Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 85)


Aku baru saja duduk di teras rumah menghadap pohon mangga yang sedang berbunga. Neti dan Akhirul teman sekelasku baru saja pulang. Mereka bertandang sejak pukul lima dilanjutkan magrib di rumahku. Seperti biasa mereka mengajakku membahas persiapan perpisahan usai Ujian Nasional nanti. Rencana kawan-kawan sekelas hendak jalan-jalan ke pantai Tais. Akhirnya kami sepakat, akan jalan-jalan sehari setelah Ujian Nasional. Kedua sahabatku ini bertugas mengumpulkan patungan dan mengurus segala macam yang kami butuhkan di sana nanti. Kulihat Neti sangat antusias. Karena menurutnya pantai Tais berada di kampung Hasan kakak kelas kami yang pernah ingin dekat padaku. Mungkin maksudnya aku akan berubah pikiran dan membuka hati untuk Hasan. Apalagi konon Hasan sudah bekerja di salah satu perusahan pabrik karet di Bengkulu Utara.

Berkali-kali Neti menyebut pantai Tadi lalu melompat girang. Sampai-sampai aku menegurnya melihat tingkahnya yang aneh. “Hasan itu suka padaku, atau kamu yang suka padang, Net?” Godaku. Ternyata kata-kata singkatku membuat Neti tersedak.Aku memilih duduk di teras sepeninggal Khairul dan Neti. Ayuk Beso tetangga belakang rumah yang kebetulan lewat kusapa setelah kulihat ada dua sosok mengiring di belakangnya. Beliau sejenak kuajak singgah alasanku ingin bertanya sambil kusentil makhluk astralnya. Dua tubuhnya makhluk astral terbanting jauh. Tatapannya yang tajam pertanda marah padaku. Aku tahu makhluk itu hanya iseng saja. Kebetulan melihat Ayuk Beso lewat, langsung saja ikut. Maksudnya jelas ingin mendapatkan sesuatu di tubuh Ayuk Beso. Paling tidak membuat sarang di tubuh Ayuk Besok. Kurasakan tubuh Ayuk Beso memang memungkinkan makhluk astral mudah bersarang. Energi yang dimilikinya senergi dengan makhluk-makhluk astral. Makanya makhluk astral banyak yang mendekat padanya. Padahal Ayuk Beso tidak tahu-menahu hal-hal tak kasat mata.

“Ayuk, jangan biasakan jalan-jalan waktu magrib. Kalau mau ke luar rumah, sesudah magrib atau jauh sebelum magrib. Nanti ayuk ada yang ngikutin loh” Ujarku dengan nada bercanda. Maksudnya agar beliau tidak takut. Padahal apa yang kusampaikan serius.

“Aduh, Dek. Jangan nakutin-nakuti Ayuk. Bisa pipis di celana nanti” Sahutnya bercanda balik. Beliau kukawal dengan tatapanku sampai ke simpang rumahnya. Aku tidak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan terjadi pada tetanggaku satu itu. Setelah bayangan Ayuk Beso hilang, aku duduk kembali. Waktu belum terlalu malam. Bapak baru saja menuntaskan bacaan Al qurannya lalu ikut duduk bersamaku menunggu azan isya. Kalau sudah berdua seperti ini, pasti Bapak banyak bahan cerita.

“Kau tahu rumah di pengkolan Merpati 12 itu punya orang mana, Dek?” Bapak menanyakan salah satu rumah di gang masuk menuju rumah kami. Rumah itu berdiri di atas rawa-rawa yang ditimbun. Warna rumah seperti rumah tua. Bahkan terkesan kusam dan kotor. Padahal ada penghuninya tapi terlihat gelap bahkan kadang seakan tidak ada rumah.

“Itu rumah milik orang Rejang, Pak. Masih saudara Madi sahabatku. Bahkan dapur rumah mereka hanya batas dinding. Ada apa dengan rumah itu, Pak?” Tanyaku. Rupanya Bapak selama ini memperhatikan rumah yang kadang nampak kadang tidak itu.

“Setiap lewat sana, Bapak merinding. Entah mengapa. Ada perasaan tidak nyaman” Ujar Bapak. Aku tersenyum dalam hati. Ternyata Bapak ikut peka juga.

“Itu pertanda energi Bapak bergesekan dengan energi yang ada di sana, menandakan ada makhluk astralnya pak. Bisa jadi ketika Bapak lewat, dia mendekat, ingin ikut atau mengganggu Bapak” Ujarku sambil memainkan jari kaki.

“Aiiiss….ada-ada aja, kamu. Usir dong kalau suka mengganggu” Kata Bapak lagi.

“Tentu saja kalau dia mengganggu akan kuusir. Apalagi mengganggu Bapak. Akan kukurung dia” Ujarku menguatkan hati Bapak. Akhirnya Bapak tersenyum. Padahal, di seberang parit kecil depan rumah kami ada sosok besar hitam menatap padaku dan Bapak. Dia tidak bisa mendekat karena lingkungan rumah sudah kupagar. Akhirnya dia hanya berdiri. Aku tidak mengacuhkannya. Karena lebih dari itu sudah sering aku melihatnya. Mungkin dia kira aku akan menjerit, takut dan lari melihat sosoknya yang hitam berbulu itu. Beberapa kali tatapan kami beradu hingga akhirnya dia pergi perlahan membawa rasa takut.

“Di dekat rumah kita banyak ya Dek?” Tanya Bapak. Aku mendengar nada penasaran pada suara Bapak. Rasa ingin tahunya tinggi, tapi ada juga rasa takutnya terbaca olehku.

“Sekitaran rumah kita ini rawa-rawa, Pak. Tempat yang berair dan selalu lembab adalah rumah yang nyaman bagi makhluk astral. Tentu saja mereka ada dalam berbagai macam bentuk dan jenis” Ujarku menjelaskan.

“Tadinya Bapak ingin melihat. Tapi kalau berbagai macam jenis dan bentuk, Bapak tidak mau ah. Bapak kira seperti nenek gunung. Kalau seperti itu Bapak tidak takut. Baik dalam bentuk asli nenek gunung, maupun dalam bentuk manusia harimau” Lanjut Bapak lagi. Aku sangat paham perasaannya. Sebab di seputaran Besemah, jarang sekali masyarakat membicarakan makhluk astral lainnya kecuali dalam bentuk kuntilanak, pocong, genderowo, maksumai (hantu wewe) dan manusia harimau. Dari sekian banyak makhluk astral itu, yang lebih familier bagi masyarakat adalah nenek gunung dan maksumai.

“Di sekitaran kita ada makhluk astral dalam bentuk hewan, berupa ular besar tapi kepalanya manusia. Bapak mau lihat tidak?” Ujarku memancingnya.

“Berbentuk ular berkepala manusia? Sebesar apa tubuh ularnya?” Bapak penasaran.

“Dua kali lipat pohon kelapa itu, dan panjangnya dua kali lingkaran rumah kita” Ujarku. Mendengar itu Bapak kaget. Matanya agak membelalak. Pasalnya panjang rumah kami tiga puluh meter.

“Bapak pernah melihat empedak, bahkan menginjak tubuhnya. Tubuh empedak itu sebesar pelukan tangan orang dewasa. Entah sudah berapa lama empedak itu bertapa di hutan rimba hingga tubuhnya berlumut seperti kayu lapuk. Waktu itu Bapak dan rombongan tentara Indonesia masuk hutan untuk bersembunyi dari kejaran Belanda. Padahal, Bapak dan kawan-kawan duduk-duduk di atasnya. Tiba-tiba dia bergerak. Kami tidak tahu arah kepala dan ekornya” Ujar Bapak menceritakan kisahnya ketika beliau masih aktif menjadi tentara menjelang kemerdekaan. Epedak adalah sebutan untuk ular yang berukuran besar, konon tidurnya setahun lamanya. Karena lama tidur setahun itu pulalah mereka menyebut bertapa, hingga tubuhnya berlumut dan ditumbuhi rumput.

“Bapak yakin, empedak atau ular besar itu, ular benaran yang sedang bertapa. Kepalanya tidak seperti manusia. Kalau manusia kepala ular, pasti mengerikan ya. Bapak tidak mau lihat ah, nanti mimpi buruk. Bapak tidak seberani dan nekat ketika masih muda dulu” Ujar Bapak mengurungkan niatnya. Kami tertawa bersama. Ternyata ada masanya seseorang hilang ketangguhannya. Buktinya Bapak. Dulu beliau terkenal pemberani, bahkan kerbau jalang (liar) saja Bapak sanggup menangkapnya hanya dengan seutas tali. Mendengar derai tawa kami berdua ibu langsung ke luar dan berdiri di tengah pintu.

“Ada apa kalian tertawa kencang sekali. Kayak dunia milik kalian berdua saja” Ujar Ibu penasaran.

“Ini Bu, Dedek sedang ngobrol masalah alam tak kasat mata. Sini Bu, duduk sini” Ujar Bapak sambil bergeser tempat duduk menyilakan Ibu di sampingnya. Mendengar alam tak kasat mata, Ibu langsung memutar badan masuk kembali. Sambil berjalan, terdengar suara ibu sedikit ngedumel. Aku dan Bapak kembali tidak bisa menahan tawa. Selanjutnya aku melanjutkan penjelasan pada Bapak tentang tingkat kehidupan bangsa tak kasat mata, hingga membicarakan aktivitas kehidupan nenek gunung di gunung Dempu, sampai rencanaku untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi.Ketika suara azan berkumandang dari masjid Akbar ujung jalan, Bapak segera bangkit dan masuk. Tinggallah aku sendiri di teras memperhatikan beberapa kendaraan yang lewat di depan rumah. Pikiranku terbang jauh ke Timur Laut Banyuwangi, ke gunung Dieng melihat sosok nyata Eyang Sahida yang setengah gila, ke gunung Slamet melihat Puyang Purwataka dengan penyamarannya sebagai petani biasa. Lalu bayangan Nini Ratu yang takkan kutemui kembali. Hingga keinginanku kelak ingin seperti Eyang Putih atau seperti Puyang Purwataka menyamar menjadi sosok lain. Aku berpikir-pikir hendak jadi seperti apa. Tapi menjadi sosok setengah waras seperti Eyang Putih rasanya tidak mungkin. Karena aku senang bersosialisasi. Menjadi petani pun juga tidak mungkin seratus persen meski aku suka bercocok tanam dan ke luar masuk hutan. Sampai akhirnya aku bertekat suatu saat aku harus punya rumah atau pondok jauh dari keramaian kota, ada sawah, sebidang kebun, berbukit atau berhutan. Jika memungkinkan akan kubangun padepokan gaib untuk makhluk astral di sekitarnya agar bisa belajar agama bersama-sama. Tiba-tiba aku tercekat sendiri. Mengapa harus makhluk astral? Hayalanku terhenti ketika tiba-tiba ada tamu sudah berdiri di sisi pagar.

“Assalamualaikum, maaf Kak, apakah ini rumah Putri Selasih?” Dua orang lelaki bertanya padaku. Aku sedikit kaget karena tidak kenal keduanya. Keduanya sosok manusia. Mengapa mereka mencari Putri Selasih? Aku menjawab salamnya buru-buru lalu berjalan menghampiri keduanya.

“O bukan, Bang. Ini rumah Dedek” Jawabku sembari menyelidiki keduanya. Dalam hati aku bertanya-tanya siapa mereka. Mengapa mereka tahu Putri Selasih. Lalu mengapa pula mereka mencari Putri Selasih di dunia nyata?

“Kalian dari mana?” Tanyaku masih penasaran. Wajah mereka kuawasi satu-satu di bawah cahaya lampu yang agak redup.

“Saya dari Solo, Kak. Kebetulan saya ditugaskan Abah Yai survei lokasi pondok pesantren ke Bengkulu Selatan. Abah Yai Hakim menyuruhku menemui Putri Selasih. Dari petunjuk Abah Yai, di sinilah rumah Putri Selasih” Lanjutnya lagi. Melihat wajah mereka yang jujur dan polos akhirnya aku tersenyum. Aku yakin yang mereka maksud Abah Yai Hakim adalah salah satu Kyai yang ikut telibat Pembangunan istana Timur Laut Banyuwangi. Rupanya beliau memahami kehidupanku sebagai sosok manusia biasa.

“Kalau Putri Selasih, ada di alam gaib, Bang. Jika di alam nyata, Dedek” Lanjutku sambil membuka pintu pagar. Keduanya tersenyum simpul.

Akhirnya kami ngobrol perihal kehidupanku sebenarnya. Mereka Fauzi dan Ali sejak kecil hidup di lingkungan pesantren dan baru dua tahun lulus dari salah satu perguruan Tinggi di Yaman. Keduanya hanya silaturahmi karena jauh-jauh datang dari Solo, mencoba mencari orang-orang yang mungkin mereka kenal.

“Kata Abah Yai, mbak Dedek punya kerajaan di alam gaib? Bagaimana itu bisa terjadi, Mbak?” Fauzi penasaran.

“Wah, panjang sekali ceritanya kalau mau diceritakan. Sebenarnya hanya orang-orang tertentu saja yang tahu tentang Putri Selasih dan Timur Laut Banyuwangi.” Ujarku lagi. Kusampaikan sebenarnya aku khawatir jika banyak manusia yang tahu. Akhirnya mereka berdua kutawarkan untuk berkenalan dengan Alif. Sebab Alif orang Bengkulu, siapa tahu Alif banyak waktu, bisa menemani mereka berdua selama di Bengkulu. Keduanya sepakat. Tepat pukul sembilan malam keduanya mohon diri untuk kembali ke penginapan.Usai solat Isya, aku berzikir sejenak. Sejak awal aku merasakan ada energi yang berusaha menghubungiku. Rupanya Nyai Ratih menyampaikan akan ada peringatan Maulid Nabi di masjid istana. Beliau minta izin untuk mengundang beberapa Kyai dan santri dari bangsa manusia. Dan terakhir mengharapkan aku hadir tentunya. Aku memberikan sedikit intruksi agar mengundang salah satu syech untuk tausia di acara itu. Belum sempat aku bangkit hendak melipat mukena, tiba-tiba kembali angin mendesing lagi. Aku menunggu sejenak ingin tahu. Rupanya Alif mengajak dialog batin padaku. Meski tidak bertatap muka, namun jantungku sempat berdegup kencang ketika mendengar salamnya. Aku cepat-cepa mengendalikan diri. Selanjutnya kusampaikan jika ada Fauzi dan Ali berasal dari Solo hendak survei ke Bengkulu Selatan terkait pembangunan pondok pesantren. Kuceritakan jika keduanya santri Kyai Hakim yang turut serta membantu pembangunan istana Timur Laut Banyuwangi. Ternyata Alif bersedia menemani Hakim dan Ali. Dan esok Alif akan menemui mereka dipenginapan tempat keduanya menginap. Selebihnya Alif bertanya kapan aku akan ke Timur Laut Banyuwangi lagi. Lalu meminta izin untuk ikut ke istana bersamaku. Terakhir dia bertanya perihal Ujian Nasional dan aku akan melanjutkan pendidikan ke mana. Dari obrolan sepanjang soal pendidikan, kuketahui rupanya Alif akan melanjutkan pendidikan S2-nya ke Yaman. Beliau akan berangkat beberapa bulan lagi. Aku baru tahu kalau beliau sarjana. Melihat penampilan yang lembut, Alif masih sangat pantas seperti anak SMA seusiaku. Aku mengira-ngira dimana negara Yaman itu. Apa kelebihan negeri itu sehingga banyak sekali santri yang melanjutkan pendidikan ke sana termasuk Fauzi dan Ali pun alumni sana. Aku jadi penasaran lalu membuka peta dunia. Ada terbersit rasa sedih jika kami akan berpisah jauh, dalam waktu yang tidak bisa ditentukan.

Malam itu terasa sangat berbeda. Aku menjadi sulit tidur. Rencana hendak membaca-baca bank soal, jadi buyar. Aku sulit sekali untuk fokus.

“Nggak usah risau, kalau mau baca soal UN sekarang aja kita bisa, kok” Putri Selasih mulai memancing batinku untuk berbuat curang. Aku diam saja tak peduli. Kemudian dia ulang lagi niatnya mengajakku. Kembali aku tak peduli hingga akhirnya dia menggerutu karena tidak kutanggapi.

“Kau pikir hebat bisa membaca soal UN sebelum diujikan? Kita bisa lolos dari pandangan kasat mata. Tapi di alam gaib, apa kata makhluk-makhluk itu, Putri Selasih Ratu Timur Laut Banyuwangi berbuat curang. Dan kau lupa, ada yang Maha melihat, yang tak pernah luput memperhatikan ruang gerak kita” Ujarku lagi. Akhirnya suasana hening. Banyak sekali ternyata cobaan dalam hidup ini. Terutama aku yang separuh hidup ada di alam nyata, separuh lagi di alam gaib. Banyak hal dikehidupan nyata harus kuselesikan dengan kemampuan tak kasat mata. Membagi kehidupan yang tak lazim butuh kecermatan sejak dulu. Apalagi aku tidak ingin apa yang ada pada diriku diketahui banyak orang. Aku lebih suka bekerja tanpa diketahui siapa-siapa. Hal inilah yang sejak dulu diajarkan nenek Kam dan sesepuhku dari gunung Dempu.

“Jika engkau memberi dengan tangan kanan, usahakan jangan tangan kirimu tahu” Pesan Puyang Pekik Nyaring yang selalu terngiang-ngiang ketika beliau mengantarkan aku ke tempat bertapa di perut gunung Dempu dulu.

Aku tidur miring menghadap ke tembok ketika tiba-tiba di luar ada yang memanggilku. Masih sambil tidur aku mercoba menyelidiki. Tiga sosok khodam berdiri tegak tepat di seberang pagar gaibku. Aku hanya menatap ketiganya terlebih dahulu. Malam tepat pukul dua belas. Artinya, saatnya ritual para dukun bekerja. Sosok khodam ini kiriman para dukun santet berasal dari utara. Entah apa maksudnya mengirimkan makhluk ini aku tidak tahu. Beberapa kali ketiganya terpental karena hendak membuka pagar gaibku. Berbagai jurus dan senjata mereka lakukan. Ditambah lagi dorongan energi yang dikirim para dukun ikut membantu kekuatan mereka. Sebenarnya aku bisa saja membekuk langsung ketiga makhluk itu. Tapi aku ingin melihat dulu apa dan mengapa mereka begitu ‘ngebet’ ingin masuk ke rumahku. Akhirnya aku tidak tahan melihat aktivitas mereka. Aku ke luar menemui keduanya. Tampak sekali mereka kegirangan setelah melihat aku ke luar dari pagar.

“Ada apa kalian datang ke mari? Untuk apa tuan kalian mengutus kalian? Mengapa kalian nekat hendak menjebol pagar rumahku” Ujarku berdiri tepat di hadapannya.

“GhhhRR…kami sengaja datang ke mari. Tuan kami mengharapkan bisa bekerjasama denganmu, wahai manusia harimau dari gunung Dempu” Ujarnya tanpa absa basi. Mendengar kata kerjasama keningku jadi berkerut. Bekerjasama dalam hal apa maksudnya? Ada juga golongan manusia berani mengajakku bekerjasama?

“Siapa Tuan kalian? Mau mengajakku bekerjasama dalam hal apa? Mengapa memilih saya” Tanyaku sedikit menyelidik.

“Tuan kami Raden Saka Dirgo. Mengajak kamu untuk menarik harta karun yang banyak tersimpan di tanah Rafflesia ini” Ujarnya. Pahamlah aku, Tuan tiga makhluk ini selain dukun santet juga pemburu harta karun. Berani sekali dia memintaku untuk bekerjasama dalam pekerjaan ‘maling’ itu. Akhirnya dengan sigap kutarik pemimpin mereka ke hadapanku.

“Ini Tuan kalian bukan?” Ujarku memperlihatkan sosok yang kutarik di hadapan tiga makhluk astral utusan itu.

“Iya, dia Tuan kami. Lepaskan! Mengapa kau mengambilnya?” Ujar salah satu makhluk astral kaget.

“Aku akan katakan langsung pada Tuanmu ini, jangan berani-berani lagi ke mari terus mengajakku bekerjasama untuk mengambil harta karun dan benda pusaka lainnya yang tersimpan di kota ini. Aku bukan makhluk dungu seperti Tuan kalian” Ujarku keras.

Melihat sukma Tuannya kugenggam, tiga makhluk astral mulai panik dan siap-siap menyerangku. Aku baru tahu kalau di bumi Raflesia ini banyak harta karun menjadi incaran manusia tamak. Mereka bekerja sama dengan para jin fasik.

“Aku ingin tahu, Pak. Apa alasan Bapak mengutus tiga makhluk astral ini padaku?” Ujarku menekan amarah.

“Karena aku tahu kemampuanmu. Aku juga tahu siapa kamu. Kamu manusia sepertiku, mustahil kamu tidak mau kaya, berlimpa harta” Ujarnya bersemangat.

“Harta apa yang kau incar, Bapak dukun” Lanjutku kembali.

“Oh, banyak sekali anak manis. Emas batangan, uang emas, pedang, keris, dan sebagainya. Mustahil kau tidak mau. Apalagi jumlahnya banyak sekali. Untuk itu kita harus bersatu guna mengalahkan makhluk astral yang menjaga harta karun tersebut. Kau berkenan kan anak manis?” Lanjutnya lagi merayuku. Dia lupa kalau dirinya dalam genggamanku.

“Kau dukun hebat bukan? Tapi dirimu tak sanggup menolak bahkan tidak tahu jika sukmamu di tanganku” Lanjutku lagi. Wajahnya tercengangBeliau baru menyadari jika sukmanya bisa kusandera. Aku tersenyum melihat wajah dungunya. Beliau berusaha menyimpan perasaan cemasnya. Dalam suasana cemas tersebut dia sempat menghubungi anak buahnya dan pengikutnya untuk minta tolong dan bersiap-siap mengirimkan serangan jarak jauh padaku. Ternyata itu alasannya beliau sangat getol untuk mengajakku. Alasan selanjutnya karena aku beliau anggap layak dan dianggapnya hidup belum mapan. Masih butuh biaya banyak untuk hidup. Dengan gampangnya beliau menghitung-hitung berapa persen untuk beliau, berapa persen jatah untukku berapa pun hari karun yang di dapat kelak. Selanjutnya beliau menyebutkan beberapa titik harta karun peninggalan perang tersebut yang tersebar di beberapa tempat baik di kota Bengkulu mau pun di luar kota.

Setelah selesai mendengarkan ocehannya yang tidak jelas itu, aku berusaha menenangkan hati. “Terimakasih tawaran Pak Dukun. Sayang sekali, saya bukan tipe manusia tamak seperti Bapak. Saya tidak butuh harta karun-harta karun itu” Ujarku melepaskan cengkramannku.

“Silakan Bapak pulang” Usirku. Beliau kulempar kembali ke jasadnya. Tiga makhluk astral anak buahnya ikut melesat pulang. Aku masuk kembali ke kamar melanjutkan niat tidurku. Belum sempat merebahkan badan, kembali salah satu makhluk astral berteriak-teriak di luar rumah memanggilku. Aku buru-buru ke luar untuk mengetahui maksud kedatangannya.

“Ada apa lagi?” Tanyaku.

“Tuanku tak bisa kembali masuk ke jasadnya. Tolong kembalikan dia” Ujarnya setengah membentakku. Kutatap wajahnya dengan sinis. Memang makhluk astral ini tidak punya sopan-santun

“Bukankah tuan kalian dukun hebat? Mengapa sekadar kembali ke jasadnya tidak bisa? Artinya tuanmu tidak punya kemampuan apa-apa. Tidak punya kemampuan kok kalian anggap Tuan? Bodoh!” Ujarku mengejeknya. Makhluk astral itu menghentakkan kaki menahan marah.

“Coba kalian pikir, kalau Tuanmu hebat, maka dia tidak akan memintaku bekerja sama padanya. Orang seperti itu kok kalian anggap Tuan” Ejekku lagi.

“Tapi beliau yang memberi kami makan selama ini” Jawabnya lagi. Selanjutnya makhluk ini terus kusudutkan hingga dia marah dan hendak menyerangku. Dengan santai dia kubodoh-bodohkan. Terakhir dia balik mengejekku, Mengatakan bangsa manusialah yang bodoh mau bersekutu dengan mereka.

“Manusia banyak yang bodoh mau kami perdaya. Mereka kelak akan menjadi teman kami, budak kami” Lanjutnya lagi dengan bangga.

“Iya, itu bagi manusia yang tidak beriman. Jika manusia beriman jangankan menggoda, mendekat saja kalian tidak bisa. Kalian kepanasan! Sekarang pulanglah. Bukankah kamu juga hebat. Berilmu tinggi. Bantulah Tuan kalian untuk kembali ke jasadnya.” Pancingku.

“Tidak bisa!! Tuan kami tidak bisa kembali sendiri ke jasadnya. Kau yang harus bertanggunjawab karena kau yang mengambilnya tadi!” Makhluk astral di hadapanku mulai kehilangan kesabaran. Dalam hati aku senyum-senyum setelah puas mempermainkannya. Dia tidak berani menyerangku. Rupanya dia takut aku tidak menolong Tuannya. Huf! Huf!Aku menggerakkan kembali tanganku ke atas. Sukma Sang dukun kukembalikan. Ternyata jasad beliau dikelilingi lebih dua puluh lima orang yang sedang mengerahkan kemampuan menarik sukma Sang dukun. Meski mereka sudah mengerahkan kemampuan masing-masing, mereka tidak bisa menembus alam gaib untuk mengambil sukma Sang Dukun. Hal ini karena sejak awal memang sudah kuhalangi. Melihat dua puluh lima lebih sosok mengelilingi Sang dukun, aku geleng-geleng kepala. Mereka adalah pasukan pemuja setan dari berbagai daerah. Melihat berbagai macam sajen di hadapan mereka, meyakinkan aku jika mereka adalah orang-orang sesat. Boneka-boneka pocong, anyir darah, berbagai macam kembang, dupa, kendi berisi air, kelapa hijau, dan lain-lain ternyata di apit dua lilin.

Para dukun, sebagian berambut panjang dan brewok. Ada juga bertampang mulus dan bersih mirip orang soleh. Mereka supranatural muda dan tua, berkumpul untuk melaksanakan suatu misi menarik harta karun dan pusaka. Mereka tahu, harta karun-harta karun itu dijaga oleh makhluk-makhluk astral. Umumnya makhluk-makhluk astral tersebut sakti-sakti, untuk itulah mereka bergabung, membuat sebuah paguyuban. Sebenarnya, makhluk-makhluk astral itu menjaga harta karun dan pusaka, sebagian ditugaskan oleh tuannya agar tidak jatuh di tangan orang terntentu. Ada juga sebagian di tempati oleh bangsa gaib karena mereka betah. Benda pusaka dan harta karun itu dijadikan rumah hunian mereka. Oleh sebab itu ketika ada orang yang memaksa hendak mengambilnya, mereka akan melakukan perlawanan. Menurutku apa bedanya bangsa manusia yang menarik paksa harta karun dan benda pusaka itu dengan perampok? Mereka harus menakhlukan makhluk-makhluk astral penjaga harta karum dan pusaka lebih dulu baru bisa memilikinya. Kecuali mereka memang dengan sengaja memberikan pada manusia, lain ceritanya. Akhirnya aku mengingatkan sang dukun agar jangan berani-berani lagi menemui aku, apalagi mengajak pada hal-hal yang menurutku tidak ada manfaatnya. Meski kulihat wajahnya kecewa, namun aku dapat mengetahui mentalnya. Secara batin dia sudah merasa takut padaku. Guru para dukun ini hanya bisa menunduk patuh. Demikian juga tiga makhluk astral yang menemui aku sebelumnya. Pelan-pelan mereka berjalan mundur. Dua puluh lima orang yang bergabung di sini pun hanya bisa diam mendengar peringatanku. Akhirnya aku kembali pulang.

Di depan rumah kutemui Eyang Kuda berdiri seperti menungguku. Beliau tersenyum dari jauh menatapku. “Bertemu paguyuban dukun ilmu hitam rupanya. Kukira dirimu akan menggempur mereka, terutama jutaan anak buahnya itu” Ujar Eyang Kuda.

“Inginnya seperti itu. Melihat sukma ketuanya tidak bisa masuk ke jasadnya sudah membuat mereka ciut, Eyang. Biarlah. Selagi dia tidak mencelakakan orang tak apalah. Aku akan awasi mereka” Ujarku.

“Hmm…hati-hati Nduk, mereka akan jadi musuhmu di dunia nyata dan menyerangmu di dunia gaib, karena dia tahu dirimu pasti menentang misi mereka. Mereka memang jangan diberi hati. Sekali diberi, bakal minta lagi” Lanjut Eyang Kuda mengingatkan. Aku tersenyum mendengar nasehat beliau. Eyang Kuda ternyata sangat awas dalam hal seperti ini.Akhirnya aku mengajak Eyang masuk ke dalam rumah. Tapi beliau memilih duduk di teras.

“Kau tahu yang bergabung di paguyuban itu darimana saja Putri Selasih?” Eyang memicingkan mata menatapku tajam, cahayanya mengingatkan keras padaku untuk hati-hati.

“Mereka ada yang dari Kalimantan, dari Banyuwangi, dari Kerinci Jambi, dari Kepulauan Riau, dari Wonogiri, Sragen, Palembang, Bengkulu Selatan, Bengkulu Utara, dan Bengkulu kota, Eyang” Lanjutku lagi. Sengaja kusebutkan nama-nama asal daerah mereka agar Eyang Kuda yakin jika aku cukup waspada dan memahami karakter mereka. Kulihat Eyang mengangguk-angguk. Tak lama Eyang Kuda pamit pulang. Sepeninggal Eyang Kuda, aku kembali menuju tempat tidur. Kali ini rasa kantukku benar-benar tak dapat kutolak. Tubuhku segera kuhempaskan ke tempat tidur. Baru kali ini tubuhku menagih segera minta istirahat. Kudengar dari kejauhan ayam telah berkokok sekali. Aku malas melihat jam. Aku sudah tahu saat ini sudah dini hari. Kubuang segera segala macam yang mengganggu pikiran. Sedikit samar, suara pericikkan air wudu Bapak dari kamar mandi mengantarkan lelapku dan bermimpi.

***

Aku berdiri di depan papan pengumuman menelisik nomor urut dan nomor test Ujian Nasional. Di belakangku beberapa teman dari jurusan IPS melompat-lompat kegirangan. Tak lama depan papan pengumuman sudah berdesak-desakan membuat aku sulit bergerak. Antusias kawan-kawan untuk melihat pengumuman kelulusan membuat dada mereka berdegup kencang. Nafas mereka sebagian besar terdengar memburu seperti dikejar maling.

“Sejak semalam aku sulit tidur menunggu pengumuman hari ini.” Ujar salah satu anak IPS di sebelahku. Entahlah dia berbicara dengan diri sendiri atau berbicara dengan kawannya. Tapi nampaknya tidak ada yang menjawab. Semua mata nanar melihat kertas yang di tempel di papan pengumuman. Ketika mengetahui namanya tercantum maka teriakan kembali pecah. Kerumunan pun diterjang agar bisa melompat girang. Ya demikianlah ekspresi ketika seseorang gembira dan berhasil menerima capaiannya.

Aku berusaha ke luar dari himpitan keramaian. Namaku ada di urutan delapan, dinyatakan lulus.

“Ce, lulus? Selamat ya!” Aku menjabat dan memeluk Ice teman sekelasku.

“Aku belum lihat pengumuman, Dek. Rame banget. Nanti saja tunggu agak sepi. Aku mau pulang sebentar.” Ujarnya buru-buru meninggalkan aku. Aku sedikit heran meski tidak melihat wajahnya cemas. Tapi Ice memang tidak segembira kawan-kawan yang lain. Tidak sedikit kawan-kawanku sujud syukur sambil berurai air mata.

“Alhamdulilah Dek, perjuangan kita tidak sia-sia. Lepas rasanya beban berat selama ini. Sekarang kita tinggal melanjutkan mempersiapkan diri ikut ‘Sipenmaru’ Neti memelukku erat sekali. Kulihat mata cipitnya basah saking harunya. Aku memaklumi sahabatku satu ini. Sejak ayahnya meninggal, dia ikut kakaknya yang honorer di salah satu instansi pemerintah. Sementara ibunya di kampung, beratani. Hanya sesekali saja ibunya datang dari Lintang Empat Lawang ke Bengkulu. Itu pun jika sudah panen sahang, atau kopi.

“Rasanya aku ingin cepat pulang ke dusunku, Dek. Aku ingin ziarah, menyampaikan berita gembira ini pada Ayah” Ujarnya dengan suara tertahan.

“Iya, lusa kita akan tandatangan ijazah. Kalau sudah kau pulanglah sebentar ke dusunmu. Lalu segera balik ke Bengkulu untuk siap-siap tes Sipenmaru” Lajutku sambil menghapus air matanya.

“Tapi kakak belum gajian, awal bulan aku baru bisa pulang, Dek” Lanjutnya lagi. Aku merogok kantong celana panjangku dan mengeluarkan uang dua puluh ribu.

“Pakailah uang ini untuk ongkos pulang kampung. Cukup kan untuk pulang pergi” Lajutku menyodorkan uang pecahan sepuluh ribu. Tatapan Neti ragu. Dia tidak percaya jika aku serius hendak menolongnya.

“Ini terlalu banyak, Dek. Lagian pula entah kapan aku bisa mengembalikannya padamu. Kamu juga butuh uang kan?” Ujarnya lagi. Setelah kubujuk, akhirnya Neti mengambil uang yang kusodorkan. Katanya uang segitu lebih dari cukup untuknya pulang pergi. Aku melihat senyummu mekar. Dalam batin bahagia sekali aku melihat sahabatku satu ini.

“Hei, nama Ice, Siti, Budi, tidak ada di papan pengumuman. Apa mereka tidak lulus ya” Akhirudin salah satu teman sekelasku membawa berita mengejutkan sambil menghampiri kami berdua. Aku penasaran. Diam-diam kuawasi lagi pengumuman kelulusan. Benar! Nama ketiga sahabatku itu tidak ada. Sejenak aku tercengang. Perasaan ketiga sahabatku itu tidak bodoh. Dari kelas satu kemampuan mereka sedang-sedang saja. Bagaimana mereka bisa tidak lulus? Bahkan Budi mantan ketua OSIS. Aku tidak habis pikir. Pantas tadi Ice terkesan buru-buru. Tenyata namanya tidak ada di papan pengumuman itu. Terbersit rasa kasihan pada mereka. Cukup lama juga aku terdiam memikirkan mereka.

Jika teman-temanku berlari ke sana ke mari, berteriak gembira lalu berpeluk-pelukan, aku justru memilih pergi ke kantor. Yang pertama kutemui kepala sekolahku, Bapak Saldanis. Beliau seringkali kurepotkan dengan meminta tinta cair merek ‘hero’ untuk mengisi penaku sampai penuh. Saking seringnya aku disuruhnya mengambil sendiri di ruangannya.

“Kenapa Dek, mau minta tinta lagi?” Sapa beliau ketika melihat aku nongol di depan pintu. Aku langsung tersenyum mendengar sapaannya. Buru-buru aku mengucapkan terimakasih karena sudah mendidikku, dan hari ini lulus. Beliau tersenyum lebar menyalamiku.

“Alhamdulilah, selamat Dek. Lanjutkan kuliah. Bapak doakan kamu sukses” Ujar beliau lagi. Bahagia sekali rasanya bisa berjabatan dan mendapat ucapan selamat langsung dari beliau. Selebihnya beliau m nasehati dan memotivasi aku agar terus menggali diri dan membangkitkan potensi.

Dari Pak Saldanis, aku berlari gembira mencari wali kelasku di ruang guru. Ternyata beliau tidak ada. Akhirnya aku bersalaman dan mengucapkan terimakasih pada guru-guruku yang lain. Usai menemui para guru, selanjutnya aku dan kawan-kawan berkumpul di kantin Datuk belakang sekolah. Mendengar rata-rata kami lulus, Datuk tersenyum lebar. Lelaki yang sudah berusia tujuh puluhan ini nampak turut bahagia.

“Doakan Datuk tetap sehat yo, Datuk minta maaf kalu ado salah. Datuk jugo doakan tobo kamu koh jadi orang segalo” Ujar Datuk menatap kami bahagia. Wajahnya berseri-seri. Lelaki sepuh ini sangat baik. Sering aku melihat beliau diam-diam memberikan makanan jualannya pada teman-temanku yang kelihatan hidupnya prihatin dan jarang jajan. Selebihnya tidak sedikit kawan-kawanku yang iseng membayar makanan tidak sesui dengan jumlah yang diambil atau pun dimakan. Biasanya Datuk memberikan sesuatu diam-diam, tidak diketahui oleh Andung, sapaan untuk istrinya. Sebab pasangan suami istri sepuh ini punya sifat seperti bumi dan langit. Datuk seorang yang dermawan, kerja tanpa pamri, akrab dengan anak-anak. Sementara Andung, pelit, cerewet, marah melulu. Apalagi kalau jajan cuma berapa biji lalu duduk lama-lama di kantinnya, Andung pasti marah lalu mengusir kami agar ke luar dari kantin. Makanya tidak heran, Andung tidak masuk dalam kategori orang yang dirindukan seperti Datuk. Wajahnya selalu masam, kerutnya berlari-lapis. Bahkan ada yang memprediksi masa mudanya beliau berhati sempit, dan itu tercerminan hingga kini.

Usai berkumpul, kawan-kawanku berjanji akan ke sekolah lagi esok. Meski kami bingung apa yang akan dilakukan. Usai mengiyakan, aku segera pamit pulang. Kami bubar dari katin Datuk. Aku memilih jalan pintas di belakang sekolah agar cepat sampai di simpang Kampung Bali. Aku ingin mengabari Bapak dan Ibu segera. Beliau pasti menungguku di rumah dengan perasaan gelisah. Bagaimana pun mereka berdua wajib tahu lebih dulu di bandingkan yang lain.

Benar saja, ketika mendengar aku pulang, yang pertama ditanya apakah aku lulus atau tidak. Bukan bertanya berapa nilaiku. Nampaknya nilai tidak penting. Yang penting adalah mendengar kata ‘lulus’. Mendengar kata lulus wajah keduanya nampak berseri. Bapak langsung memberikan alternatif-alternatif pendidikanku selajutnya. Nada suara Bapak antusias sekali dan beliau sangat yakin aku lulus seleksi masuk Perguruan Tinggi.

Aku bersyukur meski orang kampung, Bapak dan Ibu selalu mengutamakan pendidikan.

“Pokoknya kalau kamu mau kuliah, harus kita wujudkan meski terjual harta benda sekali pun tidak masalah. Ibu ingin anak ibu bisa mengubah kehidupan. Cukup Bapak dan Ibu saja yang jadi petani, hidup di desa. Kalian harus hidup di kota” Ujar Ibu semangat. Aku mendengarkan celoteh ibu tentang orang-orang kampung yang sukses. Menurut Ibu mereka yang sukses adalah mereka yang ditempa oleh keprihatinan. Tekad untuk berubah bukan dari orang lain. Tapi harus tumbuh dari diri sendiri. Orang lain hanya bisa menasehati, memberi jalan. Yang menentukan jalan lurus atau bengkok kembali pada diri kita masing-masing. Aku sepakat dengan apa yang disampaikan ibu. Wanita sederhana ini menurutku cukup cerdas dan bijak jika diajak berbicara tentang hidup. Tapi jika berbalik ke belakang, Ibu memang perempuan tangguh. Jika Ibu tidak tangguh, tidak mungkin Bapak akan kembali bergairah menjalani hidup seperti usai mengalami musibah kebakaran berapa tahun lalu.

“Ibu memang wanita hebat!” Aku mencium pipi dan memeluknya dari belakang. Tiba-tiba aku sangat kagum dengan perempuan kampung ini. Untuknyalah aku harus bisa masuk Perguruan Tinggi Negeri.

Baru saja aku merebahkan badan menikmati kelulusan hari ini. Jadi terbayang kebersamaan bersama teman-teman selama ini. Entahlah, tiba-tiba aku merasa kesepian, lalu muncul pula perasaan rindu pada guru, pada teman-temanku, pada lingkungan sekolah. Padahal baru dapat pengumuman lulus, tapi jiwa serasa sudah merantau ke mana-mana. Seperti rangkaian gerbong kereta api, satu-satu berbagai peristiwa di sekolah terekam semuanya.

BRaaaaRTT!!!

Aku tersesetak tiba-tiba ketika mendengar gerakan angin kencang di atas bubungan rumah. Aku diam sejenak, lalu pelan-pelan mengawasi apa yang terjadi.

“Hati-hati Putri Selasih! Jangan ke luar!” Suara merdu mengingatkanku. Masya Allah, Ratu Ular Putih yang memiliki istana tidak jauh dari rumahku mengingatkan. Sudah lama sekali aku tidak berjumpa dengannya. Tiba-tiba malam ini dia mengingatkan aku. Sementara aku belum tahu apa yang terjadi.

“Apa kabar Ratu Ular Putih. Sudah lama sekali kita tidak saling sapa. Apa yang terjadinya luar?” Aku membatin, menjawab perintahnya. Sebenarnya aku sangat penasaran ingin mengetahui apa yang terjadi. Mengapa bubungan atap rumahku seperti terangkat.

“Ratusan makhluk astral pengikut dukun-dukun santet nampaknya hendak menyerbumu. Mereka datang dari Utara” Lanjut Ratu Ular Putih lagi.

“Oh..kalau begitu, akan kuhadapi mereka!” Jawabku langsung melesat ke luar rumah. Benar apa yang dikatakan Ratu Ular Putih. Ratusan makhluk astral mengelilingi rumahku dengan wujud berbagai bentuk. Rata-rata mereka memiliki senjata. Aneka bentuk pedang, tombak, dan ular mereka pamerkan mengancam dan menakutiku. Rupanya bunyi gaduh di atas bumbungan rumahku ini adalah gabungan kekuatan ratusan jin fasik yang berusaha menjebol pagar rumah.

“Apa keperluan kalian datang ke mari? Mengapa kalian kompak sekali hendak menjebol pagar rumahku?” Tanyaku masih santai. Jawabannya adalah suara menggeram dan nafas berat. Mata mereka terlihat nanar. Beberapa di antara mereka langsung mengirimkan bola api padaku.

Waasstt!!

Aku mengibas bola api dengan telapak tangan. Bola api terpental jauh. Aku belum sempat mendeteksi siapa mereka. Jadi aku tidak tahu tujuan dan datang dari mana. Melihat mereka nampaknya bernafsu sekali ingin menyerangku. Aku mulai waspada. Benarlah kata Ratu Ular Putih, mereka kasar dan berniat tidak baik. Ini terlihat dari cara mereka menyerangku tiba-tiba.

Hiiiaaat!!!

Aku menggerakkan kedua tangan sekaligus memasang kuda-kuda. Pasukan tidak dikenal ini nampak serentak menyerangku.

“Hati-hati Selasih! Mereka licik sekali” Ratu Ular Putih berteriak. Aku tidak tahu memastikan beliau ada di sisi mana. Tapi cukup berterimakasih karena teriakkan Ratu Ular Putih aku menjadi awas. Apalagi dari belakang sabetan ekor ular berwarna kuning emas siap mengait lalu melilitku.

“Mati kau! Sok suci menolak ajakan kami perempuan kecil” Suara lelaki berat bernada meremehkan. Aku mengenal suara itu. Dia lelaki, dukun santet yang memimpin paguyuban, yang kuambil sukmanya beberapa waktu lalu. Rupanya dia belum puas dan merasa diremehkan karena aku sempat menyanderanya.

“Dasar pengecut! Tidak puas rupanya, sekarang mengirim makhluk-makhluk pesuruh yang tidak punya perasaan. Mau apa lagi Bapak dukun?” Ujarku di sela-sela menyiapkan perlawanan. Aku disambutnya dengan tawa menggelegar. Tak lama terdengar riuh sekali. Mereka memukul pusaka masing-masing, persis seperti orkestra. Pusaka-pusaka mereka berfungsi menjadi alat-alat musik. Iramanya yang mistis membuat makhluk-makhluk astral semakin bergairah. Efeknya, kekuatan mereka berlipat ganda.

Aku mulai bergerak, mengangkat tangan ke atas tinggi-tinggi. Kekuatan mulai kupadu jadi satu. Sebelumnya, kupagari diri, lalu memanggil kekuatan angin. Aku membatin, nampaknya pertempuran malam ini akan terjadi cukup sengit. Melawan dukun santet yang bersatu, apalagi mereka berasal dari segala penjuru bukan hal yang muda. Apalagi untuk melawan kekuatan-kekuatan mistis dari pulau Kalimantan menurutku ilmunya cukup unik dan aneh. Baru saja aku hendak memutar badan, tiba-tiba hawa panas menghantamku dari depan. Rupanya lidah salah satu makhluk astral bisa menjalar panjang dan menyerang. Bersyukur angin dengan cepat menarik tubuhku untuk mengelak dari serangan yang tiba-tiba. Sambil melayang ke atas, aku hantamkan pukulan api mengimbangi hawa panas yang menjalar-jalar itu. Dalam satu kesempatan kutebas dengan pedang api yang kutarik dari kekuatan matahari. Lidah yang panjang menjalar terputus. Namun anehnya, bagian ujung yang putus bisa menyerang balik. Darahku sedikit terkesiap. Ilmu yang aneh, aku membatin.

DuuuaaRR!

Bola es dan pukulan halimun beku kuhantamkan kembali pada potongan lidah yang menyala-nyala. Dalam sekejab, seperti api tersiram air, lidah mendesisis dan langsung berkerut. Tinggallah makhluk astral pemilik lidah mental ke sana kemari seperti bola bekel sambil mengirimkan pukulan padaku.

Tawa para dukun pecah sambil berteriak “mati kau, mati..mati” melihat aku berkelit ke sana-kemari. Mereka mengira aku kelabakan mendapatkan serangan maut yang mereka kirimkan. Mereka memukul-mukul pusaka dan alat musik tertentu dengan irama aneh. Lama-lama seperti suara musik itu bersatu seperti orkestra, semakin lama semakin kencang. Belum lagi makhluk astral yang sengaja datang mengepungku, mereka juga terlihat liar dan sulit dikendalikan.

Aku menutup pancaindera agar bunyi yang membisingkan itu tidak menyerang gendang telinga dan membuyarkan konsentrasiku. Aku tidak paham ilmu apa ini. Selain mengirim godam, para dukun ini bisa pula mengirim bunyi-bunyian. Belum lagi serangan pukulan mereka. Tidak sedikit kekuatan-kekuatan mereka memiliki energi dasyat yang mematikan. Tiba-tiba aku mendengar deru angin sangat kencang dari arah belakangku. Aku berkelit menghindari sabetan berupa kilatan-kilatan senjata tajam berseleweran dari samping, atas, dan depan. Mereka mencoba mengepungku. Makhluk astral ini bukan hanya bertugas sebagai perentara saja. Tapi bertugas mencelakakan aku. Penggerak sesungguhnya ada pada Bapak dukun dan dua puluh lima pengikutnya.

“Pak dukun! Apa Bapak tidak malu mengeroyok seorang perempuan? Atau Bapak sudah kehilangan kejantanan hanya berani dengan perempuan? Dasar dukun banci!” Teriakku sengaja mengejeknya. Tidak ada jawaban. Yang ada hanya suara menggeram pertanda si dukun mengerahkan kekuatan batinnya.

“Pak Dukun! Maumu apa mengirim pasukan iblis ini ke mari?” Teriakku. Lagi-lagi aku mendapatkan jawaban berupa gigil dan geraman yang menyeramkan.

Akhirnya setelah mendapatkan serangan dua kekuatan makhluk astral dan pasukan dukun, aku mencoba untuk menyelesaikan lawan satu-satu. Sekarang saatnya aku menyerang. Sebab jika terus bertahan, aku akan kehilangan banyak energi. Aku beralih pada jurus baru dan kekuatan baru.

Di samping terus bertahan dengan serangan jarak jauh, aku juga fokus menghadapi makhluk astral secara langsung. Aku segera menyilangkan tangan, membaca mantra, lalu kutarik kekuatan langit dan badai. Kekuatan itu kukumpulkan ke lengan hingga telapak tangan. Melihat desau angin dan energi kekuatanku berkumpul tidak sedikit makhluk astral di hadapanku bergerak minggir. Tak lama mereka Kembali maju karena diasup kekuatan oleh para dukunnya.

Tak lama bubungan rumahku seperti lapangan perang. Erangan, teriakan, jeritan, tangisan, sampai tawa makhluk astral campur aduk menjadi satu. Kali ini aku balas menyerang mereka. Tubuhku berkelebat ke sana kemari. Kekuatan angin masih kukerahkan untuk membantuku bergerak. Beberapa kali sabetan ekor ular besar berwarna emas nyaris membanting tubuhku. Tiba-tiba aku merasakan tubuhku ditarik dari segala arah, sehingga terasa tubuhku akan dicabik di sana-sini. Aku berusaha bertahan sembari mengerahkan tenaga untuk melepas tarikan yang maha dasyat itu. Namun ternyata tenaga makhluk astral ini yang dibantu kekuatan para dukun luar biasa. Aku akui, para dukun dalam paguyuban itu bukan dukun biasa. Mereka adalah dukun-dukun ternama di daerah masing-masing. Bahkan batinku mengatakan di antara dukun itu, ada yang paling keji. Dia sudah membunuh kurang lebih empat ratus dua puluh lima manusia melalui santetnya dari berbagai kalangan. Ada tokoh agama, masyarakat biasa, pejabat, dan lain sebagainya. Dalam hati aku tak habis pikir. Ada juga bangsa manusia tega membunuh bangsa sendiri dengan keji. Istilah metode “membunuh tanpa menyentuh” sudah mendarah daging bagi para dukun santet. Dan mereka bangga dengan profesi mereka. Apalgi jika bisa membunuh orang dalam waktu singkat. Dan bayarannya tidak tanggung-tanggung. Puluhan juta bahkan ada yang ratusan juta. Bergantung cepat lambatnya mengenai sasaran. Makin pendek waktunya, maka makin mahal pula taripnya.

Tiba-tiba aku merasa kekuatan para makhluk astral yang dikendalikan oleh para dukun ini semakin bertambah. Beberapa kali aku menjadi sasaran pukulan telak mereka. Tidak ada kesempatan untukku mengubah posisi dan kembali melakukan serangan. Akhirnya aku hanya menghindar dibantu angin. Berkelit ke sana – ke mari, kadang berputar ke sana ke mari seperti penting balet.

Baru saja aku hendak menarik nafas setelah ada sela, tiba-tiba api berkobar mengelilingi tubuhku. Kulihat di sekitar rumahku pun dikelilingi api. Dalam hati aku heran dengan kelakuan para dukun ini. Mengapa mereka begitu gencar menyerangku hanya karena aku menolak berseketu? Rasanya tidak masuk akal. Melihat mereka serius hendak mencelakai aku, dalam keadaan terdesak aku baca mantra badai dan hujan. Dalam sekejap, angin dan hujan menggulung api. Kulihat api melakukan perlawanan pada angin dan hujan. Api merupakan perwujudan lain makhluk astral bergerak tak karuan. Akhirnya dimana-mana ada kelompok api menyala. Aku kembali menghimpun kekuatan badai. Kali ini api kukepung dari segala penjuru. Dari atas, bawah, samping. Akibatnya benturan energi makin menjadi.

Plaakk!!! Aku terpental. Pukulan ekor ular berwarna emas menghantamku dari belakang. Meski tidak terlalu telak karena angin sempat mearikku untuk berkelit, namun karena energi yang dikeluarkan bukan energi biasa, sedikit saja menyentuh tubuhku rasanya bukan main. Aku seperti dibanting dan terhempas di karang tajam. Sesaat aku menahan nafas karena nyeri. Segera kutarik nafas berusaha memulihkan diri. Namun belum sempat aku pulih sepenuhnya, seperti kilat serangan api berpasir menyerang tubuhku. Ratusan kekuatan yang dihimpun jadi satu ini benar-benar dasyat. Kali ini aku merasakan pasir panas yang menerpa nyeri sekali. Kulitku terasa disayat-sayat. Mungkin beginilah rasanya kena santet. Pasir terasa bergerak dan berjalan ke seluruh tubuh dan semuanya terasa tersayat. Tiba-tiba wajah dan kulitku menggelembung seperti luka bakar. Lalu terdengar tawa berbarengan para dukun dan makhluk astral.

“Mampussss kau perempuan sombong!” Jerit salah satu mereka terdengar sangat lantang.

Di tengah rasa sakit yang maha dasyat tersebut, aku mencoba menatralisir semuanya. Serangan-serangan masih terus berlangsung. Bahkan beberapa kali aku kena pukulan di dada, perut, dan nyaris kepala dan wajah. Aku tidak punya kesempatan untuk melakukan perlawanan.

“Gunakan sabuk dan selendangmu, kerahkan pedang dan permatamu. Biarkan cambukmu bekerja sesuatu kehendak hatimu” Suara gaib itu tidak kukenal.

Mendengar pesan itu, di tengah pukulan yang kutahan semampunya, aku mencoba mengeluarkan dan memerintahkan semua pusaka yang ada. Tak lama aku merasakan hawa dingin menyejukkan berkelebat kencang dan ke luar dari tubuhku. Kulitku yang melepuh normal kembli. Aku segera turun menginjak tanah, lalu membaca mantra. Dalam sekejap aku mengaum, mencakar tanah dengan kuku-kukuku. Lalu aku berteriak, menggeram, dan mengaum sekeras-kerasanya. Kukerahkan tenaga dalam untuk mengalahkan suara pusaka yang mirip orkestra para dukun dan serangan-serangan maut para makhluk astral. Semua senjataku bekerja dengan kompak mencari lawan masing-masing. Aku masih berusaha menggempur pasukan dukun dari jauh.

Usai seperti team orkestra, para dukun buru-buru berlari ke pantai. Rupanya mereka masuk ke dalam laut yang berair tenang. Kali ini mereka melakukan ritual dalam air sambil terus menyerangku. Aneh-aneh sekali ilmu mereka. Bahkan dukun dari Kalimantan beberapa kali mengirimkan benda gaib lewat angin. Ada berupa lebah, racun, miang bambu seperti hidup, pasir, rambut-rambut seperti jarum, darah, belatung, dan lain sebagainya. Belum lagi dukun dari Jawa mengirimkan jarum, paku, pecahan beling, ijuk kasar, beberapa kali diarahkan ke perutku. Aku segera berzikir menghadapi ilmu-ilmu iblis mereka. Dalam bentuk harimau putih besar kiriman-kiriman mereka semuanya kutarik lalu kutelan. Pada satu kesempatan aku kirimkan pukulan-pukulan jarak jauh. Kucabik tanah yang kuhubungkan dengan laut tempat mereka berendam. Seketika air laut bergejolak. Kuputar hingga membentuk pusaran. Dalam sekejap mereka seperti tumpukan ikan menjadi satu. Jerit dan suara minta ampun silih berganti memecah malam sepanjang pantai itu.

“Huu Allah….Huu Allah…Huu Allah…” Zikir itu teratur dan kompak seirama nafasku. Maya Allah, ternyata pusaka-pusakaku kompak berzikir sambil menyerang makhluk astral yang menyerangku sebelumnya. Tak lama semua makhluk astral mereka tumpas nyaris berbarengan. Sementara suara zikir terus melantun makin cepat namun halus dan nyata.

Menyadari sudah di posisi menang, karena semua makhluk astralnya berhasil dilumpuhkan, sedangkan para dukunnya banyak yang tumbang, satu-satu benda-benda pemberian para leluhurku itu kembali masuk ke dalam tubuhku. Fisikku pun sudah kembali normal menjadi manusia. Baru saja aku hendak melangkah, tiba-tiba aku merasakan tubuhku layu tak berdaya. Aku ambruk seketika. Oh! Duniaku gelap.

***

Aku heran tiba-tiba berada di dalam ruangan seperti balon transparan. Sejenak aku mengingat kejadian sebelumnya. Iya, aku habis bertarung mati-matian menghadapi paguyuban dukun santet yang marah karena penolakanku bersekutu dengan mereka. Lalu terjadi pertarungan sengit antara aku dan mereka. Selanjutnya tubuhku tiba-tiba lunglai dan duniaku gelap!

Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Kembali aku memandang bola tipis tapi alot ini. Aku baru sadar, jika aku dikurung. Akhirnya aku menenangkan diri sejenak, fokus pada kekuatan bola kurungan ini. Aku tidak mau gegabah. Hanya lawan jahat saja yang berani menjegal dan mengurungku. Jika teman tidak mungkin akan memperlakukan aku seperti ini.

Setelah kudeteksi, kekuatan lapisan yang megurungku ini luar biasa. Pasti yang melakukannya memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tapi siapakah dia? Apakah komplotan paguyuban dukun santet itu? Aku tak mampu menembusnya. Berkali-kali aku mencoba untuk mengenali siapa yang membokongku, namun berkali-kali pula gagal. Terbersit juga rasa khawatir, bagaimana jika aku tidak bisa ke luar, atau dibiarkan di dalam ini dalam waktu yang tidak jelas. Ngeri!

Setelah agak lama aku menyadari jika ini sihir. Hal ini setelah berkali-kali aku mencoba menghubungi kakek Andun, Kakek Njajau, Eyang Putih, Puyang Pekik Nyaring, Puyang Purwataka, Puyang Ulu Bukit Selepah, Macan Kumbang, Nenek Ceriwis, Paman Raksasa. Semuanya gagal. Tidak ada sela sedikit pun untukku bisa menghembuskan angin mengirim kabar pada mereka. Akhirnya aku pasrah.

Aku berusaha tenang setelah tahu ini sihir. Kutarik nafas agar tidak panik lagi. Cukup kubaca doa, syalawat, dan zikir, aku yakin semuanya bisa lebur. Aku mulai berpikir apa yang harus kulakukan lebih dulu. Akhirnya aku memilih untuk bermain-main dulu dengan ilmu iblis ini. Aku ingin tahu bagaimana kedasyatannya. Sebab ilmu sihir warisan dari Timur Laut Banyuwangi belum pernah kucoba. Dulu aku pernah menolak ilmu ini, tapi Nini Ratu mengatakan ini ilmu warisan. Akhirnya kukunci agar tidak dipakai samasekali. Namun kali ini aku akan buka kuncinya. Kemampuan ini akan kupakai unguk melawan sihir juga. Dalam hati, aku berdoa semoga cukup kali ini saja aku menggunakan ilmu warisan ini. Sebab aku tidak suka ilmu sihir.

Aku mulai mengayunkan tangan. Tiba-tiba bola seperti karet transparan yang membalut berubah persis seperti tubuhku. Hal ini memudahkan aku bergerak meski tidak bisa melihat sekeliling. Apalagi untuk melihat lawan. Dengan sigap kubuat lingkaran di tanah, lalu kukeruk, kukumpulkan menjadi sebuah gundukan. Sekali hentak debu tanah yang kugundukkan berubah menjadi busur panah melesat ke seluruh penjuru. Seketika suara menciat-ciat kerepotan seperti menghindari mata panah yang kukirimkan. Kutajamkan instingku, kembali kuhentakkan kaki, dan tanah kembali menjadi busur melesat, memberondong sumber suara.

“Iblis betina! Darimana kau dapatkan ilmu ini ha? Siapa kau sebenarnya?” Suaranya membentak membuat ruangan bergetar. Tidak terbayang, berapa besar tubuhnya. Belum lagi tenaga dalamnya. Aku jadi ingat Paman Raksasa yang memiliki suara menggelegar seperti suara sosok lawanku ini. Apakah aku sedang berhadapan dengan raksasa? Aku membatin.

Aku belum juga bisa memecahkan bagaimana lepas dari kurungan. Tubuhku masih berbalut. Meski aku dapat menajamkan insting untuk mengetahui arah lawan, namun posisi seperti ini cukup berbahaya. Aku tidak bisa leluasa mengeluarkan kemampuanku. Dalam keadaan seperti ini, aku berharap di antara puyang, eyang, nenek, dan kakekku ada yang terbersit hendak mengetahui keberaadaanku. Tiba-tiba aku butuh pertolongan mereka.

Sejak tadi diam-diam aku sudah mencoba membaca mantra dan kemampuanku untuk melepaskan diri. Tapi kekuatan itu justru berbalik padaku. Aku diserang oleh kemampuanku sendiri. Aku heran. Aneh sekali. Ilmu apa pula ini. Akhirnya aku tidak berani mengeluarkan kemampuanku selain sihir.

Usai mengubah debu menjadi busur panah, kali ini kucoba berubah menjadi api. Lalu dengan cepat panah api melesat menyerang lawan. Kudengar gerutu lawan sambil sesekali berteriak seperti anak kecil takut api. Tak berapa lama aku mendengar seperti desis air menyerangku, akhirnya kubalut sekelilingku dengan pasir. Air justru membersihkan aku dari pasir yang menempel, lalu kembali kuhentakan kaki. Pasir berubah menjadi busur panah melesat kembali.

Pada satu kesempatan aku mencoba memecah diri, dengan maksud untuk menyerang lawan. Lagi-lagi aku kecewa. Aku gagal. Aku mulai istighfar berkali-kali untuk menutupi rasa putus asa. Lalu menyebut asma Allah. Aku mulai pasrah. Efeknya bagi makhluk di ruangan terasa panas. Lawan mulai selonjotan. Dia kembali berteriak-teriak menghentamkan kaki ke mana-mana.

“Hei setan betina! Berhenti! Siapa kau? Mengapa kau bisa mengimbangi ilmu sihirku? Sepanjang tanah Jawa, bisa dihitung dengan jari yang memiliki ilmu sihir tinggi. Mengapa ilmu yang kau miliki mirip dengan ilmu perempuan yang kucintai dulu. Apa hubungan kau dengan perempuan Timur Laut Banyuwangi? Aku sudah berkelana ke mana-mana. Seluruh tanah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, bahkan sampai Papua, tidak satu pun gunung dan bukitnya yqng tidak kusinggahi. Ribuan tahun aku berguru ke tempat-tempat itu. Tapi dari sekian banyak sihir yang kupelajari, aku tahu tingkat daya dan kualitasnya. Ceritakan siapa kau” Ujarnya sambil menghembuskan hawa racunnya. Aku segera mengubah sihir racunnya menjadi kuntum bunga melati. Aku yakin ruangan ini telah berubah menjadi harum meski aku tidak menciumnya.

Mendengar celotehannya aku diam saja. Hal ini sengaja kulakukan. Agar dia berpikir mengapa aku diam. Benar saja, tak lama dia terbahak-bahak.

“Aku lupa membuka pagar yang mengurungmu iblis betina. Bagaiman kita bisa berbicara? Tapi kalau sudah kulepas, jangan coba-coba menyerangku. Kecuali kalau kamu mau mati sia-sia di sini” Ujarnya lagi dengan nada mengancam.

Tak lama seperti asap ke luar dari tubuhku. Pandanganku menjadi terang. Benar, di hadapanku berdiri jin bertubuh besar tinggi, bagian atas kepalanya botak, namun di sekeliling kepala ditumbuhi rambut panjang sebatas pinggang. Jenggot dan kumisnya pun nyaris sama panjangnya dengan rambut. Aku tertarik dengan kalung yang dikenakannya. Dua tengkorak manusia tergantung di dadanya. Aku memperkirakan kemampuannya ada pada dua tengkorak itu. Belum lagi gelang tangan, kakinya persis seperti ular yang melilit. Tongkatnya juga seperti ular.

Setelah udara terasa bersih, sekilas aku mengamati ruangan ini. Aku tidak bisa memperkirakan berada di mana. Apakah di gunung, bukit, atau di bawah tanah. Yang jelas aroma pengap menjadi aneh ketika berbaur dengan aroma melati. Oh! Aku berada di dalam gua. Di langit-langit gua ratusan sukma manusia terkunci. Aku semakin yakin jika makhluk di hadapanku ini makhluk jahat. Tumpukkan tengkorak manusia tersusun rapi menyeruapi bukit. Di sampingnya ada semacam belanga. Aku mencium aroma darah di dalamnya. Hanya saja aku tidak bisa memastikan itu darah hewan atau darah manusia. Mataku terhenti ketika menatap di samping belanga ada daging yang masih merah berdarah-darah. Bahkan darahnya masih terlihat segar. Lalu ada seperti usus yang melilit-lilit. Aku penasaran dengan benda itu. Masya Allah, nyaris aku menjerit. Ternyata yang bertumpuk itu adalah janin manusia. Banyak sekali! Darimana makhluk ini mendapatkannya? Untuk apa? Batinku bergetar. Rupanya ini tempat ritual makhluk menjijikan satu ini. Demi melihat janin dijadikan santapan dan ritual, darahku mendidih. Aku sudah bertekat akan menghancurkan tempat ini. Belum lagi melihat ratusan sukma yang terkurung. Aku harus membebaskannya.

Sambil tetap mengawasi kondisi gua, aku berusaha berinteraksi pada Puyang Pekik Nyaring. Memberitahu keberadaanku. Meski mataku sudah berkeliling menyapu ruangan, tapi aku belum menemukan pintu untuk ke luar.

“Nah setan kecil. Kamu sudah kubebaskan dari kurungan itu. Sekarang jelaskan siapa kamu” Ujarnya menyebutku setan. Bukankah setan itu sebangsa dia sendiri? Aneh sekali makhluk ini.

“Aku bangsa manusia, namaku Putri Selasih. Bukan bangsa setan sepertimu. Mengapa kamu menahanku di sini?” Tanyaku penasaran. Sebab tiba-tiba saja aku berada di ruang anyir ini. Andai makhluk ini membunuhku, mungkin tidak ada yang tahu kecuali Allah dan malaikatnya.

“Lama aku mengawasimu ketika kau bertarung dengan bangsaku. Semua dukun itu bisa kau tumbangkan. Makanya aku mengincarmu, ingin tahu!” Lanjutnya lagi. Rasanya sepele sekali ingin tahu aku lalu payah-payah sosok ini membawaku ke sarangnya, mengurungku di tempatnya yang tidak terlihat dan tak terjangkau ini.

“Aku melihat bagaimana ganasnya kamu memusnakan bangsaku. Tapi aku tidak peduli dengan mereka meski kami satu golongan. Ilmu mereka jauh dibawahku. Aku hanya tertarik padamu. Kau bukan bangsaku meski aku tahu darah harimau gunung Dempu ada padamu. Tapi dari mana kau dapatkan ilmu tapak segoro, dan panca segoro? Ilmu itu hanya dimiliki oleh seseorang yang kukenal dulu. Ilmu itu tidak ada tandingannya. Termasuk ilmu sihir yang kau pamerkan. Ilmu sihir langka yang hanya dimiliki oleh orang yang menolak cintaku dulu” Suaranya berat bertenaga. Aku ingin tertawa ketika mendengar kata cinta ditolak. Ternyata, makhluk satu ini pernah juga kecewa dan patah hati.

“Untuk apa aku bercerita dapat dari mana.? Aku tidak perlu pamer padamu. Aku hanya mengimbangimu saja dengan ilmu sihir itu. Justru aku yang hendak bertanya siapa perempuan yang kau cintai itu?” Jawabku.

DuuuaRR!!

Tongkatnya dihantamkanya ke lantai. Seketika bumi serasa berguncang Aku kaget. Hanya satu kali hentakan bumi serasa gempa. Dalam hati aku mengagumi keilmuannya.

“Seumur hidup tidak ada yang berani membantahku. Ini anak manusia, iblis kecil, berani melawanku. Aku hanya bertanya. Jawablah sebelum kau kumakan, kujadikan kau santapanku malam ini.” Tatapan matanya menyala. Aku mulai waspada. Iblis yang menyebutku iblis betina ini bukan lawan bisa diajak main-main. Suaranya saja mampu menggetarkan dan seperti senjata menekan lawan. Apalagi jika dia mengeluarkan kemampuannya.

Akhirnya kembali kupancing, apa kepentingannya menanyakan ilmu yang kumiliki. Kukatakan aku cucu Nini Ratu. Ilmu segoro dan sihir adalah warisan beliau. Mendengar penjelasanku, sosok menyeramkan ini tertawa terbahak-bahak.

“Tidak kusangka, gagal memiliki eyangnya, sekarang bertemu cucunya. Aku yakin, ilmu Eyangmu telah kau kuasai semua. Kalau kita bertarung, tidak akan ada yang kalah, tidak ada yang menang” Ujarnya lagi.

“Masak iya Ki, kalau kita bertarung tidak ada yang kalah dan menang? Mengapa bisa demikian?” Ujarku sengaja meremehkannya. Sosok yang menjijikkan ini kembali tertawa. Tawanya yang menggelegar menyakitkan telinga. Melihat tubuhnya bergoyang-goyang dan nampak lucu, membuatku ikut tertawa. Tawanya kuimbangi dengan tenaga dalam pula. Akhirnya kami saling serang lewat tawa. Sosok aneh ini terpingkal-pingkal, aku pun ikut terpingkal-pingkal. Agar tawaku ikut menggelegar, kuhimpun kekuatan guruh. Akhirnya kekuatanku berlipat ganda. Kulihat gelombang tawa kami berdua seperti angin yang bergulat. Kadang mendesak ke arahku, kadang mendesak ke arahnya. Gua yang luas ini serasa akan runtuh. Baru kali ini aku melawan kekuatan dengan cara ini. Aku seperti bercermin. Kami sama-sama seperti orang gila.

“Sudah! Sudah cucu kekasihku! Hentikan. Benar bukan? Di antara kita tidak ada yang menang dan kalah? Kita sama-sama kuat. Kau cucu kekasihku yang hebat. Bangga rasanya mengenalmu. Aku tidak jadi memakanmu” Aku serasa ingin kembali tertawa mendengar ‘cucu kekasihku’. Padahal tadi beliau mengatakan cintanya ditolak. Sekarang bilang kekasih hatiku. Sayang sekali Nini Ratu tidak bisa kuhubungi lagi. Andai beliau masih ada.

“Di mana aku bisa menjumpai kekasih hatiku, Eyangmu” Katanya lagi. Sikap liarnya berubah jinak. Dalam hati aku kagum pada Nini Ratu. Ternyata cinta makhluk ini abadi hingga sekarang. Buktinya mendengar nama Nini Ratu saja, sosok di hadapanku seperti sudah memeluknya. Semula begitu ganas, sekarang sedikit melunak.

“Nini Ratu tidak bisa ditemui lagi Aki. Beberapa bulan lalu beliau menghilang meninggalkan aku. Dan tidak bisa dijumpai lagi. Hingga kini, jika ingat beliau aku sangat sedih, selalu ingin menangis” Ujarku sedikit dramatis.

“Apa? Beliau menghilang? Moksa? Oh kekasih hatiku, tunggulah aku. Aku akan menemuimu, kan kucafi dirimu” Lagi-lagi aku ingin tertawa melihat sosok besar di hadapanku menangis sambil nungging-nungging. Tak lama tubuhnya seperti nangka masak gedebak-gedebuk terlempar ke sana ke mari. Lagi-lagi gua ini seperti hendak runtuh.

“Sudah Aki, sudah. Kita sama merasa kehilangan dan sedih. Aku percaya Aki sangat menyayangi Eyangku. Aki sosok makhluk astral yang hebat, sakti luar biasa, namun ternyata mempunyai perasaan yang lembut, kesetiaan yang tidak terkalahkan. Eyangku pasti sangat bahagia karena cucunya berjumpa dengan Aki” Ujarku mulai menjeratnya. Sengaja itu kulakukan karena aku ingin ratusan sukma yang ditahannya bisa bebas tanpa syarat. Mendengar pujianku, beliau bangga bukan main.

“Nini Ratu, ilmunya juga tinggi seperti Aki ya. Sungguh bahagia sekali aku bisa kenal Aki” Lanjutin lagi. Meski aku tidak sedikitpun melihat aura lembut, namun ada sisi lain nampaknya seperti menerimaku. Entahlah, aku melihatnya tidak ikhlas.

“Iya! Bahkan kami sering belajar bersama-sama. Di situlah aku pertama kali jatuh cinta padanya. Tapi dia selalu menolakku. Dialah kekasih hatiku” Kembali dia menyebut Nini Ratu kekasihnya. Aku seperti membuka ruang memorinya. Akhirnya aku bertanya bagaimana beliau bisa tinggal di sini. Selintas beliau menceritakan siapa dirinya. Beliau mengaku raja kegelapan. Ribuan bangsa manusia setiap hari meminta tolong padanya. Ribuan pula yang membuat perjanjian dan harus menyerahkan sesembahan dan tumbal darah dan daging bayi yang belum lahir. Setiap kali dia ritual memakan janin dan minum darah segar itu, maka kekuatannya makin bertambah. Mendengar penuturannya aku berusaha tetap tenang sambil memikirkan berbagai hal untuk menakhlukkannya. Cintanya pada Nini Ratu terlihat benar-benar murni meski tidak bisa memilikinya.

Saat aku masih berpikir banyak hal tiba-tiba Puyang Pekik Nyaring menyusup di hatiku. Beliau mengarahkan mataku ke atas. Di atas ada semacam batu yang menonjol, di situlah pintu ke luar. Lalu Puyang Pekik Nyaring membisikkan beberapa ayat yang harus kubaca. Terakhir beliau mengingatkan, supaya aku jangan percaya dengan sikapnya. Dia adalah semacam jin yang menyembah dan takhluk dengan dajjal. Sejuta akal dia lakulan untuk melemahkan manusia. Selanjutnya kata Puyang aku bisa mengalahkannya dengan kalimat Allah. Aku mengangguk-angguk paham. Sebelumnya memang sudah terpikir olehku ketika dia katakan aku dan dia jika bertarung tidak akan ada yang kalah dan menang, hendak kuserang dengan ayat-ayat Allah. Namun entah bagaimana justru akhirnya saling serang dengan ilmu sihir, terakhir saling menertawakan.

Puyang masih berada di hatiku. Aku bertanya bagaimana caranya menyelamatkan ratusan sukma yang dikurung di langit-langit gua. Beliau langsung mengulang ayat-ayat Allah yang harus kubaca, bersamaan dengan itu aku diminta membentangkan selendangku secepatnya. Maka sukma-sukma itu akan tertarik semuanya. Dan aku harus melakukannya dengan gerakan cepat.

Akhirnya setelah mendapatkan petunjuk, aku kembali berbicara dengan sosok besar di hadapanku.

“Aki, kekasih Nini Ratu Eyangku. Jika boleh tahu, siapakah nama Aki? Pasti nama Aki gagah seperti sosok Aki yang perkasa” Ujarku Kembali memujinya dan Langsung disambutnya dengan tawa.

“Namaku Ajo Argo Satrio” Dia menepuk dada. Aku mengangguk-angguk mendukung kepongahannya. Selanjutnya kukatakan bagaimana caranya jika aku sewaktu-waktu hendak main ke mari. Jika aku rindu pada kekasih hati Eyangku, apakah aku diizinkan? Spontan saja beliau menjawab tentu saja boleh kapan saja aku mau sambil membuka pintu batu di langit-langit gua dengan gerakkan telunjuknya saja.

“Wow…Aki luar biasa. Tidak salah jika Eyangku menjadi kekasih Aki. Aku ingin melihat ke luar Ki. Nampaknya indah dan tersembuyi sekali tempat Aki” Ujarku melesat ke luar sembari membentangkan selendangku secepat kilat. Aku membaca ayat-ayat Allah sembari mengayunkan tangan gerakan mengunci pintu pintu gua dengan kalimat Allah. Aku hanya mendengar sekilas suara Aki Aji Argo Satrio marah, berteriak dan menyerang. Ketika gabtu terkatup suaranya tidak terdengar lagi bersamaan kukunci pintu guanya dari luar, kuikat dengan ayat-ayat Allah.

Baru saja aku hendak membuka selendangku untuk melihat sukma-sukma yang kutarik, tiba-tiba Puyang Pekik Nyaring menampakan diri. Beliau kembali memeriksa pintu gua lalu dengan kemampuannya, aku melihat beliau mengeluarkan tali berupa api yang lilitkannya menutupi area gua. Selanjutnya beliau baca beberapa ayat sebagai pengunci terakhir.

Sekarang aman. Iblis itu sudah terkurung Selamanya hingga kiamat tiba. Dia tidak bisa lagi berinteraksi dengan bangsa mana pun. Termasuk dengan manusia yang bersekutu dengannya. Sekarang biar puyang kembalikan sukma-sukma ini ke jasadnya. Yang jasadnya sudah meninggal, biar Puyang letakkan di masjid-masjid saja” Ujar Puyang sambil mengayunkan tangan. Tak lama aku melihat seperti awan tipis ketika sukma-sukma itu dikirim Puyang Pekik Nyaring ke jasad masing-masing selebihnya di letakkannya di masjid-masjid. Entahlah aku tidak tahu masjid apa saja dan di mana.

Setelah semuanya usai, Puyang Pekik Nyaring tersenyum padaku.

“Pengalaman barumu luar biasa, Cung. Puyang bersama yang lain melihat pertempuran dasyatmu dari jauh. Semua panik ketika tiba-tiba dirimu hilang dan tidak bisa kontak lagi. Rupanya iblis yang mengaku kekasih Nini Ratu menghendakimu. Kau tahu Cung, dirimu hendak ditumbalkannya. Dia rayu dirimu dengan cara manusiawi. Padahal dia pemuja dajjal. Sekarang pulanglah. Puyang juga akan kembali ke Besemah” Kata Puyang Pekik Nyaring.

Berkali-kali aku mengucapkan syukur dan menarik nafas lega serasa lolos dari maut. Akhirnya setelah mencium tangan Puyang Pekik Nyaring, aku mohon diri. Beliau menatap kepergianku dengan senyum. Kami berpisah setelah fajar mulai menyingsing menyambut semesta dengan tersenyum jingganya di lengkung langit Timur.

Bersambung…
close