Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 86)


Aku pulang kembali ke Bengkulu setelah dua malam berada di Timur Laut Banyuwangi menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di sana. Peringatan hari besar Islam pertama kali di kerajaan Timur Laut Banyuwangi.

Masih terngiang rangkaian acara Maulid yang dihadiri oleh semua tokoh dan rakyat kerajaan. Aku bangga rakyatku bisa berbaur dan saling membantu meski Tuhan yang disembah berbeda. Tidak sedikit para pandita memberikan sumbang saran bahkan turun tangan langsung membantu persiapan acara itu. Pasalnya, peringatan Maulid yang pertama kali di Timur Laut Banyuwangi juga melibatkan bangsa manusia, dan mengundang tamu seorang Syech dari Madina, bangsa jin muslim.

Seperti janjiku, Alif ikut ke Timur Laut Banyuwangi bersamaku. Demikian juga Eyang Kuda. Di Timur Laut Banyuwangi, Alif bertemu dengan beberapa orang kawannya sesama santri, juga dengan gurunya. Menurutnya selama dia mengenal alam gaib, baru kali ini dia merasakan sebuah perjalanan yang menyenangkan. Apalagi ketika kuajak singgah ke tanah Besemah. Dia semakin kaget dan tidak percaya jika aku bisa ke luar masuk ke kampung nenek gunung yang menurutnya jauh dari dugaannya. Dia pikir aku hanya bisa bolak-balik ke kerajaan Timur Laut Banyuwangi saja.

“Kapan-kapan akan aku akan ajak Bang Alif ke gunung Bungkuk, bertemu Putri Bulan kembali, wanita hebat kepercayaan Datuk Ratu Agung itu” Ujarku dalam perjalanan. Mata Alif menatapku makin tak percaya.

“Jadi di alam bunian belantara gunung dan bukit Sumatera kau pun sudah bolak-balik, Kanjeng Putri Selasih?” Alif berdecak-decak seperti suara cecak. Kuceritakan sekilas bagaimana aku bisa berkerabat dengan bangsa nenek gunung sepanjang Bukit Barisan ini. Alif mendengarkan dengan saksama. Padahal hal yang kulakukan seperti ini bukan aneh.

Apalagi dibandingkan dengan di pulau Jawa. Pulau Jawa itu pusatnya ilmu gaib. Maka tidak usah heran jika terdengar tokoh-tokoh spiritual tertentu yang sakti mandraguna. Baik dari golongan hitam mau pun dari golongan putih. Berbagai kajian keilmuan ada di pulau Jawa. Bahkan jual beli tuyul, pesugihan, santet sampai pada ilmu karomah, ada di sana. Bergantung dengan pribadi masing-masing.

Malam peringatan hari besar itu dikemas meriah. Seorang Syech dari bangsa jin datang memberikan pencerahan. Beliau menyampaikan hikma maulid dengan bahasa Arab lalu diterjemakan oleh seorang Kyai. Leluhurku dari tanah Besemah pun hadir. Demikian juga Eyang Putih beserta murid-muridnya yang lain, Puyang Purwataka dan santrinya, ditambah lagi Kyai dan santri dari seputaran Jawa Timur dari bangsa manusia. Untuk kesekian kalinya aku melihat tarian rumi yang religius itu. Sebuah zikir yang memiliki daya Allah, bergerak seperti planet di luar angkasa, berputar pada porosnya.

Lagu-lagu gambus religius dilantunkan begitu memukau. Aku seperti berada di Timur Tengah, di hamparan padang pasir, melihat lengkung kaki langit berwarna jingga. Irama musiknya mampu menarik imajinasi kita menghentak-hentak dalam bahasa Arab yang sebagian besar tak kupahami artinya. Sesekali kuikuti lirik salawat dan doa yang dikutip menjadi lagu. Tapi kala mataku terlempar pada kelompok santri dari bangsa manusia, mereka dengan antusias bergoyang-goyang mengikuti. Ternyata seni islami ini sudah biasa bagi mereka. Mereka pun ikut hanyut dalam syair yang indah itu.

Melihat aku gembira, Nyai Ratih tersenyum puas. Dialah yang telah mengatur rangkaian acara yang sedemikian meriah dan khusuk. Semua tertatah rapi. Tentu saja dibantu oleh tokoh dan prajurit serta rakyatku yang beragama Hindu. Acara yang dikemas sedemikian rupa, seakan-akan mereka sudah sangat pengalaman. Padahal baru pertama kali acara seperti ini dilaksanakan di negeri Timur Laut Banyuwangi.

Dalam tausianya, Syech yang berasal dari Madina itu mengatakan, Timur Laut Banyuwangi, adalah salah satu kerajaan besar yang pernah beliau kunjungi, memiliki tingkat toleransi, dan budaya yang tinggi. Salah satu yang beliau kritisi adalah rakyatku mampu mengubah diri mereka seperi sosok manusia. Sehingga secara merata, yang hadir di majelis ini semuanya terlihat indah dan rapi bersosok manusia. Di tengah tausianya beliau bercerita tentang jamaah yang menunaikan rukun islam yang ke lima, yaitu naik haji di bulan haji. Mereka yang datang dari berbagai penjuru dunia, namun ketika menunaikan haji, mereka mengubah diri seperti manusia. Meski tidak sedikit makhluk astral yang bersosok asli seperti manusia, namun banyak juga yang sosoknya tidak asli, sosok manusia. Terakhir beliau mendoakan bangsa manusia, agar ketakwaan semakin meningkat dan semakin diberi rahmat kemudahan untuk berkunjung ke alam tak kasat mata.

Tak sedikit yang terharu kala perjalanan Nabi pilihan itu dikupas sedemikian rupa oleh Syech. Tuturannya yang indah dan lembut dan mudah diterima, sehingga dapat kusimpulkan, beliau seperti padi bernas yang masak. Warnanya indah, tidak mendongak. Justru merunduk gambaran sikap yang rendah hati. Aku merasa sangat bersyukur dipertemukan dengan makhluk-makhluk Allah yang mengajarkan aku tentang adab, ilmu, penghayatan tentang hidup, filosofi dan tanda-tanda alam. Semua bermuara mengajarkann tentang ikhlas dan pandai bersyukur.

Pagi ini Alif datang ke rumah. Namun dia tidak bertemu denganku. Dia hanya bertemu dengan Bapak dan Ibu. Kata Bapak mereka ngobrol cukup lama. Bapak memuji-muji Alif sebagai anak muda yang dewasa, dan sopan. Banyak pengalaman hidup dan rajin ibadah. Yang membuat Bapak kagum, dia anak seorang ulama terkenal, berpendidikan tinggi, dari keluarga terdidik, namun beliau tidak menampakkan kesombongan. Aku mendengar suara Bapak sudah lain. Nampaknya Bapak setuju jika aku dekat dengan Alif.

“Kata Alif, dia hendak manyusulmu ke sekolah. Ketemu tidak?” Tanya Bapak sambil menatapku.

“Tidak ada jumpa Bang Alif. Tadi di sekolah hanya sebentar mengambil ligalisir ijazah. Selanjutnya ke rumah Neti, karena dia baru pulang dari dusun” Jawabku sambil menggeleng. Selanjutnya kami semua diam. Aku tidak berani bertanya lebih banyak. Wajah Bapak nampak sedikit kecewa. Bapak tidak tahu jika Alif ikut denganku ke Banyuwangi.

Usai salat Isya, seperti biasa aku menyempatkan diri untuk berzikir. Memusatkan diri pasrah pada Sang Maha Hidup. Tak lupa aku akhiri dengan doa. Esok aku dan kawan-kawanku bersama-sama hendak mengisi formulir seleksi mahasiswa untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri. Kawan-kawanku sibuk sekali dalam menentukan pilihan. Sementara aku berpikir jika tidak lulus seleksi ke Perguruan Tinggi, akan kemana? Apa aktivitasku? Langkah apa yang harus kulakukan?

Tidak sedikit kawan-kawanku memilih pulau Jawa untuk menuntut ilmu. Sementara aku tidak tertarik. Justru aku ingin tetap di Sumatera.

Ketika waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, semula berniat hendak tidur, istirahat. Tapi tiba-tiba pikiranku justru beralih hendak pergi ke luar. Aku jadi rindu ingin main ke pantai. Sudah lama rasanya tidak ke pantai Kualo, pantai Jakat, pantai Panjang, pantai Sungai Suci. Jadi teringat bagaimana awal aku tinggal di Bengkulu ketika pertama kali bermain ke pantai. Lalu beberapa kali betarung dengan makhluk laut, mau pun ratu buaya di muara. Pernah bersama Eyang Kuda menyisir pantai. Berjumpa dengan pengasuh Putri Gading Cempaka ketika berjalan-jalan ke pantai Panjang bersama nenek Ceriwis. Ah, banyak sekali rupanya pengalaman gaib yang kutemui di Pantai Bengkulu ini.

Kali ini aku bukan hendak mencari musuh, atau bertarung dengan makhluk-makhluk astral yang ada di laut. Namun aku hanya sekadar ingin menapakkan kaki ke pantai, merasakan air laut yang mendesir menyentuh pantai. Menikmati irama ombak. Apalagi malam ini kulihat langit nampak lebih bersih dan terang.

Baru saja aku membaca Bismillah hendak melangkah, tiba-tiba desir angin membuatku menoleh. Masya Allah, ada Alief datang. Beliau meragasukma. Darahku terkesiap karena melihat beberapa makhluk mendekat dan menampakan ketidaksukaannya pada Alif. Aku segera menyongsongnya lalu berhadapan dengan makhluk yang hendak membokongnya dari belakang.

“Stop! Apa yang hendak kalian lakukan?” Ujarku mengembangkan tangan. Alif kaget melihat aku tiba-tiba berada di belakangnya. Dia tidak bisa berkata-kata. Mungkin Alif tidak menduga jika ada yang hendak membokongnya.

“Kamu temannya ya. Baguslah! Aku tidak suka dengan kalian” Ujar makhluk besar tinggi dengan wajah dan bentuk tubuh menyeramkan.

Tanpa babibu lagi, makhluk itu langsung menyerangku. Senjata yang berada di punggungnya, langsung dikeluarkannya. Melihat gelagatnya yang tidak baik, Alif mau maju. Namun segera kutahan. Aku bukan ingin meremehkannya. Namun Alif tidak tahu jika jin laut ini ganas dan kasar. Rata-rata mereka sulit untuk dikedalikan.

“Bang Alif berdiri saja di sini, pagari diri, dan zikir. Biar aku akan menghadapinya” Ujarku pada Alif. Meski nampak semula tidak terima akhirnya Alif patuh juga. Dia mulai membaca syalawat, lalu melakukan pemagaran pada dirinya.

Aku mulai mengatupkan telapak tangan. Berusaha mengimbangi kekuatan yang sudah dikirimkan oleh makhluk bertubuh besar itu. Makhluk iseng ini, serius hendak mencelakakan. Tujuannya hanya hendak menunjukkan kemampuan, kesaktian, dan berharap siapa pun makhluknya harus tunduk padanya. Jika melihat makhluk lain yang memiliki kelebihan dia justru sangat benci dan ingin membunuhnya.

Busss….busss!

Ujung tanganku kusapukan ke hadapan makhluk astral tersebut. Tiba-tiba muncul angin dasyat menyerang Sang makhluk astral. Tubuhnya sedikit terdorong ke belakang. Sementara aku masih berdiri.

“Hei! Berhenti anak manusia. Siapa kau sebenarnya. Dari mana kau dapatkan ilmu itu? Kau jangan main-main denganku. Aku dapat membunuhnu segera. Kapan saja” Ujarnya berteriak.

“Untuk apa kau tahu siapa aku. Tidak penting juga kau tahu. Tidak ada urusan dam kepentingan” Jawabku tak kalah kencang. Apalagi melihat dia mengayun-ayunkan pedangnya pertanda meremehkan.

Aku berdiri memperhatikan gerak-gerik lawan. Agak lama kutunggu, tapi nampaknya dia tidak melakukan gerakan ancaman lagi. Aku sedikit heran. Padahal sebelumnya dia sangat bernafsu hendak membunuh aku dan Alif.

“Siapa kau sebenarnya, anak manusia. Ilmu panca bayu segoro itu hanya dimiliki oleh eyang guruku dan Nini Ratu. Mengapa bisa berada padamu. Ribuan tahun aku mengabdi pada beliau, ribuan tahun pula aku bertapa, jangankan menguasai ilmu itu, untuk sekadar tahu dasarnya saja tidak kumiliki. Ilmu yang hanya akan turun pada mereka yang memiliki garis keturunan. Apa hubungannya kau dengan beliau. Kau anak manusia, sedangkan Eyang Guru dan Nini Ratu, bangsa kami” Lanjutnya lagi. Aku tidak menjawab pertanyaannya. Diam-diam kubuka auraku agar dia melihat apa yang ada pada diriku. Tanpa kuduga, makhluk besar bertampang sangar ini langsung menjatuhkan diri.

“Ampunkan hamba, Kanjeng Ratu. Ampunkan hamba! Hamba pengembara, meninggalkan Timur Laut Banyuwangi, setelah kerajaan mulai runtuh. Ampunkan hamba..” Makhluk astral ini menunduk, enggan mengangkat kepala. Aku jadi terharu. Ternyata meski ganas seperti apa pun, makhluk ini masih ingat dan hormat pada pemimpinnya.

“Bangunlah Paman, panjang ceritanya. Apakah Paman berkenan kembali ke Timur Laut Banyuwangi?” Tanyaku sembari mengibaskan tangan agar dia melihat keadaan Timur Laut Banyuwangi. Matanya terbelalak.

“Kanjeng, izinkan aku pulang. Aku rindu kampung halamanku” Makhluk astral sesegukkan. Wajahnya mengekspresikan kerinduan yang sangat.

“Tentu saja boleh pulang, Paman. Dengan syarat Paman harus berubah sikap. Jika selama ini Paman suka berpetualang, menakhlukkan kerajaan-kerajaan yang paman temui, kalau kembali ke Timur Laut Banyuwangi, Paman harus berubah. Saya tidak mengizinkan wargaku berbuat jahat, menyakiti sesama makhluk hidup. Jika Paman berkenan mematuhi aturan di Timur Laut Banyuwangi, akan kubuka pintu gerbangnya” Ujarku kembali.

Mendengar syarat yang kutawarkan, ekspresi makhluk astral ini menampakkan kesungguhan dan kepatuhan. Beliau menyampaikan apakah aku mengizinkan jika membawa keluarganya. Aku mengangguk mengizinkan. Akhirnya beliau menggerakkan tangannya ke atas, beliau memanggil anggota keluarganya. Masya Allah, anaknya ratusan. Semuanya diperintahnya untuk sujud padaku.

Akhirnya atas permintaannya, makhluk astral ini kukembalikan ke Timur Laut Banyuwangi bersama keluarganya, dengan syarat dia harus mengubah dirinya menjadi sosok manusia. Aku segera mengirim beliau dan keluarganya ke istana. Di sana Nyai Ratih dan pengurus kerajaan telah menunggu, membuka pintu gaib menyambut Paman makhluk astral beserta istri dan anak-anaknya. Tak lupa kuingatkan agar beliau memeluk salah satu agama di Timur Laut Banyuwangi.

Sepeninggal paman dan keluarganya, aku menarik nafas lega. Kutoleh Alif masih berdiri kaku seperti orang kena hipnotis.

“Bang, kenapa?” Tanyakku. Benar saja, Alif seperti orang kaget. Ketika kuala nampak sedikit gelagapan.

“Mudah sekali kau menakhlukkan makhluk itu. Bahkan mengembalikan ke kerajaanmu” Wajah Alif masih tidak percaya. Aku tersenyum melihat ekspresianya seperti aneh.

“Mengapa harus heran, bukankah hal seperti ini lazim dilakukan oleh bangsa kita?” Ujarku lagi. Alif menggeleng-gelengkan kepalanya tidak jelas.

“Hanya guruku yang bisa seperti ini. Aku tidak bisa. Dan baru kali ini aku melihat kejadian di depan mata” Lanjutnya lagi. Sekali lagi Alif mengatakan jika ingin menguasai ilmu seperti ini maka dia harus mengamalkan wiridan tertentu, puasa, dan tirakat. Aku hanya menyambutnya dengan senyum. Sebab aku tidak pernah melakukan tirakat khusus, puasa khusus, atau wiridan khusus. Kecuali solat lima waktu, solat sunat, lalu berzikir.

Akhirnya aku bertanya, Alif hendak ke mana. Rupanya dia sengaja datang ke mari hendak menemuiku. Sebaliknya, dia bertanya aku hendak ke mana. Kusampaikan jika aku hendak pergi ke pantai.

“Malam-malam ke pantai? Apa tidak bahaya? Mengapa tidak tunggu siang saja?” Ujarnya bernada khawatir.

“Aku sudah lama tidak jalan-jalan ke pantai di Bengkulu ini. Rindu juga rasanya” Ujarku lagi. Alif menatapku tak berkedip. Dia masih tidak yakin jika aku benar-benar hendak jalan-jalan ke pantai malam ini.

“Ayo, kalau mau ikut. Nampaknya malam ini bahaya mengintai Bang Alif jika jalan sendiri” Ujarku. Sejenak kulihat Alif diam memikirkan keputusan yang hendak dia ambil. Kepalanya kadang terangkat, kadang menunduk. Aku dengan sabar menunggu dia berpikir untuk mengambil keputusan.

“Baik, aku akan temui. Sekalian aku hendak belajar banyak dengan Kanjeng Ratu. Siapa tahu, setelah ini aku diangkat jadi murid Kanjeng Ratu” Ujar Alif sembari menunduk dan mengatupkan telapak tangan. Aku hanya tertawa kecil menyambut candaannya. Akhirnya kami berjalan cepat dibantu angin.

Sepanjang jalan aku tidak banyak bercerita kecuali menjawab pertanyaan-pertanyaan Alif yang terkesan polos. Dia memang asli anak pondok, lurus dan tidak banyak ulah. Bukan sepertiku sedikit liar dan blusukan.

“Kau tidak takut berjalan ke mari? Aku ngeri melihat makhluk-makhluk astral berupa-rupa. Apalagi itu, mata mereka nanar, liar menatapmu. Aku khawatir mereka akan mengganggu, dan aku tidak mampu melindungi. Karena aku tidak pandai bertarung sepertimu” Nada Alif agak cemas setelah melihat kerumunan beberapa sosok sengaja mendekat dengan bentuk-bentuk yang aneh. Bahkan seperti hendak menerkam saking ingin dekat pada kami.

“Biarkan saja mereka mendekat. Jika mereka mengganggu baru kita balik membela diri. Mereka penasaran melihat bangsa manusia berani berkeliaran di kampung mereka. Makanya mereka sepeti hendak menguji kemampuan kita” Sambungku sambil menepis beberapa makhluk yang mendekat agar minggir dan memberikan jalan.

Aku tahu Alif mulai tidak nyaman melihat makhluk astral yang sudah mulai berani mencoleknya. Bahkan bekas colekan di lengan Alif mengeluarkan aroma bangkai. Beberapa kali kulihat Alif berusaha membersihkan namun aroma busuk itu tidak mau hilang juga. Alif sudah mulai merasa pusing dan ingin muntah. Melihat kondisinya aku segera membantunya. Aroma busuk di lengannya kubersihkan. Lalu kuganti dengan aroma harum menyegarkan. Alif seperti bernafas kembali. Berkali-kali mengucapkan terimakasih padaku.

Kali ini aku dan Alif lebih mendekat ke bibir pantai. Mendekati ombak yang berdesir. Pasir yang halus terasa lebih dingin. Di kejauhan lampu nelayan seperti menari-nari seirama ombak. Cahayanya berpendar-pendar menimpa laut yang berombak sedikit tenang.

“Kanjeng Ratu, lihat di sana, seperti adab kobaran api!” Alif mengagetkan aku. Aku segera menoleh ke arah yang ditunjuk. Benar, di lepas laut aku melihat kobaran api menyala-nyala seperti membakar minyak tumpah. Semakin lama semakin melebar. Aku diam sejenak menatap kobaran yang makin lebar.

“Apakah ada kapal yang karam atau terbakar? Lihat banyak sekali yang menyambut nyala api itu. Mereka ke luar dari dasar laut, dan sebagian dari darat” Ujar Alif menahan suara. Mungkin dia merasa ngeri melihat kondisi laut seperti lautan api itu. Belum lagi suara berisik makhluk astral seperti menari di kobaran api. Gerakan mereka mirip sebuah ritual. Api semakin membumbung tinggi. Aku mulai penasaran untuk mendekat.

“Bang Alif mau kuajak ke sana?” Tanyaku. Alif langsung menggeleng. Dia menolak keinginanku.

“Nanti bahaya untukmu. Sekali lagi aku belum tentu sanggup melawan jika mereka mengajak aku bertarung” Ujarnya cemas.

“Mengapa harus takut? Bukankah kekuatan doamu seperti tembok baja bisa menghancurkan kekuatan-kekuatan makhluk astral itu?” Ujarku memancingnya. Tapi Alif tetap bersikeras menolak.

“Tidak! Bahaya jangan dicari” Ujarnya mengajak aku terus berjalan. Akhirnya kami kembali melanjutkan perjalanan menyisir bibir pantai.

Sambil berjalan jiwa penasaranku masih memberontak. Akhirnya diam-diam aku memecah diriku menjadi dua. Selanjutnya kusuruh untuk mengawasi kobaran api yang melebar di laut mencari informasi penyebabnya. Kulihat bayanganku segera menghampiri kobaran api itu

“Bang, kita duduk di sini dulu yuk” Ajakku setelah merasakan ada energi yang membuat bayanganku sedikit terdorong. Aku segera menambahkan energi untuk membantunya. Rupanya kobaran api yang menyebar di atas laut ada perwujudan sosok-sosok makhluk astral. Apakah ada hubungannya para dukun yang hendak melakukan aksinya di Bengkulu ini? Aku membatin.

“Bang, ayo berzikir” Ujarku buru-buru dan langsung melindungi Alief dengan pagar gaibku. Instingku mengatakan jika akan ada pertempuran di sini. Aku mulai siap-siap melakukan tindakan. Bang Alief sepertinya patuh dengan perintahku. Dia langsung duduk bersila dengan tangan sedekap ke dada, lalu berzikir. Tubuhnya langsung bergoyang-goyang. Tak lama kulihat cahaya berwarna ungu, biru, kuning, merah berbaur menjadi satu ke luar dari tubuhnya. Melihat cahaya itu, Alief sudah memiliki kekuatan yang bisa melindungi dirinya dari berbagai ancaman gaib.

Duuuar!!
Air laut seperti bukit memancar ke atas. Namun ketika jatuh tidak membuat kobaran api di laut mati. Rupanya itu pukulan balik bayanganku ke arah beberapa api yang menyerangnya. Dalam batin aku heran, aneh-aneh sekali sosok dan ilmu yang dimiliki oleh makhluk astral ini. Apakah mereka satu kerajaan atau hanya satu sosok namun mempunyai kemampuan memecah diri menjadi banyak.

Aku melihat semua ikan menjauh karena air laut berubah menjadi panas bahkan ada yang mendidih.

“Kanjeng Ratu, bahaya! Apa tidak lebih baik kita menghindar saja” Suara Alif di tengah zikirnya. Lalaki yang kupanggil Abang ini masih saja memanggilku Kanjeng Ratu. Kulihat tubuhnya bergetar menahan energi yang mulai terasa menyerang. Radiasi energi api dasyat sekali. Dari jarak jauh saja bisa memberi efeks panas luar biasa. Aku mencoba menghalangi energi yang membuat hawa panas di sekitar kami. Dengan satu gerakkan aku berhasil menghalau nyala api kembali ke tengah laut.

Huf! Huf! Huf!
Enam bayanganku segera pecah dan menyebar membuat formasi melawan kekuatan api. Aku sengaja memecah diri karena melihat kobaran api nampaknya sangat ganas. Rupanya mereka makhluk astral sengaja menampakkan diri, memancingku. Mereka adalah salah satu ghodam dua puluh lima dukun yang masih bertahan. Mereka hendak memamerkan keganasannya untuk menakut-nakuti aku. Dan kehadiranku sudah ditunggu-tunggu mereka, sengaja menghadangku.

Enam bayanganku serentak mengangkat tangan tinggi-tinggi. Kekuatan angin samudera yang dikombinasikan dengan angin kutub segera berputar dari segala penjuru. Tak lama, kobaran-kobaran api itu digulung menjadi satu. Aku melihat pusaran angin berubah persis seperti lempengan tembaga yang dibakar.

Dari sisi pantai, aku terus memberikan kekuatan pada enam sosok bayanganku. Alif juga mengirimkan energi meski kulihat dengan susah payah dia mencoba mendesak untuk mendorong lawan. Sesekali kubantu dari belakang. Tak lama bara seperti lempengan semakin lama semakin mengecil. Kini berubah seperti tali yang sangat panjang. Aku berdiri lalu menghentikan kaki ke bumi dan enam bayanganku serentak melakukan gerakkan memutar. Bara yang semula mirip tali yang memanjang tersebut dengan cepat digulung hingga persis sebuah bola. Semula seperti bola raksasa, namun semakin lama seperti di press, bola apinya semakin kecil. Pada satu kesempatan, kutangkap dan kugenggam.

Pelan-pelan debur ombak kembali tenang. Angin pun kembali normal. Bayanganku kembali menyatu dengan tubuh. Alif menyelesaikan zikirnya dengan doa. Ketika dia membuka mata, kulihat kulitnya sedikit merah. Diam-diam aku menetralisirnya agar kembali normal.

“Masya Allah! Dayat sekali. Aku benar-benar takjub dengan kejadian barusan, Kanjeng. Allhu Akbar! Masya Allah…Yaa Allah…Allah Akbar” kata Alif yang ngos-ngosan berusaha mengatur pernafasan. Melihat ekspresianya, aku memakluminya. Beliau memang bukan petualang, petarung, dan senang menghadapi tantangan di lapangan. Tapi dia adalah pezikir yang tak ingin mengubris hal-hal yang berkaitan dengan benturan dengan makhluk astral.

“Jika sudah berani masuk pada alam meragasukma, Abang harus kuasai ilmu bela diri, Bang. Sebab, di alam gaib, makhluk astral lebih bahaya dan berani dibandingkan di alam nyata” Lanjutku kembali. Alif masih berusaha mengendalikan dirinya. Nampaknya dia memang tidak biasa menghadapi tantangan seperti ini.

“Aku jadi malu. Mestinya aku yang melindungi Kanjeng. Tapi ini sebaliknya, justru Kanjeng yang melindungi aku” Nada suaranya masih memburu. Aku tersenyum mendengarnya. Paling tidak aku telah memberi pengalaman padanya saat ini, bahwa dalam hidup tidak semudah yang kita bayangkan. Jutaan bahkan milayaran tantangan yang harus kita jalani. Tinggal bergantung kita, sanggupkah kita menyelesaikan tantangan itu dengan bijak dan tepat.

“Andai malam ini aku tidak bersama kanjeng Ratu. Entah akan bagaimana nasibku. Guruku sudah mengingatkan bahkan melarangku untuk pergi tanpa pengawalan. Ternyata aku diberikan pelajaran berharga malam ini. Alhamdulilah” Lagi-lagi Alif mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Bola api yang kugenggam terasa panas meski sudah kusalurkan energi dingin. Kekuatan makhluk astral di dalamnya luar biasa. Dia memberontak ingin melepaskan diri. Beberapa kali aku menguatkan genggaman demi mengurung makhluk astral agar tidak lepas lagi.

“Makhluk sejenis apa yang Kanjeng takhlukan itu? Mengapa dia hendak menyerang Kanjeng?” Tanya Alif lagi.

Mereka jin dari kasta jen. Kasta yang rendah dalam kehidupan bangsa gaib. Biasa jin jenis ini dimanfaatkan oleh dukun yang menakhlukannya. Dia makhluk yang licik dan menguasai banyak ilmu sihir. Dia juga mampu mengubah dirinya menjadi bentuk lain sesuai yang dikehendakinya” Ujarku. Alif mengangguk-angguk.

Alif baru tahu kalau dalam kehidupan jin memiliki kasta atau tingkatan. Alief menggaguk-angguk ketika kukatakan bangsa jin juga ada kelompok bagsawan. Kelompok jin bagsawan ini disebut jin marid. Mereka lebih cerdas, tingkat keilmuannya tinggi. Bahkan kehidupan mereka seperti kehidupan manusia. Mereka punya aturan berupa agama, adat dan berbudaya.

“Aku tidak bisa membedakan bangsa jin ini dari golongan mana. Yang kutahu, mereka adalah makhluk Allah yang tugasnya sama seperti kita untuk patuh dan sujud pada Allah SWT” Lanjut Alif lagi.

Aku kembali fokus pada bola api perwujudan makhluk astral yang kukunci, akhirnya makhluk ini kukembalikan ke laut. Dia bangsa jin laut yang hidup di dasar laut. Sengaja kuletakkan dia di dalam gua gelap di antara karang di dasar laut yang paling sepi. Biarlah dia terkurung di sana. Tidak ada satu pun yang mampu membebaskannya.

Akhirnya aku dan Alif bangkit dari duduk. Kami berjalan ke Selatan. Kembali menyisir pantai. Sepajang jalan Alief banyak bertanya tentang kehidupan makhluk astral. Termasuk juga jenis koloni mereka, dan hidupnya di mana.

“Itu makhluk astral jin imph dari kelas yang paling rendah. Mereka tidak mengganggu dan membahayakan manusia. Wujudnya kadang seperti asap. Nampaknya Bang Alif sering bersua dengan makhluk jenis itu ya. Mereka jin yang mudah sekali dipanggil dengan matra-mantra sederhana. Nah kalau yang itu, itu namanya jin filiot. Jin yang satu itu cukup cerdas. Dia biasa menjadi mata-mata para dukun. Dia licik dan suka berkhianat. Biasanya jin seperti ini gampang sekali dipelihara oleh dukun-dukun karena dia juga pandai sihir. Otak kelompok jin satu ini tidak cerdas. Mereka masuk dalam golongan kelas jin yang rendah. Namun mereka punya kemampuan mengubah diri mereka menjadi apa saja sesuai dengan yang dikehendakinya. Kadang dia menjadi perempuan, kadang menjadi laki-laki tampan dannlain sebagainya”. Ujarku menjelaskan golongan bangsa jin berdasarkan ciri-cirinya.

Aku dan Alif berhenti ketika di hadapan kami berdiri tembok tinggi seakan-akan menghalangi air laut. Tanpa disadari ternyata kami sampai di pantai Jakat, perbatasan dengan Tapak Padri. Aku memilih berjalan di air, menuju lampu kerlap -kerlip para nelayan yang mencari ikan. Alif mengikutiku dari belakang. Kepalanya asyik menoleh ke sana-ke mari memperhatikan makhluk astral yang lalu lalang. Kadang dia menjerit tertahan kala ada makhluk tinggi besar yang berjalan seakan hendak menabraknya. Kadang melompat, ketika ada makhluk astral bentuknya seperti hewan merangkak dengan tangan dan kaki panjang. Aku membiarkan dan menertawakannya. Selagi tidak membahayakan kubiarkan Alif mengatasi dengan caranya.

“Please! Tolong aku Kanjeng. Bagaimana caranya aku bisa berjalan santai seperti Kanjeng. Tidak ada perasaan was-was. Sepanjang jalan aku cemas” Ujar Alif menarik nafas panjang. Melihat ekspresinya muncul juga rasa kasihkan. Rupanya keilmuannya belum sampai tahap ini. Aku segera meluruskan tangan ke arah tubuhnya.

Kuberikan kekuatan baru agar jiwanya makin mantap dan tidak ada rasa takut. Kembali kutambahkan energi padanya. Kali ini ia kuberi gerakan-gerakan kuntau. Dalam sekejap dia praktikkan sambil melompat dan berputar.

“Kumpulkan energi ke unjung tangan, ya.. hantamkan ke pasir” Aku mengarahkan Alif yang baru menikmati kemampuan barunya.

DuuuaR!!!
Alif kaget sendiri dengan kemampuannya. Dia menatap heran pada lubang besar yang membentuk sumur dan dipenuhi air. Sekali lagi matanya melihat ke pasir yang berlubang, lalu menatap ujung tangannya lekat-lekat. Semua terasa aneh tapi nyata. Di balik rasa herannya yang tinggi namun terpancar pula kebahagian yang dalam. Desah Alhamdulilah, masya Allah, dan Allahu Akbar silih berganti mengalir di bibirnya.

“Aku bisa melakukannya, kemampuan darimana ini? Oh! Kanjeng Ratu memberikan aku kemampuan? Ini bisa kugunakan untuk berkelahi?” Ujarnya masih dengan nada tinggi karena kaget.

Dengan cepat tanganku bermain, mencoba menyerangnya.

Ow!!
Aku kaget ternyata Alif belum siap menerima serangan yang mendadak itu. Tubuhnya terpental jauh. Aku segera menyambar tubuhnya dan mengobati luka dalamnya segera. Seketika Alif muntah darah. Padahal serangan yang kulakukan ringan saja. Tidak terlalu kuat. Hanya kecepatannya tidak sama dengan main biasa.

“Maafkan aku Bang, kukira Abang Alif siap menerima serangan. Mulai sekarang, tingkatkan kepekaan Bang. Sebab dalam kehidupan gaib, banyak hal yang tidak terduga terjadi. Dan gerakkan-gerakan makhluk astral itu secepat angin” Ujarku mengingatkan. Alif bersandar di batu karang duduk di pasir basah. Dadanya turun naik. Apakah dia masih akan terus melanjutkan perjalanan menyisir pantai bersamaku, atau ingin dipulangkan ke pondok pesantrennya. Entahlah. Aku menunggu keputusannya sembari menatap gerakkan ombak yang lembut. Berharap tidak muncul makhluk-makhluk astral dari laut untuk menguji Alif yang masih terkapar lelah.

****

Hiiiiat!!
Alif bangkit dan berdiri memasang kuda-kuda. Aku tersenyum melihatnya sudah bugar kembali. Melihat gerakkannya sudah mantab, Alif terlihat siap untuk berlatih

“Ayo, ajari aku berkelahi, Kanjeng” Teriaknya. Mendengar kata ajari aku berkelahi, tentu saja aku tertawa.

“Memangnya hidup ini untuk berkelahi?” Ujarku lagi.

“Tapi kata Kanjeng aku harus biasa ilmu bela diri. Sekarang aku sudah bisa kuntau, mari sambil ajarkan aku bagaimana caranya menggunakan kemampuan ini” Ujarnya lagi.

Melihat keseriusannya, akhirnya aku menetralisir sekitar kami terlebih dahulu agar tidak terjadi gesekan pada yang lain. Kupagari area latiha agak luas. Alif masih memasang kuda-kuda dan siap menyerang dan siap juga diserang.

“Pusatkan dulu pikiranmu untuk mengoptimalkan kekuatan, Bang. Jika menghadapi lawan gunakan kekuatan tenaga dalam. Sekarang, silakan serang aku. Jangan ragu-ragu” Ujarku menyuruhnya menyerangku dengan tangan kosong. Alif menatapku serius. Nampaknya pemuda satu ini benar-benar ingin mengetahui bagaimana cara mengkombinasikan ilmu yang dimilikinya dengan kutau ya g baru dia dapatkan.

Tidak lama, Alif mulai mengumpulkan tenaga dalamnya. Kulihat ekspresi keseriusannya membuat wajahnya sedikit menegang. Bahkan merah tembaga. Aku menuntunnya untuk mengoptimalkan kekuatan. Kulihat tangannya sudah mengepal dan bergetar. Tubuhnya pun ikut bergetar. Kuminta dia menyerangku dengan kekuatan itu.

DuuaaRR!
Kekuatan Alif dan kekuatanku beradu. Hasilnya Alif terpental kembali. Padahal aku tidak maksimal mengeluarkan tenaga. Aku hanya menghadangnya saja. Bukan menyerangnya.

Sebelum tubuh Alif menyentuh tanah, tiba-tiba ada sosok yang menyambarnya. Aku kaget, padahal wilayah kami berlatih sudah kunetralisir. Bagaimana aku bisa kecolongan? Aku melesat mendekati sosok yang seperti kilat menyambar tubuh Alif. Untung aku tidak melakukan serangan. Ternyata Eyang Kuda yang menyambar tubuhnya lalu membantunya berdiri kembali.

“Eyang!” Teriakku kaget.

“Kok Eyang bisa masuk? Wilayah ini sudah kunetralisir” Ujarku bingung.

“Aku sudah dari tadi mengikuti dan mengawasi kalian. Eyang bersembunyi dekat batu itu. Kamu saja yang tidak melihat Eyang waktu menetralisir tempat ini” Ujarnya menunjuk tanah yang mengeras sehingga mirip batu.

Aku tidak menyangka orang tua ini mengawasi dan mengikuti perjalanan kami malam ini. Melihat senyumnya mekar dan menatap Alif, pahamlah aku. Nampaknya Eyang bersimpati pada anak soleh satu ini. Dugaanku tidak salah. Beliau menepuk pundak Alif, lalu bertanya apakah siap menjadi muridnya? Tentu saja Alif menyambut gembira. Dia menjatuhkan diri sujud pada Eyang Kuda.

“Mulai sekarang, kau menjadi muridku dan akan kugembleng!” Lanjut Eyang Kuda cepat. Kembali Alif sujud memberi hormat.

“Aku gimana, Eyang? Kok dari dulu tidak diangkat jadi muridmu?” Aku pura-pura protes. Eyang Kuda tertawa renyah.

“Mengapa aku menjadikan Alif muridku?, karena itu lebih pantas daripada jadi muridmu. Meski ilmumu lebih tinggi mengalahkan ilmuku. Tapi aku menang tua. Kamu anak ingusan baru kemarin lahir. Masak anak kecil udah mau dipanggil suhu? Tahu dirilah” Ujar Eyang Kuda lagi. Mendengar kata-katanya aku tertawa terpingkal-pingkal. Baru kali ini aku mendengar candaan sekaligus sikap tegas Eyang Kuda. Setelah kupikir memang benar, akan ada rasa canggung kami berdua jika saling mengisi.

Akhirnya, aku menyerah sekaligus bahagia, karena Alif mendapatkan guru yang tepat. Aku yakin Eyang Kuda serius hendak mengangkat Alif menjadi muridnya. Hal yang ratusan tahun tidak dilakukannya. Pengetahuan dan kekuatan beliau pernah diberikannya padaku. Tapi itu hanya beberapa ketika beliau menganggap penting dan berguna untuk mendampingiku. Secara tersirat beliau sebenarnya adalah guruku. Hanya saja kami dibatasi seperti Cucu dan Eyang. Beliau menyayangiku, tulus sejak berjumpa dulu.

Kami duduk melingkar bertiga. Pasir pantai terasa lembab. Eyang Kuda lurus berhadapan pada Alif. Nampaknya Eyang sangat serius ingin menurunkan kemampuannya pada Alief.

“Hal yang tidak boleh kau lakukan adalah, berbuat zina dan musyrik, lalu tidak pamer dengan keilmuanmu. Tetap rendah hati dan perbanyak ibadah. Semakin banyak kau ibadah, maka semakin berilmulah kamu. Maka semakin sempurnalah kemampuan yang kau punya. Namun sebelumnya, kau harus amalkan zikir untuk menyinkronkan jiwamu pada apa yang akan aku berikan. Sekaligus melatih diri untuk selalu dekat pada Sang Maha hidup” Ujar Eyang Kuda mengarahkan.

Alif anak yang cerdas. Semua arahan Eyang kuda mudah dia terima dan tangkap. Apalagi dasar-dasar keilmuan dan kekuatan batin sudah Alif miliki. Kukira dia tidak akan lama mempelajari. Kecuali ada hal khusus yang harus dilaksanakan. Ini pasti memakan waktu lama. Aku melihat ada energi yang ke luar dari tubuh ke duanya seperti cahaya lembut memukau. Sesekali aku membantu membulatkan energi mereka berdua kala menyebar dan melebar.

Alif sangat tekun mengikuti petunjuk Eyang Kuda. Perbatasan pantai Jakat dan Tapak Padri ini menjadi wadah latihan sejenak antara Eyang Kuda dan Alif. Di tempat ini aku dan kawan-kawanku sering latihan teater. Berteriak-teriak, latihan vokal, penafasan, blocking, gestur dan sebagainya. Suasananya yang tenang, sepi, memang sangat pas untuk melakukan latihan. Apalagi bagian mirip ceruk ini berombak tenang.

Tidak jauh dari tempat kami bertiga, di atas bukit yang terletak di belakang kami ada pemakaman masyarakat yang sudah tua. Batu-batu nisan yang menonjol di tanah keras, berdiri kokoh meski ada yang posisinya tidak lurus lagi. Banyak sekali makhluk astral yang menatap kami dari jauh. Mereka seperti menonton teater arena saja. Aku hanya menatap mereka sambil mengawasi bahaya atau tidak. Ternyata hingga sekarang mereka benar-benar seperti penonton. Kulambaikan tangan menyapa mereka. Sebagian mereka nyengir namun justru ketika mereka ‘nyengir’ semakin menyeramkan. Akhirnya aku memalingkan wajah ke tempat lain.

Aku memperhatikan bagaimana Eyang Kuda menggembleng Alif. Penggemblengan awal sepertinya Eyang menyelaraskan energi antar mereka. Mereka tengah membuat semacam jembatan yang dapat menghubungkan keduanya kapan saja. Bersyukur Alif anak yang cerdas, nampaknya dia tidak mendapatkan kesulitan berarti menerima berbagai petunjuk dan masukan. Aku melihat kecocokan keduanya. Beruntung sekali dia menjadi murid Eyang Kuda tanpa diminta. Yang pertama nampaknya Alif diminta mengamalkan zikir tertentu yang harus dulakoninya setiap malam. Lalu disuruh perbanyak solat malam, solat tobat, solat hajat dan masih banyak lagi menjadi tugas Alif yang harus diamalkannya siang malam. Termasuk juga sadakoh dalam bentuk apa pun.

Setelah menunggu cukup lama, Eyang Kuda menoleh padaku.

“Bagaimana, Nduk? Apakah kamu ingin seperti Alif? Kalau mau, sini” Eyang Kuda bercanda. Aku hanya menyambutnya dengan derai tawa.

“Dirimu sudah lebih dari cukup. Tidak usah mencari guru lagi. Sudah terlalu banyak” Lanjut Eyang Kuda lagi. Lagi-lagi aku tertawa. Alif menatapku ingin bertanya siapa saja guruku? Kujawab guru yang paling utama adalah Sang Pencipta alam semesta. Selebihnya adalah orang-orang yang selalu mengajakku untuk berbuat kebaikan agar hidup ini berarti. Yang selalu menjaga dan mengingatkan aku jika aku salah, orang-orang yang menyayangi dan percaya padaku untuk menjalankan amanah. Siapa pun itu, tidak terbatas. Merekalah guru-guruku yang ikhlas. Eyang Kuda mengangguk-angguk sambil tersenyum kecil mendengar penjelasnnya.

“Kalau kau ingin belajar tentang hidup, dan perpetualangan dunia nyata dan dunia gaib, bergurulah dengan Putri Selasih, Alif” Lagi-lagi Eyang Kuda bercanda membuat aku sedikit tersipu. Candaan Eyang Kuda kali ini agak berlebihan. Seolah-olah aku hebat sekali. Padahal usiaku baru seumur jagung. Tanpa sosok-sosok yang menjaga dan menyayangiku, termasuk dirinya, mustahil aku seperti ini.

Usai berbincang-bincang, Eyang Kuda mohon diri. Tak lupa beliau meminta Alif menemuinya di masjid Jamik setiap bakda salat isya. Jika menemui beliau dilarang berdua atau ditemani.

“Lanjutkan pelajaranmu dengan Putri Selisih, Alif. Kau akan dapatkan banyak hal jika berjalan padanya. Dan itu baik untukmu. Eyang saya tunggu dirimu setiap bakda isya” Ujar Eyang Kuda.

Belum sempat aku bersamamu dan Alif mengucapkan terimakasih pada Eyang gurunya, Eyang Kuda Sudah lenyap di hadapan kami. Nampak sekali wajah Alif takjub dengan peristiwa yang dialaminya barusan. Dia sungguh tidak menduga secepat itu mendapatkan guru soleh dan sehebat Eyang Kuda. Selanjutnya Alif banyak bertanya tentang siapa Eyang Kuda sebenarnya padaku. Bagaimana aku bisa kenal beliau? Lalu mengapa beliau ada di tanah Rafflesia ini. Setelah kuceritakan selintas, Alif makin takjub. Sungguh dia tidak menyangka akan menjadi pewaris ilmu ya g dimiliki pendamping pahlawan Nasional Pangeran Sentot Ali Basya. Mendengar ceritaku, hatinya semakin mantap untuk mengikuti petunjuk guru barunya itu.

Aku dan Alif kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini dari Tapak Paderi, terus meniti pantai arah Kampung Cina. Di sini kami mendengar suara camar riuh dari bangunan-bangunan tua sisa Belanda. Burung-burung camar itu bersarang di bangunan-bangunan tua yang dibiarkan seperti akan roboh. Menjadi salah satu usaha warga keturunan Tiong Hwa. Dari parit kecil sisi jalan, beberapa biawak ke luar mencari mangsa. Aroma anyir ikan yang berasal dari kapal-kapal nelayan menyeruak terbawa agin laut yang semilir.

Air laut pada bagian ini cukup dalam. Kapan-kapal nelayan yang ditambatkan nampak mengapung agak tengah. Karena posisi bagian pantai ini agak menikung, ombaknya tidak terlalu tinggi. Hanya anginnya saja kadang terasa kencang.

Rumah-rumah sederhana beratap serdang berdiri persis di bibir pantai. Hamparan ikan laut digerai di atas bidai bambu besar dan kecil. Salah satu usaha masyarakat lokal membuat ikan asin. Aroma ikan asin inilah kerap kali berhembus ke arah kota meski masih terlihat sepi.

Sampai di pantai Nala, kami berdua berhenti sejenak. Di dekat tebing, tidak jauh dari perkampungan gaib Putri Gading Cempaka, ada sebatang pohon asam tua tinggi sekali. Di bawah pohon asam itu ada sumber mata air. Di sana ada kerajaan gaib yang indah. Di alam nyata tempat ini berupa bukit kecil menghadapi ke laut, berawa yang ditumbuhi semak belukar. Jika bergeser sedikit ke Selatan maka kita akan melihat desain tiang, pintu gerbang istana Putri Gading Cempaka seperti bangunan , gabungan Palembang, Sumbar, dan Eropa. Khas dan kental sekali nuansa melayu islaminya. Ukiran-ukiran tiang, bawah atap, pintu, jendela, dinding beranda, tentu semuanya ada filosofinya.

Bagiku yang menarik bukan istana itu. Tapi yang menarik adalah sepasang rajawali laut yang bertengger di atas pohon asam tua itu. Di alam nyata pohon itu tidak saja terlihat subur. Namun tidak ada satupun yang sanggup menebangnya sejak dulu. Sesekali sepasang Rajawali laut yang berbeda warna itu menampakkan diri di alam nyata. Jika dia menampakkan diri dan terlihat nyata oleh manusia, dan manusia tidak kuat, maka manusia itu akan sakit.

“Siapa sosok Rajawali itu, Kanjeng. Apa mereka ada tugas, atau pemilik istana itu?” Tanya Alif setelah mendengar ceritaku. Kujelaskan, jika makhluk itu penjaga tanah dan lautan Rafflesia ini. Dia adalah penjaga perkasa sesuai dengan namanya Rajawali.

“Bang Alif mau kenalan dengan mereka?” Tanyaku. Alif menolak. Alasannya dia belum siap menerima keadaan. Batinnya masih kaget-kaget, antara percaya dan tidak terhadap apa yang dialaminya sekarang. Apalagi ketika melihat berderet rumah adat menghadap ke pantai. Alif makin heran. Rupanya efeks tidak pernah berani berjalan jauh-jauh, sendiei, apalagi tanpa pengawasan gurunya. Membuat Alif seperti anak ayam baru ke luar dari kandang. Rasa takut, berani dan ragu-ragu menjadi satu.

Pengakuan Alif, ketika dia menemuiku di alam gaib, kerab diawasi gurunya dari jauh. Kecuali malam ini, dia nekat ingin pergi meski dilarang. Perjalanan ke Timur Laut Banyuwangi tempo hari jika tidak bersamaku mustahil dia diizinkan. Kecuali kalau didampingi gurunya.

“Kalau begitu ceritanya, mari ikut aku” Ajakku. Alif kuajak ke taman pemandian Putri Gading Cempaka. Lalu kami berjalan di jembatan yang dialiri air bening sekali. Beberapa sosok ada yang mandi, ada yang membersihkan taman, ada juga yang melintas di jalan-jalan kecil menuju rumah-rumah panggung yang menghadap ke pantai.

Sebelum masuk ke wilayah perkampungan itu, aku sudah kontak batin dengan Mak Uncu Leha, salah satu pendamping Putri Gading Cempaka. Selintas kujelaskan pada Alif siapa Gading Cempaka. Selama ini Alif hanya tahu nama putri itu di legenda-legenda yang tersebar di masyarakat asli Bengkulu. Setelah melihat bagian belakang istananya saja sangat indah, baru dia berdecak kagum. Alif baru tahu jika Putri Gading Cempaka pernah hidup sebagaimana manusia biasa pada zamannya.

“Yaa Allah…pai kemano ajo anak gadis koh, lah lamo nian dak tetengok. Ambo kiro lah lupo kek Mak Uncu” Dari tangga kayu Mak Uncu Leha buru-buru turun sambil menjijing kain. Perempuan separuh baya ini nampak sangat riang menyebutku anak gadis. Beliau mengatakan sudah lama sekali tidak bertemu. Dia kira aku lupa padanya. Setelah dekat Mak Uncu Leha langsung memelukku erat sekali. Setelah puas baru beliau menoleh pada Alif.

“Siapo namo anak bujang koh? Calon kau?” Mata Mak Uncu Leha menatap Alif penuh selidik. Aku dan Alif hanya tertawa melihat kekocakkannya. Akhirnya kami ngobrol ngalur ngidul duduk di jenjang tangga.

Perempuan sepuh ini masih terlihat cantik. Aroma wangi pandan menyebar ke mana-mana. Beliau memang sangat rajin berbedak beras. Bedak yang dibuatnya sendiri, terbuat dari tepung beras, lalu ditambahkannya irisan halus daun pandan. Setiap hari beliau pakai bedak itu. Alasannya bedak beras tidak saja menghaluskan namun juga mengencangkan kulitnya. Hasilnya memang terlihat, meski Mak Uncu Leha sudah sepuh namun masih terlihat cantik.

Ketika Mak Uncu Leha bercerita akan pergi ke hajatan salah satu kerabatnya, Alif memandang heran.

“Bagaimana bentuk hajatan di alam ini, Mak Uncu? Apakah sama dengan di alam manusia?” Tanya Alif. Mak Uncu, menjelaskan benguk hajatan tidak jauh berbeda, yang berbeda hanya bentuk makanannya saja. Jika di hajatan di beberapa dusun tetap sama seperti di alam manusia. Karena dulu beberapa dusun itu memang di alam nyata. Bahkan sebagian kerabat mereka masih ada di alam nyata. Sebagian makan kembang dan lain-lain” Lanjut Mak Uncu Leha lagi.

Lagi-lagi Alif heran. Beliau baru tahu jika di Bengkulu ada kampung yang gaib. Akhirnya aku juga ikut menjelaskan, beberapa kampung yang hilang atau gaib itu sebagian besar memiliki kekerabatan dengan Datuk Ratu Agung, orang tua Putri Gading Cempaka. Lama mata Alief menatapku dan Mak Uncu Leha. Di benaknya muncul rasa tidak percaya dan kembali takjub luar biasa. Dia tidak menyangka jika aku banyak tahu hal ini.

“Kalau begitu, izinkan aku selalu ikut Kanjeng, ajari aku belajar mengenal semesta ini, Kanjeng. Ternyata banyak sekali keajaiban-keajaiban yang sulit diterima oleh akal manusia. Masya Allah” Ujarnya kembali membuat aku tersenyum mendengarnya.

Dari tempat Mak Uncu Leha, aku dan Alif kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini kami sudah di pantai panjang. Dari kejauhan mercucuar pulau Baii terlihat sangat dekat dan rendah. Padahal entah berapa mill untuk sampai ke sana. Aku mengajak Alif berjalan sampai ke ujung pantai pasir putih. Tempat yang paling sepi jika di alam nyata.

Sebenarnya aku ingin mengajaknya untuk sekadar melihat tempatku pertama kali bergabung dengan Ratu Samban Hiking Club. Tempat pertama kali aku dannkawanku digembleng sebelum bergabung dengan organisasi Pencipta Alam satu-satunya yang ada di Bengkulu. Waktu itu aku bersua dengan Ratu Buaya Putih, sekelompok pocong, makhluk astral berbentuk ular dan lain sebagainya. Aku jadi senyum sendiri ketika ingat bagaimana senior menghukumku berendam sampai leher di muara, disuruh mencari kayu bakar tengah malam buta sendiri. Akhirnya kukerjai mereka, kayu bakar yang dipegangnya kuubah menjadi ular.

Baru saja aku dan Alif hendak melangkah menuju ujung pantai, tiba-tiba kuurungkan. Aku melihat awan tebal dari arah Selatan. Awan hitam itu bergumpal seperti gerakan kuda yang berjalan cepat. Sepertinya ada pasukan kerajaan hendak lewat. Hal ini terlihat dari pakaian yang mereka kenakan.Aku mengajak Alif untuk menyingkir. Kulihat makhluk lain banyak juga yang menyingkir, sengaja memberikan ruang untuk pasukan itu lewat. Alif menggeser tempat berdiri. Dia memilih berdiri paling depan agar bisa memperhatikan pasukan yang lewat lebih dekat.

Tidak lama, benar saja. Ada pasukan kerajaan lewat dengan gagah. Apakah Raja, atau Pangeran sulit kupastikan. Yang jelas dia seorang lelaki yang sangat gagah di atas kuda. Pakaiannya berbeda dengan lainnya. Di samping dan belakangnya, prajurit berkuda lengkap dengan senjata. Pasukan kudanya banyak sekali. Pantas saja dari kejauhan mereka seperti awan hitam yang bergulung.

Jika di alam nyata kita akan melihat kuda berlari di daratan, di atas tanah, padang rumput atau di jalanan berbatu. Namun pasukan ini justru berlari di atas air. Air laut seperti jalan berbatu yang menyebarkan debu. Buih dan ombak seperti pecahan mutiara yang tertimpa matahari. Memancar kiri kanan sehingga menampakkan pemandangan indah sekali. Tak sedikit makhluk astral terbengong menatap pasukan yang gagah itu. Mereka lewat memunculkan kesan luar biasa. Aroma wangi tersebar cukup lama.

“Siapakah beliau Kanjeng? Pasukan kuda itu luar biasa gagah. Selama ini aku hanya melihat dalam gambar dan mendengar cerita saja tentang pasukan berkuda di alam tak kasat mata. Tapi kali ini semua terlihat nyata” Ujar Alif di tengah kekagumannya. Kujawab aku tidak tahu pasti siapa mereka. Bisa jadi mereka salah satu pasukan anak Datuk Ratu Agung, saudara Putri Gading Cempaka yang memiliki kerajaan-kerajaan kecil di beberapa daerah di Bengkulu ini.

“Kanjeng! Awas!” Tiba-tiba Alif berteriak histeria ketika melihat dua sosok harimau belang berlari dan melompat tinggi seakan hendak menerkamku dari belakang. Aku segera menoleh. Ternyata keduanya adalah dua nenek gunung dari Tanah Tinggi Sebakas,

“Masya Allah! Kita bertemu di sini? Apa kabar adik-adik yang ganteng?” Aku juga tak kalah kagetnya. Di hadapanku berdiri dua sosok makhluk astral berbentuk harimau. Keduanya pernah berjumpa denganku ketika aku dan kawan-kawan pecinta alam berkunjung ke Dusun Tinggi Sebakas. Kami berpelukkan melepas rindu.

“Masya Allah, rasanya baru kemarin aku melihat kalian masih asyik bermain, kejar-kejaran, lalu kalian menitikkan air mata, menangis mengantarkan aku diperbatasan. Sekarang kalian terlihat dewasa, gagah” Ujarku sembari mengelus kepala keduanya.

“Mengapa Dang Selasih tidak kembali ke Sebakas? Padahal lama kami menunggu kedatangan Dang, merindukan Dang” Ujarnya menagih janji. Mereka benar, aku pernah berjanji akan Kembali mengunjungi kampung mereka. Berjumpa dengan sesepuh Sebakas di sana.

“Maafkan Dang, adik-adikku. Dang sibuk, nyaris tidak punya waktu untuk melancong ke Sebakas. Insya Allah, suatu saat akan kembali ke sana. Jika tidak dalam wujud nyata, dalam wujud seperti ini. Apa kabar semuanya? Semua sehat bukan?” Tanyaku lagi. Aku jadi terbayang pengalaman -pengalaman seru ketika berada di dusun itu. Membebaskan salah satu sahabatku yang ditahan oleh makhluk astral yang disumpah Bapaknya menjadi ular. Beberapa kali aku melakukan peretempuran. Berjumpa dengan penduduk-penduduk dusun gaib yang ramah di sepanjang jalan. Lalu berkunjung ke sebuah kampung yang kehidupannya persis kehidupan di alam nyata. Konon kampung itu dulu ada di alam nyata. Namun demi menghindar dan melindungi warganya dari penjajah, sang pemimpin meraibkan dusun menjadi tak kasat mata. Di situ juga aku berjumpa dengan sosok seorang gadis cantik berwajah bule dan Pastur keturunan Belanda, menyebarkan agama, dan menjaga umatnya di sana. Beberapa kali ke dusun nenek gunung, golongan manusia harimau yang menetap di sana.

“Semua sehat Dang. Alhamdulilah” Jawab salah satu mereka.

Saking asyiknya berjumpa dan teringat kenangan selama di sana aku nyaris lupa jika aku tidak sendiri. Akhirnya dua sosok harimau Sebakas kukenalkan pada Alif yang berdiri memandang kami.

Semua Alif menampakkan rasa takut. Dia kira keduanya adalah makhluk astral bersosok harimau yang jahat. Setelah melihat keakraban kami, akhirnya wajah cemasnya berubah menjadi senyum.

“Jika pergi ke Sebakas, izinkan aku ikut ya, Kanjeng” Ujarnya lagi. Kami semua tersenyum. Aku menganguk mengiyakan. Entah kapan akan ke sana. Sementara Alif rencananya akan pergi ke Yaman untuk melanjutkan kuliahnya. Setelah ini dia akan sibuk pula melaksanakan perintah Eyang Kuda gurunya untuk berguru.

Akhirnya kami duduk di pasir bersama. Dalam obrolan bersama dua sosok harimau di hadapanku, kudapat kabar jika Sebakas semakin hari semakin ramai didatangi oleh pengunjung yang hendak berziara. Terutama ketika musim kemarau. Karena untuk menyeberang ke Dataran Tinggi itu tidak ada jembatan. Pengunjung harus menyeberangi sungai. Di tambah lagi sungai semakin lama semakin lebar karena sering kali ‘rawang’. Sisi sungai tidak ada lagi kekuatannya, karena pohon besar dan bambu sudah tidak ada sebagai penahan tanah. Pohon-pohon banyak yang ditebang menjadi ladang dan kebun sawit.

Tiba-tiba aku dikagetkan suara mengaji samar-samar terdengar dari mubungan masjid. Sebentar lagi subuh. Akhirnya kami sepakat untuk pulang. Dua sosok nenek gunung dari Sebakas berniat ingin ikut denganku. Melihat ekspresi polos mereka akhirnya aku izinkan. Dengan syarat, mereka tidak boleh melakukan aktivitas yang akan membuat Bapak dan Ibu takut. Apalagi jika menampakkan diri. Akhirnya keduanya sepakat. Aku memanggil angin untuk membawa kami pulang. Lalu kami pengantar Alif ke pondoknya terlebih dahulu, baru melanjutkan pulang ke rumahku.

Langit masih gelap dan udara terasa dingin. Bintang timur masih gemerlap terang. Aku mempercepat perjalanan. Khawatir masih diperjalanan, azan berkumandang. Dua makhluk yang ikut denganku ini pasti akan kerepotan akan pergi ke masjid mana.

“Kalian tunggulah solat subuh di sini, baru nanti ke rumah Dang” Ujarku pada keduanya di depan masjid Akbar yang letakknya persisi di seberang simpang menuju rumahku. Kukatakan usai solat langsung saja menuju rumah mengikuti jalan ini. Atau akan kujemput saja. Akhirnya demi keamanan keduanya, kami sepakat usai solat subuh aku akan jemput mereka.

Tok! Tok! Tok!
Pintu kamarku ada yang mengetuk. Aku baru saja bangkit dari duduk.

“Dedek! Bangun…bangun….solat subuh” Suara Bapak di depan pintu. Aku pura-pura baru bangun, sambil menjawab iya. Bapak tidak mengetahui jika malam ini perjalananku berliku-liku bersama Alif. Andai beliau tahu? Iih! Pasti aku kena marah. Mengapa jalan-jalan malam hari? Kecuali pergi bersama Nenek Kam.

“Maafkan aku Bapak” aku membatin sambil mencuci tangan mengawali bersuci diri untuk berserah pada-Nya.

Bersambung…
close