Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MATA BATIN ARYA (Part 2) - Interaksi Dimulai


Indera penglihatan dan pendengaranku terasa semakin menguat terhadap makhluk halus. Bahkan kadang saat kudengar suara mereka, seakan mereka sedang berteriak tepat ditelingaku, begitu kerasnya suara mereka seakan mereka sedang berada di dekatku, meskipun sebenarnya wujud yang mengeluarkan suara itu kulihat masih jauh dariku.


Keadaan ini tentunya bisa menggangguku, karena kadang aku terbangun tengah malam gara-gara mendengar suara mereka. Tapi kucoba untuk tetap tidak menggubrisnya, dan lagi, usiaku yang masih terlalu kecil itu membuatku bisa cepat melupakan setiap gangguan itu. Hingga suatu hari, aku bertemu dengan salah satu dari mereka, dan pertemuan itu seakan mengubah seluruh jalan hidupku.

Waktu itu kira-kira aku berumur 10 tahun, masih duduk di bangku sd kelas 5. Aku sering mengikuti pengajian di setiap masjid, bahkan sampai luar daerah kampungku. Aku selalu berangkat mengaji bersama dua orang temanku, yaitu Edi dan Jono, cuma mereka lah anak yang mau bergaul dan bermain denganku

Suatu malam aku ikut pengajian di kampung sebelah, agak jauh dari rumah. Seperti biasa, aku berangkat bersama Edi dan Jono. Kami mengikuti pengajian itu dengan sungguh-sungguh, hingga tanpa terasa waktu sudah menunjuk di angka 10 malam. Jarak rumah kami yang jauh, masih harus berjalan kaki pula, membuatku jadi berpikir, pasti nanti waktu akan jadi terlalu malam kalo kami sampai di rumah. maka aku mengajak Edi dan Jono untuk pulang duluan sebelum pengajian selesai.

"Jon, Ed, kita pulang duluan yuk, ntar bisa kemalaman nyampe rumah ini, bisa di marahi ibuku lah..." kataku.

Edi menyahut, "Ntar dulu lah, bentar lagi selesai ini.. nanggung banget..."

"Pulang sekarang aja Ed, jalanan gelap lho, dah malam lagi, aku takut." timpal Jono.

"Alaah, dasar kamu emang penakut Jon." celetuk Edi.

"Bukan gitu, kamu tau kan, kalo rumah kita jauh…," balas Jono nggak mau kalah.

"Alesan aja…," jawab Edi.

"Udahlah, kenapa malah jadi debat gini? Kita pulang sekarang aja lah…," kataku menengahi. "Ed, kalo kamu masih mau ngikutin pengajian, ya nggak apa-apa, tapi kami balik duluan...."

Walau dengan menggerundel, tapi mau nggak mau akhirnya Edi ikut juga, dan kita pun pulang sebelum pengajian selesai. Kami jalan kaki melewati jalanan kampung yang gelap dan sepi. Karena dua temanku itu memang penakut, tanpa sengaja mereka berjalan agak cepat, jadi aku pun harus ikut berjalan cepat juga. Tapi akhirnya kami tiba juga di batas kampung kami dengan kampung sebelah. 

Kampung kami memang terletak di pinggiran kota, jadi penerangan jalan masih agak minim. Sebelum kami bisa sampai di rumah, maka kami masih harus melewati sebuah tanah kosong luas yang ditumbuhi pohon-pohon besar dan semak belukar yang lebat. 

Tanah kosong itu memang terkenal angker di kampung kami, aku juga sering melihat makhluk-makhluk halus disitu. Edi dan Jono makin mempercepat langkah kaki mereka hingga jadi setengah berlari, maka aku jadi terus-terusan ketinggalan di belakang.

"Woi..! Jalan jangan cepet-cepet.. santai aja napa!" teriakku.

Edi menyahut, "kamu nggak ngerti ceritanya sih, kata orang-orang, tanah kosong itu angker lho!"

"Alaah, angker apanya! Emang kamu pernah melihat?" tanyaku.

"Ya belum, tapi denger-denger dari cerita orang tua…," jawab Edi.

"Cuma denger cerita aja kok jadi takut…," selorohku. "Kamu juga penakut aja kok tadi bisa ngatain Jono penakut...!"

"Kamu juga, sok berani, ntar kalau beneran ada penampakan, pasti kamu yang lari duluan!" Edi masih saja tidak mau kalah.

Akhirnya aku pun diam tidak menjawab, karena tidak ingin perdebatan itu terus berlanjut. Mereka seolah berjalan semakin cepat saja, hingga jadi setengah berlari. Dan tiba-tiba ….

"Hi hi hi...!"

Terdengar suara tawa cekikikan perempuan, sebuah tawa keras yang melengking-lengking mengerikan. 

"Whuaaaaaa….!!!"

Seperti diberi aba-aba, dengan kompaknya Edi dan Jono berteriak bersamaan sangat keras dan lari berserabutan tunggang-langgang. Otomatis aku ditinggal sendirian oleh mereka.

"Sial bener mereka berdua itu...! denger orang ketawa aja kenapa harus lari, sih!" umpatku.

Kulambatkan langkahku jadi berjalan biasa saja. Aku jadi penasaran dan celingukan mencari, siapa yang tertawa di malam begini. Tiba-tiba saja angin bertiup sangat kencang, sampai pohon-pohon besar meliuk-liuk dengan hebat, debu-debu beterbangan menutupi pandangan, sepertinya akan ada sebuah badai yang datang.

Lalu di saat itulah aku melihat suatu kelebatan sebentuk kain sangat panjang, meskipun malam itu gelap, tapi masih bisa kulihat kalau kain itu berwarna hitam. Biasanya kelebatan kain terbang semacam itu berwarna putih atau merah, tapi ini kok berwarna hitam?! Maka terus kuawasi aja kain itu sampai menghilang di pohon-pohon besar di tanah kosong itu.

Setelah kain hitam itu menghilang, aku pun tidak menggubrisnya lagi. Tiupan angin kencang itu masih berlanjut. Tapi kuteruskan langkah kakiku melanjutkan perjalanan pulang. Teman-temanku sudah sangat jauh dan nggak kelihatan lagi. Tapi mendadak saja, entah dari mana datangnya, kira-kira 10 meter di depanku, sudah ada suatu bayangan siluet seseorang yang berdiri tegak di tengah jalan.

Orang itu memakai semacam jubah atau gaun panjang sampai ke tanah, pakaiannya itu berwarna gelap, entah hitam atau biru, rambutnya panjang awut-awutan. Karena suasana malam yang sangat gelap dan  penerangan yang sangat minim, aku jadi tidak bisa melihat wajahnya. Tapi seingatku tidak ada satu pun tetanggaku yang berciri seperti itu. Baru kusadari kalau tiupan angin kencang tadi telah berhenti secara tiba-tiba.

"Siapa kamu?" kataku mencoba mencari tahu.

"Hi hi hi…" lagi-lagi sosok itu cuma tertawa melengking.

Jadi ternyata orang inilah yang tadi tertawa hingga membuat Edi dan Jono lari terbirit-birit. Kalau mendengar dari suara tawanya yang melengking itu, aku yakin jika orang itu adalah perempuan, dan kini dia mulai bergerak perlahan mendekatiku, tapi saat kulihat ke arah kakinya, ternyata kaki itu tidak menapak tanah! 

Dia melayang satu jengkal di atas aspal jalan! Dari situ aku jadi tau kalau sosok yang berada di depanku itu bukanlah manusia, tapi sebangsa makhluk halus! Tanpa sadar kakiku melangkah mundur. Tapi ternyata sosok itu berhenti sejauh sekitar lima meter dariku. Bahkan dalam jarak segitu pun aku belum bisa melihat wajahnya. Kuambil sendalku dan bersiap untuk melemparkannya ke arah makhluk itu.

"Jangan mendekat!" teriakku.

"Hi hi hi…!" Makhluk itu kembali tertawa melengking.

"Apa maumu?!" tanyaku, "kenapa kau mencegatku disini?"

"Hi hi hi...!" lagi-lagi makhluk perempuan itu cuma tertawa melengking-lengking.

Tawa itu seakan mengejekku, malah bikin aku kesal saja, jadi aku sudah tidak mau bicara lagi. Kini makhluk itu melayang perlahan ke arahku. Dalam keremangan malam itu bisa kulihat kalo pakaiannya berwarna hitam. Tingginya sama dengan manusia, sekitar 175 cm. Bajunya berbentuk semacam baju kurung terusan yang panjang. Wajahnya berwarna sangat putih seperti diberi bedak sangat tebal, dan karena wajahnya yang putih itu aku jadi bisa melihat kalau mulutnya sangat lebar hingga mencapai telinga. 

Makhluk itu memiliki sepasang taring panjang, matanya cuma berupa rongga bolong hitam saja, dia nggak punya bola mata. Hidungnya tidak kelihatan jelas bentuknya. Rambutnya panjang awut-awutan. Aku nggak bisa melihat dengan jelas keseluruhan wajahnya, tapi masih bisa kulihat lelehan darah yang keluar dari rongga mata, hidung dan mulutnya.

Tanpa kukehendaki, bulu-bulu di kuduk dan ditanganku jadi meremang berdiri. Ada semacam tekanan yang sangat besar yang berasal dari makhluk itu, seperti sedang berjalan menentang hembusan angin yang sangat kuat. hingga membuatku jadi sangat tidak nyaman. 

Perasaan macam apa pula ini? Aku tidak merasa takut, tapi merasa sangat tertekan, dan anehnya, kenapa pula bulu kuduk bisa merinding hebat begini?! Aku malah jadi heran sendiri. Dari semua ciri-ciri yang kulihat itu, bisa kusimpulkan kalo makhluk halus itu berjenis kuntilanak, makhluk yang paling sering aku lihat. Tapi kenapa bajunya berwarna hitam?

Dia  terus melayang pelan mendekat ke arahku, kini jarak kami cuma terpaut tiga meter. Dan perasaan tertekan itu jadi jauh lebih kuat lagi, aku seperti sedang ditekan oleh sebuah tembok yang tidak kelihatan, hingga membuat kepalaku jadi pusing dan perut jadi mual secara tiba-tiba. Kata hatiku mengatakan jika aku harus menjauh darinya, sepertinya makhluk ini berbahaya. Maka aku pun mundur lebih jauh lagi.

Tapi ternyata makhluk perempuan itu pun ikut maju, hingga jarak kami jadi tetap sama. Tekanan dari makhluk itu semakin terasa sangat kuat, bahkan kini bisa kurasakan seperti ada suatu hawa panas menyengat, tapi di kejap berikutnya, hawa itu langsung berubah jadi sangat dingin, dan kemudian hawa itu balik lagi menjadi panas, begitu seterusnya hingga aku jadi merasa meriang panas dingin.

Aku benar-benar heran dibuatnya, makhluk perempuan itu berbeda dengan makhluk halus yang selama ini sering kujumpa. Aku belum pernah menemui makhluk halus semacam ini. Dan kini dia mulai berbicara, suaranya terdengar seperti datang dari kejauhan. Dan anehnya, suaranya lembut dan merdu. Sungguh aneh, makhluk dengan wujud mengerikan begini bisa bersuara sedemikian lembut dan merdu. Dia menjawab pertanyaanku tadi.

"Namaku Salma. Aku adalah bangsa jin, biasanya menampakkan diri dengan wujud yang disebut manusia sebagai kuntilanak hitam."

"Mana ada kuntilanak hitam? Dimana-mana yang namanya kuntilanak itu putih atau merah! Jangan dusta kamu!" kataku membantah.

"Aku tidak berdusta. Aku memang kuntilanak hitam. Tidak banyak dari jenisku. Jarang sekali. Mungkin kamu belum pernah melihat yang sepertiku."

Aku jadi berpikir, benar juga, mungkin memang aku yang belum pernah melihat. Orang-orang mungkin juga belum pernah melihatnya. Tapi sudahlah, nggak penting untuk diketahui.

"Lalu kenapa kamu mencegat aku dan teman-temanku?" tanyaku.

"Sudah lama aku mengikutimu dan mengamatimu. Aku suka dengan auramu…."

"Aura itu apa? Aku nggak punya aura!" bantahku, meskipun aku nggak ngerti.

"Semua orang punya aura. Dan auramu itu putih biru, sejuk... membuatku nyaman. Bolehkah aku ikut denganmu?"

"Tidak boleh!" jawabku cepat.

"Kenapa?" tanya dia.

"Aku takut... eh tidak, aku kuatir…," jawabku.

"Kamu takut denganku?"

"Tidak! Aku takut kamu akan mencelakakanku, aku takut kamu mengganggu keluarga dan teman-temanku. Dan satu hal yang penting, aku takut kamu akan membuat aku jadi jahat. Pokoknya tidak boleh!"

Aku nekat bilang seperti itu karena aku ingat perkataan guru agamaku yang bilang kalau manusia meminta sesuatu kepada jin, maka dia termasuk syirik, dan itu adalah dosa yang tak terampuni. Dan kalau manusia sampai tergoda bujuk rayu jin, maka lambat laun dia akan terpengaruh menjadi jahat.

"Ya, sudahlah… tapi boleh 'kan kalau aku mengikutimu dari jauh?"

"Buat apa?" tanyaku.

"Untuk membantumu kalau kamu dalam bahaya?"

"Bahaya apa? Aku belum pernah merasa dalam keadaan bahaya…," kataku. 

"Anak sepertimu pasti akan banyak yang mengganggu, mungkin saat ini belum… tapi nanti pasti akan ada banyak gangguan."

"Terserahlah! Asal jangan dekat-dekat, dan jangan mengganggu keluargaku, juga teman-temanku. Dan yang penting aku tidak minta sesuatu darimu, dan tidak meminta bantuanmu!"  kataku dengan ketus.

"Terimakasih... itu sudah cukup buatku. Kalau begitu terimalah ini… sebagai hadiah dariku." katanya sambil mengulurkan tangan.

Entah darimana asalnya, tahu-tahu saja dia sudah memegang sesuatu yang ternyata adalah sebentuk cincin berwarna putih dengan mata batu berwarna merah terang. Batu merah itu sebesar kacang tanah. Harus kuakui kalau cincin itu memang bagus.

"Cincin apa ini?" tanyaku

"Ini cuma cincin biasa, tidak ada apa-apanya...."

"Tapi aku nggak suka menyimpan benda-benda seperti itu!" tukasku.

"Aku mohon terimalah... ini cuma perhiasan, anggaplah sebagai kenang-kenangan dariku...."

Setelah berpikir sejenak, akhirnya kuterima juga cincin itu. Kuanggap sebagai cincin biasa, cuma seperti perhiasan saja. Lagi pula bentuknya juga sangat indah. 

"Baiklah, aku harus pergi… tapi aku akan selalu berada di sekitarmu.. Aku akan muncul kalau kamu dalam bahaya…," kata makhluk itu.

"Terserah, lah... Kamu udah mengganggu perjalananku... nanti aku pasti kemalaman sampai rumah!"

"Maafkan aku yang telah membuatmu kemalaman… Ada satu hal lagi yang ingin kuberitahukan padamu.." kata makhluk perempuan itu.

"Apa itu?" tanyaku. "Cepatlah!! Keburu malam!"

"Sebenarnya kamu adalah anak istimewa, anak yang diberi kelebihan hingga bisa melihat dan merasakan makhluk-makhluk sepertiku… dan nantinya kelebihanmu menjadi semakin kuat setelah pertemuan ini. Aku pergi sekarang… kita akan jumpa lagi."

Dia menghilang begitu saja dari hadapanku. Aku masih diam di tempat, mencoba mencerna apa yang terjadi barusan. Apakah ini adalah kenyataan? Atau cuma halusinasiku saja? Tapi makhluk itu bilang sudah lama mengamatiku tanpa kuketahui, berarti sudah sejak lama  dia tau tentang aku.

Lalu aku ingat kata-katanya. Aku punya kelebihan? Kelebihan apanya? Apakah dengan bisa melihat makhluk halus itu adalah suatu kelebihan? Kutukan malah iya! Menjadi manusia nggak normal kok diberi kelebihan, istimewa katanya. Istimewa dari mana? Malah kalau bisa, aku memilih nggak diberi kelebihan, aku memilih nggak menjadi istimewa. Ditambah lagi, katanya setelah pertemuan ini, maka kelebihan itu akan menjadi bertambah kuat. Entah bagaimana jadinya nanti, aku tidak bisa membayangkannya.

Itulah pertama kali aku berinteraksi dan menanggapi makhluk halus. Entah kenapa saat itu kok ya mau-maunya menanggapi. Aku seperti terhipnotis oleh suaranya, hingga jadi mau berbicara dengan dia. Tapi kemudian kuputuskan untuk melupakannya, kuanggap sama seperti keseharianku yang selalu melihat makhluk semacam itu. Kulangkahkan kaki lagi menyusuri jalan kampung yang telah sepi itu untuk pulang ke rumah.

BERSAMBUNG
close