Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 84)


Aku bersama Muk, Lak, dan Kik baru tiba di gunung Dempu. Waktu sudah menunjukkan tengah malam. Alam puncak Dempu terasa bersih. Suasana dusun nampak ramai. Ada janur di pasang pada sisi jalan. Nampaknya ada yang tengah mengadakan hajatan. Melihat janur yang menguntai, pertanda ada yang “bebunting”. Dari kejauhan aku melihat banyak ‘kerbai muda’ tengah berbincang-bincang di bawah rumah panggung. Melihat asap mengepul di bawah ‘tadah embun’ rumah panggung, pahamlah aku, jika mereka tengah masak-masak.

Suara lesung bertalu-talu saling kejar dengan suara para ‘kerbai’ yang riuh. Di bagian lain, ada kelompok yang tengah mengupas dan membelah kelapa, lalu dengan lincah mengukurnya. Tangan-tangan mereka sangat lincah memutar-mutar kelapa memisahkan daging dari kulitnya sambil duduk di atas kukuran yang memang telah dirancang sedemikian rupa. Kepala mereka mengangguk-angguk seirama gerakan tangan yang menggenggam dan memutar-mutar kelapa.

Di sisi lain, kulihat banyak lelaki muda yang membantu mengumpulkan kayu bakar. Kayu yang akan dipakai oleh para kerbai, untuk memasak berbagai masakan. Biasanya ada ‘panggung’ yang akan memimpin masak-memasak, dan penentu menu masakan sesuai hari. Panggung itu julukan untuk pemandu atau orang yang dipercaya memimpin persiapan menjamu tamu selama hajatan. Biasanya panggung ini akan dibantu oleh beberapa orang. Ada khusus memasak lauk-pauk, ada khusus memasak kue kering, ada yang khusus membuat berbagai macam bolu. Termasuk juga masak dodol, atau ndodol. Beberapa tungku yang dengan cara melubangi tanah, berderet. Di tata sedemikian rupa agar mudah memasukkan kayu bakar.

Kami berempat terus berjalan melintas di depan rumah yang akan bagok’an. Beberapa orang mengejar dan menyapa kami mengajak singgah. Sikap ramah-tamah cara kampung Besemah ketika melihat ada orang yang melintas. Aku tersenyum menerima keramahannya. Kusampaikan jika aku harus segera bersua dengan Puyang Pekik Nyaring, karena masih akan melanjutkan perjalanan ke ulu laut. Maksudnya ulu laut itu Bengkulu, yang letaknya di balik gunung Dempu. Akhirnya mereka mengalah, sambil menyalami kami berempat.

Sebelum pergi sekilas aku bertanya siapa yang akan menikah? Dan dengan orang mana? Mereka menjawab gadis dusun ini akan menikah dengan bujang Tanjung Sakti. Aku membatin, Tanjung Sakti adalah dusun yang terletak di sisi utara gunung Dempu. Sisi kanan Merapi. Melihat kesibukan di dusun ini, bisa dipastikan jika hari ini ‘depatkah’ bunting, maka dusun Tanjung Sakti akan berduka. Karena ada anak bujang meninggal secara kasat mata. Sementara di sini, orang ramai menyambut dan merayakannya. Sebuah siklus kehidupan yang hingga kini tidak kudapatkan jawabannya. Aku tidak berani menguaknya. Mengapa harus seperti ini, kecuali jawaban ‘semua sudah takdir’.

Akhirnya kami terus menuju sisi Merapi menyisir jalan mulus yang tertatah . Kampung menuju istana Puyang Pekik Nyaring rapi dan bersih seperti dulu. Beberapa penduduk menyapa ramah menongolkan kepala dari jendela rumah, mengajak kami untuk singgah. Berkali-kali pula aku berusaha menolaknya.

Di tengah perjalanan, sesekali tiga nenek gunung yang mendampingiku bercanda sambil mereka masih asyik membicarakan kehidupan di Timur Laut Banyuwangi, jelas sedikit banyak berbeda dengan suku Besemah. Rupanya perbedaan ini menjadi perhatian tiga nenek gunung gunung ini.

“Kamu bisa menyesuaikan diri, Putri Selasih? Di sana kamu Ratu, memimpin sebuah kerajaan. Di sini kamu wanita sederhana yang disayangi para leluhur. Adat istiadat berbeda, bahkan bahasa pun berbeda. Tapi kamu bisa membawa diri bahkan bisa menghimpun mereka” Ujar Paman Muk serius. Aku tertawa menatapnya. Dia lupa kalau aku manusia, bukan manusia harimau seperti mereka. Tentu kehidupan sosial lebih banyak mengajarkan aku bergaul dengan berbagai suku bangsa, dan ratusan budaya. Berbeda dengan kehidupan alam gaib, kehidupan mereka berkoloni, jika tidak sepaham dan sealiran, mereka tidak ingin saling tahu. Mereka lebih tertutup dibandingkan dengan kehidupan manusia. Cara bersosial mereka berbeda dengan bangsa manusia. Apalagi jika mereka sudah berbudaya. Maka mereka sangat hati-hati sekali menjaga dan memeliharanya. Prinsip itu pula yang kuterapkan di Timur Laut Banyuwangi. Aku tidak ingin terjadi benturan hanya karena ambisi kekuasaan.

“Bangsa manusia lebih mudah menyesuaikan diri dengan keadaan, Paman. Dengan pendekatan ternyata tidak menimbulkan kesulitan untuk menanamkan satu pemahaman. Pendekatan dengan hati nurani, lalu menanamkan cinta dan kesetian pada leluhur, adat, dan sebagainya, ternyata dengan mudah bisa diterima. Prinsip itulah yang kami pakai di Timur Laut Banyuwangi” Ujarku.

Ketika sampai di pintu gerbang, kami disambut perempuan setengah baya yang langsung membuka pintu menuju ruang tengah tempat tinggal Puyang Pekik Nyaring. Belum sempat aku duduk Puyang Pekik Nyaring sudah muncul di balik pintu.

“Cung, bantu anak manusia di ulu kampung Empat. Dia disesatkan ke hilir. Penunggu luang yang menghadap Lintang sengaja menyesatkannya” Ujar Puyang Pekik Nyaring. Pahamlah aku yang dimaksud Puyang Pekik Nyaring, pasti pendaki. Tanpa sempat bersalaman lagi, aku langsung meluncur ke tempat yang dimaksud. Cukup lama aku mendeteksinya. Kabut di sisi kiri gunung Dempu ini tiba-tiba terasa sangat tebal. Angin seakan berpusar pada satu tempat. Aku mengamatinya dalam-dalam. Ketebalan kabut bukan karena alam. Kabut ini sengaja dibuat oleh makhluk astral untuk menutupi sosok anak manusia. Mereka akan membuat manusia itu mati kedinginan atau kelaparan. Aku langsung paham strategi makhluk jahat ini.

Huufff!
Allahu Akbar!
Aku menyibakkan kabut yang membawa hawa dingin itu. Ternyata aku mendapatkan perlawanan. Aku seperti menghantam dinding tebal dan alot. Pandangan sekeliling luang sisi gunung Dempu makin gelap.

Kabut yang tebal itu pada dasarnya adalah makhluk astral yang bertubuh besar. Kehebatannya adalah bisa mengubah dirinya seperti kabut yang bergulung-gulung. Menyadari aku yang menyingkirkannya, dia marah. Masih dalam bentuk kabut dia coba menyerangku. Aku tidak ambil diam. Kabut yang bergulung-gulung itu kuputar dengan badai lautku. Akibatnya dua kekuatan bergumul. Kutambahkan kekuatan gunung menghantam bumi. Tak lama suara gemuruh seakan meruntuhkan bebetauan ke jurang yang dalam. Kabut terus kugulung hingga berbentuk bola besar. Lalu sekuat tenaga kuhantam dengan kekuatan matahari. Kabut hancur berderai, pecah disapu angin. Suasana terang kembali. Aku menarik nafas lega dan bermaksud hendak turun ke dasar jurang.

“Jangan sombong kau cucu Adam. Kau kira bisa mengalahkan kami. Pergi dari sini. Kamu mengganggu saja” Tiba-tiba muncul sosok tinggi besar bertanduk. Kulitnya berwarna hijau lumut. Taringnya panjang sekali. Melihat kukunya yang panjang dan hitam, yakinlah aku,jika kuku-kuku itu adalah salah satu senjata andalannya. Demikian juga rambutnya yang kasar. Itu pun juga senjata.

Melihat sosoknya yang menantang, aku mulai waspada. Makhluk ini tidak main-main. Hawa mematikan terlihat dari gerak-geriknya.

“Jika kau masih mengganggu anak manusia, maka hari ini aku akan hancurkan kerajaan kalian. Akan aku musnakan kalian” Tantangku yang disambutnya dengan tawa menggelegar.

“Aku tahu siapa kamu, anak manusia. Kamu cucu para nenek gunung dan sekarang menjadi Ratu di seberang. Memimpin kerajaan bangsa kami. Tapi berhadapan padamu tidak akan membuatku gentar! Justru aku senang dapat berjumpa dengan Ratu cantik. Kau yang harus takhluk padaku. Menjadi budakku atau….” Makhluk satu ini menghentikan kata-katanya. Dia kembali tertawa lebar.

Hiiiiat!!
Aku mengirimkan pukulan untuk menyumpal mulutnya. Dia kembali tertawa terbahak-bahak. Pukulanku dapat ditangkisnya. Bahkan dia melangkah maju sambil membusungkan dada. Sikap menantangnya membuatku tak ingin berlama-lama.

“Kembalikan anak manusia itu. Kalian tidak punya hak untuk memilikinya” Ujarku sembari memasang kuda-kuda.

“Itu urusan kami. Kau yang tidak punya hak untuk turut campur” Jawabnya. Akhirnya tidak ada jalan lain, aku harus menundukkannya.

Sebenarnya makhluk ini pernah bertempur dengan nenek Kam dan Nenek Pagar Jaya. Hal itu terjadi beberapa tahun lalu. Pasalnya karena ada prajuritnya mengganggu bangsa manusia di dusun Pagarjaya. Dusun yang terletak di kaki gunung Dempu. Nenek Pagarjaya marah ketika itu. Beliau mengamuk menghancurkan istana raja jin fasik ini. Ketika kalah, makhluk ini berjanji tidak akan mengganggu anak cucu orang Pagarjaya lagi. Sejak itu golongan ini memang tidak ada yang mengganggu warga dusun. Tapi sekarang justru mengganggu para pendaki.

Belum selesai aku berpikir mengingat-ingat cerita Nenek Kam tentang makhluk astral ini, tiba-tiba dia melakukan penyerangan. Pukulan yang dikirimnya nyasar menghantam batu dan hancur. Tangannya yang berkuku panjang mencakar-cakar ke sana ke mari sesuai dengan kekuatan yang dimilikinya. Setiap angin yang berasal dari gerakannya seperti angin kencang yang mampu mendorong lawan. Kuakui tenaganya memang luar biasa. Wajar saja jika dia salah satu penguasa di jurang sisi Utara gunung Dempu ini.

Aku memutar ke belakang membuat jarak. Karena tidak ada tanah yang datar aku berdiri di ujung dahan.

“Pantas kau bernyalih, ternyata banyak juga isi perutmu” Ujarnya dengan suara berat. Maksudnya isi perut itu keilmuan yang kita miliki. Beliau memakai istilah yang sering diucapkan suku Besemah untuk merendahkan diri bahwa mereka tidak memiliki keilmuan apa-apa menggunakan istilah ‘isi perut’. Aku hanya diam saja sembari berusaha fokus pada gerakkannya.

Wusss!
Serangan tiba-tiba nyaris menyambar tubuhku jika aku tidak cepat berkelit. Angin membantuku menghindar ke sana ke mari.

“Jangan hanya menghindar saja anak manusia. Aku paling benci dapat lawan seperti ini. Perempuan, lalu tahunya hanya bisa berkelit” Ujarnya lagi. Akhirnya aku berdiri di pucuk kayu, lalu dengan sigap kukirimkan serangan tanpa henti. Aku sengaja tidak memberi kesempatan padanya untuk bergerak atau pun menggunakan jurus-jurus mautnya. Kini giliran dia berusaha menghindar namun gagal. Beberapa pukulanku telak mengenai tubuhnya. Tiba-tiba tubuhnya dibalut api. Dia mengeluarkan ilmu banaspati. Setelah aku tahu kelemahannya, kuhantam dirinya dengan pukulan api. Sekarang api bertemu api. Seketika alam yang gelap gulita berubah menjadi terang benderang. Pada satu kesempatan, aku berhasil menghancurkannya. Makhluk astral itu akhirnya kukalahkan.

Aku turun ke bawah jurang. Ternyata benar dugaanku. Seorang pendaki kulihat berwajah pucat tak berdaya bersandar di kayu kering. Kaki dan tangannya terikat. Ada mantra jahat yang melilitnya. Dia sengaja dipisahkan dengan kawan-kawannya oleh makhluk-makhluk astral di jurang yang berlumut ini.

Dasar jurang terasa lembab dan licin. Udaranya dingin sekali. Aku meningkatkan kewaspadaan. Bisa jadi aku mendapatkan serangan mendadak di sarang makhluk astral ini. Prajurit raja jin fasik yang baru kukalahkan pasti tidak tinggal diam.

Di sisi kiri kanan dan atas, aku melihat ada tiga makhluk seperti monyet menjaganya. Mengetahui aku datang, mereka marah dan langsung menyerangku. Apalagi mengetahui rajanya tewas olehku. Sosok pendaki ditutupnya dengan mantra-mantra. Maksudnya hendak meraibkan sosok anak manusia itu dari pandanganku. Mereka ahli sihir! Aku pura-pura tidak tahu. Padahal ilmu sihir meraibkan manusia mereka tidak mempan untukku.

Melihat kondisi pendaki, aku tidak ambil diam. Aku takut terlambat menyelamatkannya. Ketiga makhluk ini harus kulumpuhkan. Mereka memang penghuni bagian jurang dalam ini. Salah satu kelompok makhluk astral yang suka menyesatkan manusia. Pasukannya banyak sekali berkeliaran sepanjang lereng gunung. Kadang mereka mengubah dirinya menjadi seorang betapa berbaju panjang dan berjenggot, kadang menyamar seperti sosok manusia harimau. Mereka kerap kali mengelabui bangsa manusia yang mendaki.

Melihat tiga sosok di hadapanku ini, muncul ingin tahuku. Mengapa mereka mati-matian mempertahankan jasad manusia? Rupanya pendaki ini hendak mereka tumbalkan pada pemimpin mereka agar ilmunya semakin kuat. Dengan cara mengorbankan nyawa manusia, mereka berharap semakin lama kerajaan mereka semakin jaya. Demi mengetahui itu, aku ingin segera dapat memusnakannya.

“Raja kalian telah tewas, jadi mulai sekarang jangan pernah lagi menyesatkan anak manusia. Lepaskan dia” Ujarku berdiri di antara batu hijau berlumut. Mereka justru mengawasiku dengan sinar mata tajam.

Melihat tatapan dan taring mereka yang tajam, terlihat sekali makhluk ini tergolong sangat ganas. Ketidaksukaannya melihat kehadiranku mereka tunjukkan dengan pukulan-pukulan kaki menghantam bumi. Tak lama bumi terasa bergetar serupa gempa.

“Kami tidak suka kehadiranmu di sini, cucu Adam. Pergilah dari sini!” Bentak salah satu mereka sambil menyeringai menyeramkan. Aku balik menatap mereka dengan sedikit waspada. Makhluk ini bisa saja menyerang tiba-tiba.

“Hei! Raja kalian sudah tewas. Kalian tidak punya kekuatan lagi” Ujarku.

“Kami tidak peduli. Pergi dari sini” Jawabnya beringas.

“Aku akan pergi dari sini, setelah cucu Adam yang satu itu kalian lepaskan” Ujarku menunjuk sosok pendaki yang bersandar tak berdaya.

“Siapa yang kau tunjuk. Hanya kau bangsa manusia di sini” Ujarnya sambil tertawa.

“Dia milik kami!” Teriak yang satu lagi setelah menyadari jika aku tidak bisa mereka bohongi.

“Tidak ada makluk seperti kalian yang berhak memiliki jasad manusia. Dia adalah bangsaku. Kami milik Allah Sang Maha pencipta” Ujarku balik membentak.

“Ah! Jangan kau sebut-sebut nama itu. Sakit telinga kami mendengarnya” Kembali salah satu dari mereka membentak sembari menutup telinga. Aku tahu, mereka jin fasik yang berwatak iblis. Mereka golongan yang kejam sulit untuk diajak negosiasi. Bahkan golongan ini rela mati demi mempertahankan prinsip dan sangat patuh dengan pimpinannya. Satu di antara mereka berguling-guling kepanasan.

“Tentu saja kalian sakit dan panas. Karena kalian makhluk fasik. Tidak bertuhan. Padahal diri kalian dan seisi bumi ini, Allah yang menciptakan” Ujarku lagi. Sengaja aku sebut kembali Allah. Lagi-lagi mereka marah. Kemarahan mereka diwujudkannya menjadi pukulan-pukulan liar yang mematikan. Aku berusaha menghindar untuk melihat kemampuan mereka. Ternyata mereka memiliki kemampuan menarik tubuh lawan. Energi mereka bisa menyedot lawan. Dalam hati aku memuji kemampuan mereka. Tidak sia-sia mereka jadi prajurit.

Di dalam benakku saat ini hanya ada keinginan untuk segera menyelamatkan pendaki itu saja. Dari ciri-ciri dan aromanya kuketahui Si pendaki bukan penduduk asli Pagaralam. Tapi dia pendaki datang dari Palembang, salah satu mahasiswa dari Perguruan Tinggi yang terhimpun dari Mahasiswa Pencinta Alam. Hal ini bisa dilihat dari lambang pada atribut yang dikenakannya. Kulihat punggungnya terluka. Nampaknya ada yang mencabiknya dengan kuku panjang. Bisa jadi salah satu makhluk yang menjaganya ini telah melukainya. Aku semakin tidak sabar hendak membebaskannya.

Melihat kemampuan mereka cukup tinggi aku lawan mereka untuk berusaha menarik tubuh mereka juga. Akibatnya tarik menarik terjadi. Aku mainkan telunjukku dengan mengerahkan tenaga dalam. Dengan susah payah ketiganya berusaha menarik diri dan bertahan agar tidak tertarik energinku.

Dalam keadaan tarik menarik tersebut, aku lafaskan zikir ‘Huu Allah’ berkali-kali. Lama kelamaan mereka terlihat melemah. Lalu menjerit sekuat-kuatnya. Sekali hentakan aku berhasil menarik ketiganya lalu mengurungnya di ujung jari.

Aku segera melompat lalu menepis mantra yang mengikat pendaki. Baru saja hendak mengangkatnya, tiba-tiba di belakangku ada Mun dan Lak berdiri.

“Biarlah kami yang membawanya ke lembah, Selasih. Letakkan dimana dia?” Ujar paman Lak sembari mendekat. Akhirnya kusarankan agar pendaki ini diletakan di pinggir jalan setapak ke lembah, perbatasan hutan dekat kampung Empat agar mudah ditemukan oleh kawan-kawannya yang sedang beranjak turun.

“Kalian awasi saja sambil menunggu rombongannya” Ujarku lagi. Paman Lak dan Muk mengangguk paham. Si pendaki kunetralisir terlebih dahulu. Lukanya kuobati. Semua pengaruh jin fasik pada dirinya kubuang. Tak lama, Si pendaki di bopong paman Muk dan Lak. Hanya sekejab mereka hilang dalam pandangan.

Sepeninggal mereka aku segera kembali menemui Puyang Pekik Nyaring. Ketika aku masuk, ternyata di ruangan tengah hadir sesepuh-sesepuh. Mereka sudah duduk rapi seakan sengaja menungguku. Di antara mereka ada nenek Kam yang tersenyum manis menatapku. Aku menyalami dan memeluk mereka.

“Hmmm..kamu makin mantab saja kalau bertarung, Cung. Nampak sekali senangnya kalau disuruh berkelahi” Goda Kakek Andun sambil mencium kepalaku. Aku tertawa disambut yang lain.

“Iya, inilah Ratu yang gemar berkelahi. Kalau disuruh menghadapi musuh, nampaknya bergairah sekali. Otaknya cepat sekali berpikir dan awas membaca lawan. Tajam seperti penciuman nenek gunung” Sambung Kakek Njajau agak berlebihan. Tapi pas giliran Macan Kumbang, hidungku malah disentilnya.

Singkat cerita, mereka hadir karena tahu aku singgah ke mari. Aku pun mulai bercerita pada semuanya tentang pertemuan terakhirku pada Nini Ratu. Lalu hingga kini kukatakan aku tidak mampu menembus alam Nini Ratu. Aku kehilangan jejak beliau. Mendengar ceritaku suasana sekilas hening. Aku tahu mereka juga merasakan kesedihanku.

“Puyang, apakah bangsa Puyang ketika meninggal tidak punya makam? Bagaimana anak cucu hendak ziarah jika raib tak tahu ke mana seperti Nini Ratu?” Tanyaku lagi. Mendengar pertanyaanku, Puyang Pekik Nyaring tersenyum.

“Tidak semua raib seperti Nini Ratu, Cung. Beberapa raja dan orang sakti zaman dulu, banyak seperti Nini Ratu. Namun banyak juga yang meninggal lalu dimakamkan. Nini Ratu seorang hindu yang taat. Tingkat tertinggi dalam Hindu ialah ketika ia mencapai puncak keagungan dan kebahagian. Beliau telah mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin yaitu moksa artan jagadhita yang dalam Hindu disebut catur purusha yakni berdasarkan empat tujuan hidup yaitu kamma artha dharma dan moksa. Kamma artha dharma berdasarkan paham Nini Ratumu, artinya hanya bersifat lahiria duniawi. Justru Nini Ratu telah mencapai tujuan tertinggi karena beliau telah melalui jalan catur yoga, yaitu jnana yoga, karma yoga, bakti yoga, raja yoga. Keempatnya adalah kebahagiaan.

Nini Ratu telah mencapai itu. Maka dirimu sebagai hamba yang diberikan amanah, kewajibanmu mendoakan yang terbaik untuk beliau lalu laksanakan dengan baik pula semua yang beliau titipkan padamu. Sebagai manusia kamu memang tidak lepas dari rasa sedih. Namun kesedihan tindak akan mengubah keadaan. Justru dirimu harus bersyukur karena masih diberi kesempatan berjumpa dengan beliau. Bahkan sekelas gurumu Resi Purwataka dan Resi Sahida saja tidak bisa berjumpa dengan beliau selama ini. Mereka hanya bisa dialog batin. Demikian juga Nyi Ratih sosok kepercayaanmu. Padahal beliau mengabdi sejak dulu. Sejak kerajaan itu berdiri. Namun di akhir hayatnya, Nyi Ratih tidak bisa lagi berjumpa dengan beliau. Beliau hanya mau berjumpa denganmu. Begitulah cara beliau menjaga kesucian jiwa dan batinnya, Cung” Ujar Puyang Pekik Nyaring menghiburku. Ada perasaan legah. Apa yang disampaikan Puyang Pekik Nyaring cukup meneduhkan hatiku. Apa yang beliau sampaikan benar adanya. Akhirnya aku membatin, bersyukur karena merasa istimewa bisa berjumpa dengan Nini Ratu, wanita yang memiliki kisah perih dalam hidupnya karena mencintai manusia.

Setelah bercerita panjang lebar, terakhir Puyang Pekik Nyaring mengingatkan kami semua untuk senantiasa mengencangkan ibadah. Beliau menyampaikan beberapa daerah di tanah air ini akan muncul berbagai masalah. Kemarahan-kemarahan gunung, laut, bukit, dan sungai, akan berwujud dalam bentuk bencana. Begitulah cara Allah menegur kita. Yang perlu kita awasi apabila ada makhluk astral yang suka memanfaatkan situasi. Bencana diperbesarnya, lalu mereka akan menghasut manusia satu dan lainnya dalam situasi yang kacau itu. Untuk itu, mari kita awasi bangsa kita, golongan kita, agar jangan ikut membuat keonaran. Jika kita bisa memperkecil kehancuran, lakukanlah. Aku mendengar deru angin dan ombak sepajang pantai, gelegak magma merapi, kadang terasa mendekat, kadang menjauh. Sampaikan dengan bangsa manusia, agar berhati-hati, Selasih” Kata Puyang Pekik Nyaring membuat aku sedikit bergetar. Entahlah, aku takut juga khawatir bercampur jadi satu.

Mendengar penyampaian Puyang Pekik Nyaring aku tertegun sejenak. Otakku segera berpikir, bagaimana menghambat itu semua? Bisakah? Sayang aku tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan air laut, gunung, angin seperti Puyang Pekik Nyaring. Jika bisa, akan kukendalikan aku akan memohon agar semuanya memaafkan semua kesalahan manusia, lalu kukendalikan agar tidak terjadi bencana. Tapi ketika teringat kata puyang mari kita kencangkan ibadah, aku merasa inilah kuncinya. Ibadah dapat menjadi penghambat musibah dan bencana.

Baru saja aku berpikir demikian, tiba-tiba aku dikejutkan suara gemuruh. Tempat dudukku terasa bergoyang. Aku tersentak. Namun yang lain nampaknya biasa-biasa saja.

“Astagfirulahal Adziiim, Puyang” Aku menatap Puyang Pekik Nyaring.

“Nah, itu Resi Naga atau Puyang Tengkuluk Rebang Panjang. Beliau juga pejaga Dempu. Nampaknya beliau tengah bergerak dari tapanya” Ujar Puyang Pekik Nyaring menjawab kagetku. Aku semakin kaget.

“Resi Naga, Puyang? Jadi nama beliau Tengkuluk Rebang Panjang?” Tanyaku. Puyang mengangguk selanjutnya menjelaskan jika Resi Naga adalah salah satu penjaga gunung Dempu. Terakhir beliau menjelaskan, Resi Nagalah yang mendorong air dari gunung untuk menghanyutkan mesin penggilingan kopi dan padi milik penduduk dusun Teghetap karena ada seorang suami bersama isyri mudanya mendzolimi istri pertamanya beberapa tahun lalu.

“Lalu, Jika beliau bangkit dari tapanya, pertanda apakah, Puyang? Adakah kesalahan anak cucu di lebah Besemah ini yang patut diberi teguran?” Tanyaku sedikit khawatir.

“Alam dan seisinya, Allah yang mengatur. Laut, gunung, air, bumi, angin, hanyalah pelaksana. Demikian juga Resi Naga, beliau semacam penjaga keseimbangan alam. Namun jika ada anak cucung Besemah yang didzolimi, lalu berdoa sepenuh jiwa, maka semesta akan bergetar karena banyak sekali makhluk yang meng-aminkan. Beliau akan bangkit. Dengan menyentilkan jarinya saja bisa terjadi bencana” Urai Puyang Pekik Nyaring lagi. Masya Allah aku terkesima. Betapa alam.dan seisinya ini punya tugas masing-masing.

Apa yang disampaikan Puyang Pekik Nyaring, sebuah pengetahuan baru bagiku. Aku mengingat-ingat ketika bermimpi berjumpa dengan Puyang Naga. Beliau hanya menatapku tanpa berbicara. Dalam mimpi itu, batinku mengatakan jika beliau adalah penjaga gunung Dempu. Selanjutnya aku tidak pernah bertanya, baik dengan Puyang Pekik Nyaring, mau pun dengan Nenek Kam. Apalagi ingin mengetahui keberadaan beliau selama ini. Namun, ketika Puyang Pekik Nyaring menyebut namanya, aku menjadi penasaran. Muncul keinginan berjumpa dengan Puyang Tengkuluk Rebang Panjang itu. Tapi di mana?

Belum selesai aku berpikir dan membatin tentang beliau, tempat dudukku kembali terasa bergoyang. Aku kembali terkesiap. Darahku seketika berdesir. Aku segera berdoa mohon pada Sang Maha Kuasa agar tidak menurunkan bencana di tanah ini.

“Kemaksiatan sudah mulai merambah lembah, Cung. Banyak manusia yang meninggalkan tradisi dan budaya kita, padahal tradisi dan budaya kita adalah nilai-nilai moral yang bermuara pada religi. Salah satunya budaya ‘besingkuh’ dan malu sudah mulai luntur” Lanjut Puyang Ulu Selepah menambahkan. Mendengar nadanya, nampaknya para leluhur ini sudah geram dengan semua tingkah anak manusia. Aku mendengarkan dengan cermat. Meski aku lahir si tanah Besemah, tidak semua tradisi budaya aku paham. Apalagi berkaitan dengan kata malu dan besingkuh. Malu singkuh yang bagaimana yang dimaksud Puyang Ulu Selepah? Akhirnya aku kembali mende garkan pembicaraan mereka. Aku mencoba mendengarkan dan mencerna nasehat-nasehat yang disampaikan dengan ibarat oleh para sesepuh. Kuakui kedalaman makna setiap kata yang mereka sampaikan.

***

“Tutur kata dan tindak-tanduk yang diajarkan para tetua sudah banyak dilanggar dan ditinggalkan oleh manusia zaman sekarang. Rasa takut, segan, dan hormat dengan ‘pejadi’ sudah luntur. Salah satu contoh zaman dulu, seorang anak tidak berani menyebut nama orang tuanya sembarangan. Ada rasa kurang etis dan dianggap tabu, tidak punya sopan santun, membuat malu keluarga jika aturan adat itu dilanggar. Tapi sekarang hal itu sudah diabaikan. Bahkan mereka yang masih bertutur kata lembut dan hati-hati dianggap kolot” Nenek ceriwis menimpali.

Mendengar apa yang dikatakan nenek Ceriwis aku membenarkan dalam hati. Aku menyadari, memang banyak hal yang sudah berubah.

Suatu kali pernah ibu berkata, katanya jika anak-anak pada zamannya, tidak ada yang berani bersuara besar, merengek, apalagi bergelayut di tangan seorang Bapak seperti yang kerap aku lakukan. Kerap aku ditegur ibu dan itu dianggap salah tempat. Maka tidak heran saudara-saudaraku, baik sepupu mau pun bukan semua merasa takut jika bertemu Bapak. Apalagi Bapak agak otoriter. Sementara aku, berusaha mengusir rasa takut dengan banyak meminta perhatiannya. Aku memang telah melanggar satu kebiasaan sukuku itu. Bagiku Bapak bukan untuk ditakuti, tapi disegani.

Ibu kerap menasehati saudara lelakiku bahwa lelaki di dalam keluarga wajib mejaga wibawanya dan ditanamkan sejak dini sebagai calon kepala rumah tangga. Sebab tanggungjawab lelaki itu berat. Mereka punya kewajiban menjaga dan berjuang untuk keluarga. Mereka punya tanggungjawab menjaga nama baik keluarga. Maka para lelaki tidak boleh disibukkan dengan mengasuh anak, momong bayi, atau mengambil alih pekerjaan perempuan di dapur, atau di sumur. Kecuali dalam keadaan sangat terpaksa. Jika ada lelaki yang melakukan itu jatuhlah harga diri dan martabatnya sebagai lelaki. Mereka akan disebut-sebut sebagai lelaki pemalas, ‘dek benasu’ istilah orang Besemah untuk menyebut lelaki yang tidak sigap sesuai kodratnya sebagai lelaki. Bahkan yang lebih parah lagi diistilahkan dengan sebutan “ngerbai”. Sebuah istilah yang memiliki makna sangat dalam untuk lelaki yang sudah kehilangan harga diri.

Suatu kali aku pernah protes sama Ibu. Bagaimana tidak, masak aku dilarang bermanja-manja dengan Bapak sendiri? Lalu kedekatanku dengan kakek Haji Yasir dan kakek Haji Majani pun apakah itu bisa dikategorikan pelanggaran adat? Mereka tempatku bermanja. Bahkan dalam usia belasan aku masih tidur dengan mereka? Mereka juga sayang padaku. Aku merasa jika mereka memang sangat memanjakan aku. Waktu itu ibu tidak bisa berkata-kata, dan beliau selalu menyebutku manja.

Suasana agak ramai karena semua berpendapat dan mengulas tentang berbagai macam adat yang dilanggar dan ditinggalkan oleh bangsa nenek gunung, utamanya oleh bangsa manusia. Sehingga hal itu kerap membuat mereka malu sendiri.

“Banyak sekali memang Puyang, ‘petua baghi’ telah ditinggalkan dalam kehidupan nyata. Dulu, anak perempuan dididik patuh dan hormat pada saudara lelakinya baik masih kecil mau pun besar. Karena anak lelaki adalah wakil ayah, pengganti wali untuk anak perempuan. Oleh sebab itu, kalau ada anak bujang yang berminat dengan anak gadis seseorang, maka yang akan ditemuinya adalah ibu si gadis. Sang bujang tidak akan berani bertandang jika ada Bapak atau saudara lelakinya. Tapi sekarang, lihatlah. Contohnya mereka yang datang ke puncak Dempu ini. Perempuan lelaki nyaris tidak ada batas. Perempuan tidak menjaga lagi harga dirinya, yang lelaki kehilangan tanggungjawabnya” Lanjut salah satu pengawal istana Puyang Pekik Nyaring ikut nimbrung.

“Iya, zaman telah berubah. Manusia makin banyak. Bumi semakin hari semakin padat. Kita pun demikian, semakin lama semakin banyak. Lihatlah, dulu bebatuan dan pasir di sisi Merapi Dempu ini tidak ada penghuninya. Tapi kini, tidak hanya di dusun kita saja, namun bebatuan, pasir, air, hutan, semuanya berpenghuni. Dunia sudah semakin tua. Tinggal kita harus pandai menjaga diri, dan menjaga keluarga” Puyang Pekik Nyaring menambahkan dengan nada berat.

“Assalamualaikum Puyang. Di dekat Talang Pisang ada keributan. Nampaknya anak bujang Landu dan anak bujang Sapaw tengah memperebutkan gadis dari dusun Gumay. Mereka satu tujuan hendak mempersunting gadis itu. Akhirnya mereka bertarung di ulu Talang Pisang” Salah satu penjaga dusun datang buru-buru menghadapi Puyang Pekik Nyaring.

Semua mata menatap padanya. Termasuk aku. Jarang sekali aku mendengar bangsa nenek gunung bertarung gara-gara memperebutkan perempuan.

Aku melihat kening Puyang Pekik Nyarinya berkerut. Baru saja di forum ini membahas masalah adat dan tradisi. Namun muncul masalah baru yang berkaitan dengan tradisi pula.

“Suruh Panglima Kik ke sana, lerai mereka, lalu bawa ke mari” Ujar Puyang Pekik Nyaring.

Sang pengawal segera mohon diri menemui Paman Kik.

Obrolan kembali berlanjut panjang lebar. Aku menjulurkan tangan mengambil kelicuk padi beram, makanan khas Besemah yang tersedia sejak tadi. Masih terasa hangat.

Ketika semua masih asyik berbicara berbagai macam hal, sambil mengunyah, pikiranku justru tertuju pada dua anak bujang yang katanya bertarung memperebutkan gadis dari Gumay itu. Biasanya bangsa ini tidak akan bertarung kecuali mempertahankan harga diri. Rasanya tidak mungkin jika bertarung karena memperebutkan seorang gadis bangsa manusia. Apakah tradisi dan budaya di dusun tak kasat mata ini pun telah berubah? Aku kembali membolak-balik pikiran. Rasa penasaran membuat aku bertahan dan belum berniat pulang.

Sebenarnya aku sudah gatal ingin menyusul Paman Kik ke Talang Pisang. Rasanya ingin melerai lalu memarahi kebodohan keduanya. Tak biasa di puncak Dempu ini terjadi perang saudara. Berbenturan dengan kelompok lain yang bertempat tinggal di gunung Dempu ini saja kerap dihindari. Tidak akan muncul gesekan sesama makhluk astral di sini kecuali terpaksa. Kalau bukan untuk menghindari pertikaian, tidak mungkin Puyang Pekik Nyaring mengutus bangsa manusia, seperti Nenek Pagar Jaya, Nenek Kam, Wa’an Nur, dan masih banyak yang lainnya.

Akhirnya aku membatin. Diam-diam aku mencoba melihat dari jauh apakah memang ada pertarungan? Ternyata memang benar. Aku melihat pertarungan bersaudara yang sangat sengit. Kedua nenek gunung yang masih bujang itu benar-benar bertarung mati-matian. Mereka bukan hanya sekadar saling menundukkan. Namun mereka sudah hendak saling bunuh. Ingin rasanya aku menengahi mereka lalu memisahkan keduanya saat ini juga. Namun aku tidak berani mengungkapkannya. Puyang Pekik Nyaring tahu kapan harus bertindak dan kapan tidak. Akhirnya aku hanya menatapnya saja sambil menahan gelisah.

Ternyata tindakanku diketahui Puyang Pekik Nyaring. Puyang Pekik Nyaring tersenyum menatapku.

“Lihat, mendengar ada yang bertarung, Cucuku sudah gatal. Hatinya sudah gelisah hendak ke arena” Ujarnya membuatku kaget.

Benar, aku gelisah melihat mereka bertarung.

“Mereka hendak saling bunuh, Puyang” Ujarku sedikit gugup.

“Tidak apa-apa, sudah ada Panglima Kik ke sana. Beliau pasti mampu melerai perkelahian itu” Lanjut Puyang Pekik Nyaring lagi.

Akhirnya aku mengangguk dan diam meski hatiku masih bergerak-getar hendak tahu lebih jauh duduk persoalan sebenarnya. Padahal baru saja aku mendengarkan berbagai macam ulasan tentang adat dan tradisi yang sudah hilang di tanah ini, malah muncul hal yang menurutku tidak mesti bertaruh nyawa. Tapi apa mau sikat. Harga diri bagi suku di tanah Besemah ini adalah nyawa. Demi mempertahankan harga diri suku ini memang berani mati.

Belum sempat aku berpikir lebih jauh dan menimbang-nimbang soal kebijakan, tiba-tiba aku mendengar suara rintihan seperti orang demam malaria dari luar. Semua mata tertuju pada pintu masuk. Tak lama, Paman Kik masuk sambil memanggul dua tubuh yang berdarah-darah. Keduanya nampak terluka lemas.

“Letakkan di sana, Panglima” Ujar Puyang Pekik Nyaring menunjuk sudut ruang. Dua bujang nenek gunung diletakkan Paman Kik beralas tikar purun bercorak merah dan biru. Keduanya merintih kesakitan. Nafas mereka tinggal satu-satu. Dada keduanya turun naik.

Aku mengamati keduanya dalam-dalam. Mereka tidak saja luka luar, tapi luka dalam juga lebih parah. Mata mereka terpejam. Di antara yang hadir, mungkin hanya aku yang cemas. Para kakek, nenek, dan puyang ekspresinya santai saja.

“Apa yang kalian rebutkan? Ingin membuat sejarah baru di kampung kita?” Tanya Puyang masih sambil duduk.

Tidak ada jawaban. Kedua anak bujang kondisinya setengah mati. Salah satu mereka wajahnya sudah sulit dikenal. Penuh luka cakaran. Sedangkan yang satu lagi, perutnya terluka menganga meski tidak terburai. Darah yang mengucur meninggalkan noda sepanjang jalan, dan tergenang di sisi tubuh mereka. Aku takut sekali mereka kehabisan darah. Dari jauh kutotok titik-titik nadi mereka agar darahnya berhenti mengalir.

Beberapa orang kulihat berdiri di dekat darah-darah yang bercecer. Mungkin mereka hendak mengelap darah yang bercecer itu. Sejenak aku memperhatikan gerak-gerik mereka. Tapi, mengapa mereka seperti hendak mengeluarkan energi dan jurus tertentu. Aku semakin penasaran. Akhirnya aku mendekat, akan mereka apakan darah yang berceceran itu.

Pertama kukira mereka akan mengelap dengan semacam kain pel ketika diminta Puyang untuk segera bersihkan. Rupanya cukup dengan meletakan telapak tangan. Darah yang berceceran segerah bersih. Aku tersenyum melihat lelaki yang telapak tangannya bisa membersihkan darah. Dalam hati aku kagum juga, dan mengganggapnya nenek gunung yang hebat.

“Dia itu memang diwariskan kemampuan hanya untuk membersihkan hal seperti itu, Putri Selasih. Makanya jika bangsa kita, bangsa manusia ada yang membunuh nenek gunung di tanah Besemah ini, orang tidak akan menemukan ceceran darahnya. Karena ceceran darah itu pasti akan segera dibersihkan oleh sapu jagat itu” Ujar Nenek Kam menjelaskan menyebut sosok-sosok yang bekerja sebagai sapu jagad. Aku baru tahu kalau ada pasukan sapu jagat di Dempu ini.

“Nah, sekarang giliran Cucuku Putri Selasih mengobati mereka ” Lagi-lagi suara Puyang Pekik Nyaring bernada santai.

Aku menatap beliau untuk memastikan sungguh-sungguh atau tidak. Rupanya beliau serius memintaku untuk melihat keadaan dua anak bujang itu.

Akhirnya aku menghampiri keduanya. Kuamati sekilas luka-luka mereka. Nenek Kam menggamit lenganku mengeluarkan beberapa lembar daun. Aku menyambarnya lalu meletakkannya ke atas dua sosok yang tak berdaya itu. Luka keduanya parah dan tidak beraturan. Aku bermunajat terlebih dahulu. Baru mengamati luka mereka satu-satu.

Ketika aku hendak mulai mengobati keduanya, tiba-tiba seperti angin kencang masuk dua sosok nyaris bersamaan ke dalam ruang istana Puyang Pekik Nyaring. Mereka langsung menghampiri dua pemuda yang terluka dan tak berdaya. Meski tidak menangis, namun terlihat kedua-duanya menahan diri untuk tidak histeris. Dada keduanya turun naik sembari memegang dua pemuda yang tak berdaya.

“Sapaw, Landu, kalian tidak usah khawatir. Anak kalian kita obati” Puyang Pekik Nyaring seakan memahami perasaan kedua orang tua pemuda ini.

“Maaf Puyang, bukan masalah bisa diobati atau tidak. Tindakan keduanya telah mencoreng kerajaan kita. Telah mencemar nama baik kita. Karena kelakuan mereka, membuat seakan-akan kita makhluk yang tidak bisa menerima hal yang baik dengan akal sehat. Maafkan anak kami yang telah membuat malu ini, Puyang. Kami siap untuk mendapat hukum adat, atas kesalahan dan kelalaian kami dalam mendidik anak kami” Lelaki besar tinggi yang disapa Sapaw duduk seperti minta ampun pada Puyang Pekik Nyaring.

“Hukum adat jelas ada, Sapaw. Namun itu nanti, yang penting anak kalian sehat terlebih dahulu. Cucuku akan mengobatinya” Ujar Puyang Pekik Nyaring sambil memberi kode padaku untuk melanjutkan pengobatan.

Aku duduk kembali, memulai semuanya dengan doa. Aku ingin mencoba pengobatan yang diberikan Puyang Purwataka lalu kukombinasikan dengan pengobatan kakek Njajau. Langkah pertama, kuhilangkan rasa nyeri pada keduanya. Tanganku mulai menari di atas tubuh mereka. Cahaya biru seperti leser berputar cepat. Setelah kurasakan sudah merata aku kembali membaca doa dan mantra. Aku menempelkan telapak tanganku kembali, mulai dari kepala dan wajah.

Jari jemariku seperti ratusan alat yang meraba wajah dua nenek gunung yang masih muda ini. Bagian yang cabik kusatukan kembali. Erangan halus mulai terdengar. Namun tidak seperti ketika mereka di bawa ke mari. Aku kembali meraba luka-luka disekujur tubuh mereka. Kusatukan kembali kulit mereka yang mengelupas serta daging tubuh yang koyak- monyak seperti semula.

Puyang Pekik Nyaring dan lainnya memperhatikan aku bekerja. Nampaknya mereka sepenuhnya menyerahkan pengobatan padaku. Meski memakan waktu cukup lama, akhirnya tugasku menyatukan kulit mereka yang koyak monyak selesai.

Meski secara fisik dua makhluk astral ini sudah tidak terlihat lukanya lagi, namun pengobatan belum tuntas. Keduanya luka dalam cukup parah. Aku meraba tubuh mereka satu-satu. Yang satu ini kurasakan detak jantungnya sangat lemah dan nafasnya sesak karena tulang rusuknya ada yang patah lalu menusuk ke sisi kiri jantung. Aku segera mengembalikan posisi tulangnya. Darah yang menumpuk di lambungnya kukeluarkan melalui mulut dan dimuntahkannnya. Tak urung semua kaget melihat dia muntah darah. Namun setelah itu baru nafasnya tidak sesak kembali. Dia mulai bisa bernafas normal dan membuka mata. Kulanjutkan pemuda yang ke dua. Perutnya yang terluka parah tadi, meski tidak sampai ususnya terburai namun ternyata usus besar dan usus halusnya luka juga. Aku melihat pendarahan di dalam cukup parah. Aku kembali meraba dan mengembalikan kondisinya. Sama dengan pemuda yang satunya, pemuda satu ini pun muntah darah. Memar di dadanya juga menyebabkan paru-parunya pendarahan. Cukup lama aku berusaha mengembalikan semua syarafnya normal kembali. Setelah kuperkirakan semua sudah pulih, terakhir aku transfer energi pada keduanya berbarengan. Ternyata di belakang, kakek Njajau dan Nenek Kam ikut mendorong energinya membantuku, sehingga pemulihan makin cepat.

Huff!
Kedua pemuda nenek gunung ini bangkit, lalu kembali berhadapan. Mata mereka masih saling tantang. Ada energi amarah dan dendam di sana.

Melihat kelakuan mereka, Puyang Pekik Nyaring menotok mereka dari jauh.

Desst! Desst!
Keduanya berdiri kaku seketika.

“Urus mereka panglima Lak. Beri mereka hukuman sesuai dengan kesalahan mereka. Masukan keduanya di liang dua” Nada Puyang Pekik Nyaring sedikit tinggi.

Aku tahu, beliau marah karena kedua pemuda ini tidak memperlihatkan itikat baiknya. Di hadapan para sesepuh mereka berani saling tantang. Padahal sudah dilerai, diobati, bahkan kedua orang tua keduanya menyerahkan diri, dan mengaku semua kesalahan mereka yang gagal mendidik anaknya, ternyata di depan orang tuanya, bahkan di depan para Puyang mereka memperlihatkan sikap tidak terpujinya. Melihat ini wajar Puyang Pekik Nyaring agak marah. Aku yakin, mereka akan mendapatkan hukuman yang cukup berat.

Baru kali ini aku mendengar liang dua. Apa maksudnya? Apakah itu penjara sesuai dengan kelasnya? Aku tidak tahu. Jika ada liang dua, artinya ada liang satu. Setahuku liang itu adalah lubang di dalam tanah yang sengaja dibuat untuk kebutuhan tertentu. Misalnya mengubur orang mati. Apakah kedua pemuda itu diletakkan dalam liang seperti kuburan? Aku bingung sendiri. Namun tidak berani bertanya.

Kedua pemuda yang masih berdiri kaku akhirnya dibawa Paman Kik dan kawan-kawannya ke luar ruangan. Mereka segera dikurung untuk mendapatkan hukuman sesuai kesalahan mereka. Tinggallah orang tua keduanya tertunduk malu dan minta dihukum karena merasa gagal mendidik anak mereka menjadi ksatria. Akhirnya salah satu sesepuh mengatakan kedua pemuda itu akan disidang beberapa hari lagi setelah sesepuh adat berkumpul dan membahas kesalahan keduanya. Maka biasanya akan kena denda adat. Selebihnya hukum sosial akan berlaku pada keluarga mereka. Meski masyarakat tidak mengucilkan mereka, namun pasti akan menjadi bahan pembicaraan. Keluarga mereka akan nenjadi bahan gunjingan, dan akan selalu jadi contoh. Akibatnya, mereka tidak berani menampakkan wajah di hadapan orang banyak karena malu. Tidak heran jika ada yang mengalami peristiwa seperti ini, mereka mengasingkan diri lalu memilih jadi petapa.

Waktu sebentar lagi fajar. Artinya, semua aktivitas akan terhenti jika subuh telah tiba. Aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, pulang ke Bengkulu. Akhirnya, masih membawa pertanyaan di batin penyebab pertarungan dua pemuda nenek gunung itu, aku pamit beranjak pulang. Puyang Ulu Bukit Selepah, Nenek Kam, dan Kakek Njajau juga pulang. Mereka pulang ke Seberang Endikat. Kakek Andun ke Bandar Jaya.

Melihat aku akan pulang sendiri, ternyata Puyang Pekik Nyaring tidak tega. Akhirnya Macan Kumbang mengantarkan aku pulang. Kami melintasi hutan, bukit, dan sisi laut lewat Bengkulu Selatan. Dalam sekejap, kami telah berada di kota Bengkulu. Sengaja kami berdua berjalan sejenak di pusat kota, menikmati jelang subuh Bengkulu yang sepi.

Ternyata keberadaan kami diketahui Eyang Kuda. Beliau segera menghampiri kami sambil tersenyum lebar.

“Rupanya ada Kanjeng Ratu Timur Laut Banyuwangi singgah ke tanah Raflesia? Ada apa gerangan Kanjeng?” Gaya Eyang Kuda membuatku tertawa terpingkal-pingkal.

Ternyata Eyang bisa juga melawak.

“Ayo, mau solat subuh dimana? Ikut Eyang ke masjid Jamikkah?” Tawar Eyang Kuda.

Macan Kumbang segera mengangguk ingin solat subuh di Masjid Jamik. Aku memilih solat di rumah saja. Akhirnya keduanya setuju, aku segera pulang menembus angin yang bertiup tenang sendiri.

Aku langsung menuju kamarku. Mengetahui aku yang datang, bayanganku segera bangkit, lalu kembali menyatu dengan tubuhku. Bapak dengan ibu masih tidur. Aku yakin keduanya sebentar lagi akan bangun melaksanakan solat subuh. Kuketahui dari sosok penggantiku, jika beberapa kali ada yang datang ke mari mencariku. Ketika kutanya apakah mereka sosok manusia atau makhluk astral. Katanya sosok manusia namun bisa masuk ke alam gaib. Lalu kutanya siapa dia? Sosok bayanganku mengatakan dirinya bersembunyi enggan bertemu.

Pikiranku langsung mengarah ke Alif. Mungkinkah pemuda soleh itu yang datang mencariku? Ada perasaan bahagia diam-diam merambat dalam hati. Seperti bunga, pelan-pelan mekar dari kuncupnya seiring munculnya sinar matahari.

Bersambung…
close