Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MALAM JUM'AT KLIWON DI GUNUNG KEMBANG

(Kisah Pendakian)
Banyak hal-hal janggal menanti, saat aku mendaki, tepat di malam jumat kliwon.

"MALAM JUM'AT KLIWON DI GUNUNG KEMBANG"


Bismillahirrahmanirrahim....

Semoga kita semua selalu senantiasa sehat dan diberikan kekuatan dalam menjelajah segala babak kehidupan di dunia ini, jangan lupa doa dan jangan tinggalkan ibadah, agar semua yang kita lakukan berdampak baik kepada kita dan sesama.

Surakarta, 2018
Sudah lama, aku tidak menghirup suasana sejuk pegunungan, merasakan dekapan kabut, dan mencium aroma tanah gunung, sehabis hujan turun.

Rasa rinduku pada gunung tak lagi terbendung, benar-benar membuatku ingin kembali lagi kesana, setelah 6 bulan lamanya ku gantung carier karena sibuk dengan pekerjaan baruku.

Tiap kali aku melihat gunung, hatiku selalu meronta, seakan meminta agar aku bertualang lagi

Gayung bersambut, seakan Tuhan mengamini keinginanku.

Minggu depan ada libur panjang di kantorku, lantas, aku langsung berkabar dengan satu temanku yang bernama Yayat, untuk kembali mendaki gunung lagi.

Kali ini, aku dan Yayat, memiliki keinginan yang sama, yaitu mendaki gunung Kembang via desa Blembem.

Gunung yang memiliki ketinggian tidak lebih tinggi dari gunung prau ini, seringkali diremehkan karena ketinggiannya yang tak seberapa.

Tapi, banyak diantara mereka mengaku kapok dan tidak ingin mendaki kesana lagi setelah merasakan medan sadis yang harus dilalui agar sampai ke puncaknya.

Atas dasar itu, kemudian gunung kembang dijuluki sebagai gunung yg kecil-kecil caberawit, karena medannya yang tak kenal ampun.

Aku dan Yayat berencana berangkat rabu malam dari Surakarta, dan rencana naik esok harinya.

Tidak terbesit sedikitpun tentang hal-hal negatif di kepala kami berdua, karena bukan hal baru buat kami mendaki di hari kamis-jumat.

Singkat cerita, waktu berlalu, hari dimana yang kami tentukan tiba, setelah sama-sama lelah bergelut mencari penghidupan di dunia, kami berdua berangkat malam hari dengan menggunakan bus.

Dengan kecepatan yang kian lama kian melesat cepat, bus terus berjalan membelah jalanan malam hari kala itu.

Sementara aku dan Yayat menghabiskan waktu perjalanan kami dengan tidur,

"Mas-mas, sudah sampai mas, bangun" aku dengar sebuah suara, sambil menepuk bahuku berkali-kali.

Alhamdulilah, aku telah sampai di terminal mendolo jam 3 pagi.

Udara dingin menyambut kedatanganku dengan Yayat, hingga langsung menyebabkan bulu kuduku menari-nari sendirinya.

"Atise rak karuan dot" (dingin banget dot) celetuk Yayat.

"Iya e, wis suwe rak ngerasake ngene san dadi rasane atise pol" (sudah lama gak merasakan begini juga, jadi rasanya dingin sekali) jawabku.

"Ayo ngopi sik dot, ng warung kae" (ayo ngopi dulu dot, di warung sana) ajak Yayat, sambil menunjuk warung yang ada di pojokan terminal.

Aku dan Yayat lantas melangkahkan ke warung yang dimaksud Yayat. Perlahan, dan perlahan langkah kami semakin dekat, sebuah pemandangan tak enak menyambut penglihatan dikedua mataku.

Ya... Aku melihatnya...

Sesosok makhluk seukuran manusia dewasa (laki-laki), dengan kulit pucat berdiri menunduk di salah satu sudut warung.

Dengan taring yang tumbuh di mulutnya, ia tampak sedang asik menyantap salah satu menu makanan yang ada di dalam warung itu.

Rasanya, melihatnya saja aku tidak ingin, tapi apalah daya, mataku terlanjur melihatnya.

Sosok yg menurutku hampir sama dengan tokoh gerandong di serial nenek lampir itu, sempat melihat ke arahku dengan air liur yg bercucuran keluar dari dalam mulutnya. Jijik sekaligus seram yang kurasakan kala itu.

"Yat" ucapku tiba-tiba memanggil Yayat setelah melihat sosok tersebut.

"Pie dot? ayo to, atis iki wisan" (gimana dot? ayo lah, sudah dingin ini) jawab Yayat kesal sambil terus berjalan ke arah warung.

"Yat!!!" panggilku lagi, sambil menarik cariernya dari belakang, lantas mengajaknya menjauh dari sana.

"Ehh, ehh, nopo dot?!!" (kenapa to dot?) ucap Yayat dengan muka kesal.

Tanpa menjawab, aku membawa Yayat pergi menjauh dulu dari sana. Setelah ku rasa cukup aman, barulah aku menjelaskan atas apa yang ku lihat barusan.

"Yat..."

"Aku ngerti maksudmu!" ucapnya menyela perkataanku.

"Ha?" jawabku bingung.

"Ngerti apa to yat?" imbuhku.

"Aku dadi koncomu ora nembe wingi sore, kowe kan paham ngene iki ket suwe dot" (aku jadi temanmu bukan baru sore kemarin, kamu ngerti seperti ini kan sudah lama dot) ujar Yayat yang ternyata sudah hafal denganku, yang punya kemampuan melihat dan merasakan hal-hal ganjil sejak lama.

"Iyo yat, aku weruh" (iya yat, aku melihatnya) ucapku.

"Wes, tapi gak usah dipikirke, dewe golek panggonan liyane wae yat" (sudah, tapi gak usah dipikir, kita cari tempat lainnya saja) ajakku.

"Oke" jawabnya singkat.

Setelah mengisi perut yang sejak bangun tidur keroncongan, lantas, aku dan Yayat, menanfaatkan jasa ojek di terminal mendolo untuk melanjutkan perjalanan kami menuju ke basecamp pendakian.

"Tau informasi dari siapa mas naik ke kembang?" tanya driver ojek tiba-tiba.

"Dari facebook pak, kembang baru dibuka buat pendakian ya?" jawabku sambil bertanya.

"Iya mas, jalurnya belum lama dibuka, jadi masih lebat hutan di jalur pendakiannya" terang driver tersebut.

Alih-alih takut, malah adrenalinku semakin terpacu mendengar perkataan driver tersebut, karena, jarang-jarang aku bisa mendaki ke tempat yang belum banyak dijamah oleh pendaki.

Jam 8 kami tiba di basecamp, suasana lenggang menyambut kedatangan kami.

Hanya tampak beberapa petugas yang stay disana.

"Dot, turu sek yo, sewengi rak nyenyak turu ning bus" (dot, tidur dulu yok, semalam tidak nyenyak tidur di dalam bus) ajak Yayat saat baru tiba di basecamp.

"Hmmm, ora kesoren engko tekane?" (apa gak kesorean nanti sampainya?) tanyaku.

"Ora, paling yo cepet tekan puncake" (enggak, paling juga cepat sampai puncaknya)

"Hmmmm, yowes aku kesel juga" (aku lelah juga) jawabku.

Saat itu, aku dan Yayat masih berpikiran bahwa kembang adalah gunung yang ramah dan gak perlu waktu lama untuk mendakinya karena ketinggiannya yang tak lebih dari 2500 mdpl.

Tolong jangan meniru pikiran kami, yang menilai gunung hanya dari ketinggiannya.

Suasana basecamp yang sepi, seakan mendukung, untuk kami bedua rehat tidur sebentar sebelum mulai pendakian.

Masing-masing dari kami tidur, beralaskan tikar dengan bantal carier yang kami bawa.

Break dulu..

Akibat tubuh yang lelah akibat perjalanan, mataku perlahan berat dan padam...

Di tengah larutnya aku dalam tidur, di bawah alam bawah sadar ini, aku diberikan sebuah pertemuan.

Aku sempat bingung, siapa yg sebenarnya mendatangiku diantara gelapnya penglihatanku dalam mimpi kala itu.

Dia perlahan datang, dengan memanggil namaku berkali-kali

Siapa....?

Siapa....?

Tanyaku terus menerus dalam hati.

Lama-lama, seseorang tersebur nampak di depan mataku.

"Ndra, ayo pulang..." ajaknya.

Ndra adalah panggilanku ketika di rumah, Indra. Kalau di tongkronganku dengan Yayat, aku dipanggil codot

Setelah apa yang dikatakannya, lantas aku tau, ternyata ia adalah ibuku.

"Bu, ibu" panggilku.

"Ayo pulang ndra" ucapnya sama.

Aku bingung, kenapa ibu datang kesini, di dalam mimpiku, memintaku untuk pulang.

Baru saja, aku ingin membuka mulut untuk tanya sebenarnya ada apa dan kenapa ibu mendatangiku lewat mimpi, tiba-tiba tidurku terkoyak tatkala ketukan tangan dipundak membangunkanku.

"Dot, tangi!" (bangun!) ucap Yayat membangunkanku.

"Opo to!" (apa!) jawabku kesal.

"Jam piro iki! Angel temen digugah" (jam berapa ini! susah bener dibangunin) ujarnya.

"Uwis jam 1 awan iki lho, sido muncak ora?!" (sudah jam 1 siang ini, jadi muncak gak?!) tanya Yayat dengan sedikit meninggikan intonasinya.

Sepertinya ia kesal karena aku sulit dibangunkan

Tapi, saat bangun, aku masih dihantui rasa penasaran, kenapa ibu menemuiku dalam mimpi dan mengajaku pulang.

Apakah akan ada sesuatu yang akan terjadi nanti?

Apakah akan ada hal-hal yang menyambutku nanti?

Ah, semoga saja tidak..

Aku selalu berkeyakinan, selama niatku baik, begitu pula aku mendapatkan balasannya. Dan begitu juga sebaliknya.

Apa aku ceritakan saja dengan Yayat?

Ah jangan....

Aku tidak ingin perjalananku ini tersendat hanya karena aku..

Aku memantapkan diriku sendiri sekali lagi..

Bismillah... aman...

"Kenopo kowe dot?" (kenapa kamu dot?) tanya Yayat yang melihatku sedikit melamun.

"Ora dot, rapopo" (gak dot, gakpapa) jawabku.

Singkat cerita, setelah semua perlengkapan beres disiapkan, perut sudah diberi makan, sampailah saat aku mengurus simaksi.

Ya, aku, Yayat lebih memilih diam bersandar carier.

“Mas, yakin mau naik malam jumat kliwon begini?” tanya petugas basecamp yang berjaga, saat aku tengah mengurus simaksi.

“Emang ini malam jumat kliwon pak?” jawabku, karena aku sendiri tidak tau kalau malam nanti adalah malam jumat kliwon, pikirku hanya malam jumat biasa.

“Iya mas, yaudah gak apa-apa, yang penting mas sama temennya jangan aneh-aneh saat diatas dan jangan dihiraukan kalau menemukan hal-hal janggal” terang petugas basecamp tersebut.

“Degg” aku menalan ludah, jantungku seakan berhenti berdetak mendengar ucapannya, seakan mengisyaratkan bahwa akan ada sesuatu hal yang entah apa, akan menyambut kami, dipendakian kami nanti.

Apa ini ada hubungannya dengan mimpiku tadi?

Keyakinanku mulai goyah, akibat isyarat-isyarat yang seakan memberiku sebuah tanda.

Ah sudah, semoga saja tidak terjadi apa-apa.

“Aamiin……”

Doa sebelum pendakian, telah selesai kami berdua panjatkan, sekarang, petualangan dimulai.

Kembang... aku datang...

Kaki, mulai melangkah penuh keyakinan, dengan Yayat berada di depan, dan aku mengikutinya.

Cuaca cerah, dengan angin yang bertiup dan sesekali kicauan burung menemani langkah kami yang masih di dominasi dengan kebun teh ini.

Disini, dengan menghisap sebatang rokok, aku dan Yayat bercerita dan bercanda ria atas cerita-cerita lama kami, terlebih cerita tentang gunung-gunung yang pernah kami daki bersama.

Hingga tak terasa kami sampai di pos istana katak.

Dan semua berjalan normal hingga kami sampai di kandang celeng.

Kandang celeng kerap disebut juga sebagai pintu rimbanya gunung kembang, karena disini merupakan perbatasan antara kebun teh dengan belantara hutan rimba.

"Yat, kayane kok akeh celenge ning kene" (sepertinya banyak celengnya disini) ucapku, setelah sampai di kandang celeng.

"Wes pokoe maju!" jawab Yayat dengan semangat, walau nafasnya masih terengah akibat medan di kebun teh yang langsung tak memanusiakan.

Dari nama pos nya saja, sudah bisa disimpulkan, kalau area ini dihuni oleh banyak sekali celeng atau babi hutan.

Sedikit terbesit dalam pikiranku, yang tinggal disini, apakah semuanya celeng asli atau ada yang jadi-jadian?

Semoga saja, semuanya asli. Batinku dalam hati

Kami berdua tiba disana setengah 5 sore, maklum saja, kami termasuk dalam golongan pendaki siput, alias lambat, ditambah medan yang ternyata terjal dari awal, membuat kami sedikit-sedikit berhenti.

Kalau pun mau jalan cepat, apa sih yang mau dikejar?

Jodoh?

Duit?

Serangga-serangga hutan mulai menggema bersahut-sahutan diseluruh penjuru hutan, cahaya sore hari pun malu-malu mengintip dari balik pohon yg cukup lebat.

Ternyata begini, menjamah gunung yang baru saja dibuka untuk pendakian.

Sepi...

Sunyi...

Selain hutannya masih tergolong rapat, daritadi kami tidak menjumpai pendaki sama sekali, hanya petani-petani teh yang sesekali kami jumpai tadi.

Memang, dibuku tamu hari ini, namaku dan Yayat berada di paling atas. Tapi, kemarin ada 2 rombongan pendaki yang naik, semoga saja mereka masih ada di puncak atau minimal berpapasan di jalur pendakian.

Kabut perlahan datang, seiring dengan langkah kami berdua yang kian tinggi.

Suasana hutan yang masih sangat rapat ditambah kabut yang menghiasi benar-benar merubah suasana yang awalnya asik dan tenang, seketika menyeramkan.

Bagaimana kalau tiba-tiba ada celeng menyerang? atau demit yang datang?

Ah, aku benci pikiranku sendiri yang selalu parno ini.

Langkah semakin naik, sore perlahan pamit, berganti dengan gelapnya malam, ditambah jalur pendakian yang kian lama kian sulit, berkali-kali membuat langkahku terhenti menghela nafas.

"Bajigur, iki dalane kok ora ono bonuse" (ini jalur nya kok gak ada bonusnya) celetuk Yayat.

"Jogo lambemu yat" (jaga mulutmu yat) jawabku sedikit kesal, karena perkataannya yang sedikit mengumpat.

Tak berselang lama, saat aku dan Yayat beristirahat di tepi jalur, tiba-tiba kami berdua dikejutkan dengan suara auman serigala yang nampaknya tak jauh dari tempat kami duduk.

Tanpa omongan, aku dan Yayat saling memandang. Apakah ini tanda?

Sebelum jalan, kami berdua memakai jaket kami masing-masing, karena semakin malam, udara semakin dingin dirasa di kulit.

"Yok" ucap Yayat sambil berdiri, memberi kode agar kami kembali jalan lagi

Berjalan saat gelap disini memang tantangan tersendiri, jalur yang terjal, ekosistem yang masih rapat, dengan hanya mengandalkan cahaya lampu, benar-benar menyulitkan.

Hahhh....haahhhh.....

Nafasku dengan nafas Yayat saling bersahutan karena terus dihajar medan terjal ini

Aneh...

Sangat aneh...

Kenapa kami tak juga sampai di pos selanjutnya.

Seharusnya, jika sesuai arahan petugas basecamp dan peta jalur pendakian yang kubawa, seharusnya kami berdua sudah tiba di pos liliput sejak tadi.

"Yat, ora ono tanda-tanda ono pos to?" (gak ada tanda-tanda ada pos?) tanyaku kebingungan.

"Mboh ki dot, perasaan kok muter-muter wae rak tekan-tekan, suwe men" (gak tau dot, perasaan daritadi muter-muter gak sampai-sampai, lama sekali) jawabnya.

Aku dan Yayat bingung, sudah molor 1 jam lebih dari waktu yang diperkirakan.

Yayat lantas menghentikan langkahnya, lalu melihat kertas bergambar peta jalur pendakian yang kami bawa, ia mencoba memastikannya sekali lagi, kalau kami tidak salah jalan

"Bener kok" ucapnya.

Jam sudah menunjukkan jam 7 malam lebih, tapi setengah perjalanan juga belum kami tempuh.

Sementara, sudah menjadi pantangan dari basecamp bagi setiap pendaki, agar tidak mendirikan tenda di dalam hutan.

Camp area hanya ada di puncak gunung.

"Dot, rokok sek" ajak Yayat.

Aku tau, dalam hati Yayat juga takut menyaksikan kejanggalan ini. Tapi, ia menutupi ketakutannya dengan sebatang rokok yang ia hisap dalam-dalam kala itu.

Aku dan Yayat kembali duduk diatas batang pohon tumbang ditepi jalur.

Suara serangga hutan masih terus menamani kami, auman serigala juga berkali-kali masih kerap sampai di telinga kami berdua, yang cukup membuatku dan Yayat bergidik tatkala mendengarnya.

Walau aku tidak mengatakannya, aku yakin Yayat tau, bahwa aku takut.

"Mlaku meneh yat" (jalan lagi yat) ajakku, karena tiba-tiba perasaan aneh muncul dibatinku.

Kami berdua kembali jalan lagi menyusur jalur pendakian yang terus-terusan menghajar kami tanpa kenal ampun.

Tanjakan demi tanjakan kami injak dengan mantap walau dengan perasaan ragu.

Waktu berlalu, dan kami masih merasa kalau sejak tadi kami hanya berputar-putar di area ini.

"Yat"

Yayat lantas berhenti, lalu diam sejenak. Sepertinya ia paham maksudku.

Diantara rasa takut yang terus menyulut, aku tetap berusaha tenang dengan rapalan-rapalan doa yang ku baca.

Namun...

Kabut datang semakin tebal, mengacaukan pandangan kami berdua.

Hutan yang menurutku sekarang menjelma menjadi hutan yang ada di serial film harry potter.

Seremmmmm....

Yayat mengajakku kembali berjalan lagi, meniti tanjakan yang entah kapan habisnya.

Diantara doa yang terus kurapalkan, aku merasa punggungku yang tiba-tiba hangat. Aku merasa bahwa ini adalah sebuah pertanda.

Benar saja....

Tak berselang lama....

Ada sesuatu yang mengejutkanku dan Yayat.

"Krusekkk....krusekkk...."

"Opo kui dot" (apa itu dot) tanya Yayat.

Jika ku perhatikan seksama, seperti suara-suara segerombolan orang atau hewan sedang berlarian diantara semak-semak.

Lantas, kami arahkan headlamp yang kami pakai ke segala arah, takutnya, itu adalah hewan buas yang sedang bersiap menyantap kami berdua.

Tapi sial, cahaya headlamp tak sanggup menembus kabut yang cukup tebal.

Terus kucari darimana suara itu berasal, diatas pohon, diantara pohon, hingga di bawah jurang.

Hingga akhirnya, saat kabut agak terbuka, headlampku tertuju di suatu lembahan di sebelah kanan tempat kami berdiri. Kudapati, sekumpulan sosok seperti manusia, tapi berukuran kecil sedang berlarian yang sepertinya sedang mengejar sesuatu.

Aku masih belum mengerti, makhluk apa itu? Makhluk hidup sebangsa kami, atau demit penghuni gunung ini?

Namun sial...

Salah satu diantara mereka ada yang merasa kalau sedang ku perhatikan, matanya terlihat mengarah padaku

Ya Allah...

Rasa takutku seketika memuncak. Sontak, aku pun langsung mengajak Yayat kembali jalan lagi, kali ini dengan langkah yang cepat.

"Yat, ayo mlaku neh, cepet" (ayo jalan lagi, cepat) ajakku.

"Ono opo dot?" (ada apa dot?) tanyanya bingung.

"Wes pokoe ayo mlaku cepet! mengko aku cerito!" (udah, ayo jalan saja cepat! nanti aku cerita!) jawabku dengan sedikit meninggikan nada bicaraku.

Posisiku kini berubah berada di depan, Yayat mengikuti di belakangku.

"Jan-jane ono opo dot?" (sebenarnya ada apa dot?) tanya Yayat lagi.

"Wes! meneng sek! pokoe mlaku, tekan aku mandek mengko" (sudah! diam dulu! pokonya jalan, sampai aku berhenti nanti) jawabku.

Tak peduli nafasku tersengal-sengal, dan jantungku yang semakin berdebar, aku terus berjalan ke arah jalur yang ku yakini, yang sebenarnya aku sendiri tidak tau ini arah yang benar atau tidak. Yang terpenting sekarang adalah, menjauh dari gerombolan makhluk tadi.

"Dot, kesel" (aku lelah) ucap Yayat.

"Tahan sek, cepet mlaku teross!" (tahan dulu, cepat jalan dulu!) paksaku.

Auman serigala masih sesekali terdengar sampai di telingaku.

Suara semak belukar sejak tadi masih jelas juga di telingaku.

Apa mereka masih mengejarku?

Takut....

Dan bingung campur menyelimuti perasaanku.

Akan jadi apa kami, kalau mereka sampai menemukanku dan Yayat.

Ya Allah.... lindungi kami....

Rapalan doa dan shalawat tak henti-hentinya aku baca.

Cukup lama ku paksa Yayat terus berjalan mengikutiku tanpa henti, hingga akhirnya, aku berhenti di suatu tempat yang menurutku sudah aman dari gerombolan makhluk-makhluk bertubuh kerdil itu.

Aku dan Yayat bisa menghela nafas sedikit disini.

Ku sempatkan minum dengan air mineral walau tak banyak.

"Ono opo to dot!? kok koyo dioyak setan" (ada apa sih dot!? kok seperti dikejar hantu) ujar Yayat.

"Mau, pas awake dewe goleki suoro krusak-krusek mau, weruh ra kowe?" (Tadi, waktu kita lagi cari suara krusek-krusek tadi, liat gak kamu?) tanyaku.

"Ha? opo?" (apa?)

"Aku yo ra weruh kae seko golongan opo, koyo menungso, tapi kerdil-kerdil ngono kae dan ono akeh" (aku juga gak tau itu dari golongan apa, seperti manusia, tapi kerdil-kerdil begitu, dan ada banyak) jelasku.

"Hmmmm, sek dot, kowe kelingan ora sakwise kandang celeng nek manut petane jeneng pos e opo?" (sebentar dot, kamu ingat gak setelah kandang celeng kalau sesuai peta pendakian, itu pos apa?)

Tanpa menjawab, aku buka lipatan-lipatan kertas bergambar peta pendakian.

Aku lihat dan baca baik-baik dibantu cahaya headlamp di kepalaku,

Ternyata....

Disitu bertuliskan... Pos liliput...

"Pos liliput yat" jawabku.

"Sakjane dewe iki nang ndi to dot" (Sebenarnya kita ini dimana dot) ucapnya.

"Ket mau dewe durung nemu papan tulisane pos liliput, tapi kok akeh banget kae makhluk-makhluk kerdil (liliput) sing tak delok, opo dewe wes tekan wilayahe? opo iki iku pos liliput? Yat! dewe ki nang ndi yat?"

(Daritadi, kita belum menemukan papan bertuliskan pos liliput, tapi aneh, ada banyak makhluk-makhluk kerdil (liliput) yang ku lihat, apa kita sampai di wilayah mereka? apa disini ini pos liliput? Yat! kita ini dimana yat!?) jawabku sambil kebingungan.

Di posisi ini, aku dan Yayat benar-benar bingung, sebenarnya kami ada dimana.

Apa kami tersesat? tapi ku rasa sejak tadi langkahku dan Yayat berada di jalur yang tepat, dan selalu melewati jalan setapak layaknya jalur pendakian.

Lantas, aku mengajak Yayat membaca ayat kursi untuk menetralkan keadaan dan mental kami.

"Bismillah.... ayo yat, mlaku neh, gantian aku ngarep" (jalan lagi, gantian aku depan) ajakku.

Kami berdua kembali menyusuri belantara, dengan harap bisa sampai ke tujuan kami selanjutnya atau kembali ke jalur pendakian yang benar.

Aku berpesan pada Yayat, agar di setiap langkah yang dikeluarkan, untuk selalu diiringi dengan doa dan shalawat yang dipanjatkan.

Namun....

Sudah 1 jam menyusuri masih belum juga kami berdua menemukan jalur pendakian yang benar.

Jika dilihat dengan mata normal, jalur yang kami berdua lewati selayaknya jalur pendakian normal, tapi aneh...

Kenapa kami tidak juga menjumpai papan-papan petunjuk jalur pendakian.

Apakah kami berdua berpindah ke dimensi lain?

Ya Allah.... Berikan petunjukmu....

Pendakian yang ku kira berjalan seperti biasanya, ternyata malah begini.

Mimpi apa aku semalam....

Bisa-bisanya malam ini aku terperangkap di dalam hutan bersama satu sahabatku ini.

Ku lihat jam yang melekat di tangan, jam sudah menunjukan lebih dari jam 9 malam.

Aku dan Yayat terus berusaha tenang, walau dalam hati rasa takut yang tak terbendung sudah menyelimuti.

Perjalanan kembali kami lanjutkan, hanya dengan 1 modal kami, yaitu keyakinan.

Keyakinan, kalau kami bisa kembali ke jalur pendakian yang semestinya, dan kami berdua bisa sampai puncak malam ini dan istirahat disana.

Sungguh, aku tidak mengharapkan terjebak di wilayah yang tak ku mengerti ini.

Aku hanya ingin kembali lagi, aku hanya ingin menikmati pendakianku kali ini tanpa hal-hal seperti ini.

"Ayo yat, ayo semangat! Mesti dewe iso mbalek" (pasti kita bisa kembali) ucapku menyemangati Yayat dan diriku sendiri.

Kali ini jalur yg kami lewati lebih miring dari sebelumnya, untung kabut sudah hilang. Jadi, tidak ada lagi yang menghalangi penglihatan kami.

Naik, turun, menyusur jurang kami lewati berkali-kali, sampai di titik dimana kami berdua benar-benar lelah, selain tenaga, mental kami berdua sudah sangat terkuras akibat diputar-putarkan di tempat ini.

Kesunyian malam kala itu, benar-benar terasa sangat lama bagiku dan Yayat.

Waktu yang normalnya berjalan 1 jam, tapi bisa berjam-jam kami rasakan.

Keringat dingin tak henti-hentinya mengalir dari balik bajuku, persediaan air pun kian lama kian berkurang.

Untung, aku dan Yayat membawa perbekalan logistik lebih, jadi kami berdua bisa sedikit aman untuk sekarang.

Tapi, lagi-lagi, keadaan belum juga memihak pada kami.

Diantara kesunyian dan gelapnya malam, tiba-tiba sayup-sayup, aku dan Yayat mendengar suara celeng berada di dekat tempat kami istirahat ini.

"Yat, dungokno suarane, iki gak mung 1 yat, iki akeh" (dengarkan suaranya, ini tidak hanya 1 yat, ini banyak) ucapku gugup, setelah mengetahui kalau suara celeng yang ku dengar sepertinya lebih dari 1.

"Dot, ayo ndelik, nggolek panggon sing adoh seko dalanan kene, kayane, celeng-celeng kae bakal lewat kene" (ayo sembunyi, cari tempat yang jauh dari jalanan ini, sepertinya celeng-celeng itu bakal lewat jalan ini) ajak Yayat.

Dengan hati-hati, aku dan Yayat melangkah lagi, mencari tempat aman untuk kami berdua bersembunyi dari gerombolan celeng-celeng yang akan mendekat itu.

Setelah kami berdua mendapatkan tempat aman dan cukup untuk kami berdua.

"Dot, baluri carier, karo awake dewe nganggo minyak angin iki, ben mambu panganan sing dewe gowo ilang" (olesi carier dan badan kita dengan minyak angin ini, agar bau makanan yang kita bawa tidak tercium sampai di celeng-celeng itu) suruh Yayat.

Kami berdua sembunyi di balik batu besar dan batang-batang pohon yang tumbuh mengelilinginya.

Headlamp sudah mati, cukup jauh tempat ini dari tempat kami istirahat tadi.

Tapi, penglihatan kami, sayup-sayup masih bisa sampai melihat kesana, karena kabut yang sudah hilang dan cahaya bulan yang sedikit terang.

Dengan berkoloni, celeng-celeng tersebut lewat, di jalan tempatku dan Yayat istirahat tadi. Ternyata, mereka semua sedang mencari makan.

Sangat banyak....

Dan terus mengeluarkan suara yang aku sendiri tidak bisa menirukan atau menuliskannya disini.

Silahkan, imajinasikan sendiri bagaimana suara celeng yang kamu tau.

Sampai-sampai, aku bingung saat akan menghitungnya.

Ukurannya pun macam-macam, dari yang berukuran masih peranakan sampai yang besar

Aku menelan ludah sendiri saat melihat celeng yang berukuran hampir sebesar kerbau.

Besar sekali...

Dalam doa aku selalu meminta, agar bisa lekas bebas dari keadaan genting ini.

Ingin rasanya, aku lekas berlari sekencang mungkin darisini, tapi, setelah ku perhitungkan baik-baik, pasti langkahku tidak akan ada apa-apanya jika dibandingkan dengan mereka celeng-celeng itu.

Hahhh..... lagi-lagi aku dipaksa bertahan, di situasi yang sangat sulit ini.

Ku rasakan pundakku di tepuk oleh Yayat, ia nampaknya juga heran melihat celeng berukuran raksasa itu.

Tapi, ada yang membuat kami heran daripada itu.

Bagaimana tidak..

Di paling belakang, ada makhluk yang awalnya aku pikir adalah manusia, karena bentuk tubuh dan ukurannya yang tak jauh berbeda denganku dan Yayat.

Ia menggunakan pakaian serba hitam dan tertutup kain di kepalanya, sehingga membuatku sulit melihat siapakah gerangan itu.

Gelapnya malam benar-benar menyulitkanku dengan Yayat untuk memastikan siapakah seseorang yang berbalut kain yang serba hitam itu.

Ku benarkan posisiku, ku cari posisi senyaman mungkin, tapi tetap dengan gerakan yang senyap agar tidak menimbulkan suara yang bisa mengundang celeng-celeng itu dan akan menerkam kami sesukanya.

Ku sempatkan lagi melihat Yayat, ia tampak sangat ketakutan, keringat tampak mengalir diantara headlamp di dahinya.

"Yat! Aku wedi!!!" (aku takut!!!)

Tapi, keadaan memaksaku diam, supaya keadaan tidak menjadi semakin sulit.

Mataku kembali mengarah pada sesosok makhluk yang belum ku ketahui batang hidungnya itu.

Saat ia lama-lama mendekat dengan penglihatanku, dengan jelas aku bisa melihatnya

Ternyata....

Makhluk yang sempat ku kira manusia itu adalah...

Ya.... ia berbadan manusia...

Tapi....

Yang tumbuh diatas lehernya, bukanlah kepala manusia.

Tapi...

Yang tumbuh diatas lehernya, adalah kepala celeng...

Ya Allah....

Pemandangan apalagi ini.....

Kali ini aku benar-benar ingin sekali berlari dan teriak sekencang mungkin.

Tapi... tapi....

Bagaimana jika mereka menangkap kami berdua....?

Bagaimana jika aku dan Yayat dijadikannya sebuah hidangan bagi mereka malam ini...

Rapalan doa semakin cepat ku panjatkan...

Nafas Yayat ku dengar ngos-ngosan di telingaku.

Aku yakin, barusan ia juga melihatnya, sosok yang entah siluman celeng atau apalah itu.

Lantas, aku memberikan kode pada Yayat, agar tetap tenang dan diam, sampai apa yang ada di depan mata kami ini hilang.

Ku sempatkan lagi melihat jam, tapi, aneh...

Jam yang tadi baik-baik saja, tiba-tiba mati entah kenapa...

Ya Allah....

Aku hanya bisa memanjatkan doa pada-Nya...

Apa ini arti dari mimpiku tadi...

Apa ini alasan kenapa ibu menghampiriku dalam mimpi tadi, dan memintaku pulang?

Kondisi kami, yang semakin lemah tidak kami hiraukan, yang terpenting saat ini adalah menguatkan mental kami.

Tubuh boleh lemah, tapi asalkan hati, pikiran dan mental kami harus kuat, aku yakin semua ini bisa kami lalui.

Pokonya, setelah mereka hilang dari mataku, aku harus jalan lagi! Aku yakin aku bisa terbebas dari semua ini.

Selama aku yakin, pasti Allah selalu bersamaku!

Singkat cerita, pemandangan mengerikan itu hilang dari mataku, dengan sedikit menghela nafas lega, kemudian aku mengajak Yayat berjalan lagi.

Kali ini, rencanaku adalah mencari tempat terbuka, agar aku bisa melihat dengan bebas, dimana posisi kami berdua berada.

Tapi, lagi-lagi keadaan mempersulit kami.

Kabut datang perlahan menghalangi penglihatan kami.

Apakah ini ulah dari para dedemit disini, yang tak rela kami berdua terbebas dari sini?

Kali ini aku dan Yayat melantunkan shalawat agak kencang di setiap langkah kami.

Masih dengan modal keyakinan, kami berjalan.

Entah sudah jam berapa ini, pokonya aku kudu keluar dari sini malam ini juga!

Susah payah kami berdua berjalan menembus belantara dan kabut ini.

Hingga, saat aku dan Yayat tengah merebahkan lelah, diantara kabut yang masih tebal, cahaya senter terlihat dari arah bawah.

"Dot, dot, delok kae!" (lihat itu!) ucapnya sambil menunjuk ke arah cahaya senter itu.

Antara haru dan takut perasaan kami berdua.

Harunya adalah, jika cahaya itu berasal dari pendaki atau warga dekat sini, maka selamatlah kami.

Tapi...

Jika cahaya itu berasal dari makhluk jadi-jadian yang berniat buruk dengan kami, maka habislah kami berdua.

Kakiku dan Yayat sudah sangat lelah jika harus digunakan untuk melangkah cepat lagi, sementara, makhluk misterius itu semakin dekat ke arah kami.

Aku dengan Yayat saling berhadapan dan berdoa, agar yg datang itu merupakan makhluk kiriman Tuhan yang akan menolong kami berdua.

Cahaya senter itu, semakin dekat..

Semakin dekat dan terdengar langkah kakinya hingga ke telingaku.

Sampai akhirnya....

"Le... Njenengan badhe tindak pundi?" (Kalian mau pergi kemana?) tanya seseorang misterius itu.

Ku mantapkan hati, dan memberanikan diri melihatnya.

Yang ku lihat pertama kali adalah kakinya, apakah kakinya menginjak tanah ataukah melayang.

Ku tengokan kepalaku sedikit demi sedikit, aku lihat ternyata kakinya masih menginjakkan tanah.

Semakin ke atas, semakin ke atas...

Sekarang, yang ku lihat adalah seorang manusia, laki-laki setengah tua, berkumis, dengan ikatan kain batik di kepalanya, sedang berdiri menghadapku dan Yayat.

"Le...." ucapnya lagi.

"Ehh, nggih pak, kula kalihan rencang badhe muncak, tapi kulo nyasar dumugi mriki" pungkasku.

"Mlampahipun mboten mriki le, sumangga, bapak terke mawon" (jalannya bukan kesini bak, mari bapak antar saja) ajaknya.

Aku dan Yayat saling tatap, kami berdua kebingungan.

Apakah bapak ini benar akan mengantar kami, atau malah akan menambah sulit keadaan kami.

"Pak, bapak, dalemipun pundi?" (bapak rumahnya di mana?) tanya Yayat.

"Bapak tiyang mriki nak, bapak badhe dhateng dhusun seberang mriko, bapak limrah langkung mriki" (bapak orang sini nak, bapak mau ke desa seberang sana, bapak biasa lewat sini) terangnya.

"Sumangga, bapak antar mawon, mboten usah wedi kalih bapak" (mari, bapak antar saja, tidak perlu takut dengan bapak) tambahnya lagi.

Beliau lantas jalan lagi, meminta kami mengikutinya di belakangnya.

Sementara aku dan Yayat, sebenarnya masih bingung mau percaya atau tidak. Tapi, yang terlintas di pikiranku saat itu adalah, pertolongan seperti ini tidak datang dua kali.

Semoga, bapak ini adalah kiriman dari Allah untuk menolong dan membawaku dan Yayat terbebas dari sini.

"Ayo yat, diikuti wae" (diikuti saja) ucapku.

Beliau jalan dengan cepat, membelah belantara hutan yg masih rapat, hanya dengan menggunakan jaket tipis, dan mengenakan sandal, beliau jalan tanpa kesusahan.

Sampai-sampai aku dan Yayat sering kali kerepotan mengikutinya.

"Pak, wiwit kala wau, kula kaleh rencange kula, kesasar dhateng mriki. Lajeng, kita manggihaken kathah keanehan wonten mriki" (Pak, sejak tadi, saya dan teman saya, kesasar sampai sini. Lalu, kami menemukan banyak keanehan disini) ucapku memberanikan diri

"Menika dalu jemuah kliwon le, demit-demit wonten mriki asring iseng menawi wekdal kados menika. Pramila, benten wekdal, njenengan-njenengan atos-atos" (ini malam jumat kliwon nak, setan-setan disini sering iseng kalau waktu begini. Makanya, lain waktu kalian hati-hati) ujar beliau.

Semakin lama, posisi kami keluar dari dalam hutan, berganti dengan sabana yang berada di punggungan gunung.

Saat disini, yang ku cari pertama kali adalah, di manakah gunung sindoro? karena letak gunung kembang ini, berada tepat di sebelahnya.

Tapi, mataku tidak menemukannya. Aku masih bingung dimana posisi berdiriku sekarang.

Aku terus mengikuti langkah bapak tersebut, hingga sampai lah kami di puncak gunung bebarengan dengan adzan subuh yang berkumandang.

"Le.. menika sampun dumugi puncak, samenika bapak tilar nggih" (nak, ini sudah sampai puncak, sekarang bapak tinggal ya) ucapnya.

Belum sempat kami berdua menjawabnya, bapak tersebut langsung berjalan lagi ke arah berlawanan dari kami datang.

"Maturnuwun pak" (terima kasih pak) jawabku, walau beliau sudah berjalan cukup jauh.

Sekarang, aku dan Yayat bersyukur tiada henti..

Setelah semalaman penuh terjebak di dalam hutan yang entah dimana letaknya, dan sekarang kami sampai di puncak dengan selamat dan terbebas dari sana.

Ku paksa tubuhku dan Yayat sekali lagi, untuk membangun tenda dulu, untuk kami berdua merebahkan lelah tubuh kami yang sudah lemah ini.

Singkat cerita, matahari perlahan menampakkan jati dirinya.

Kami yang berada di dalam tenda, merasakan kehadirannya.

Malam yang dingin nan sunyi pun, berganti dengan hangatnya mentari pagi.

Setelah cukup dengan tidur, kubuka tenda dan memasak untuk kami sarapan pagi ini.

Diluar, tak seorang pun kami temui. Hanya ada tenda kami yang berdiri.

Setelah semuanya beres, ku sempatkan foto-foto dengan Yayat sebelum turun ke basecamp.

Aku kembali melihat jam tanganku yang semalam mati. Tapi, aneh... Disini jamku normal lagi.

Ahh, aku tidak mau memikirkannya dulu sekarang. Yang terpenting sekarang, hanyalah turun dengan selamat.

Di pagi setengah siang, tepatnya jam 10 pagi, kami berdua turun.

Sebelum turun, sempat aku menemukan beberapa celeng berkeliaran di puncak, sehingga membuatku teringat dengan kejadian semalam.

Ah sudahh.... lupakan....

Sekarang turun....

Seperti perjalanan naik, saat turun tak seorang pun kami temui. Kami melangkah dengan hati-hati, karena kami tidak ingin, kejadian semalam terulang lagi.

Perjalanan turun tak menemukan rintangan apapun, yang ada hanyalah turunan-turunan terjal selayaknya gunung-gunung.

Singkat cerita, setelah melewati hutan dan perkebunan teh, kami pun sampai di basecamp dengan cepat, disini, kami melaporkan semua data dan sampah yang kami bawa.

Tak satupun sampahku yang kurang, menandakan bahwa diriku ini tak membuang sampah waktu dipuncak.

Ingin rasanya aku menceritakan cerita semalam pada mereka, tapi biarkan ini menjadi ceritaku sendiri dan Yayat. Biarkan ini menjadi pelajaran kami berdua, agar lebih berhati-hati dalam mendaki gunung.

Setelah urusan administrasi selesai, kami berdua mengistirahatkan tubuh sebentar, lalu mandi, dan mengisi perut yang sudah keroncongan ini.

Saat semua selesai, kami berdua pulang dengan 2 pertanyaan yang belum kami ketahui jawabannya.

Yang pertama, dimanakah saat kami tersesat semalam? di dimensi lain kah? atau dimana?

Lalu, yang kedua adalah, siapakah bapak-bapak semalam? Belum sempat aku tanya siapa nama beliau, ingin rasanya aku ke bertemu dengannya, sekedar untuk mengucapkan terima kasih sekali lagi.

Akhirnya, aku dan Yayat kembali pulang ke kota kami dengan rasa syukur yang kami panjatkan.

Pendakian yang ku kira akan semulus seperti pendakian-pendakian sebelumnya, ternyata malah memberiku cerita semenantang ini.

Semoga ini menjadi pelajaran untukku dan kami berdua.

-SEKIAN-

Terima kasih bagi pembaca yang terus mengikuti cerita saya hingga selesai.
close