Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KIDUNG PUTRI JELATA


JEJAKMISTERI - "Nduk Ayu Dewi Lintang anakku, Cah Ayu. Bersiaplah menyambut kedatangan calon pendampingmu, Nduk." Terdengar lirih suara Simbok, sedikit bergetar dengan cengkok khas Jawa yang kental. 

Aku duduk bersimpuh, menatap jemari basah oleh derai air mata. Bibir ini membisu, rahang  gemeretak,  dada terasa begitu sesak. Namun, ini adalah bukti bakti dariku. Rasa hati ingin meraung enyakkan murka! Namun, urung saat derap langkah kuda kian mendekat, serasa menjejak batin ini, hingga berpacu tidak beraturan.

"Simbok..." ucapku lirih sembari meremas jemari wanita yang telah merawatku. Ingin rasanya aku  kembali meraung  tanda protes, tetapi aku harus patuh padanya.

Bola mata cekung Simbok menatapku tajam. Jemarinya membelai rambutku yang sudah di sanggul rapi sejak tadi oleh Mbah Lasiem. Beliau utusan keluarga calon pendampingku. Begitu kata Simbok tadi, sesaat sebelum perempuan tua itu datang, kemudian pergi bersama beberapa orang pria mengenakan seragam ala Majapahit, lengkap dengan kereta kuda.

Aku mengenakan kebaya hijau botol dilengkapi sanggul berhiasakan rentengan kembang melati, menjuntai  hingga dada. Ada banyak gejolak tersembunyi di balik senyum  Simbok  yang terlihat kaku, sungguh berselimut misteri. Beliau menuntun diri ini hingga pelataran.
Simbok menundukkan kepalanya, sesaat setelah derap kereta  kuda menghentikan entakkan sepatu  berdiri tegap melaksanakan titah sang pemegang kendali.  Membuat diri ini mengerling heran, banyak tanya yang coba meredam.

Simbok menarik keras lengan ini, memberikan isyarat. Sontak membuat wajahku menunduk, memberikan  hormat, saat seorang lelaki gagah turun mendekat ke arah kami. Satu orang lainnya setia di atas kereta, memegang erat sangurdi pelana.

"Monggo, Gusti Ayu Dewi Lintang." Terdengar berwibawa suaranya, pria itu memberikan titah seraya menunjuk jempol ke arah kereta kuda. Kembali membuat mata ini mengerling selidik pada Simbok yang tidak berani mengangkat wajah.  'Mengapa, pria itu sudah mengetahui namaku? ' Aku bertanya dalam benak.

Simbok mendorong kasar tubuh ini, tetapi  tetap dengan posisinya  yang tetap menunduk, isyarat agar kaki  ini segera melangkah.  Aku patuh, kemudian menaiki kereta kuda dengan hiasan dominan  keemasan.  Kilauannya  menyilaukan mata ini,  aku bak seorang Putri Raja saja.

Sepanjang perjalanan, entah menuju ke mana? Semua makhluk hidup yang kami lintasi menunduk hormat. Tidak terkecuali binatang hutan penghuni belantara, lari tunggang langgang saat derap sepatu kuda memecah keheningan area hutan cemara, di sebuah lereng gunung.

***

"Monggo, silahkan turun  Gusti Ayu Dewi Lintang. Sudah tiba di istananya Pangeranmu."  Pria tadi memberikan titah seraya mengulurkan satu tangannya padaku. 

Aku turun atas bantuannya, kemudian merapikan pakaian ini dan sanggul. Sedikit olahraga wajah kulakukan agar senyum ini terlihat sempurna nantinya.

"Monggo, Gusti Ayu Dewi Lintang.  Nyai Ratu Dasimah  sudah sekian  lamanya menunggumu."  Pria itu kembali berkata. Sontak membuat wajah ini mendongak. Mataku menyalang, jantung memacu tidak beraturan membuat darahku mendidih. Saat tiba di sebuah tempat yang disebut  istana oleh  dua orang pria itu.

Gending Jawa halus terdengar hingga luar, menggema di indra pendengaran. Mereka menyambut kedatanganku  dengan meriah. Gua raksasa dengan hiasan dinding mengkilap, terlihat ramai dikelilingi para prajurit lengkap dengan tombak ditangan. Deretan wanita cantik berdiri dan beberapa pria berseragam senada  menundukkan kepalanya saat aku melintas dan mulai menapaki  lantai  bening bak kaca.

Benar-benar tempat yang indah, deretan tralakmit dan  stalaktit terbentuk dengan  indahnya. Apalagi pantulan cahaya yang mirip  bohlam raksasa tergantung  di langit gua, menambah keeksotisannya.

"Cepat,  langsung bawa  Gusti Ayu Dewi Lintang  ke kamar Pangeran!" 

Seorang perempuan cantik dengan aura  magis memberikan titah, matanya yang indah tapi tajam menghujam jantungku. Aku menatap  balas tatapan matanya yang tidak sedikit pun menunjukkan hormat padaku. Walau takut jelas mendominasi hati ini membuat jemariku mengepal.

Kedua  pria yang  bersamaku tadi, menebar pesona ramah  sepanjang perjalanan tiba-tiba mendadak kasar. Mencengkeram erat kedua lengan ini berdampingan  lalu menarik paksa tubuhku  meninggalkan  para  dayang-dayang menuju  satu tempat.  Sesaat  kemudian berhenti pada satu tempat terkesan rahasia. Berada paling ujung lorong gua.

"Lepaskan! Lepaskan! To-long..." Aku  meraung  keras, seraya berotak kasar. 

Tubuhku  tersungkur hingga hidung menyentuh lantai.  Sekuat tenaga aku  mendongakkan kepala. Akan  tetapi sial!  Pijakan kaki bak raksasa menindih bagian belakang leher ini. Aku mendongak  tepat di depan sebuah pintu.  Kaki ini mengeras, mempertahankan diri, tetapi kekuatan ini tiada arti. 

"Apa-apaan, ini?!" Batin ini bertanya.

"Pangeran Wicaksono,  kami  datang atas titah Nyai Ratu Dasimah,"  ucap  salah seorang pria itu.

Kemudian, mereka mendorong kasar tubuhku hingga  kembali  tersungkur masuk   kamar gelap. Tiada celah lubang udara, hingga terasa begitu pengap.  Clurut  berlarian hingga menabrak kaki ini. Bahkan ada yang merambati tubuhku. Suara pintu yang terbuat dari besi ditutup keras, hingga menimbulkan gaduh.

"Auhkh! Menjauh dari tubuhku!" bentakku seraya memukul kawanan  clurut.  Suaranya riuh mengidung bersahutan.

Sepertinya kamar itu di penuhi ribuan binatang bermoncong menjijikkan dan  beraroma menyengat. Terasa ada tangan menyentuh tubuh ini sesat kemudian mengambil bintang  nakal,  lalu memindahkan dalam mulutnya. Bunyi melata menjijikkan terdengar meregang nyawa. Entah berapa puluh jumlahnya ter  jagal karena berani menjamah tubuhku. 

"Jangan mendekat Pangeran!  Atau..." Aku mengancam seraya menunjuk jari, dengan tatapan menyalang.

Akan tetapi,  Pangeran tetap mendekat. Dia berambisi, kemudian melakukan kekerasan, menarik tubuhku, lalu  melempar kasar ke atas ranjang.  Berulang Kali benturan membuat aku mengerang  menahan sakit teramat. Tulang  terasa remuk, jantungku seakan tidak lagi mampu berdetak.

Suara Pangeran  mendesis menatap rakus  saat pakaian ini sudah  terkoyak. Bahkan  tidak lagi menutupi tubuhku  secara sempurna.  

"Patuhlah, hai anak manusia! Kau adalah milikku, tercipta untukku. Ketahuilah Gusti Ayu Dewi Lintang. Gherrg..." 

Entah apa yang sebenarnya yang kualami. Benar-benar belum bisa  diri ini memahami secara nalar.  Tidak lagi kupedulikan gejolak tanya batinku. Asal  diri ini selamat  dari liar perilaku yang disebut Pangeran, kemudian melarikan diri, itu tekat ini!

Aku meluaskan senyum, mungkin Pangeran  bisa melihatku. Namun,  mata ini hanya bisa menangkap sosok hitam dengan mata menyalang memerah dan lebar, berkali-kali lipat ukuran bola mata manusia pada umumnya.

"Ya, baiklah. Aku patuh padamu, tapi jangan kasar lagi padaku," ucapku lirih seraya menyapu  tetes darah segar mulai  keluar dari lubang hidung ini.

Pangeran terlihat melunak,  kubiarkan tangan kekarnya yang di penuhi bulu halus nun lebat menggerayang. Jujur saja jelas aku  muak bahkan nyaris menumpahkan isi perut, saat  tubuhnya kini  tanpa sekat. Aroma tubuhnya busuk menyengat.

"Gusti Ayu Dewi Lintang..." Pangeran mendesis. 

"Ya... lakukanlah, Pangeran. Sesukamu!"  balasku sambil meraba area belakang tubuhku, perlahan agar tidak menimbulkan curiga.
Liar perangai Pangeran, mendesis meneteskan liur mulai membasahi kebaya yang kukenakan, liurnya mengalir membanjiri leherku. Jantung ini berpacu dengan otak. Mengingat kembali petuah dari Simbok sebelum kedatangan Mbah Lasiem.

"Nduk Gusti  Ayu Dewi Lintang,  jika nanti,  sudah bertemu Pangeran, usahakan cabut satu helai rambutnya,  kemudian, lakukanlah segera, Nduk." Berulang Kali Simbok mengingatkan.

Tanpa  sepengetahuan, segera lakukan titah Simbok. Dalam hitungan detik,  pemandangan yang tidak pernah sekalipun terbayang olehku terjadi. Sekaligus  menyadarkan diri ini,  tugas besar sedang  ku emban.

"Auhkh...!" Pangeran menjauhkan tubuhku darinya dengan kasar, membuatku terjengkal  ke dasar lantai kotor, penuh kotoran clurut.
'Sialan!' Aku membatin kesal dengan tatapan singa. Sangkulku sudah tidak berbentuk membuat rambut  berhamburan hingga area wajah ini 

"Apa yang kamu lakukan, Gusti Ayu Dewi Lintang?! Argh..."  Pangeran mendesis meneteskan liur menjijikkan, memamerkan deretan gigi putih dan bertaring. 

Dia mendekati tubuhku,  meraih lengan ini secara kasar.  Sontak membuat tubuhku berdiri sejajar pinggulnya. Mataku mendelik menahan napas. Waktu yang tepat sesuai titah Simbok.

'Gusti Jagat Dewa Batara..."  Rapalku dalam hati.

Jlleepp! Jleep! Jlleepp!"

"Auhkh... Gherrg...."

Pangeran menghempaskan tubuhku hingga membentur dinding gua. Rasa sakit tiada terasa, aku adalah Srikandi yang sakti mandraguna di besarkan untuk tugaskan ini. 
Semenjak kecil aku tinggal  bersama perempuan tua yang kupangil Simbok. Hingga tujuh belas tahun lamanya hidup dalam  pelarian,  menyamar menjadi rakyat jelata.  Hidup dalam kesederhanaan, jauh dari kata layaknya ter cecap seorang putri anggota keluarga kerajaan Majapahit.

Kembali kuhujankan keris yang diselipkan Simbok di antara  celah bengkung yang kukenakan, sesaat sebelum berangkat.  Keris ukuran kecil warisan dari Romoku  sebelum beliau di tawan oleh istri barunya.

*****

"Biyung, cepat bawa ke  tempat pelarian. Tolong selamatkan Putriku Gusti  Dewi Ayu Lintang," ucap Romoku seraya memberikan keris pusaka miliknya dalam buntalan kain putih dengan segumpal tanah terbungkus di dalamnya.

Biyung berkemas seadanya, kemudian  menggendong diriku  yang masih bayi. Mereka menuju  satu tempat melalui jalur rahasia,  hingga akhirnya  keluar istana.  Biyung sudah di tunggu oleh Bopo, lelaki tua yang menjadi tabib istana itu adalah suaminya.  Mereka berdua membawaku melewati hutan belantara lereng gunung  hanya dengan berjalan kaki.  Akhirnya menetap dan bersembunyi di sebuah desa.  Semenjak itu   aku menjadi rakyat jelata. Rupanya Romo melakukan perjanjian gaib. 

Semua kekuasaan miliknya hasil persekutuannya dengan Nyai Dasimah. Tanpa disadari oleh Romo  beliau  dalam perangkap.
Nyai Dasimah mengambil posisinya, beserta seluruh jajarannya. Akhirnya semua di bawah kendali perempuan laknat itu. Dia memiliki junjungan buruk rupa bersujud Gendruwo.

Nyai Dasimah wajib  memanjakan junjungannya. Melamar paksa para gadis desa yang berparas menawan.  Kemudian, dijadikan pelayan Gendruwo yang dia sebut sebagai "Pangeran". Atau merelakan tubuhnya. Hal itu  wajib setiap  tujuh purnama sekali.  Simbok menjelaskan  saat membujukku.

****

Rupanya keris berwarna emas mampu membuat Pangeran tersungkur. Tubuhnya perlahan berubah menjadi halimun, lalu menguap serupa ruang gelap. Tidak lagi tampak sosok pria besar dengan wajah buruk. Secepatnya aku meraih gembok yang tergantung di  pintu tralis lalu  pejamkan mata.

"Jagat Dewo Batara, Siro aji-aji Wesi dadi patuh tunduk engkang titahku."  Selesai kurapal, sontak gembok dan tralis berjatuhan. 
Secepatnya aku keluar, mencari sudut celah tersembunyi. Mataku tertuju pada satu tempat. Kamar sama persis bentuknya tempat Pangeran tadi. 

Aku mengendap, sesaat setelah sampai. Segera Kuraih rantai gembok tralis pintu itu. 

"Auhkh! Sialan!" umpatku seraya menahan sakit, jemariku melepuh. Rupanya ada mantra tersimpan di sana.

"Siapa itu?!" 

Rupanya eranganku terdengar hingga dalam. Seorang pria dengan pakaian kumuh mendekat. Dia tidak berani menyentuh tralis. Dalam gelap ruangan aku bisa menangkap sosok di dalam sana.

"Ro- ro-romo!" 

"Siapa kau?! Seorang Putri kah?" 

"Ya, aku  Gusti  Ayu Lintang!"  jawabku lantang.
"Putriku..." Bergetar suara Romo.

Kuambil keris pusaka dari bengkungku, kemudian mengarahkan ke tralis. 

"Sak kabehhanne aji-aji, jopa-japu sak jagat bumi, tunduk ingkang titah Jagat Dewa  Batara." 

Sekedip mata pintu terbuka, Romo memekukku. Kondisinya memprihatinkan, kelaparan dan kehausan jelas. Tubuhnya menguarkan aroma busuk. 

"A-a-ayo, Romo!"

Romo menghentikan langkahnya, dia menengok ke dalam,  matanya menatap sosok tengkorak perempuan yang masih utuh dengan pakaian layaknya seorang permaisuri.

"Ayo, cepat Romo! Sebentar lagi gua ini akan roboh!" Pintaku seraya menarik tangan Bopo. Sementara itu seisi gua gemeretak, bebatuan mulai berjatuhan.

"Cepat Romo!" Aku menarik tangannya. Sayang rupanya kakinya di rantai dan tertancap di dinding gua.

"Pergilah putriku yang gagah perkasa laksana Srikandi di medan laga!  Romo bangga padamu! Biarlah diriku terkubur bersama Ratuku dalam gua ini. Pergilah! Cepat, pergi...!" 

Berat hati kaki berlari keluar gua. Aku meninggalkan Romo damai bersama tengkorak wanita yang telah melahirkan diriku. Dadaku naik turun menyaksikan runtuhnya gua raksasa di tengah hutan belantara. Derai mata seorang  Putri Raja  Manggala tumpah bersama sumpahku seraya mengacungkan keris pusaka milik Romo.

"Aku akan membunuhmu,  perempuan laknat! Dan mengambil alih kekuasaan!" 

Ratusan prajurit  sontak menunduk hormat padaku.

---==SEKIAN==---
close