Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

OYOT MIMANG (Part 6) - Mereka yang Tersesat Gelap

Segalanya berubah, jalanan yang lurus, aspal halus yang kami rasakan, seakan hilang. Kini semua berganti tanah dan barisan pohon salak. Kami terjabak malam.


Rasa lapar masih aku rasakan saat ini, makanan yang tadi disajikan akhirnya dibungkus dan aku bawa ke dalam perjalanan. Aku tak tahu dengan apa yang orang dewasa ini pikirkan. Malam sudah selarut ini, bukannya istirahat mereka malah nekat kembali ke Kota Bahari.

Aku sangat paham dengan ekspresi yang ditunjukkan Mas Agung, aku sendiri saja sampai kaget karena keputusan yang mereka ambil, tapi mau bagaimana lagi, aku hanya bisa ikut saja dengan ketentuan mereka, apa dayaku sebagai satu-satunya anak muda yang berada di mobil ini.

Mobil terus melaju kencang, Pak Sopir seperti sedang berpacu dengan waktu. Beberapa kali Mas Min menawarkan diri untuk menggantikannya, namun malah ditolak, dalam hati aku kagum dengan kondisi tubuh Pak Supir yang kuat sekali, padahal tadi makanan yang diambil hanya sedikit.

Hanya segelas kopi yang dia habiskan, setelahnya kami semua malah berpamitan untuk kembali, pulang menuju Kota Bahari. Ah, rasanya tubuh ini ingin sekali merasakan dekapan kasur empuk di rumah. Rasa pegal sudah tak terbendung lagi, sampai membuat rasa kantuk hilang,

tak kuasa rasanya untuk memejamkan mata, kini aku berada di depan menemani Pak Supir, sebisa mungkin aku harus membuatnya tersadar sebagai teman bicara dalam perjalanan.

“Pak gak capek apa? Perjalanan berangkat kan sudah bapak yang nyetir, kalau Bapak merasa capek, bisa loh gantian sama Mas Min” ucapku kembali menawarkan Mas Min untuk menggantikannya.

“Tidak Mas, saya masih bisa tangani ini” jawab Pak Supir dengan wajah datar.

“Owalah, yowis kalau begitu, memangnya buru-buru ada masalah apa pak di rumah? Sepertinya mendesak sekali untuk kembali ya?” tanyaku pada Pak Supir sebagai usaha memastikan beliau tidak mengantuk.

“Biasa, masalah rumah tangga” kembali, Pak Supir menjawab pertanyaanku dengan wajah datar yang terus menatap ke depan.

“La wong di suruh nunggu sehabis subuh dulu kok malah nekad to Min, masih pegel loh badanku, encokku bisa kumat nih...” timpal Pakde Dulug dari arah kursi dibelakangku.

“Sudahlah, tadi Pak Supir bilang kalau anaknya mengalami demam, waktu sampai rumah Mas Bambang beliau dapat telepon dari Tegal, ya sudah aku putuskan jg untuk segera pulang, malah bsa mempersiapkan dagangan sesampainya di Tegal nanti” ucap Mas Min membalas pertanyaan Pakde Dulug.

“Lah kamu mau tetap dagang opo Min? gak istirahat dulu? Gak kecapean opo?” tanya Pakde Dulug.

“Ya capek Pak, tapi mau bagaimana lagi Pakde, cicilan masih banyak yang harus ditutup, namanya juga pedagang kecil di pasar, gak boleh malas, ada waktu walaupun hanya sedikit, tetap di gas, biar jadi uang, minimal pasokan bahan aman dulu lah hahahaha”

canda Mas Min dan Pakde Dulug memberi kehangatan di dalam mobil, walaun ac mobil saat ini hampir membuat kami semua menggigil.

Aku kembali melihat sekitaran, lampu-lampu jalan menemani perjalanan kami saat ini, sudah beberapa menit yang lalu kami semua meninggalkan desa tempat calon istri Mas Agung. Aku penasaran,

saat pagi di desa itu apakah dinginnnya sama dengan desa asal Bapakku yang ada di Wonogiri? Yang saat orang bicara, asap putih akan keluar dari mulutnya.

Deretan lampu jalan menemani perjalanan malam ini, terangnya membuat malam terasa sore hari. Ingin rasanya membuka kaca, namun pasti angin akan dengan serampangan masuk ke dalam mobil,

dan menimbulkan suara berisik. Pasalnya saat ini mobil berjalan dengan kecepatan maksimal. Aku bisa melihatnya dari speedometer mobil yang jarumnya terus bergerak ke arah kanan.

“Pak Supir, kita tidak cari pom bensin dulu? Tadi kita hanya mampir sekali saja loh ke pom bensin, itu pun hanya mengantarkan Mas Agung buang air kecil.” Tanyaku pada Pak Supir memastikan bahan bakar yang digunakan cukup dalam perjalanan.

“Tenang, kita tidak akan kehabisan bensin, masih aman” jawab tenang Pak Supir.

“Serius pak, seirit itu ya mobil ini? Bisa gitu sekali isi bolak-balik dengan jarak sejauh ini? Apa mungkin karena mobil masih baru?” tanyaku penasaran.

“Mungkin..” jawab Pak Supir pendek.

Karena aku penasaran aku memastikan untuk melihat status bensin di layar speedometer, dan benar saja bensin masih belum habis, masih tersisa separuh. Setidaknya itu yang ditunjukan oleh layar spidometer.

Ada sesuatu yang mengganjal di dalam pikiranku, sejak tadi jawaban Pak Supir singkat, terkesan tidak ingin melanjutkan pembicaraan yang ku mulai, apa mungkin masalah besar sedang terjadi di rumahnya? Sampai beliau harus bergegas pulang ke rumah,

sampai memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. Masalah apa yang sedang dihadapi, aku ingin menanyakan tapi kalau menyangkut masalah pribadi lebih baik aku simpan pertanyaan yang ingin diajukan.

“eh Di... kamu dengar gak tadi?” pertanyanyaan Pakde Dulug menyadarkanku dalam lamunan.

“Wonten nopo Pakde? Dengar apa?” suara mesin mobil nopo?” tanyaku pada Pakde Dulug.

“Ada suara perempuan di belakang, mosok kamu gak dengar? Jelas banget loh, cekikikan di belakang, kamu liat gak di belakang?” tanya Pakde Dulug dengan muka tegang.

“Gak dengar De, aku juga gak melihat apa-apa di belakang de, gak ada siapa-siapa...” ucapku menjelaskan.

“Halusinasi Pakde, ngantuk ya? opo ngimpi barusan?” ledek Mas Min sambil cengengesan.

“Halah, yang bener kalian, mosok halusinasi, aku nggak ngantuk babar blas loh, denger banget tadi jelas, ada perempuan tertawa di belakang.” Ucap Pakde Dulug mencoba meyakinkan.

“Lah, la Aldi aja bilang gak ada kok, aku juga gak dengar apa-apa, udah sampeyan tidur aja, senenge loh bikin deg-degan loh, jangan suka bercanda kayak gitu Pakde gak lucu.

“Gundulmu bercanda, haqqul yakin aku, ada suara tadi, mosok aku tok yang dengar?” ucap Pakde Ndulug.

“Sampun-sampun, cah-cah enom ampun do berisik, udah malam ini, gak usah ganggu konsentrasi Pak Supir ini, lagi serius nyetir loh, mending tetap fokus di perjalanan malam ini, enggeh mboten Pak Supir?” tanyaku mencoba obrolan kembali.

“Iya”... jawab Pak Supir singkat.

“Sampean kenapa pak? dari tdi kok jawabnya singkat-singkat kalau diajak bicara loh, sini gantikan kalau sudah lelah, jangan dipaksakan Pak Supir!” timpal Mas Min.
“Tidak apa-apa, saya baik-baik saja” jawaban singkat Pak Supir kembali terdengar.

Kami semua akhirnya kembali terdiam. Kini aku sibuk dengan makanan ringan yang dibawakan Mas Bambang, makanan ringan ini sepertinya kurang nendang. Sebelum jalan ke Banjarnegara, Mas Agung sempat bilang, keluarga Banjarnegara sudah menyiapkan soto khas Sokaraja.

Andai saja Pak Supir tidak ada urusan mendadak, mungkin saat ini aku sedang menghisap rokok di lantai dua rumah itu, karena kekenyangan dengan soto yang aku makan sebelumnya, saat dibayangkan sepertinya nikmat sekali, sayang semua harus ditinggalkan gara-gara ada urusan mendadak,

yah beginilah sebuah perjalanan, kadang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, bahkan kadang tidak sesuai dengan apa yang sudah direncanakan.

Aku kembali lagi menatap ke jalan yang saat ini sedang kami lewati, ada sesuatu yang terasa aneh sekarang. Sejak kami melakukan perjalan tadi, belum pernah sekalipun mobil kami berpapasan atau mendahului mobil lain, semenjak memasuki jalanan lurus ini,

aku belum sekalipun menemukannya. Apakah kondisinya benar seperti ini? sesunyi ini saat malam sudah larut? Apakah tidak ada warga yang pergi ke pasar saat ini? Pertanyaan itu terus berkecamuk di kepalaku. Pikiran negatif muncul, sepertinya ada yang salah dengan perjalanan ini.

“Pak Supir tadi saat berangkat kita memang lewat sini Pak?” tanyaku untuk memastikan.

“Tidak...” jawab Pak Supir dengan raut muka datar.

“Loh piye to wong iki? Sing bener Pak, ojo guyon, jangan bercanda, tadi kita gak lewat sini waktu berangkat?” Tiba-tiba Pakde Dulug menimpali pertanyaan pada Pak Supir.

“Tenang, ini jalan yang berbeda, tapi nanti ketemu jalur yang sama” Jawab Pak Supir mencoba menenangkan kami semua.

“Di, coba kamu buka aplikasi apa itu namanya, yang buat nunjukin arah itu loh? opo to jenenge? Pokoknya kamu buka itu sekarang, benar tidak arahnya ke Tegal?”

“Owalah Google Map to Mas? Oh iya, baik mas coba aku buka aplikasinya.” Ku buka Handphone yang sedari tadi aku letakan di dalam tas kecil yang aku bawa, karena saat masuk ke desa keadaan sinyal tidak terlalu mendukung.

Berkali-kali dicoba hasilnya tetap sama saja, aplikasi map tidak bisa dibuka, sinyal internet juga tidak tersedia, saat ini hanya edge sebagai satu-satunya jaringan yang bisa ditangkap oleh handphone pintarku.

“Iso Di, bisa kamu melihat posisi kita sekarang dimana?” tanya Mas Min.

“Enggak bisa Mas, parah banget ini sinyalnya, tidak memungkinkan untuk membuka internet” jawabku.

“Tapi ini jalan yang bener kan Pak Sopir? Awas lo kalau sampai kesasar, gak lucu loh ini” ucap Pakde Dulug dengan nada sedikit mengancam Pak Supir.

“Tenang saja, kita sudah menuju ke aras yang benar Pak...”Jawab Pak Sopir dengan muka datar dan respon yang dingin.
Aku yang saat ini berada di sampingnya seperti sedang melihat orang lain, sikap dan perkataannya tidak seperti orang yang aku kenal sebelumnya.

“Bapak kecapean, mau digantikan Mas Min saja Pak? aku mencoba menanyakan hal itu lagi, aku khawatir kalau Pak Supir memaksakan tenaganya untuk segera sampai ke lokasi tujuan.

“Tidak Mas, sama sekali tidak...” Jawabnya dengan wajah datar dan tatapan terus melihat ke arah depan.

Mobil terus melaju dengan kecepatan cukup tinggi, jalanan yang kami lewati benar-benar sepi, Tak terlihat rumah warga atau gedung perkantoran, mirip sekali saat berjalan melewati jalan Tol, yang bisa kulihat hanya jalanan dengan lampu penerangan dan sawah

atau perkebunan di samping kiri dan kanan. Malam yang gelap membuat semuanya terasa sama. Kini aku hanya bisa terus percaya pada apa yang Pak Supir lakukan, Untuk itu, kami semua tidak ada yang tertidur, menemani dan terus terjaga dalam perjalanan malam ini.

Sepertinya kami semua sudah jauh meninggalkan tempat awal kami berangkat, aku merasa sepertinya sudah di Purbalingga, sebentar lagi pasti jalan akan naik, medan yg dihadapi akan berubah. Jalan menembus perbukitan, menanjak, menurun dan berkelok-kelok akan kami temui sebentar lagi

Dari kejauhan sayup-sayup aku melihat cahaya terang yang melaju dari arah berlawanan. Akhirnya, setelah sekian lama perjalanan aku melihat mobil di jalan yang kami lewati ini. Namun lama kelamaan aku mulai menyadari, cahaya itu semakin besar,

lampu mobil macam apa sampai cahayanya seterang ini, aku sudah tak sanggup lagi untuk terus membuka mata, dalam kondisi cahaya silau seterang ini, mata manusia mana yang kuat. Kini aku hanya bisa menutupnya, walaupun begitu sinarnya seperti menembus kulit kelopak mata.

Mendadak aku merasakan mobil sudah berhenti, cahaya tadi meluncur begitu cepat membuat semua yang ada dalam mobil tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saat kembali ku buka mata, warna hitam menjadi hal yang dominan.

Penglihatanku berangsur membaik, dari bias semua yang kulihat, menuju bentuk yang benar-benar jelas terlihat. Kali ini ada hal ganjil yang telah terjadi.

“Loh Mas, kok kita di sini?” pertanyaan itu muncul tatkala aku melihat hal yang benar-benar tak masuk akal terjadi.

“Pak Sopir kita ada dimana sekarang? Sebelumnya kan jalan masih terlihat lurus kan?” Ucap Mas Min pada Pak Supir.

“Saya tidak tahu Mas...” ucap Pak Supir dengan wajah tenang, datar dan pandangan masih melihat ke depan.

“Gak Masuk akal ini, lo ini kita udah di depan tebing loh Mas!” teriakku terkejut dengan kenyataan yang sekarang harus kami hadapi.

“Gendang iki, kok iso loh neng kene, gimana Pak Supir kok kita bisa ada sini? Nyopirmu apa gak pakai matai?!!” teriak Pakde Dulug dengan nada tinggi penuh emosi.

“Wes, podo mudun, semuanya ayok keluar, keluar dari mobil...!!” Perintah Mas Min yang segera mengambil tindakan.

Kami semua keluar dari mobil, semua keluar kecuali Pak Supir yang masih duduk di depan kemudi. Diam masih terduduk diam.

“Edan iki, kok kita tiba-tiba ada sini, bukannya keadaan jalan tadi masih baik-baik saja? Aku gak merasakan mobil melewati jalan tanah seperti ini Mas” ucapku pada Mas Min.

“Kanan dan kiri kebun salak di, aku cek depan barusan itu udah tebing, bawahnya sudah sungai, arusnya lumayan deras” Mas Min menginformasikan keadaan yang ada saat ini.

“Duh Gusti, untung gak bablas, bisa cilaka kita kalau masuk sungai, bisa mati,duuuuh Gusti.” Ucap Pakde Dulug setengah menggerutu.

“Huuuussshh!! Bicaramu loh De, kayak gak tau disekolahkan itu mulutnya..” timpal Mas Min kesal, dengan apa yang dikatakan Pakde Dulug.

“Pancen, memang gak pernah sekolah, kuli bangunan kaya aku ya gini, bicaranya ya ceplas-ceplos, gak kayak politikus yang pinter ngomong dan suka bikin janji sama rakyat...”

“Sudah, gak usah curhat, terus ini gimana? Mau apa kita sekarang Mas?” tanyaku pada Mas Min.

“Coba Pak Supir suruh mundur saja Di...” Perintah Mas Min padaku.

Aku langsung bergegas ke depan, mendekati pintu kemudi, aku ketuk kaca mobil yang di dalamnya masih ada Pak Supir yang sedang duduk diam.

“Pak Supir, bisa enggak kita mundur, ini depan dah tebing seperti ini, bisa bahaya...”

“Baik Mas saya coba,,,”

Pak Supir menyalakan kembali mesin mobil yang sempat iya matikan karena panik. Posisi tuas gigi sudah dipindahkan ke mode R, mobil mulai berjalan mundur. Namun kini yang kami hadapi,

mobil harus mundur dengan kondisi jalan naik. Akibatnya mobil susah bergerak, ban selip akibat kondisi tanah yang masih basah.

“Pak enggak bisa ini, wes mentok, ban selip Pak !!!” teriak Mas Min dari arah belakang mobil.

“Ini posisi kita ternyata di bawah ya, kita harus menuju atas biar bisa keluar dari kebun ini. Tapi ini tanjakannya panjang, mobil susah mundur kalau keadaan jalannya seperti ini” Mas Min menjelaskan kondisi saat ini pada Pak Supir.

“La terus kudu gimana ini Min, mobil gak bisa putar balik juga? Gak bisa mundur, maju malah nyemplung sungai, itu depan sudah tipis banget, Duh Gusti pangeran, aku pengen muleh wes kangen bojo iki...” Teriak Pakde Dulug membuat aku hampir saja tertawa dalam kondisi genting ini.

“Urus ini sek Pakde, kita semua juga pengen pulang, kangen keluarga juga, gak sampean saja tahu”. Timpal Mas Min sedikit kesal.

“Udah nih mentok kita gak bisa kemana-mana?” Tanyaku pada Mas Min dan Pakde Dulug.

“La itu loh bannya selip, gak ada kayu berbentuk papan di sekitar sini, gak bisa ini, butuh bantuan ditarik mobilnya” Mas Simin menjelaskan sesuatu padaku.

Aku hanya bisa terdiam, terjongkok pasrah di samping mobil. Mas Min masih berdiri dengan menyilangkan tangannya di depan dada, Pakde Dulug masih dengan kepala yang terus ia gelangkan,

sesekali menggaruk kepalanya, wajah kebingungan nampak sekali terlihat. Sementara kami semua turun, Pak Supir masih tetap terduduk di kursi kemudi mobil.

“Di, itu si Supir di suruh turun aja! takut kenapa-napa, aku takutnya dia menginjak gas terus mobil masuk ke sungai..” perintah Pakde Dulug sembari menyalakan rokok yang sedari tadi sudah dipegangnya.

“Hush!!! De ngomong yang benar lah, dalam situasi kayak gini kok bilang gitu” jawabku pada Pakde Ndulug.

“Benar di, kamu cabut kuncinya, kamu ajak dia keluar, dari pada bengong di dalam kaya orang ling-lung begitu loh” suruh Mas Min padaku. Setelah mendengar perkataan mereka berdua, aku langsung bangun dari posisi jongkok, berjalan menuju arah mobil.

Selanjutnya aku langsung membuka pintu depan, mengambil kunci mobil. Aku melihat tatapan kosong pada wajah Pak Supir, segera aku tepuk pundaknya dan mengajaknya untuk keluar dari mobil.

Wajah kaget terlihat saat aku menepuk pundaknya, Pak Supir akhirnya turun, tak lupa sebelum turun ku pastikan tuas rem tangan sudah aktif, untuk jaga-jaga agar mobil tidak bergerak sendiri.

“Pak Njenengan tidak apa-apa?” tanyaku memastikan kondisi Pak Supir.

“Saya tidak kenapa-napa Mas, ini saya juga bingung kok kita ada di sini ya? saya yakin tadi jalan yang saya lewati itu benar loh mas...” ucap Pak Supir.

“Yang paling tahu jalan kan Pak Supir karena sudah dua kali perjalanan ke sini, kok bisa loh kesasar?” tanya Mas Min.

“Saya yakin Mas jalan yang saya lewati tadi sesuai instruksi Mas Agung, saya paham betul jalannya..” jawab Pak Supir berusaha membela diri dengan wajah yang masih nampak kebingungan.

“Halah, ngetupruss!!! la nyatanya kita semua ada di sini, kesasar, tidak bisa bergerak.” ucap Pakde Dulug

“Apa mungkin karena perjalanan malam dan tidak ada Mas Agung sekarang?” timpalku berusaha menengahi mereka.

“Makanya, tadi Agung sudah bilang mau diantar sampai persimpangan tidak, gara-gara wong iki nolak, kita kesasar kan sekarang...” jawab Pakde Dulug yang sudah tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya.

“Tapi kalau kita kesasar harusnya kita menuju daerah bukit dong, jalannya pasti naik, kita semua sama-sama merasakan jalan yang datar kan tadi?” tanyaku memastikan, yang membuat kami semua hanya bisa terdiam dalam kebingungan.

“La terus mau gimana? Coba kamu telepon Agung Di...!” Perintah Mas Min padaku.

“Mas, aku habis ganti nomer, belum aku masukan ke handphone nomernya Mas Agung...” jawabku menambah kebingungan.

“Lah bocah, malah gak minta, soalnya aku juga gak ada nomernya Agung, Pakde ada gak?” tanya Mas Min pada Pakde.

“Ora ono aku, gak punya nomernya Agung” Jawab Pakde Dulug sambil memegang kepalanya.

“Yowes ciloko ini, kok bisa kita gak ada yang punya nomernya Agung, la terus piye ini?” Mas Min kebingungan dengan yang terjadi saat ini.

Pak supir masih terdiam berdiri mematung selalu melihat ke arah mobil yang kini terjebak. Kami semua masih berusaha mencari solusi dan menghentikan untuk tidak terus saling menyalahkan.

Dalam kondisi saat ini, yang diperlukan adalah jalan keluar, bukan mencari siapa yang paling bersalah, siapa penyebab segalanya terjadi. Perjalanan ini kita mulai bersama dan harus diakhiri bersama.

Handphone berbunyi keras, membuat semua orang melihat ke arah ku saat ini. Segera aku mengambil handphone yang sedari tadi aku letakkan di dalam tas. Tertera nomor yang belum aku simpan, tapi nampaknya aku mengenal nomor ini. Tanpa menunggu lama lagi aku angkat telepon yg masuk.

“Halo Di, ini Agung...” suara itu langsung masuk begitu cepat, lega rasanya. Mas Agung menelpon pertama kali, dari mana ia tahu no telpon baruku, rasanya itu sudah tidak penting lagi.

“Halo Mas Agung...” aku menjawab panggilan.
“Halo Di, syukurlah bisa nyambung lewat telepon, tadi aku kirim pesan via WA gak ada yang terkirim, piye? Posisimu sekarang dimana? Sudah keluar Banjarnegara?” Rentetan pertanyaan langsung menyerangku.

“Mas, nganu... kita semua kesasar ini” Jawabku singkat. Lalu tiba-tiba suara Mas Agung seperti menghilang dalam diam.

“Mas.., Mas.., Mas Agung?!” panggilku untuk memastikan

“Kesasar dimana Di? Apa ada orang yang mungkin bisa ditanya? Atau ada sesuatu yang bisa dijadikan patokan?” tanya Mas Agung nampak kepanikan.

“Aku tidak tahu dimana tepatnya, semua gelap Mas, tidak ada penerangan, yang aku tahu di sekitarku banyak terdapat pohon salak Mas” aku berusaha menjelaskan keadaan saat ini.

“Di, ini Banjarnegara, banyak banget kebun salak, apalagi pohon salak, yang jelas dong kalau ngasih penjelasan. Mending sekarang kamu kirim titik lokasi kamu lewat WA ya, aku tunggu” telepon langsung dimatikan.

Aku langsung bergegas mengirim lokasi kami melalui aplikasi pesan internet. Berkali-kali aku coba hasilnya sama saja, benar seperti Mas Agung katakan,

saat ini hanya bisa berkomunikasi via seluler, sialnya pulsa selulerku saat ini tidak banyak, benar-benar harus melakukan pembicaraan yang sekiranya penting.

Telepon berbunyi kembali, panggilan Mas Agung kembali masuk. Kali ini aku menjelaskan apa yang terjadi, sinyal tidak memungkin untuk mengirim lokasi saat ini, Mas Agung kembali menutup teleponnya, sepertinya terjadi kepanikan di rumah.

Duh gara-gara kami, Mas Agung dan yang lainnya pasti bingung. Aku merasa kejadian ini pasti membebani pikiran Mas Agung. “wong meh rabi, malah dibuat bingung begini” gumamku lirih.

“Piye Di kabar dari Agung?” tanya Mas Min mengagetkanku dari lamunan.

“Belum ada jalan terang Mas, masih pada kebingungan, soalnya posisi lita saat ini juga belum jelas kan...” jelasku pada Mas Min. Raut wajahnya tegang seperti sedang memikirkan sesuatu, sepertinya Mas Min mencoba mencari ide untuk masalah ini. Kondisi saat ini benar-benar kacau.

Aku sempat membayangkan kalau saja Pak Supir tidak menginjak rem tepat waktu, mobil tidak berhenti, mungkin saja kami sudah masuk ke sungai, Kengerian apa yang akan terjadi, apa nyawa kita semua bisa selamat atau malah sebaliknya. Permainan apa yang sebenarnya sedang dimainkan.

“Eh Di, itu apa kok ada bayangan gede banget di dalam kebun salak?!” teriak Pakde Dulug mengagetkan kami semua.

“Opo to De, gak lucu tenan iki..!!” aku merespon panik ucapan Pakde Dulug.

“Serius Di, koyo ketek, seperti monyet besar berbulu hitam, matanya merah Di, kampreeet!!! Merinding aku iki loh...!” Pakde Dulug menunjukkan bulu kuduk yang berdiri di tangannya.

“Wes-wes, ojo diomogke terus, gak usah terus dibicarakan, malah tambah gak beres nanti, kita waspada saja” ucap Mas Min mencoba menenangkan situasi.

Kami semua panik berkumpul mencoba menenangkan Pakde Dulug. Pak Supir masih saja berdiri mematung di tempatnya, aku yang melihat hal tersebut semakin curiga, keanehan apalagi ini.

“Pak Supir sini kumpul, jangan hanya berdiri di situ saja!” teriakanku cukup keras, berhasil menggerakan tubuhnya, berjalan menghampiri kami semua.

“Wonten nopo Mas? Ada apa?” tanya Pak Supir dengan wajah datar dan nadanya lembut, membuatku merasa semakin yakin ada keanehan yang terjadi.

“Ono opo, ono opo, kamu ngapain berdiri terus di situ, gak takut apa? Sini kumpul biar kita bisa saling menjaga!” ucapan Mas Min hanya dibalas senyuman oleh Pak Supir.

“Ngompo mesam-mesem, kenapa malah senyum-senyum?” tanya Pakde Dulug.

“Mboten Pak, tidak ada apa-apa” kini Pak Supir menjawab pertanyaan itu dengan wajah datar.

Mas Min bergerak dari posisinya semula, berpindah mencari tanah datar yang datar. Kini ia duduk dengan posisi kaki menyila, kepalanya menatap lurus ke depan, tangannya diletakkan di bagian antara paha dan kaki,

telapak tangan terbuka dan mata Mas Min mulai ditutup, nampak kini ia sedang berkonsentrasi penuh sembari mulutnya bergerak membacakan doa.

Sayup-sayup aku seperti mendengar bacaan ayat suci keluar dari mulutnya. Kami semua terdiam di situasi ini, tiba-tiba angin berhembus kencang dari arah sebelah kiri, hampir saja membuatku jatuh. Kedatangannya cukup tiba-tiba,

karena sebelumnya suasana di sekitaran kami cukup tenang. Hawa dinginnya menusuk kulit sampai ke tulang, memakai jaket setebal ini masih saja bisa aku rasakan.

Kami semua terdiam, mungkin ini adalah cara yang dilakukan Mas Min untuk memohon petunjuk Ilahi, dari masalah yang sedang terjadi saat ini. Dalam ketidakpastian siapa lagi yang dituju kalau bukan Sang Pencipta.

Cukup lama kami terdiam, sampai akhirnya handphone yang aku bawa berbunyi kembali, dalam hati aku menduga, mungkin Mas Agung akan memberitahu jika bantuan sudah dikirim, dan pencarian sudah dimulai, segera aku angkat panggilan yang masuk dari Mas Agung.

“Halo Di, aku sekarang ada di batas desa, berhenti di pertigaan jalan, aku mau bertanya ,kamu tadi belok kiri atau kanan?” Pertanyaan langsung muncul tatkala telepon aku angkat.

“Halo Mas Agung, tadi aku belok kiri seperti apa yang dikatakan Mas Agung” jawabku.

“Jalanan yang kamu lalui tadi bagaimana? Menurun atau menanjak?” tanya Mas Agung.

Aku menjelaskan apa adanya, seperti yang kami rasakan, jalanan datar lurus dengan banyaknya lampu penerangan, tidak ada tanjakan, turunan atau belokan. Rasanya nyaman saja melintasi jalan yang tadi, segalanya nampak seperti biasa saja, kami semua tak ada yang tertidur.

“Apakah jalannya rusak banyak lubang Di?” tanya Mas Agung kembali memastikan.

“Enggak Mas, jujur ini jalannya halus banget, mulus Mas, datar saja tidak ada belokan, tanjakan atau turunan. Pak Sopir saja ngebut, aku merasakan itu sih Mas” Jawabku.

“Kamu pakai aplikasi Map gak saat jalan tadi?” Mas Agung kembali bertanya.

“Tidak Mas, sinyal E tidak bisa digunakan untuk membuka aplikasi dengan akses internet Mas, jadi kami semua pasrah sama Pak Supir.”

Nampak kebingungan dirasakan Mas Agung dan yang lainnya, yang terlambat aku sadari di sini, kenapa Mas Agung juga ikut mencari keberadaan kami, apa dia lupa kalau sedang di pingit.

Aku sedang melamun memikirkan itu, lalu dikagetkan Mas Min yang tiba-tiba mengambil alih teleponku. Aku serahkan saja padanya, barang kali Mas Min bisa menjelaskan keadaan dengan lebih rinci.

“Halo Gung, iki Mas Min, biar aku wae yang menjelaskan posisi kami saat ini” Mas min langsung saja berbicara.

“Posisi Mobil saat ini terjebak di sekitaran kebun salak, di depan kami adalah tebing yg di bawahnya sekitar 2-3 meter itu sudah sungai dgn arus yg lumayan deras. Di kanan kiri kami kebun salak, hnya berjarak beberapa senti saja dari body mobil, ngepres banget Gung” Ucap Mas Min.

“Ora iso, tidak bisa Gung, jalanan di belakang itu menurun ke arah sungai, sekitar 20-30 meter, mobil tidak ada tenaga jika langsung mundur dan menanjak gitu, ditambah lagi ban selip karena jalannya itu tanah yang masih basah.”

“Aku sendiri bingung Gung, setelah mobil berhenti, itu pas aku lihat di depan dah tebing, untung Pak Supir gak telat nginjek rem” Mas Min masih dalam posisi menjelaskan, kini aku tak lagi bisa mendengar apa yang diucapkan oleh Mas Agung.

“Aku sama sekali gak tidur Gung, kita semua di mobil belum ada yang tidur, semua merasakan hal yang sama, kami nyaman saat mobil berjalan, tapi setelah mobil mendadak berhenti,

yang kami lihat saat keluar mobil adalah kebun salak, gelap tanpa ada penerangan” ucap Mas Min mencoba meluruskan permasalahan, ekspresinya berubah serius.

“Yowes, kamu hati-hati saat melakukan pencarian, kami coba bertahan di sini ya, lagian mau apalagi? Benar-benar terkunci tidak bisa bergerak ini” ucapan itu menutup pembicaraan saat ini.

“Oyot Mimang iki” Mas Min berkata sembari menatap keadaan sekitar.

“Opo Mas? Oyot Mimang? Apa iyu Mas Min?” tanyaku penasaran dengan yang barusan Mas Min ucapkan.

“Banyak cerita menyebutkan, ada makhluk gaib yang dapat membuat orang tersesat. Sosok gaib itu disebut-sebut menjelma menjadi akar pohon. Orang-orang menyebutnya Oyot Mimang.” Mas Min menjelaskan ada kami semua.

“Ada ya yang kaya gitu, aku pernah dengar dari seorang teman yang tersesat di gunung, apa juga disebabkan oleh tu?” Tanyaku penasaran.

“Secara penampilan, Oyot Mimang tampak seperti akar pohon pada umumnya. Konon, bagi siapapun yang melangkahinya atau tersandung, maka akan tersesat dan linglung. Ada yang tidak bisa pulang lantaran linglung dan berputar-putar di sekitar saja.

Bahkan, ada yang merasa seakan tak kunjung sampai ke tempat tujuan padahal sudah menempuh perjalanan sangat lama.” Jawaban Mas Min langsung membuat kami semua melirik ke Pak Supir, keanehan yang terjadi semakin terjawab.

“Kamu ingat kan tadi, mobil sempat terhenti di antara pohon besar saat berada di Pemalang?” bisik Mas Min padaku.

“Mas, kita juga seperti menginjak sesuatu saat di jalan itu, njenengan merasakan kan?” tanya ku lirih, yang dijawab dengan anggukan Mas Min.

Pakde Dulug bangkit dari tempat duduknya, dia berhalan menuju mobil. Kami yang sedari tadi berbicara hanya bisa memperhatikannya, berharap tidak ada keanehan lain yang terjadi. Pintu mobil ia buka, setelah pintu ditutup kembali, aku melihat dua botol minum ia bawa ke arah kami.

“Min, kamu bisa kan? Tolong bacakan doa, kasih ke Pak Supir, aku juga merasa, dia aneh sejak tadi, hanya berdiri diam, ditanya baru dijawab, tulung sebisamu bersihkan dia dulu...” ucap Pakde Dulug sembari menyodorkan satu botol air mineral.

“La yang satu lagi buat apa De?” tanyaku penasaran.

“Yo buat aku lah, kalian apa gak haus dari tadi? Jawabnya sambil membuka tutup botol dan meneguk air yang ada di dalam botol. “Sial” aku kira akan diapakan botol air minum yang satunya,

orang ini memang suka bercanda, tapi tak apa, setidaknya dengan adanya Pakde, ketegangan saat ini agak berkurang, walau kebingungan masih menyelimuti kami semua.

Aku melihat Mas Min sudah membuka tutup botol dan langsung membacakan doa di dekatnya. Setelah itu Mas Min memerintahkan Pak Supir untuk minum air tersebut. Tidak ada yang aneh saat ini, Pak Supir menenggak habis air yang ada di dalam botol itu.

“Piye Pak udah agak enakan?” tanya Mas min pelan pada Pak Supir.

“Eh Mas, ini kok.. aku kok kaya orang bingung gini ya Mas? Ana apa ya Mas?” tanya Pak Supir pada Mas Min.

“KESASAR!” teriak Pakde Dulug dengan pandangan sinisnya.

“Aku tadi sudah belok kiri Pak sesuai arahan Mas Agung, yakin temenan, beneran belok kiri Pak” ucap Pak Supir melakukan pembelaan dengan logat Tegalnya.

“Sampun,sampun, sudah, tidak usah saling menyalahkan, Pak Supir yang dirasa tadi apa Pak?”

“Mas, yg saya rasakan, saya masih berada di jalan, bayang-bayang perjalanan yg barusan kita lewati masih ada di pikiran beberapa waktu lalu, rasanya perjalanan belum sampai” ucap Pak Supir

“YOO JELAS BELUM SAMPAI, WONG KESASAR” ucap Pakde Dulug yang masih tampak kesal.

“Ya sudah mumpung keadaan di sini sudah cukup jelas, aku akan melakukan sesuatu...” belum selesai Mas Min berbicara tiba-tiba telepon jadulnya berbunyi cukup kencang.

“Halo Pakde, ada apa kok telepon?” ucap Mas Min setelah mengangkat teleponnya. Beliau serius sekali menerima dan mendengarkan arahan orang yang sedang berbicara padanya.

Raut wajahnya tegang namun lambat laun mulai tenang, aku tak tahu dengan siapa beliu berbicara saat ini. Telpon akhirnya ditutup, kini Mas Min bersiap melanjutkan penjelasannya.

“Mas maaf, tadi siapa ya yang telepon?” tanyaku memotong Mas Min yang akan menjelaskan sesuatu.

“Pakde Sastro Di?” jawab Mas Min tenang.

“HAAAH, Pakde Sastro? Beliau sudah tau? sudah dikabarin Mas Agung pasti, aduh mati aku kalau Bapakku tahu, mobil mblasuk gini” ucapku kaget sambil menepuk jidat.

“Tenangno pikirmu, tenang! iya Mas Agung yang memberi tahu, mengenai masalah mobil, kamu gak usah khawatir, keadaan akan aman setelah ini.” Jawab Mas Min yang kini lebih merasa yakin.

“Di aku punya ide ini, mari kita rembukan bareng-bareng, aku pikir keadaan juga lebih baik” ucap Mas Min.

“Ide apa Mas? “ tanyaku dengan rasa penasaran.

“Aku akan ke atas, sendirian. Tujuannya mau mencari pemukiman penduduk di sekitar sini, siapa tau ada mushola, dari situ aku bisa tahu soal posisi kita saat ini. Pak Supir, Pakde Dulug, dan Aldi bertahan di sini. Ucap Mas Min menjelaskan.

“Eh Min yang serius kamu, kita ini benar-benar tidak tahu lokasi, semua serba hitam, gelap. Kamu gak takut kalau sampai kesasar ke desa gaib?” Pakde Dulug berucap dengan rasa khawatir yang tinggi.

“Iya Mas, apa tidak apa-apa kalau sendirian? Soalnya aku rasa banyak hal aneh yang terjadi, apa yang dirasakan Mas Agung, soal keanehan dalam perjalanan kali ini, aku rasakan sekarang mas” ucapku pada Mas Min.

“Desa gaib tidak usah terlalu dipercaya Mas, yang paling menakutkan lagi itu kalau ada begal” potong Pak Supir yang kondisinya mulai membaik.

“Gundulmu itu, lihat sekarang kita seperti apa? Ini bisa dikatakan gara-gara kita mengikuti permintaanmu loh” timpal Pakde Dulug.

“Sudah tidak usah saling menyalahkan, ini musibah kita hadapi bersama, solusi yang harus kita bahas saat ini dan jalan satu-satunya ya itu, aku tak mencari desa dekat sini.

Yang di sini memang bertugas menjaga mobil, biar banyak orang juga. Aku cukup sendiri saja, biar lebih leluasa juga” Mas Min menengahi keributan yang hampir terjadi lagi.

“Yowes kalau itu maumu, sing ati-ati ya, nanti biar Aldi mengabarkan ke Agung kalau dia telepon lagi” Ucap kembali Pakde Dulug.

“AAAHHH!! Yowes Mas, aku juga sudah bingung mau bagaimana lagi, yang penting Mas Min jaga diri ya dan semoga menemukan desa atau musholla.” Ucapku frustasi pada Mas Min.

Kami akhirnya berpisah, Mas Min sendirian berjalan menyusuri malam, mencari titik terang posisi kami saat ini. Aku dan yang tersisa terjaga untuk tetap berada di tempatnya. Semoga apa yang kami lakukan akan membuahkan hasil yang baik.

Keadaan saat ini benar-benar di luar nalar, baru kali ini aku mengalami peristiwa semacam ini. Segalanya dibuat tak masuk akal, segalanya dibuat ambigu.

BERSAMBUNG

Selanjutnya di Part: 7

“Melbu kabeh!!! Masuk ke dalam mobil semua!!! Masuk,masuk, masuk!!” teriak Mbak Siwi secara tiba-tiba membuat kami semua kaget dan kocar-kacir secepat mungkin menuju mobil.

“Ono opo to Mbak?!” tanya ku pada Mbak Siwi.
“Gak usah banyak tanya dulu, masuk ke mobil sekarang Gung” perintah Mbak Siwi.

Kami semua segera masuk dan menutup pintu mobil, Mas Bambang menyalakan mobil dengan tergesa-gesa, sampai menimbulkan bunyi yang berisik karena gantungan kunci yang saling terbentur.

Mesin berkali-kali dinyalakan, bunyinya keras namun tidak begitu saja membuahkan hasil, mesin masih belum mau menyala. Sekali lagi dia mencoba menyalakan mesin, kini mesin berbunyi keras memecah kesunyian malam.

“Jalan Mas, jalan sekarang!!” ucap Mbak Siwi keras.

“DUUGGGG!!!” terdengar bunyi keras, seperti ada sesuatu yang mendarat di atas atap mobil. Membuat kami mengarahkan pandangan ke atas. Beberapa detik kami terdiam.

“JALAN MAS!!!” teriak Mbak Siwi lebih keras lagi. Mas Bambang langsung menginjak Gas, mobil dipacu kencang sejak tarikan pertama, meninggalkan bangunan rumah kosong yang sebelumnya menjadi tempat singgah kami setelah tahu keadaan yang terjadi di Desa Atas.

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close