Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

OYOT MIMANG (Part 7) - Harapan yang Semakin Pudar

Gangguan datang silih berganti, malam itu cuaca tak berpihak pada kami, kejanggalan semakin menjadi, tatkala mendengar kabar yang telah terjadi.


Mataku terbelalak, melihat jembatan terpotong, keadaannya sudah hancur total, jalan satu-satunya menuju Desa Atas terputus, menyisakan bagian depan jembatan. Sudah jelas perjalanan tidak mungkin kami lanjutkan, melihat dari kondisinya,

Desa Atas seperti habis mengalami kejadian tanah longsor, beberapa rumah sudah porak-poranda,
sisa-sisa dari bencana alam tersebut masih terlihat jelas.

“Mas, jembatannya rusak parah, terpotong itu Mas! kudu piye ini? Lalu ini kenapa ya?” ucapku panik pada Mas Bambang.

“Kudu kuat mentalmu, sepertinya wilayah ini habis kena longsor Gung, la gimana lagi, kita tidak boleh melangkah lebih jauh Gung, apa mau putar balik saja...?” tanya Mas Bambang.

“Sebentar Mas, aku mau memastikan keadaan sekitar...” jawabku sambil menarik tuas pintu, buru-buru melangkah keluar memastikan keadaan. Kondisi di sekitar jembatan lumayan terang, karena masih ada beberapa rumah warga yang terletak di sekitar tempat mobil kami berhenti.

Segera aku berjalan mendekati jembatan, kondisi jalan rusak parah, terlihat ada rumah yang menggantung, menunggu jatuh dan hancur, karena tanah penompang bangunan tersebut sudah amblas,

kini aku terdiam seorang diri di ujung jembatan yang telah putus, rintik hujan akhirnya turun ke bumi.

“Gung, gimana? Kita balik saja? Kembali Mas Bambang bertanya, menyusul diriku yang sedang mengamati keadaan sekitar.

“Gak bisa ini mas, jalannya terputus seperti ini, jelas kita harus kembali ke bawah, di sini juga tidak terlihat warga sekitar, kita tidak bisa menggali informasi di tempat ini...” ucapku sambil melihat sekitar

“Yowes, mau gimana lagi, perjalanan kita hanya sampai di sini, gak mungkin juga saudaramu tersesat di sini Gung...” ucap Mas Bambang

Aku menatap ke arah mobil, aku melihat cahaya mendekat ke arah kami, “tooonn toooon toooonn” terdengar suara klakson truk dari arah bawah, setelah tikungan benar saja sebuah truk pengangkut berjalan melewati kami, truk itu terus berjalan turun melewati sisi sebelah kanan jalan,

terus menuju ke bawah melintasi sungai kecil yang alirannya seperti sengaja di bendung, jalanan hancur total penuh dengan bebatuan, tapi ban truk mampu melewati medan tersebut.

Kini aku melihat truk itu sudah di bawah kami, terus berjalan melewati jalanan menanjak, terus meninggalkan kami yang masih terdiam, menuju Desa Atas.

“Loh Mas, ini jalan darurat ternyata, tapi jalan ini sepertinya hanya bisa dilewati oleh kendaraan besar...” aku berkata pada Mas Bambang sembari menunjuk jalan yang di lewati truk tersebut.

“Oh iya Gung, ternyata ini jalan darurat ya, tapi masa iya mobil saudaramu melewati jalan ini, gak mungkin, jelas gak mungkin, rusak begini jalannya, licin dan banyak bebatuan, aku yakin mereka tidak berada di desa ini...” ucap Mas Bambang.

“Mas mau nyoba engga? Aku penasaran ke Desa Atas..” pintaku pada Mas Bambang

“Opo? Edan apa kamu Gung!, gak bisa, gak mau aku, mobil ku gak bakal kuat, malah nyangkut nanti, bisa repot...” secara tegas Mas Bambang mengatakan, mobil yang kami kendarai saat ini mustahil bisa melintasi jalur darurat tersebut.

Sayup-sayup aku mendengar suara berisik dari arah mobil, disusul oleh Mbak Siwi dan Anna keluar, berlari secara tergesa-gesa menuju arah kami setelah menutup pintu dengan kencang.

“Ada apa sih kalian, kok buru-buru begini?” tanyaku penasaran pada mereka.

“Iya, kaya kita mau kemana aja, kita masih di sini kok, pelan-pelan saja, gak usah lari-lari, gerimis ini loh, jalanan licin...” timpal Mas Bambang.

“Itu tadi di mobil Mas....” ucap Anna ingin menjelaskan, namun terpotong karena nafas yang belum bisa ia atur.

“Ono opo to jane? Ada apa ini? Kok kalian ketakutan begitu? Tanya Mas Bambang pada dua orang wanita itu.

“Mas, tadi ada yang mau membuka pintu mobil sebelah kiri, tepat di posisi aku duduk, aku lihat tidak ada orang di luar, tapi pintu seperti berusaha dibuka, untung aku sudah menguncinya,

lalu selang setelahnya, muncul tangan di kaca, warnanya hitam, tangan itu terus memukul-mukul kaca” ucap calon istriku dengan yang masih mengatur nafasnya.

“Ah masa to Nduk? Aku tidak dengar mobil dipukul-pukul” ucapku mencoba menenangkan mereka.

“Gung, aku dengar, aku juga lihat, ada yang mau berusaha membuka pintu bagian belakang tadi, sudah selesai belum urusanmu di sini, ayo cepat kita kembali saja, sudah tidak aman ini, hujan mulai deras juga..” pinta Mbak Siwi.

“Ayo Gung, kita kembali saja, kita obrolin lagi langkah selanjutnya di bawah saja, ayok ndang, masuk mobil...” perintah Mas Bambang.

Kami semua akhirnya masuk ke dalam mobil, buru-buru memutar balik di halaman rumah warga. Mobil kini berjalan meninggalkan jembatan yang terpotong, karena bencana alam tanah longsor.

Kini ketidakpastian akan kabar para saudaraku, menyelimuti kepalaku kembali, hujan yang turun menambah sulit pencarian malam ini.

Tikungan itu menuju hutan pinus, tempat “mereka” berkumpul saat kami menuju Desa Atas. Jauh-jauh mental ku siapkan, kalau-kalau aku harus melihat “mereka” kembali. Pasalnya hanya ini satu-satunya jalan penghubung dari Desa Atas untuk kembali ke Desa Bawah.

Kini mobil mulai memasuki hutan pinus, jalanan menurun kini bertambah licin akibat gerimis yang mengguyur malam, membuat Mas Bambang lebih berhati-hati mengendalikan laju kendaraan.

Aku tak lagi melihat sosok-sosok gaib yang ramai layaknya manusia yang sedang beraktifitas di sebuah pasar. Namun tetap saja, mata ini masih bisa melihat beberapa dari mereka, bersembunyi di balik pohon dan gelapnya hutan.

“Gung kamu gak liat yang macam-macam lagi kan?” tanya Mas Bambang secara tiba-tiba.

“Heemm, ada mas, tapi hanya satu dua, tidak sebanyak tadi, apa mungkin mereka sudah kembali?” aku berbalik bertanya.

“Tidak Gung, mereka masih di sini, mata kita saja yang belum bisa menjangkau...” Jawab Mbak Siwi.

“Kamu mau lihat mereka lagi Gung?” iseng Mas Bambang bertanya.

“Ngawur Mas, ya gak mau lah, kaya gak ada lagi yang bisa dilihat...”ucapku kesal.

“Mas apa gak bisa cepetan Mas? takut aku sama hutan ini, perasaanku rasanya gak nyaman...” Anna memotong pembicaraan.

“Sabar, harus hati-hati ini, jalanan licin Ann, gak usah takut kan ada Mas Agung di sebelahmu, masa masih gak nyaman” balas Mas Bambang sambil cengengesan.

“Apanya, aku gak bakal panik kalau dia gak teriak-teriak Mas, dia aja teriak kenceng banget, apalagi kalau aku yang dilihatin, pingsan kayaknya Mas...” timpal Anna.

“Aku teriak karena sudah gak kuat lagi, itu mereka rame banget kayak di pasar tau gak, udah lah gak usah bahas itu lagi, fokus di jalan, aku masih bingung kabar dari saudaraku” ucapku sedikit kesal.

“Sudah Le, aku paham apa yang kamu rasakan, aku ngerti, tapi mari kita selesaikan ini dengan kepala dingin.” Balas Anna mencoba menenangkan.

Aku hanya terdiam, sembari menatap keluar kaca kendaraan. Mobil terus melaju, mulai meninggalkan hutan, rintik hujan juga perlahan berhenti. Kini mobil kembali ke titik awal, di persimpangan antara Desa Bawah dan jalan provinsi.

“Mas, minggir dulu Mas, kita perlu berhenti sebentar, ada yang perlu dibahas terlebih dahulu sebelum lanjut...” perintah Mbak Siwi pada Suaminya.

“Di sini aja? Gak masalah?” tanya kembali Mas Bambang sambil menepikan mobilnya.

“Wes, di sini aja, keluar dulu yuk, pegel kaki ku dari tadi di mobil..” Ajak Mbak Siwi pada kami semua.

Pintu terbuka, kini aku duduk di pinggir rumah dengan lampu menyala remang. Rokok di nyalakan, asap putih membumbung tinggi ke atas langit, yang segera hilang tertiup angin. Embun pagi mulai turun, terlihat pada jam tangan sekarang sudah pukul tiga pagi,

seperempat malam sudah kami lewati. Segera aku menelepon Bapak, siapa tau bisa dapat petunjuk. Aku rasa mungkin beliau sudah bangun, mempersiapkan diri untuk menuju pasar.

Bunyi nada tunggu terdengar nyaring di telinga, tak lama berselang telepon diangkat oleh Bapak.

“Halo Assalamualaikum Pak?” ucapku mengawali pembicaraan.

“Waalaikumussalam, piye Le? Gimana, jam segini telepon kenapa?” Bapak bertanya dengan nada santainya.

“Anu pak, Aldi sama yang lain, tersesat, kondisinya kita gak tau ada dimana...” kataku coba menjelaskan kondisi saat ini.

“Oh, Aldi, kamu tenang aja ya, Insya Allah gak akan terjadi apa-apa sama Aldi...”

“Kok Bapak bisa setenang itu, keadaannya genting loh pak, hal-hal aneh terjadi saat perjalanan tadi, aku yang berusaha mencari saja belum menemukan titik terang...”

“Aku paham, kamu sudahi pencarian, pesanku pulang sekarang juga...”

“Baik Pak, aku pamit, permisi Assalamualaikum.,,”

“Waalaikummussalam...” jawab Bapak singkat sembari menutup teleponnya.

Ternyata hasilnya sama saja, kini aku terdiam memikirkan keadaan Aldi dan yang lainnya. Keadaan semakin tak menentu, sudah berlalu beberapa jam, bisa dikatakan hasilnya nihil.

Mas Bambang dan Mbak Siwi sedang berembuk, Anna berdiri di sebelahku, diam melihatku yang terduduk lesu, sambil sesekali mengelus kepalaku, mencoba mengurangi beban yang sedang aku pikirkan.

Tak mau berlama-lama terpuruk dalam keadaan sekarang, akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi kembal Aldi, semoga saja ada titik terang bisa didapatkan saat ini.

“Halo Di, gimana keadaan di sana? Apa sudah bisa mengirim lokasi kamu via aplikasi pesan?” tanyaku pada Aldi setelah telepon tersambung.

“Keadaan sejauh ini baik-baik saja Mas, tapi kita masih kebingungan soal lokasi saat ini, masih belum bisa mengirim juga...” jawab Aldi dari sambungan telepon.

“Lalu, ada ide tidak agar bisa mengetahui posisi kalian? Tadi aku mencoba berjalan menuju Desa Atas, barang kali kamu dan yang lainnya tersesat di desa tersebut, tapi...”

“Tapi kenapa Mas?” tanya Aldi penasaran.

“Tapi yang kami temui adalah jembatan yang hancur karena longsor, terbelah memotong jalan menuju desa tersebut, kami tidak bisa melanjutkan perjalanan, mobil jelas akan kesulitan jika memaksa masuk...”

“Mas, jalan yang kami lalui tidak melewati jalan rusak seperti yang Mas Agung katakan, jalannya halus Mas, lurus...” Balas Aldi dengan pernyataan yang meyakinkan.

“Berarti kamu tidak melalui jalan tersebut, bukan itu tempat kalian tersesat, nah masalahnya kalau ke arah sebaliknya, aku belum bisa menebak dimana lokasi kalian, ada petunjuk baru tidak Di?” Tanyaku kembali.

“Mas Min sedang pergi, mencari desa terdekat, mencari Mushola terdekat, dari situ kita bisa tahu lokasinya Mas...” Belum juga Aldi selesai menjelaskan, terdengar suara teriakan dari Mbak Siwi.

“MELBU MAS!!! GUNG MELBU!!! CEPETAN KALIAN MASUK, MASUK,MASUK!!!” teriak Mbak Siwi mendandakan ada hal yang tidak beres terjadi.

“Ada apa to Mbak kok teriak-teriak?” tanyaku penasaran.

“Gak usah kakean takon, gak usah banyak tanya, MASUUUK KATAKU...!!” Mbak Siwi kembali berteriak, sembari berlari ke sisi kiri Mobil, dan masuk ke dalamnya.

Telepon terpaksa aku matikan, penjelasan Aldi terputus begitu saja, aku tidak tahu lagi apa yang dia katakan, perhatianku terpecah oleh Mbak Siwi, kini aku dan Anna berlari menuju tempat kami masing-masing.

Pintu mobil cepat-cepat kami tutup, Mas Bambang berkali-kali menyalakan mesin, Mbak Siwi masih histeris dengan raut wajah tegang, seakan baru saja menyadari ada yang tidak beres dengan tempat kami berhenti.

“JALAN MAS!!! BURUAN JALAN, NYALAKAN MESINNYA!!!” teriak Mbak Siwi pada Mas Bambang.

“Sek lo Wi, susah sekali ini mobil dinyalakan, lagian kamu kenapa sih kaya orang kesurupan gitu?” Ucap Mas Bambang

“Mas, jangan sembarangan bicara, jangan ngelantur, sudah nyalakan saja mesinnya...” timpal Anna dari bangku belakang.

“Ono opo to Mbak, ada apa, kok tergesa-gesa sekali?” tanyaku penuh kepanikan.

“DUUUUUKKKKKK!!!!!” Bunyi keras terdengar dari atas mobil, ada benda besar yang jatuh ke arah kami.

“Edan apa itu?!” tanyaku penasaran akan kebenaran bunyi tersebut.

“JALAN MASS!!” pinta Mbak Siwi.

Akhirnya mobil kembali berjalan, gas diinjak kencang oleh Mas Bambang, Mobil langsung melesat ke jalanan beraspal. Lacu mobil tak beraturan di awal berjalan, namun dengan cekatan Mas Bambang berhasil mengendalikannya.

“Edan kamu Wi, ada apa to, kok teriak-teriak begitu? Kamu lihat apa sih?” Tanya Mas Bambang penasaran.

“Sudah, kamu fokus nyetir saja, aku tidak bisa menjelaskannya sekarang...” jawab Mbak Siwi dengan raut muka datar. Aku dan Anna hanya mampu terdiam, melihat pasangan suami istri itu mulai terlibat cekcok.

Kini mobil melaju tenang, melewati tikungan, dan salanjutnya ada jalan menurun yang lumayan tajam menyambut kami.

“Astaufirullah... Wi, rem blong Wi...” ucap Mas Bambang secara tiba-tiba

“Lah Mas, gimana ini, ada sungai di bawah sana, kendalikan mas jangan sampai kita menabrak jembatan...!!” ucapku panik

“Tenang, kalian harus tenang, aku bisa mengendalikan ini” ucap Mas Bambang yang terus berusaha mengontrol laju mobil, tuas preseneling terus dimainkan, ia mengurangi kecepatan dengan mengurangi gigi.

Sedikit bekerja, mobil bisa lebih dikendalikan, kini kami terus melaju, melewati jalanan menanjak, gas ditekan kuat-kuat, agar mobil tidak mati di tanjakan.

Kami semua lolos dari kesialan yang hampir menimpa kami, tak terbayang andai saja Mas Bambang tidak berhasil mengendalikan laju mobil, mungkin malam itu kami semua berakhir di dasar sungai.

Mobil terus melaju tenang, kami semua merasa lega, hanya sepersekian detik mungkin nasib kami bisa berbeda, bisa saja acara yang sudah lama direncanakan akan berakhir dengan duka yang mendalam. Akhirnya kami semua tiba di sebuah minimarket 24 jam,

mobil berhenti dengan baik, rem kembali bisa digunakan, hal aneh yang benar-benar terus kami rasakan, terasa tak ada habisnya. Akan berakhir seperti apa malam ini, petaka apa yang terus menerus mengikuti kami, seperti menghalang-halangi proses pencarian.

Sedang keras-kerasnya aku berfikir, tiba-tiba Mbak Siwi mengatakan sesuatu.

“Kalian merasakan sesuatu tidak?” tanya Mbak Siwi

“Panas sekali Mbak rasanya, AC mobilnya rusak apa Mas?” tanyaku pada Mas Bambang.

“Ngawur, barusan kemarin siang aku service, masa udah rusak? Yang benar saja.” Mas Bambang berkata lirih.

“Bukan Gung, ini jam berapa? Dan kita ada dimana? Ini di gunung Gung, sepagi ini masa panasnya dah kaya jam 12 siang? AC mobil juga berjalan dengan normal” ucap Mbak Siwi sambil mengusap keringat di dahinya.

“Rasanya gerah sekali, panas sekali, apa kita keluar saja Mbak...?” Anna meminta persetujuan.

“Diam dulu di sini, jangan ada yang keluar, tetap tenang! Hawa panas ini tidak normal, bukan panas biasa” perintah Mbak Siwi

“Memang ada apa to Mbak?” tanyaku pada Mbak Siwi.

“Mereka masih di atas Gung, mereka masih belum pergi...” ucap Mbak Siwi lirih.

Suara isak tangis pecah, Anna menutup wajahnya, ketakutan menyelimuti, sepertinya dia sudah tidak bisa menahan lagi rasa takut yang terus menerus mengancam kami. Tubuhnya lemas, kepalanya jatuh di atas bahuku, pada tahap ini, perasaan depresi semakin membuatku tak kuat lagi.

“Kamu kenapa Nduk, sampai menangis begini?” tanyaku pelan.

“Sudah gak kuat lagi Le, ayo kita pulang, sepertinya ada pantangan yang kita langgar, aku takut nyawa kita malah terancam, sebentar lagi kita akan menikah setelah sekian lama penantian, aku takut pernikahan ini gagal karena suatu hal...“ Ucap Anna dalam tangisnya.

“Kita harus kuat, kita bisa melewati ini semua, sebentar lagi pagi akan datang, kita akan baik-baik saja...” aku berusaha menenangkan Anna.

“Ada hal yang perlu kamu tahu Le, ada orang yang tidak menyukai keluargaku, terkait dengan dendam masa lalu, ada orang yang menginginkan keluargaku hancur, sehancur-hancurnya...” terang Anna

“Atas dasar apa orang tersebut menginkan keluargamu hancur?, dendam atas masalah apa yang sampai membuat orang tega berbuat sejauh ini...?” tanyaku penasaran.

“Terkait usaha, terkait perebutan tanah garapan, di masa lalu, keluarga ku selalu diintai, dibuat terus menerus mengalami hal-hal di luar nalar, rumah keluarga nampak gelap, karena mendapat kiriman makhluk-makhluk dari orang tersebut,

puncaknya kami harus membakar kasur milik Mbah Uti, karena banyak makhluk bermunculan di kamar tersebut setelah kematiannya, setiap sisi ruangan harus dibersihkan, didoakan agar tak ada lagi kekuatan jahat yang masuk,

namun tetap saja masih sering terjadi hal yang tak diinginkan, hanya satu hal yang bisa membuat orang itu berhenti, kehancuran keluargaku...”

“Opo iyo to Nduk, jangan berprasangka buruk dulu, kamu sedang dalam kondisi tertekan sekarang, tolong tetap berfikir realistis?” pintaku pada Anna

“Apa kamu pikir kejadian saat ini realistis? Apa kamu pikir yang kita alami sekarang adalah kebetulan semata? kamu juga mengalami dan merasakan hal-hal yang tak masuk nalar manusia kan?!

Apa dugaanku masih salah kalau ada orang yang tidak suka, jika pernikahan ini terjadi...” Nada bicara Anna mulai naik.

“Anna sudah, tidak ada gunanya kita berdebat di sini, tidak akan menyelesaikan apapun, saat ini kondisi sedang genting, kita harus kuat ya...” timpal Mas Bambang berusaha menengahi kami.

“Gung, pernikahanmu dan Anna bisa jadi adalah syarat pembersihan keluarganys, takdir kalian sudah digariskan, pertemuan kalian sudah diatur oleh semesta, beberapa bulan lalu, sebelum Mbah Uti meninggal, beliau bermimpi...” ucap Mbak Siwi.

“Mimpi apa Mbak, tentang apa?” tanyaku.

“Calon Bapak mertuamu, membawa pulang satu ayam jago berwarna kuning keemasan dari sisi utara desa, namun dibelakangnya dia diikuti dua sosok ular hitam si sebelah kiri dan putih di sebelah kanan.” ucap Mbak Siwi menjelaskan.

“Lalu apa artinya itu Mbak?” tanyaku lagi.

“Pernikahanmu ini, bisa saja mengalami hal buruk, atau malah sebaliknya, menjadi titik balik keluarganya untuk lepas dari bayang-bayang ilmu hitam orang itu, orang yang masih memiliki dendam pada keluarganya,

sekarang yang terjadi, kita seperti terus-menerus hampir dibuat celaka, hal buruk hampir saja terjadi, untung sampai saat ini kita tidak salah langkah...” Mbak Siwi memberi penjelasan.

“Bapakmu pasti menyadari hal ini Gung, ritual apa yang dilakukan beliau sebelum kalian memulai perjalanan ke Banjarnegara...?” tanya Mas Bambang.

“Ada Mas, kami disuruh meminum air putih dengan gelas terisi penuh, namun kami hanya diperbolehkan minum setengahnya, sisanya di siram ke atas mobil..” aku menjelaskan pada Mas Bambang.

“Nah kan, sudah paham itu Bapakmu, aku tahu beliau bukan orang sembarangan, dibalik kekurangan fisik sebagai difabel, beliau diberi karunia oleh ilahi, untuk menolong orang-orang yang mengalami kesulitan...” Mas Bambang berbicara sambil terus memperhatikan sekitar.

“DUUUKKK DUUUKK DUUUKK” bunyi benda jatuh terdengar dari atas atap mobil. Membuat kami semua terdiam, tidak ada satu patah katapun terucap dalam beberapa menit.

Nafas berat terdengar jelas dari arah Anna, dadanya seperti sesak, kini ia terus mencoba mengatur nafas. Ketakutan membuat detak jantungnya berdetak hebat.

“Mereka sudah pergi, kita akan baik-baik saja, waktu sebentar lagi pagi.” perkataan Mbak Siwi membuat kami semua lega, namun Anna masih terlihat ketakutan, rentetan kejadian yang menimpa kami malam itu, membuat pikirannya terus dibayangi dengan kejadian buruk yang mungkin saja bisa terjadi.

“Sek ya, sebentar, aku mau keluar beli minum, kalian keluar saja, sudah tidak ada apa-apa lagi...” ucap Mbak Siwi sambil membuka pintu mobil dan beranjak dari kursinya.

Kami semua akhirnya keluar, saat itu waktu telah menunjukkan jam setengah empat pagi. Kaca jendela mobil aku turunkan, hawa dingin langsung menyambut, rasa gerah yang sebelumnya terasa dengan cepat menghilang,

membuat badan mengigil karena kedinginan yang menyapa. Sebentar lagi aku akan mendapatkan lokasi Aldi, semoga hal-hal buruk tidak terjadi pada mereka.

Mbak Siwi selesai membeli beberapa minuman, lalu ia mengajak kami semua untuk keluar, ada yg ingin ia bicarakan, sembari menghirup udara segar pegunungan. Mengetahui situasi sudah cukup kondusif, kami segera menghampiri Mbak Siwi, yang sudah bersandar santai di depan kap mobil.

“Aku mau menanyakan sesuatu, kok kita semua pada luput ya? teledor, dari banyaknya rumah, kenapa kita berhenti di rumah kosong itu?” tanya Mbak Siwi setelah selesai menenggak minuman yang ia bawa.

“La memang kenapa dengan rumah itu? Karena lampu penerangannya redup?” tanyaku pada Mbak Siwi.

“Bukan masalah itu, rumah yang menjadi tempat pemberhentian kita adalah rumah kosong yang angker, warga sekitar sering melihat hal-hal ganjil nampak di rumah itu saat melam-malam tertentu, sudah menjadi rahasia umum kalau di sini Le...” Anna menambahi penjelasan Mbak Siwi.

“Gak tahu sejarahnya bagaimana, tapi saat aku datang, rumah itu sudah kosong dari lama, tidak ada yang berani menempati rumah itu...” ucap Mas Bamban ikut menambahkan informasi.

“Sudah ada perkembangan dari saudaramu?” Potong Mbak Siwi menanyakan keadaan Aldi dan yang lainnya.

“Belum Mbak, terakhir yang aku dengar, Mas Min sedang mencari desa terdekat, sekalian numpang solat subuh dan tanya-tanya warga sekitar..”

“Oh yowes, semoga bisa dapat informasi lebih, heeemmtt kita harus pulang Gung, kita tidak bisa lagi melanjutkan pencarian ini, wes cukup nang kene, cukup sampai di sini...” Ucap Mbak Siwi dengan wajah serius.

“Lah kenapa Mbak, sudah kelelahan ya?” tanyaku pada Mbak Siwi.

“Bukan masalah kecapean Gung, kita juga mau sebenarnya kalau disuruh melakukan pencarian lebih jauh, tapi tanpa kamu dan Anna...” Mbak Siwi berbicara sambil menunjuk kami berdua.

“Loh kok bisa Mbak?” Tanya Anna yang penasaran.

“Kalian lupa, kalian ini kan besok sudah menikah hari senin kalian akan menikah kan? Lupa ya? kalian ini lagi dipingit, kok sekarang keluar, kok sekarang bareng? kalian sudah melanggar pantangan dan tradisi, parahnya lagi kalian ikut dalam pencarian ini,

aku yakin banyak dari “mereka yang mengincar kamu dan Anna, bisa jadi kesialan, kejadian demi kejadian yang kita alami semalam, ada kaitannya dengan kalian berdua” Mbak Siwi menjelaskan dengan tegas.

“Aku juga berfikir hal yang sama, jangan-jangan yang terjadi semalam ada kaitannya sama kalian berdua...” potong Mas Bambang.

“Kok bisa loh kita berdua yang disalahkan? Ya aku tahu itu memang sebuah tradisi, dan kami melanggarnya, tapi apa yang menguatkan kalau kami itu pemicu dari hal ganjil ini terjadi?” aku bertanya, tak terima dikatan sebagai pematik masalah yang terjadi.

“Kamu itu calon manten, darah kalian manis, bau kalian wangi, kalian disukai oleh “mereka”, kamu tahu, calon pengantin, pengantin baru, bayi yang baru lahir adalah hal di sukai oleh para memedi,

tak jarang ketiga hal tadi dijadikan tumbal dalam syarat prosesi pesugihan...” ucap Mbak Siwi dengan wajah seriusnya.

“Jangan main-main Gung, sudah saatnya kita kembali, sekarang mungkin sudah sedikit aman, sudah mau pagi juga, kasian calon istrimu juga, lihat dia nampak sudah kelelahan, istirahat biar sewaktu acara bisa berjalan lancar.

Nanti biar aku lanjutkan, aku cari bantuan warga desa, pasti mau kalau diminta untuk membantu” pinta Mas Bambang.

“Orang rumah mungkin sudah banyak yang mencari kita, jam berapa sekarang Gung? Tanya Mbak Siwi.

“Jam empat pagi Mbak, sebentar lagi subuh” balasku singkat.

“Kita tunggu kabar saudaramu dari rumah, tidak ada lagi yang dapat kita lakukan selain menunggu kabar lokasi dari mereka, ayok ndang muleh, segera pulang!” Perintah Mbak Siwi.

Kami semua masuk ke dalam mobil, mengikuti perintah dari Mbak Siwi. Mesin segera dinyalakan, kali ini mesin langsung hidup seketika. Ada sedikit rasa lega dalam hati, namun tetap saja, kami pulang dengan pertanyaan yang masih menancap di kepala.

Semoga Aldi dan yang lainnya bisa bertahan, sebantar lagi fajar menyingsing, keadaan pasti akan jauh lebih baik. "Semoga, semoga semoga" ucapku dalam batin.

Kami kembali lagi melewati rumah kosong di dekat pertigaan, rumah yang sebelumnya membuat Mbak Siwi berteriak histeris dan membuat kami semua tergesa-gesa masuk ke dalam mobil, peristiwa itu masih membekas jelas di kepalaku.

Mobil masih melaju dengan kecepatan sedang. Saat aku mengarahkan pandanganku ke arah samping rumah itu, tak sengaja aku melihat sosok "mereka" menatap diam ke arah kami, makhluk bertanduk dengan badan yang besar, berbulu hitam, serta matanya yang merah, memandang kami terus.

Sosok wanita mengenakan baju putih menunduk dengan rambutnya yang panjang sampai menyentuh tanah, di sampingnya berdiri sosok yang mengenakan kain kafan, berdiri tegak dengan tali pocong masih terikat, lalu sosok anak kecil dengan tubuh yang menghitam duduk di atas genteng rumah,

sesekali ia melompat-lompat dan bertepuk tangan. Aku hanya bisa menahan nafas dalam-dalam, hampir pagi, tapi mereka masih terlihat, ada apa dengan penglihatanku, rasanya mudah saja melihat sosok yang tak kasat mata hadir saat ini.

Aku hanya bisa terdiam, tak ingin lagi membuat kepanikan, tak ingin lagi menambah beban pikiran dari calon istriku, fokusku sekarang adalah pulang.

Sosok tersebut hilang bersamaan dengan mobil kami yang sudah masuk jalan menuju desa tempat calon istriku tinggal. Mobil terus melaju tenang, menerabas kebun salak dan beberapa pohon tinggi yang berdiri di pinggir jalan,

tak lupa klakson sebanyak tiga kali dibunyikan oleh Mas Bambang. Sayup-sayup aku mendengar kokok ayam jago dari kejauhan, wajah penuh kelelahan tergambar pada calon istriku dan Mbak Siwi,

para perempuan ini menemani dalam pencarian yang tak membuahkan hasil apapun, justru beberapa kali petaka seakan mau menghampiri kami. Aku hanya bisa mengelus kepala calon istriku, mencoba untuk terus menenangkannya.

Mobil kini memasuki desa, berjalan dengan pelan di jalur desa yang sempit, beberapa orang tua terlihat berjalan menuju masjid, bersiap untuk melaksanakan solat subuh berjamaah. Padahal kumandang adzan subuh belum terdengar,

tapi langkah mereka sudah terlebih dahulu menuju tempat ibadah. Rasanya sudah tak sabar, suara adzan subuh kali ini terasa teramat lama, kabar dari Aldi dan yang lainnya benar-benar aku nanti saat ini, sambil terus kukirimkan doa dari jauh, agar selalu diberikan perlindungan.

Mobil berhenti di dpn rumah, Bapak dan Ibu Anna sdh menunggu di luar rumah, beberapa saudara berkumpul di dpn rumah dengan wajah cemas, kami smw turun dan langsung disambut dgn bnyk pertanyaan.

"Bambang bar sangka ngendi kon? dari mana kamu?" ucap Bapak dari calon istriku.

"Nganter Agung Pak, kan rombongan pengantar dari Tegal kan kesasar.."

"La terus wis ketemu urung? sudah ketemu?" tanya Bapak calon mertua tegang.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close