

Masih pagi, pikirannya sudah kalut dirundung kenangan yang silih berganti menghantui. Luka fisik, memerlukan waktu untuk kembali membaik. Luka hati pun demikian. Perlu waktu agar kembali pulih.

Rani melirik jam dinding kamar, jarum pendeknya sedikit lagi menyentuh angka delapan. Rani terkejut, ternyata dia bangun kesiangan dan sudah mepet dengan jadwal kuliahnya di hari itu.

Padahal, sebelum matanya lelap sehabis subuh tadi, ia sudah mengatur alarm pukul 07.15 pada HP miliknya. Tapi nyatanya, tidurnya sudah seperti seekor kerbau yang sulit bangun walau ada suara berisik di dekatnya.

Tanpa lama, Rani bergerak cepat, matanya yang semula berat, tiba-tiba ringan seketika. Badannya yang semula tidak semangat pun seketika dipaksa bergerak cepat mengejar waktu.

“Ah, gak usah mandi lah” gerutu Rani. Ia marah dengan dirinya sendiri karena tidak bisa diajak kerja sama.

Rani hanya membasahi mukanya lalu melapisinya dengan bedak yang membuat wajah kusutnya tertutup oleh bedak-bedaknya itu.

“Bu, Rani berangkat kuliah dulu” ucap Rani pamitan kepada ibunya di rumah.

“Kuliah? Gak sarapan dulu?”

“Nanti aja di kantin, Bu. Rani kesiangan. Udah telat”

“Kamu itu, perempuan, udah gede masih aja gak bisa ngatur waktumu sendiri” ucap ibunya.

Rani mulai memacu kendaraannya dengan kencang. Bak seorang pembalap yang sudah hafal medannya, jalanan yang ramai dengan kendaraan pun dengan cepat ia libas.

Saat sampai di parkiran kampus, ia melirik jam di tangannya. sudah jam 08.45. Artinya, kelas sudah dimulai. Saat sampai di depan kelas, Rani berdiri tepat di depan pintu sambil menimbang sebaiknya ia masuk kelas apa tidak.

Kalau masuk kelas, mentalnya tidak cukup tangguh menghadapi Bu Retno yang dikenal sebagai dosen killer di jurusannya. Jika tidak masuk, pertemuan hari ini penting sekali baginya.

Karena hari ini adalah pembagian rumah sakit untuknya dan seluruh teman-teman sekelasnya untuk melaksanakan praktek.

Rumah Sakit? Ya, Rani adalah mahasiswi yang baru saja memulai pendidikannya di program Ners.

“Ran. Rani!” panggil seseorang tiba-tiba.

Rani pun menoleh ke sumber suara itu. Ternyata itu Siska, salah satu teman sekelasnya yang terlambat juga.

“Heh! Kamu telat juga? Masuk gak, nih?” tanya Rani.

Hal serupa juga dirasakan Siska, ia pun takut jika harus masuk kelas, karena yang sedang menjelaskan di dalam adalah Bu Retno.

“Gimana, nih? Kalau kelamaan mikir, kita telatnya semakin lama” kata Rani.

Tanpa aba-aba dan tanpa menghirakukan rasa takut yang sempat ada, Siska seketika membuka pintu.

“Jeglekk” suara daun pintu manakala Siska membukanya.

Rani kaget melihatnya.
“Heh! Kamu ngapain!!?” sentak Rani. Tapi Siska tidak menghiraukannya.

Setelah membuka pintu, Siska langsung nyelonong masuk begitu saja.

“Ah, ikuti saja. Jika diizinkan masuk, syukur. Jika diusir, aku ada temannya” pikir Rani dalam hati.

“Bu Retno. Saya izin masuk kelas apa diizinkan? Maaf saya terlambat” ucap Siska dengan wajah gugup dan takutnya yang sangat ketara.

Bu Retno diam sepersekian detik memperhatikan Siska dan Rani yang baru saja datang. Bu Athiya mengamati mereka dari ujung kaki hingga kepala. Rani dan Siska hanya tersenyum kecil melihat Bu Retno.

“Maaf, Bu. Kami terlambat” ucap Rani.

“Hmmmmm” ucap Bu Athiya sambil menghembuskan napasnya kencang

“Saya izinkan untuk sekarang, ya. Mengingat pertemuan ini membahas pembagian rumah sakit dan persiapan praktek di kelasmu”

Rani dan Siska hanya mengangguk mendengar perkataan Bu Retno.

“Terima kasih, Bu Retno” ucap Siska dan Rani karena sudah dibolehkan masuk ke kelasnya.

Mereka berdua lalu memantau sisa kursi yang tersisa, sialnya, yang tersisa hanyalah empat kursi di barisan paling depan.

“Kenapa harus di depan, sih” gerutu Siska kepada Rani. Rani pun kesal jika harus duduk di depan saat jam Bu Retno.

“Rumah Sakit Umum Delima”

Rani menemukan namanya di deretan yang tertulis nama rumah sakit itu.

“Lho, Sis? Kenapa ada namamu?” tanya Rani heran karena nama Siska juga berada di kolom yang sama dengannya.

“Apa karena kita terlambat lalu dijadikan satu tempat?” tanya Siska.

“Sepertinya gak mungkin deh” jawab Rina.
Entah sebuah kebetulan atau tidak, mereka berdua bersama melakukan praktek pertamnya di RSU Delima.

Selain mereka, tertulis juga nama Ahmad, Ghofur dan Lestari.

“Silakan persiapkan semua administrasinya sesuai dengan apa yang saya arahkan” ucap Bu Retno di penghujung perkuliahan.

Selesai itu, Rani serta mahasiswa sejurusan angkatannya saling berkumpul dengan rekan satu timnya, mempersiapkan segala keperluannya.

***

Bagian 1 - Rumah Sakit Umum Delima

Minggu pertama, shift malam.

Letak rumah Rani yang jauh dari hingar bingar kota, membuatnya harus berangkat lebih awal untuk menuju ke RSU Delima yang letaknya di tengah kota.

Selepas makan malam dan ibadah isya, Rani pamit dengan bapak-ibunya, lalu memacu kendaraan roda duanya berangkat shift malam di RSU Delima.

“Jaketmu dibawa. Biar gak kena angin malam” suruh ibu Rani. Rani pun menurut. Ia pun kembali ke kamar mencari jaket yang bisa dipakai. Sialnya, jaket-jaket yang biasa ia pakai, baru tadi pagi ia cuci, dan hanya tersisa satu jaket warna merah maroon pemberian Satria.

“Ya Allah. Kenapa sih?” keluh Rani karena melihat hanya ada jaket itu yang tersisa di lemari pakaiannya.
Dengan berat hati dan dari pada kena omel ibunya, Rani mengambil jaket itu.

“Ah. Bau-bau kenangan ini lagi” keluh Rani.
Tak lama dari situ, Rani berangkat. Setelah 45 menit perjalanan, Rani sampai di RSU Delima, kemudian langsung mencari bangsal (Ruangan) tempat dimana ia praktek malam ini.

“Bangsal (ruang) Anggrek”

Letaknya berada di deretan belakang RSU Delima. Berjalan ke sana harus melewati beberapa jalan lorong rumah sakit yang sangat panjang. Hampir semua rumah sakit memiliki jalanan lorong seperti ini.

Walau Rani sudah sering melintasi lorong panjang begini, tapi, berjalan sendirian di lorong seperti ini saat malam hari mampu membuat bulu kuduk Rani berdiri seketika.

Mendapati jalanan yang lengang, Rani mempercepat langkahnya agar lekas tiba di Bangsal Anggrek. Meskipun ia sudah biasa keluar masuk rumah sakit, tapi tidak membuat ketakutannya hilang.

Saat sampai di bangsal Anggrek, Rani masih harus naik ke lantai tiga, karena tugasnya di lantai tiga bangsal Anggrek.

Perasaannya lega, saat pintu lift terbuka dan ruang perawat sudah terlihat dari matanya.Sesampainya, Rani lalu masuk ke ruang perawat, yg letaknya berdekatan dengan meja pelayanan perawat atau nurse station. Ia meletakkan tasnya dan mengeluarkan beberapa catatan dan lembar kertas

Saat pergantian shift, sebelum perawat sebelumnya pulang dan perawat yang baru datang mulai bekerja, biasanya mereka melakukan briefing terlebih dulu di ruang perawat.

Perawat yang akan pulang memberikan catatan mengenai laporan pasien-pasien, agar perawat-perawat selanjutnya mengetahui kondisi pasien di bangsalnya. Setelah seluruh laporan kondisi pasien sudah tersampaikan, barulah perawat shift sebelumnya bisa pulang.

“Mbak, kalau ada kesulitan bilang saja ya. Tidak perlu sungkan” ucap Perawat perempuan yang satu shift dengan Rani. Dibandingkan yang lain, dia adalah perawat paling senior di bangsal Anggrek.

Namanya Bu Athiya, usianya sudah hampir lima puluh tahun serta masa pengabdiannya sudah lebih dari dua puluh tahun. Hal itu membuat Bu Athiya hafal dengan setiap sudut rumah sakit.

“Iya, Bu. Makasih banyak, ya” jawab Rani sambil senyum kecil kepadanya.
Selain Bu Athiya, ada tiga perawat yang lainnya lagi ; Pak Agus, Bu Fatma, serta satu lagi perawat laki-laki paling muda diantara perawat yang lain, Rani memanggilnya Mas Rendi.

Malam itu, Rani sedang jaga sendirian. Teman-teman satu kelompoknya yang lain dapat jatah shift pagi dan siang. Dibandingkan dengan shift lainnya, shift malam memang sering begitu, lebih sering diisi oleh satu orang.

Padahal, jika dilihat durasi kerjanya, shift malam adalah yang terlama, karena mulai jam 21.00 hingga 07.00, sementara shift pagi dan siang hanya tujuh jam kerja.

“Mbak, ikut saya yuk, ngasih obat sama ganti infus pasien” ajak Bu Fatma kepada Rani.

Mendengar itu, Rani menyambutnya dengan senang. “Oh, iya, Bu” jawab Rani.

“Pasien yang ini kasihan, Mbak. Namanya Lisa, dia perempuan muda dan sebatang kara, gak punya keluarga. Baru saja dia kecelakaan, luka-lukanya banyak sekali” terang Bu Fatma.

“Sama sekali gak ada keluarga jauhnya atau temannya yang jenguk?” tanya Rani.

“Katanya sih belum. Kemarin malem juga belum”

“Lalu siapa yang ngurus biayanya, Bu?”

“Untungnya yang nabrak tanggung jawab. Enggak kabur”

Tibalah mereka di depan ruang 3.6, tempat perempuan itu dirawat. Dari kaca kecil pintu, di dalam terlihat gelap. Di dalam, dibagi lagi menjadi empat kamar inap. Namun, malam itu hanya terisi satu kamar yang diisi oleh Lisa. Dan dia mengisi di kamar inap tepat di sebelah pintu.

“Kok gelap, Bu?” tanya Rani saat mengintip ruangan dari kaca kecil pintu ruang 3.6.

Bu Fatma masih celingukan dari balik kaca. “Iya juga, ya” jawab Bu Fatma. Mendapati hal itu, Bu Fatma kemudian membuka pintu, “Permisi” ucap Bu Fatma.

Bu Fatma lalu masuk dan berjalan ke kamar inap Lisa sambil memanggil mengucapkan namanya “Lisa...” panggilnya.

Namun, saat Bu Fatma sampai, Lisa tidak berada di atas ranjangnya.

“Lisa... Lisa...” Panggil Bu Fatma.
Rani pun ikut mencarinya. Rani mencari ke tiga kamar inap yang lain. “Barangkali dia disitu” pikir Rani.

Kamar pertama, Rani tidak mendapatinya di sana. Kamar kedua pun demikian. Bahkan, hingga kamar inap ketiga di ruang 3.6 pun Rani masih belum menemukannya.

“Bu, ini pasiennya kemana?” tanya Rani.

“Saya juga gak tau, Mbak. Kamar inapnya ya di sini ini. Ini makanan sisanya saja masih di sini” ucap Bu Fatma sambil memperlihatkan beberapa tumpuk buah yang masih cukup segar di atas meja.

Namun, suara teriakan disertai tangis tiba-tiba muncul di telinga mereka. Rani dan Bu Fatma lalu menghampiri sumber suara itu.

“Lisa! Kamu ngapain di sini?!!” Tanya Bu Fatma saat ia menemukan Lisa sedang duduk bersila di antara Kasur pasien dan tabung oksigen di kamar inap paling pojok.

“Lho? Tadi saya sudah cari ke sini tidak ada, Bu” ujar Rani.

Lisa mengerang, menangis sambil kedua tangannya memegang kepala. Mendengar tangisannya saja, Rani sudah bisa merasakan betapa sakit fisik dan mentalnya sekarang.

“Panggilkan Rendi, Mbak” suruh Bu Fatma.

Mendengar itu, Rani lalu keluar dengan langkahnya yang cepat dan sedikit berlari. Karena berlari diantara lorong bangsal Anggrek yang hening dan sepi, membuat hentak kaki Rani terdengar jelas dari meja pelayanan.

“Ada apa, Mbak Rani?” Tanya Bu Athiya yang sedang berjaga di sana.

“Mas Rendinya mana, Bu? Saya dan Bu Fatma perlu bantuannya”

“Emang ada apa, Mbak?”

“Mau ngangkat pasien yang di ruang 3.6, Bu. Kami berdua gak kuat”

Bu Athiya lantas memanggil Rendi. Rani beruntung, karena Rendi tidak sedang melakukan pekerjaan apa-apa.

Diantara perjalanan mereka ke ruang 3.6 Rendi bertanya “Ada apa, Mbak?”

“Ada pasien yang nangis, Mas. Saya dan Bu Fatma gak kuat kalau ngangkat berdua ke ranjangnya”

“Pasien di ruang mana?”

“Itu yang di 3.6, Mas. Yang perempuan sendirian itu” jawab Rani.

Saat langkah mereka berdua sampai di depan pintu, suara tangis Lisa terdengar lebih keras dari sebelumnya.

“Bu Fatma, ini Mas Rendi” ucap Rani.

“Rendi, bantu saya. Dari tadi nangis dan gak mau gerak” ucap Bu Fatma.

Rendi menggeser ranjang pasien yang menghalangi. Setelahnya, ia jongkok lalu perlahan mengangkat tubuh Lisa yang lemas. Bu Fatma dan Rani ikut membantunya, dipegangnya kaki Lisa oleh Rani. Sementara Bu Fatma membereskan ranjang milik Lisa yang berantakan.

Perlahan, Rendi dan Rani berhasil memindahkan Lisa. Lisa masih menangis dengan rambut panjangnya yang acak-acakan.

“Yang tenang ya, Nak. Jangan nangis lagi” ucap Bu Fatma sambil membelai rambut Lisa agar kembali rapi lagi.

“Minum obat dulu ya, biar kamu cepet sehat. Badanmu masih sakit kan?”
Lisa mengangguk pelan.

Dengan cekatan Bu Fatma meminumkan beberapa obat kepada Lisa.

“Sus, saya pengen pulang. Gak mau di sini”

“Tunggu luka-lukamu kering dulu ya, Lisa. Lisa sekarang istirahat dulu yang cukup, makan yang banyak, berdoa dan jangan banyak bergerak, ya. Lisa harus tenang, biar cepat pulang” jawab Bu Fatma sambil tersenyum.

“Tapi, saya pulang kemana, Sus?

"Siapa yang jemput saya? Kan saya tidak punya siapa-siapa”

Walau kedengaran aneh, Bu Fatma dapat mengerti dengan pertanyaannya.

Itu karena dia terbiasa hidup sendiri selama ini. Dengan tetap tersenyum, Bu Fatma menjawabnya “Ke rumah dong. Pasti nanti ada yang jemput Lisa”

“Sudah, Lisa sekarang istriahat, ya” tambah Bu Fatma.

Bu Fatma lalu menyibakkan selimut perlahan dan mengatur posisi tidur Lisa agar lebih nyaman.

“Lisa istirahat, ya. Nanti suster ke sini lagi” tambah Bu Fatma.

Rani terkesan dengan perlakuan Bu Fatma yang penuh kehati-hatian namun tetap dengan senyum perhatiannya.

Setelah semuanya beres, Rani dan Bu Fatma kembali ke meja pelayanan perawat. Disana Rani kembali mengatakan hal yang sama “Bu Fatma. Waktu pasien Lisa gak ada di tempatnya, saya sudah cari di kamar rawat yang tadi tapi tidak ada. Tapi kok tadi jadi ada, ya?” ucap Rani.

“Mungkin matamu kurang memperhatikan, Mbak” jawab Bu Fatma.

“Kurang memperhatikan? Apa iya? Kayaknya aku udah cari ke bawah ranjang tapi gak ada deh” gerutu Rani dalam hati.

Malam itu, Rani mendapati keganjilan pertamanya pada shift malam di bangsal Anggrek RSU Delima.

***

Saat shift malam, agar tetap bisa istirahat, biasanya para perawat saling gantian berjaganya, malam itu, masih di malam yang sama, Rani mendapat giliran jaga pertama dengan perawat perempuan yang lain, yakni Bu Fatma dan Bu Athiya.

Sementara Pak Agus dan Rendi dapat giliran tidur terlebih dulu. Saat itu giliran pertama mulai tidur jam 23.30 malam selama tiga jam, artinya Rani akan dapat giliran tidur jam 02.30 dini hari nanti.

Rani, Bu Athiya dan Bu Fatma berjaga di meja pelayanan perawat. Untuk menahan kantuk yang sudah menyerang, yang biasa mereka lakukan adalah saling bercengkerama mengenai apa saja. Pasien, urusan rumah, bahkan yang mengarah ke urusan pribadi mereka masing- masing.

“Rani. Kamu sudah ada calon belum?” tanya Bu Athiya.

Mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba wajah Rani berubah sedikit layu.

“Lho. Ada apa, Rani? Pertanyaan Bu Athiya salah, ya?”

“Hehe. Enggak, Bu. Cuman, sa-sa-saya baru saja putus sama pacar saya”

“Lhoooooo.... Putus kenapa Rani? Cewek cantik muda begini kok diputusin” Saut Bu Fatma.

Bu Athiya dan Bu Fatma memang sudah mendalami perannya sebagai ibu-ibu komplek yang gemar gosip dan tidak pernah ketinggalan update info terkini.

“Husss” celetuk Bu Athiya

“Ga kapa-apa, Bu” jawab Rani sambil tertawa agar sedikit menutup kesedihannya.

“Dia ada yang baru,Bu” ucap Rani.

“Haa? Maksudnya, kamu diselingkuhin?” Tanya Bu Fatma.

Rani mengangguk.

“Bocah edan!” umpat Bu Fatma.

Air mata Rani seketika menerobos keluar dari kelopak matanya. Bu Athiya dan Bu Fatma pun reflek menenangkannya. Mereka merasa bersalah karena telah menanyakan soal laki-laki kepada Rani.

“Rani. Maafkan Bu Athiya” ucap Bu Athiya meminta maaf.

“Gak apa-apa, Bu” ucap Rani sambil menyeka air matanya.

Diantara kesedihan Rani yang belum sepenuhnya reda, pintu lift yang sedari tadi tertutup perlahan terbuka. Seorang wanita misterius dengan pakaiannya yang abu-abu tiba-tiba keluar dari sana, lalu langsung saja berjalan ke lorong arah kamar Lisa.

Rani yang duduknya mengarah ke lift pun sontak tersita perhatiannya. Dengan matanya yang masih basah dengan air mata, ia berusaha memperhatikan wanita misterius itu.

“Rani. Kamu lihat apa?” tanya Bu Fatma.

“Itu ada wanita kok nyeremin gitu keluar dari lift” ujar Rani.

“Mana?”

“Itu, Bu. Tadi ke sana”

“Mana ada orang malam-malam ke sini. Ini kan bukan jam besuk” ujar Bu Athiya.

Bu Fatma yang masih penasaran pun mengejar ke arah yang dijelaskan Rani.
Dalam sekejap, Bu Fatma kembali ke meja pelayanan lagi,

“Mana Rani, gak ada siapa-siapa”

“Tadi saya lihat kok, Bu” ucap Rani.

Mengetahui Bu Fatma tidak menemukan wanita itu, Rani bergegas berdiri, diikuti Bu Athiya. Mereka bertiga mencari wanita yang dimaksud Rani.

Dengan kehati-hatian mereka melihat satu-persatu kamar yang searah. Kamar pertama, kedua belum menemukan apa-apa. Sampai- sampai, saat mereka sampai lagi di ruang perawatan dimana Lisa berada.

“Permisi” ucap Rani pelan.
Di dalam, ia mendapati Lisa sedang tertidur pulas di atas ranjangnya.
Hingga, tiba akhirnya di ruang perawatan terakhir di lorong itu.

Saat sudah di depan pintu, di situ tertulis 3.9. Saat Rani hendak mengayun daun pintunya ternyata sudah dalam posisi yang terbuka.

“Bu. Kok udah kebuka, ya?” ujar Rani.

“Emangnya ada pasien dirawat di sini?” Tanya Rani.

“Setau saya tidak ada” jawab Bu Fatma.

“Serius gak ada, Bu Athiya?” Tanya Rani memastikan.

Bu Athiya pun menggeleng. Harusnya, pintu di sini harus terkunci atau minimal tertutup rapat.

Rani pun perlahan masuk ke ruang itu. Rani yang awalnya menangis sesenggukan, menjelma menjadi wanita pemberani diantara Bu Athiya dan Bu Fatma. Dengan matanya yang masih sipit bekas menangis, Rani masuk ruang 3.9 lalu memperhatikan seisi dalamnya.

“Permisi”

Di dalam, dari enam lampu, ada satu lampu yang menyala. Selain itu, dari semua kamar inap, ada satu kamar yang tirainya tertutup. Tepat di bawah lampu yang menyala.

“Itu ada orang. Ada pasiennya dong berarti” tandas Rani.

Bu Fatma dan Bu Athiya tidak menjawabnya, mereka menatap tajam ke arah kamar yang tertutup itu.

“Apa bener ada pasien?” tanya Bu Athiya.

“Enggak ada yo. Kalau pun ada pasien baru kan seharusnya kita diberi tau tadi” jawab Bu Fatma.

Dengan perlahan, Bu Athiya melangkahkan kakinya ke kamar yang dicurigainya.

“Permi.....”

Belum selesai kata yang diucapkannya, dan belum selesai tirainya dibuka, tiba-tiba ia dikagetkan dengan keberadaan perawat wanita yang sedang membersihkan ranjang pasien.

“Mbak. Ngapain?” Tanya Bu Fatma.

Perawat wanita tersebut hanya diam. Seluruh kulitnya putih pucat. Apa yang dilakukannya seolah-olah sedang membersihkan ranjang yang terdapat pasien sedang berbaring di atasnya. Hati-hati sekali.

“Mbak. Kamu perawat bangsal mana? Kok saya gak pernah lihat” Tanya Bu Athiya.

Sebagai salah satu perawat senior yang sudah berkali-kali pindah bangsal, seharusnya ia tau setiap perawat yang bekerja di RS Delima.

Meski ditanya demikian, perawat misterius itu tidak menghiaukannya dan masih dengan aktivitasnya.
Rani mulai merasakan keringat dingin yang keluar dari lubang pori-porinya. Rasa takut dan gelisah pun turut keluar menyelimuti.

Langit tiba-tiba hujan, mendung yang sejak sore tadi datang akhirnya muntah juga tengah malam itu. Tidak cukup dengan air, angin pun tiba-tiba datang hingga menyebabkan satu jendela yang belum tertutup rapat terbuka seketika.

“Duarrrr.....”

Tirai-tirai kain beterbangan, udara dingin pun menyeruak masuk ke dalam ruangan. Rani pun dengan cepat menutup jendela yang terbuka itu.

Namun, sesaat sebelum menutup jendela, Rani menatap ke arah perawat misterius itu. Di situasi begini, dimana angin bertiup masuk cukup kencang, seharusnya, apapun yang memiliki beban ringan mampu tersapu dengan mudah oleh angin,

termasuk kerudung, rambut atau sekadar pakaian yang yang menempel di badan. Namun, saat Rani menatap perawat misterius itu, tak sedikit pun ia bergerak, rambutnya yang hanya terikat tidak kencang pun masih dengan posisi semulanya.

“Kok gak tersapu angin?” pikir Rani demikian.

Ia memicikkan matanya, melihatnya lebih jeli lagi.

“Jeglekk” suara kunci jendela saat Rani berhasil menguncinya. Ia mulai menyadari jika ada yang tidak beres di ruangan ini.

Seberesnya, Rani kembali menghampiri Bu Athiya dan Bu Fatma yang masih menatap perawat misterius itu dengan wajah kebingungan.

“Mbak. Rambut kamu bagus sekali” ucap Rani kepadanya.

Rani bermaksud memujinya, agar ia memberi respon terhadapnya.

Seolah benar, setelah perkataannya itu, perawat misterius itu pun menoleh ke arah Rani, lalu menganggukkan kepalanya seraya tersenyum kepadanya.

Rambutnya yang sejak tadi terikat dan tidak terlihat seberapa panjangnya, tiba-tiba ia melepas ikatannya hingga membuat rambutnya terurai bebas di pundaknya bahkan hingga lantai.

Ternyata, rambut perawat itu sangat panjang, panjang sekali. Bahkan, tinggi badannya pun tidak mampu membuat rambutnya menggantung.

Rani melihatnya pun terkejut, begitu pula Bu Athiya dan Bu Fatma. Wajah perawat itu yang semula hanya tersenyum pun tiba-tiba saja mengeluarkan suara “Terima kasih” sambil tertawa centil cekikikan.

Bu Fatma dan Bu Athiya menjerit ketakutan, kemudian mereka berdua lari terbirit-birit meninggalkan ruang itu. Tanpa memedulikan Rani yang masih berada di dalam.

Rani mengejar Bu Athiya dan Bu Fatma, ia keluar meninggalkan ruang itu tanpa menutupnya.

Mereka bertiga tunggang langgang lari hingga masuk ke dalam ruang perawat, hingga membuat Pak Agus dan Rendi terusik dan bangun dari tidurnya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close