Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUMBAL TALI PERAWAN (Part 1) - Kematian Tragis


Kematian Tragis

Langkah cepat pria paruh baya itu membuat siapa saja yang melihatnya akan begitu penasaran, ada apakah gerangan?, sampai sang Kepala Desa terlihat buru-buru di waktu yang bahkan sinar mentaripun belum memunculkan cahayanya...

Prianto seorang laki-laki paruh baya yang baru saja menjabat sebagai Kepala Desa selama 3 bulan, sudah dihadapkan dengan masalah yang cukup pelik.

Tok... tok... tok...

“Assalamualaikum,....Pak Kades...Pak... Pak Kades...” terdengar suara seorang laki-laki yang mengetuk pintu rumahnya dengan buru-buru.

Ada sedikit rasa jengkel karena selain matahari juga belum menunjukan wajahnya, suara itu membuyarkan lamunan bahagia ketika dia terpilih menjadi orang nomor 1 diwilayahnya.

Segera dia beranjak menuju pintu depan untuk melihat siapakah gerangan yang sudah mengganggunya sepagi ini.
“Waalaikumsalam” ucap Prianto sambil membuka pintu rumah.
“Ada apa?, pagi-pagi kok sudah ribut seperti ini” tegur Prianto kepada warganya itu.

“Pak... buruan pak, itu...” ucap laki-laki itu tidak jelas.

“Ada apa?” sekali lagi Prianto bertanya, orang yang didepannya itu terlihat begitu panik.

“Itu pak, ada yang gantung diri” ucapnya sambil menunjuk nunjuk arah belakangnnya.

Prianto terdiam,
“Siapa yang gantung diri? Jangan bercanda kamu” ujarnya masih tidak percaya dengan kata-kata warganya tersebut.

“Itu Pak, ayooo...” Mendengar hal itu, lantas Prianto buru-buru masuk ke dalam rumah memberitahu istrinya apa yang sedang terjadi dan segera pergi ke tempat kejadian.

Sesampainya Prianto dilokasi kejadian, benar saja sudah banyak orang yang bergerombol didepan salah satu rumah.

“Pak Kades...” ucap salah seorang warga yang melihat kedatangannya. Buru-buru warga menyingkir untuk memberikan jalan kepada kepala desanya itu.

“Astaugfirulloh, panggil polisi sekarang” pekik Prianto, saat melihat kondisi jasad warganya.

Tubuh wanita itu tergantung namun tidak selayaknya orang yang melakukan bunuh diri. Kondisinya benar-bener memprihatinkan, tampak darah masih mengalir dari pangkal kedua kakinya.

Dengan kondisinya seperti itu, membuat darah menetes hingga menjadikan sebuah genangan kecil dibawahnya. Saat mata Prianto mengikuti arah tetesan darah.

Betapa terkejudnya dia, segumpal daging berbentuk manusia sebesar kepalan tangan, jatuh persis diantara kedua kaki jasad wanita itu.

“Sudah siap semua? Barang-barang sudah di cek?” tanya Sinta kepada anak laki-lakinya.

“Bu, Adit uda 24 tahun lo” keluh laki-laki yang tengah sibuk memasukkan beberapa baju dan keperluannya disebuah tas keril besar.

“Ya memang kenapa kalau kamu sudah 24 taun, kamu tetap anak ibu lo Dit!!!” ucap Sinta sedikit bawel.

Adit tidak menjawab Sinta dan meneruskan kegiatannya. Ibunya ini memang terlalu bawel, ada saja yang dikeluhkannya. Tapi jauh dari itu semua, dia merupakan sosok wanita penyayang yang selalu menjadi tameng untuk anak-anaknya.

“Kamu yakin Dit, mau pindah ke Jawa?” tanya Sinta.

“Bukan pindah Bu, kan cuma liburan sebentar, sambil cari suasana baru. Tapi kalau dapat kerjaan disana juga gapapa, kan?” jawab Adit tersenyum. Sinta yang mendengar itu menggelengkan kepalanya tidak setuju.

Bagi Adit, Ibunya itu berlebihan. Dirinya hanya berniat liburan ke rumah Neneknya untuk beberapa waktu. Tetapi malah justru Sinta berfikir kalau Adit mau menetap dan tinggal lama disana.

Padahal Adit melakukan itu semua agar dia tidak terus menerus teringat dengan Dinda, mantan kekasihnya yang tiba-tiba saja pergi meninggalkannya disaat semua persiapan pernikahan sudah hampir selesai.

Awalnya memang Ibunya tidak setuju dengan permintaan Adit. Akan tetapi karena dia terus memaksa, dan ayahnya Gunawan juga sudah memberikan ijin. Mau tidak mau Sinta juga mengijinkan Adit untuk pergi kerumah Neneknya yang ada di Jawa Tengah.

Tidak mau berdebat, Adit buru-buru mendatangi adik perempuannya yang tengah bermain diruang tengah.
“Abang beneran mau pergi?” ucap Nisa sambil memeluk bonekanya,

“Iya, Abang cuma sebentar kok” jawab adit sambil mencubit pipi Nisa dengan gemas.

“Dit, sudah jam 8 kamu berangkat jam berapa?” terdengar suara ibunya yang masih berada di kamar Adit. Adit beranjak dan menuju kamar untuk mengambil barang-barang yang akan dibawanya. Didalam kamar, Sinta masih mengecek beberapa perlengkapan milik Adit.

“Kamu, hati-hati disana. Jangan macam-macam ikuti saja budaya yang ada. Ibu juga berasal dari Jawa. Disana masih banyak kegiatan budaya yang dilakukan secara sakral.

Apalagi tempat yang kamu datangi itu masih termasuk kental sama adat dan budayanya” ucap Sinta sambil memeluk anak laki-lakinya.

“Iya Bu, Adit pergi dulu. Sampaikan ke Ayah ya. Ya walau tadi pagi Adit juga sudah pamitan” kata Adit sambil melepaskan pelukan ibunya.

Setelah berpamitan, segera Adit berjalan keluar rumah menuju terminal yang ada dikotanya.

***

Panas terik matahari mulai menyengat, bising suara kendaraan serta suara para penjual makanan dan minuman menambah keriuhan suasana terminal pagi itu. Adit sedari tadi sudah duduk disalah bangku ruang tunggu, tak henti dia menyeka keringat yang terus saja keluar di dahinya.

Sesekali dia mengecek jam untuk memastikan kalau dia tidak terlambat untuk masuk kedalam bus jurusannya.

Hampir saja Adit kehabisan tiket Bus yang sesuai dengan rute perjalannya. Untungnya masih ada agen yang memiliki satu tiket. Itupun dia tidak bisa memilih kursi, dengan terpaksa dia membeli tiket tersebut.

Memang beberapa kali ada orang yang menawari Adit tiket sesuai dengan jurusannya, tapi Adit memilih untuk berkeliling terlebih dahulu daripada harus mengeluarkan biaya 2 kali lipat dari harga normal.

“Mas, Bus nya mau berangkat... silahkan masuk kedalam...” ucap pegawai agen travel yang duduk tidak jauh dari Adit. Segera Adit berjalan menuju Bus yang akan membawanya ke Desa Renggono.

Melihat deret kursi, ternyata dia mendapatkan kursi dibagian tengah agak kebelang.
“Permisi mas” ucap Adit saat mencoba melewati seorang pria yang duduk di sebelah kursi miliknya. Laki-laki itu hanya tersenyum mempersilahkan Adit untuk lewat.

Sekarang disinilah Adit, duduk di bus yang sedang membawanya menuju rumah Neneknya yang hampir tidak pernah dia kunjungi.

Adit selalu melihat keluar jendela, pikirannya masih terus membayangkan sosok Dinda. Entah kenapa kenangan demi kenangan saat masih bersama Dinda selalu muncul di kepalanya.

Dinda orang yang dia percaya... Yang dia anggap bisa membuat kehidupannya menjadi sempurna. Tiba-tiba saja membatalkan pernikahan secara sepihak dan menghilang begitu saja.

Adit sudah mencari Dinda dengan berbagai cara tapi bagai ditelan Bumi, sosok wanita itu menghilang tanpa jejak. Bahkan Adit juga sempat mendatangi panti asuhan yang dulu menjadi tempat tinggal Dinda, tapi hasilnya nihil.

“Setidaknya mungkin dengan suasana baru aku bisa melupakanmu” batin Adit sambil tersenyum kecut.

“Mas, maaf apa bisa gordennya ditutup?” ucap penumpang disebelah Adit yang membuyarkan lamunannya.

“oh boleh mas” kata Adit sambil menarik gorden hingga menutupi kaca jendela.

“Saya Arif, kalau boleh tau mau kemana mas?” ucap Arif mencoba memulai pembicaraan.

“Ke kota ini mas... saya Adit” jawab Adit,

“Oh beda sedikit mas, saya ke kota sebelahnya. Ya mungkin hanya 30 menit naik motor” ucap Arif, mereka pun akhirnya ngobrol untuk mengurangi kepenatan.

***

Sudah beberapa jam bus berjalan menyusuri pantai utara menuju Jawa Tengah. Gemuruh guntur dan rintik air hujan membasuhi jendela bus yang Adit tumpangi.

Dinginnya Ac membuat tubuh Adit sedikit merasa tidak enak, padahal sedari tadi dia sudah mencoba menutup lubang Ac yang ada diatasnya.

“Kenapa mas?” tanya Arif saat melihat Adit seperti sedang menahan sakit.
“Gak tau mas, badan saya rasanya tiba-tiba ga enak, apa karena Ac ya?” jawab Adit sambil menggerakan badannya ke kanan dan kiri.

Sejenak Adit melihat Arif mengaduk-aduk tasnya, “minum in dulu mas, siapa tau bisa enakan” kata Arif, sambil memberikan sebungkus obat masuk angin cair ditangannya.

Awalnya Adit sedikit ragu untuk menerima makanan atau minuman dari orang asing. Tapi saat melihat sorot mata Arif, keraguan itu hilang. Segera Adit meminum obat tersebut.

Benar saja, badannya jauh lebih baik. Bahkan tanpa bisa Adit tahan, suara kentut terdengar dengan nyaringnya.

“Maaf mas” ucap Adit malu dan menyesal karena perbuatannya. Padahal dibelakang juga ada toilet yang bisa ia gunakan untuk buang angin.

“Iya mas, gak papa” ucap Arif tersenyum, walau sebenarnya Adit tau kalau dia sedang menahan tawa. Berbeda dengan orang yang ada di depan dan belakangnya, ada yang ngomel-ngomel dan juga ada yang tertawa karena suara kentut Adit.

Merasa malu, akhirnya Adit mencoba untuk tidur,
“Siapa tau waktu bangun aku sudah sampai Desa Renggono” batinnya.

“Bang... Bang Adit... bangun” terdengar suara lirih wanita yang jelas sekali Adit kenal. Tapi tidak mungkin wanita itu sekarang ada disini, satu bus besama dengannya.

“Bang Adit, bangun kebiasaan kalau tidur pasti ngorok...” sekali lagi suara itu terdengar ditelinga Adit.

Perlahan Adit membuka matanya. Benar saja, wanita yang selama ini ia cari berada dekat sekali dengannya.

“Dd—inda...? ini bener kamu?” ucap Adit sedikit keras,

“Kamu kemana aja Din, kenapa kamu pergi” lirih Adit, dia mencoba menyentuh pipi Dinda, terasa sekali kulit pipinya yang halus.
“Berarti ini bukan mimpi” batin Adit.

“Maaf mas Dinda harus pergi, mas sekarang pulang ya” ucap Dinda, sambil tersenyum. Sejurus kemudian Dinda langsung berdiri dan berlari menerjang jendela kaca yang ada disebrangnya.

Adit yang kaget langsung melompat berdiri. Terlihat tubuh Dinda separo masih didalam Bus, dan separonya lagi ada diluar. Bercak-bercak darah menyiprat ke kaca-kaca disekitarnya.

“Dindaa....” teriak Adit kaget dengan apa yang dia lihat....

“Mas... Bangun mas... bangun...” ucap Arif sambil mencoba membangunkan Adit yang terus mengigau dalam tidurnya.

Terbangun Adit langsung panik melihat jendela yang ada diseberang tempat tidurnya.
“Astagfirulloh, Astagfirulloh” ucapnya.

Ingatan tentang Dinda yang berlari menghantam kaca dan tersambar Bus yang berlawanan arah membuat jantung Adit berdebar dengan keras.

“Ini mas diminum dulu” kata Arif sambil memberikan sebotol air. Adit menerima air tersebut dan langsung meneguknya, tenggorokannya terasa begitu kering.

Baru beberapa detik saja, separo air minera itu sudah habis ditenggaknya.
“Maaf mas, airnya saya habiskan” ucap Adit saat melihat Arif sedang memperhatikannya lekat-lekat.

“Iya Mas, gapapa.” Ucap Arif tersenyum, tapi tetap saja Adit merasa ada yang aneh dengan tatapan Arif kali ini. Tegas, dalam dan seolah sedang marah akan hal yang Adit tidak tau.

“Maaf Mas, ada yang salah?” ucap Adit tidak tahan. Dia merasa tidak nyaman jika ada orang yang baru dia kenal merasa sakit hati dengan kelakuannya.

“Enggak mas, cuma saya sedikit tidak nyaman dengan wanita yang mengikutimu” ucap Arif, tanpa basa basi.

“Wanita?, wanita mana mas?” ucap Adit bingung.

“Maaf mas, sudah lupakan saja” kata Arif yang langsung berpaling dan menutupi mukanya dengan topi yang ia pakai.

Adit terdiam, dia masih kebingungan. Siapa wanita yang Arif maksudkan. Adit begitu penasaran dengan ucapan Arif. Memang akhir-akhir ini dia sering sekali memimpikan sosok Dinda.

Dia pikir mungkin dia memimpikan Dinda karena memikirkannya terus menerus. Karena takut nanti Arif bertambah tidak nyaman, Adit mengurungkan niatnya dan segera kembali memposisikan tubuhnya untuk kembali tertidur.

Beberapa saat kemudian terasa Bus berbelok, mereka berhenti di salah satu rest area untuk beristirahat dan makan sore. Arif langsung berdiri dan berjalan meninggalkan bus.

Sejenak Adit melihat dari kaca Busa kalau Arif berjalan menuju mushola. Tidak mau memikirkan lebih lanjut, toh mereka juga tidak saling kenal. Adit segera beranjak menuju rumah makan yang sudah disediakan.

“Boleh saya duduk disini mas?”. Mendongak, ternyata itu adalah Arif. “Boleh, silahkan” ucap Adit singkat, karena dirinya masih mengunyah makanan.

“Jadi kalau boleh tau, siapa wanita yang mengikuti saya mas?” tanya Adit saat mereka sudah sama-sama selesai makan.

“Oh itu, lupakan saja mas. Saya cerita juga belum tentu Mas Adit percaya” kata Arif tersenyum.
Adit masih terus menatap laki-laki yang ada didepannya. Namun karena tak kunjung mendapatkan jawaban dia akhirnya menyerah dan kembali mereka membicarakan hal-hal sepele.

***

Perjalanan dilanjutkan, akhirnya sebentar lagi mereka sampai ditempat tujuan. Untungnya hujan sudah berhenti sedari tadi. Nampak kenek Bus yang mulai membangunkan penumpang yang turun diterminal tersebut.

“Loh, turun diterminal ini juga mas?” tanya Adit heran karena tadi Arif bilang tujuannya adalah kota sebelah.

“Iya mas, nanti mau mampir ke tempat saudara dulu, sekalian mau nyekar ke makam orang tua” ucapnya tersenyum.

Mereka berdua akhirnya turun bersama diterminal kota itu. Adit melihat handphone miliknya, sudah banyak sekali notifikasi yang muncul, terutama dari Ibunya.

“Saya permisi dulu mas, sudah dijemput saudara” pamit Arif, yang dibalas Adit dengan anggukan dan senyuman.

Adit mengedarkan pandangannya, Terminal terlihat sunyi dan sepi. Hanya beberapa warung makan saja yang masih buka. Dia lupa tadi untuk mengabari Pakdhenya, karena itu dia harus menunggu kurang lebih 1 jam sampai Pakdhenya datang menjemput.

“Adit... Aditya kan?” ucap seorang laki-laki paruh baya, awalnya Adit tidak menyadari. Namun saat laki-laki itu menyebutkan namanya. Baru Adit sadar kalau itu adalah Pakdhenya. Pakdhe Marwanto, kakak kandung dari Ayahnya.

“Sudah besar kamu sekarang, terakhir Pakdhe liat masih SD” ucap Pakdhe Marwanto sambil menepuk pundak Adit.

“Iya Pakdhe, sudah lama ya, Pakdhe sehat?” ucap Adit

“Seperti yang kamu lihat, Pakdhe sehat. Yuk sekarang, Nenekmu pasti sudah menunggu” ajak Pakdhe menuju sepeda motornya.

Setelah Adit duduk di jok belakang dengan sedikit tidak nyaman karena tas yang dia bawa lumayan besar, mereka segera melaju menembus malam pekat berkabut.

Sepanjang perjalanan, Adit hanya mendapati beberapa sepeda motor yang berpapasan dengan mereka. Entah karena kondisi sehabis hujan atau memang kota ini sesepi ini. Padahal jam baru menunjukan pukul 8 malam.

“Rumah nenek masih jauh ya Pakdhe?” tanya Adit dengan sedikit mengeraskan suaranya.

“Enggak dit, sebentar lagi sampai” jawab Pakdhe.

Benar saja, tidak sampai 10 menit setelah melalui jalanan makadam, terlihat sebuah gapura kokoh yang bertuliskan Desa Renggono. Udara malam yang dingin, serta adanya kabut.

Membuat siluet rumah-rumah yang bercahaya temaran terlihat begitu mempesona... membuat Adit takjub. Desa Renggono memang terletak daerah tinggi, dibawah salah satu Gunung dengan ketinggian 3000 MDPL.

Tubuh Adit mulai terasa kaku, dia menyesal hanya memakai sweater tipis. Untungnya dari gapura sampai tempat tinggal Neneknya hanya memakan waktu sebentar.

Tibalah Adit, didepan bangunan yang lumayan cukup besar, bermodelkan rumah jaman kolonial khas dengan batu-batuan yang ditempel di dinding bagian bawah.

Terlihat Neneknya sudah menunggu mereka didepan teras,
“Assalamualaikum” ucap Pakdhe yang langsung mencium tangan wanita berusia senja itu.

“Waalaikumsalam, ini Adit? Wah kamu sudah besar ya le, ayo masuk diluar dingin” ajak Nenek setelah Adit mencium punggung tangannya.

Suasana dirumah Nenek tidak jauh berbeda saat terakhir kali Adit datang ke sini. Lukisan besar yang berada diruang tamu, menampilkan keluarga Ayahnya serta beberapa perabot yang Adit yakini sudah berumur tua.

“Nenek sehat?” tanya Adit saat mereka sudah duduk dapur, agar dekat dengan tunggu perapian.

“Alhamdulilah sehat, ini diminum dulu teh jahenya, pasti kamu kedinginan to?” ucap Nenek sambil menyorongkan secangkir teh jahe yang masih terlihat mengepul.

Karena memang dingin sekali, Adit langsung meminum teh tersebut, dan langsung menyemburkannya.

“Ya ditiup atau diaduk dulu to Mas, wong ya masih panas” ucap Nenek terkekeh, sedangkan Pakdhe tertawa melihat tingkah Adit.

Adit yang merasa malu, segera menaruh kembali cangkir tehnya dan segera menghidupkan sebatang rokok.

“Bapakmu sudah bilang sama nenek soal masalah kamu, sudah tidak usah dipikirkan. Nanti kamu bisa cari kesibukan lain disini” kata Nenek sambil tersenyum.

Adit yang tidak siap dengan pernyataan yang dilontarkan Neneknya, hanya bisa mengangguk dan mengiyakan.

Setelah itu mereka hanya membicarakan dan menanyakan kabar satu sama lain. Sampai akhirnya karena malam semakin larut, Adit digiring oleh Neneknya untuk segera tidur. Kini ia menempati kamar bekas milik Ayahnya.

Kamar itu cukup luas, dengan model ranjang besi, yang tiap Adit bergerak pasti menimbulkan bunyi decit yang tidak mengenakkan.

Sedang di sekelilingnya juga masih terdapat kelambu, meja belajar pun masih sama saat ketika terakhir kali dia datang kesini. Namun karena dulu dia masih kecil jadinya tidak terlalu memperhatikan sekitar.

Sudah hampir 30 menit Adit mencoba untuk tertidur, tapi matanya tak kunjung terpejam. Dinginnya udara membuat tubuh Adit begitu kaku, dia belum terbiasa dengan cuaca ditempatnya saat ini.

Beranjak Adit berniat untuk membakar sebatang rokok, dibukanya jendela kamar. Suasana benar benar sepi, namun itu wajar karena jam juga sudah menunjukan pukul 11 malam.

Menit demi menit, hisapan demi hisapan sudah berlalu. Akan tetapi Adit juga tak kunjung merasa mengantuk. Dia bangkit, membuka pintu kamarnya berniat membuat secangkir kopi.

Percuma saja dia memaksakan untuk tidur, mungkin karena sudah berjam-jam dia tidur didalam bus, jadi malam ini matanya menjadi begitu segar.

Baru saja Adit melangkah menuju dapur, dia dikagetkan oleh banyangan wanita yang keluar rumah melalui pintu dapur milik Neneknya.
“Mungkin Budhe, tapi ngapain malam-malam gini keluar rumah” batin Adit.

Berfikir itu bukan urusannya, Adit segera membuat kopi dan kembali kedalam kamar. Memang tadi saat Adit datang, Budhe Ijah masih ada didalam kamar, kata Pakdhe badannya sedang tidak enak.

***

Pagi sudah datang, sinar matahari menyorot langsung mengenai wajah Adit yang bersumber dari jendela, sedikit heran siapa yang membuka jendela kamarnya, dia ingat betul saat sebelum tidur dia sudah menutup jendela itu.

“Dit, sini sarapan dulu...” ucap Pakdhe yang sudah duduk di amben yang sekaligus dijadikan tempat makan. Didepannya sudah tersaji berbagai macam masakan dan lauk pauk, serta seteko kopi panas.

“Wah Adit uda besar ya? Maaf ya semalam Budhe engga enak badan” ucap Budhe Ijah yang duduk disebelah suaminya.

“Gapapa Budhe, Nenek kemana?” tanya Adit karena tidak melihat keberadaan Neneknya.

“Kalau jam segini nenek masih jalan-jalan pagi Dit, biasanya nanti agak siang baru sampai rumah” Jawab Budhe Ijah, sambil menuangkan secangkir kopi untuk Adit.

“Hari ini kamu mau dirumah atau mau ikut Pakdhe ke kebun?” tanya Pakdhe, yang masih mengunyah singkong rebusnya.

“Belum tau Pakdhe, tapi sepertinya mau dirumah dulu. Baru kalau mau jalan-jalan mungkin sorean aja” ucap Adit sambil menghembuskan asap rokok.

“Oh iya tadi Nenek pesen, disini masih kental sama adat budaya. Sama kamu jangan main-main terlalu masuk kedalam hutan” ucap Pakdhe.

“Memangnya budaya seperti apa Pakdhe?” tanya Adit penasaran.

“Ya, masih ada beberapa warga yang sering menaruh sesajen ditempat-tempat tertentu, nanti kamu juga tahu sendiri. Kalau hutan ya jelas, bisa hilang kamu” jelas Pakdhe, yang kini juga sudah membakar rokoknya.

Pagi itu Adit lalui dengan bersantai didalam kamar, sesekali memang dia keluar rumah hanya untuk sekedar berkeliling.

“Dit, ngapain kamu disitu” panggil Nenek dari arah depan rumah, saat itu Adit sedang berjongkong di bawah pohon mangga.

“Eh, gapapa nek lagi liat-liat sekitar rumah” jawab Adit sambil buru-buru mendatangi Neneknya.

“Kamu itu sudah besar kok aneh-aneh, nanti anterin Nenek ya” kata Nenek.

“Kemana Nek?” tanya Adit sambil meminta barang-barang bawaan Nenek yang cukup banyak.

“Kerumah Mbok Sarmin, ngasihin sembako itu” ujar Nenek sambil menunjukan beberapa bungkusan plastik yang tadi ia bawa.

Waktu berlalu dengan cepat, sore sudah menjelang. Baru saja kumandang adzan Ashar terdengar.

“Dit, anterin Nenek sekarang ya, kalau nunggu Pakdhe mu ya bakalan nanti habis Maghrib”

“Iya Nek, sebentar Adit ganti celana dulu”. Setelah Adit berganti pakaian mereka langsung berjalan menuju rumah Mbok Sarmin.

Adit sendiri tidak tau siapa Mbok Sarmin itu, hingga neneknya bercerita kalau Mbok Sarmin itu dulu temannya. Dia hanya tinggal berdua dengan anak perempuan yang sudah seumuran dengan Adit, suaminya sudah lama meninggal.

“Tadi Pakdhemu sudah kasih tau? soal adat yang ada di Desa ini?” tanya Nenek saat berjalan menuju rumah Mbok Sarmin.

“Sudah Nek, memang disini masih sering pake sesajen?” tanya Adit penasaran.

“Ya dimanapun juga ada yang seperti itu, cuma Nenek tidak mau kalau ada apa-apa sama kamu. Mendingan kamu hindari orang-orang seperti itu, cukup beribadah yang sesuai” jelas Neneknya. Mengerti Adit tersenyum dan mengangguk.
“Itu rumahnya” tunjuk Nenek.

Mengikuti arah yang ditunjuk Nenek, Adit melihat sebuah rumah semi kayu yang tampaknya sudah hampir mau rubuh, sepertinya rumah itu sudah lama sekali berdiri.

Atap genting terlihat kusam, dinding bata hanya separo kebawah. Kayu kayunya pun sudah lapuk, serta lantainya masih berupa tanah.

“Assalamualaikum Sar, Sarmin” salam Nenek, tidak berselang lama... pintu rumah dibuka oleh seorang wanita muda, berambut panjang sampai ke pinggang, berwarna sedikit kecoklatan.

Wanita itu menggunakan pakaian yang sudah terlihat kusam. Adit pikir sebenarnya wanita itu manis, namun karena keterbatasannya jadi mungkin tidak sempat untuk merawat diri.

“Waalaikum salam, Nek Harjo. Silahkan masuk” ucap lembut gadis yang bernama Ningrum, Adit mengetahui ini karena tadi Neneknya sudah bercerita dan memberitahu nama-nama penghuni rumah tersebut.

“Ibumu kemana? Ini bawa masuk dulu” ucap Nenek langsung mengambil bungkusan kresek yang ada ditangan Adit dan menyerahkan kepada Ningrum.
“Aduh, makasih Nek, sebentar saya panggilkan Simbok”

“Hush, kenapa bengong gitu, kesambet nanti” ucap Nenek sambil sedikit menampar lengan kanan Adit. Belum sempat Adit menjawab, keluar seorang wanita yang sudah berumur.

“Kamu to Har, sini masuk. La ini siapa kok ga pernah lihat?” Ucap wanita yang Adit ketahui itu adalah Mbok Sarmin.

“Cucuku Sar, baru datang kemarin” kata Nenek. Akhirnya mereka berempat berbincang, saling melemparkan pertanyaan. Hingga Adit yang sudah merasa bosan dengan cerita masa lalu Neneknya dan Mbok Sarmin. Pamit keluar untuk merokok.

Saat didalam tadi, sebenarnya Adit menyadari kalau Ningrum sering kali mencuri-curi pandang kearahnya. Tapi Adit sendiri tidak terlalu peduli. Dia kesini bukan untuk mencari wanita.

Sejenak Adit memperhatikan kearah menuju hutan. Dilihatnya ada beberapa orang yang sedang berjalan membawa tampah menuju rimbunan pohon.

“Mas, ditunggu didalam. Makan dulu” terdengar suara Ningrum yang membuat Adit tersentak kaget.

“Itu kalau disana ada apa Rum?” tanya Adit. Mengikuti arah yang ditunjuk oleh Adit, Ningrum tidak menjawab hanya tersenyum dan menggeleng.

***

“Nenek sering kasian sama si Sarmin, sudah tua hidupnya juga tak kunjung berubah. Dulu Ningrum juga pernah mau pergi ke kota. Untung dia tau kalau orang yang mengajaknya itu ternyata ingin menjualnya.

Jadi dia tidak diperbolehkan lagi sama Ibunya untuk bekerja jauh dari Desa ini. Yah mentok jadi buruh cuci dan bantu-bantu di ladang. Karena memang dia tidak sekolah” jelas Nenek yang menangkap rasa penasaran Adit sedari tadi.

“Yok pulang, uda mau magrib” Ajak nenek mempercepat langkah kakinya. Jalanan Desa begitu sepi, padahal Adzan magrib juga belum berkumandang.

Beberapa kali Adit menengok didepan rumah warga, dia melihat ada tampah dengan beberapa bunga dan kopi hitam diatasnya.

“Sudah tidak usah diperhatikan, itu urusan mereka” ucap Nenek sambil memegangi tangan Adit agar segera berjalan lebih cepat.
“Aneh” batin Adit.

Tidak terasa mereka sudah sampai, dilihatnya Pakdhe dan Budhe juga sedang duduk di teras rumah.
“Darimana bu? Kok tumben sore-sore?” tanya Pakdhe,

“Tadi dari rumah Mbok Sarmin, nganterin sembako sama Adit” ucap Nenek yang langsung masuk kedalam rumah. Sedang Adit justru malah ikut duduk bersama Pakdhe dan Budhenya.

“Warga disini memang biasa taruh sesajen didepan rumah ya Pakdhe?” tanya Adit.
“Memangnya kamu lihat dimana Dit?”

“Tadi pas dirumah Mbok Sarmin, ada orang-orang yang masuk kedalam hutan membawa tampah, dan pas pulang beberapa kali Adit lihat didepan rumah warga, ada tampah yang sepertinya berisi sesajen” jelas Adit.

Terlihat raut muka Pakdhenya tiba-tiba sedikit berubah,
“Sudah biasa itu disini, biarin aja” jawabnya mencoba acuh dengan pertanyaan Adit. Merasa tidak mendapatkan jawaban Adit pamit untuk masuk ke dalam rumah.

Malam sudah menjelang, sudah berbatang-batang rokok Adit hisap. Pikirannya kembali mengingat Dinda, walau dia sudah jauh dari kota itu. Tetap saja bayangan tentang sosok Dinda masih terus terngiang dikepalanya.

Kreeeekkk... terdengar pintu yang terbuka.
“Siapa malam-malam keluar rumah” batin Adit penasaran. Sontak dia langsung menutup jendelanya dan berjalan menuju arah dapur.

Benar saja, pintu tidak terkunci. Sejenak Adit bimbang, namun karena rasa penasarannya yang tinggi dibukalah pintu tersebut.

“Ngapain kamu Dit” ucap suara wanita persis dibelakang Adit. Adit langsung melompat karena kaget. Budhe Ijah sudah berdiri dibelakangnya, menggunakan baju yang sama dengan apa yang Adit lihat barusan.

“Ehh ini Budhe tadi Adit ke toilet terus pintunya terbuka, makannya Adit tutup” ucap Adit beralasan. Mengangguk kemudian Budhenya berjalan menuju kamar mandi.

“Aneh, bukannya tadi yang berjalan keluar itu Budhenya?” batin Adit, dia tidak mungkin salah orang. Perawakan, baju dan tingginya pun hampir sama.

Tidak mau memikirkan terlalu jauh, Adit kembali ke kamar dan langsung merebahkan badannya. Pikirannya terus berputar mengingat Dinda, sajen dan kejadian yang barusan dia alami.

“Dinda? Kamu ngapain disini?” ucap Adit saat mendapati Dinda sudah duduk ditepian kasurnya.

“Maaf mas Dinda harus pergi, mas sekarang pulang ya” ucap Dinda, sambil tersenyum.

Tersentak Adit terbangun, kembali ia memimpikan sosok Dinda.
“Ada apa sebenarnya Din” batin Adit, Ucapan Dinda dalam mimpimnya barusan sama persis waktu Adit memimpikannya saat berada di dalam Bus.

Terngiang-ngiang segera Adit mengambil handphone dan menanyakan apakah dirumah baik-baik saja. Tapi karena memang jam sudah menunjukan pukul 1 pagi. Pasti semua orang disana juga sudah tertidur.

***

Pagi hari, Adit dikagetkan dengan suara ketukan pintu yang cukup keras. Pakdhe membangunkan Adit dan memberitahunya kalau Ningrum anak dari Mbok Sarmin meninggal dunia. Adit yang mengetahui hal itu langsung buru-buru berdiri dan keluar ruangan.

Adit benar-benar terkejut mendengar berita kematian Ningrum, padahal baru sore kemarin mereka bertemu dan berbincang satu sama lain. Baginya tidak ada yang aneh dengan Ningrum. Hanya sesekali dia terlihat melamun.

Nenek sudah pergi ke rumah Mbok Sarmin, Adit sebenarnya diminta untuk tinggal dirumah. Akan tetapi Adit penasaran dengan penyebab kematian Ningrum, sekalian mengucapkan belasungkawa kepada Mbok Sarmin.

“Kalau sudah disana jangan jauh jauh dari Pakdhe” ucap Pakdhe tegas, Adit tau karena memang dirinya orang baru disini. Sesampainya di rumah Mbok Sarmin benar saja, sudah banyak orang yang berkumpul dibagian samping rumah.

Pakdhe yang merupakan salah satu orang yang disegani di Desa tersebut langsung menyeruak diantara kerumunan. Terdengar jelas tangisan pilu dari Mbok Sarmin, dilihatnya juga Nenek tengah berjongkok sambil memeluk menenangkan wanita tua itu.

Baru saja Adit mau melangkah, tubuhnya menabrak Pakdhe yang tiba-tiba saja berhenti.
“Astagfirulloh.... Astagfirulloh.... Astagfirulloh....” ucap Pakdhe. Adit langsung melihat kedepan. Betapa kagetnya dia, tubuh Ningrum tergantung di kasau dapur rumahnya.

Jasadnya begitu mengerikan, anehnya ada tetesan darah yang mengalir dari sela-sela pahanya dan terus menetes kebawah. Ketika Adit melihat arah tetesan darah itu, dia bertambah kaget.

Ada sebuah benda merah, sebesar kepalan tangan manusia, jelas sekali bentuknya mirip manusia yang sedang meringkuk.
“Janin?” batin Adit shock.

“Pak Kades...” ucap salah seorang warga yang melihat kedatangannya. Buru-buru Adit beserta warga sekitar menyingkir untuk memberikan jalan.

“Astaugfirulloh, panggil polisi sekarang” Pekik Pak Kades keras.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close