Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUNGGU MAYIT (Part 4 AND)


JEJAKMISTERI - "Nyalakan lampunya Ji," kata Parmin begitu kami sampai di depan kamar si Tuan Besar.

"Lampu?" tanyaku heran, karena jelas jelas lampu di kamar itu sudah menyala.

"Iya, nyalakan lampu yang besar, biar terang," ujar Parmin lagi.

"Lho, ada lampu besarnya to?" tanyaku lagi.

"Lha, emang kamu tadi disini ngapain aja? Ya jelas ada to. Ini sengaja yang dinyalakan cuma lampu yang kecil, karena kemaren-kemaren itu Tuan Besar ga ada yang jagain. Jadi percuma juga kalau lampu besarnya dinyalain, wong dia nggak bisa lihat juga."

"Oalah, kenapa nggak bilang dari tadi sih Min," ujarku sambil masuk dan meletakkan dua cangkir kopi yang kubawa ke atas meja. Sementara Parmin masih berdiri mematung di luar kamar.

"Saklarnya dimana Min?" tanyaku lagi.

"Oalah Ji Ji, ndeso tenan kowe ki, masa tempat saklar aja ndak tau dimana. Dimana mana yang namanya saklar itu ya di samping pintu," Parmin menjawab setengah menggerutu.

"Hehehe, ndak paham aku Min, biasa pake lampu teplok sih di rumah," aku mentertawakan kebodohanku sendiri, sambil mencari letak saklar dan menekannya. Kamar yang semula temaram itu menjadi terang benderang kini.

"Nanti kalau tugasmu disini sudah selesai, segera pasang listrik dirumah, biar nggak pake lampu teplok lagi," ujar Parmin lagi, yang masih tetap menunggu di luar kamar. "Sudah, itu meja ama kursinya bawa keluar sini, sama kopinya sekalian."

"Lho, kok dibawa keluar Min? Kita mau main catur disitu to?"

"Lha terus? Aku kau suruh masuk ke kamar ini gitu? Mending aku balik lagi ke kamarku deh."

"Yo jangan to Min. Iya iya, ini aku bawa keluar mejanya," aku buru-buru menyeret meja kecil itu keluar kamar, setelah sebelumnya menyempatkan diri untuk melirik si Tuan Besar yang masih tetap tergolek diam di atas dipan.

"Jangan terlalu dilihatin kalau takut," kata Parmin, seolah olah bisa membaca jalan pikiranku.

"Iya," jawabku. "Coba dari tadi Min kamu nemenin aku, kan aku nggak bakalan mengalami kejadian aneh tadi."

"Maunya sih gitu Ji, tapi Non Mira itu lho, masih pengen ngobrol sama aku, jadi ya terpaksa kamu tak biarin kesini sendirian tadi. Memangnya kamu mengalami kejadian aneh apa to?" tanya Parmin sambil mulai menyusun bidak bidak catur diatas meja.

"Lha kan tadi sudah tak ceritain, masa kamu lupa," aku ikut duduk di depan Parmin. "Eh, Min, si Mira itu, kok sepertinya akrab banget to sama kamu. Sampai malam malam ngobrol di kamar kamu segala?"

"Biasalah itu, dari dulu juga Non Mira itu memang begitu. Beda sama kakak kakaknya. Aku sama dia itu udah seperti teman aja. Malah kadang kami main catur berdua di kamarku sampai pagi."

"Edan! Beruntung banget kamu Min. Tapi kamu nggak pernah macem macem kan sama dia?"

"Macem macem gimana maksudmu?"

"Ah, pura pura kamu ini. Laki-laki sama perempuan malam malam berduaan di kamar gitu..."

"Wooooo, otakmu itu, mesum aja isinya. Ya eggaklah. Edan po aku mau macem macem sama juragan sendiri. Sudah, ayo jalan! Udah lama aku nggak ngetes skillmu main catur!"

"Hahaha, ya siapa tau aja Min," kekehku sambil memajukan dua pion sekaligus.

"Oh ya Min, tadi katanya ada yang mau kamu omongin. Soal apa itu?" sambungku setelah menyecap kopi dalam cangkirku.

"Oh, iya. Hampir saja aku lupa Ji," Parmin juga memajukan pion caturnya. "Jadi gini Ji, soal kejadian aneh yang katanya kamu alami tadi, aku yakin itu sebuah petunjuk."

"Petunjuk apa Min?"

"Ya itu, yang malam jumat yang bertepatan dengan malam bulan purnama itu."

"Maksudnya?"

"Malam jumat yang bertepatan dengan malam purnama, seingatku tinggal tiga hari lagi. Mungkin di malam itulah puncak dari tugas yang kamu emban ini Ji. Kamu harus menyelesaikan tugasmu di malam itu. Dan itu berarti hal yang bagus, karena kamu nggak perlu lama lama disini."

"Aku masih belum paham lho Min, maksud kamu itu apa?"

"Ah, susah memang kalau ngomong sama Naruto."

"Naruto? Siapa itu Naruto Min?"

"Ya kamu itu. Ngomong sama kamu itu sama kayak ngomong sama Naruto. Harus dijelaskan sampai sejelas jelasnya dulu baru bisa paham."

"Aku nggak ngerti Min."

"Eh, iya ding, aku lupa. Kamu kan ndak punya tivi ya di rumah, jadi ndak kenal sama Naruto."

"Asem ki, malah ngeledek."

"Hahaha, ndak kok. Jadi intinya itu begini lho Ji. Tugas utamamu disini itu adalah melepaskan dhemit yang bersemayam di dalam tubuh Tuan Besar itu, agar Tuan Besar bisa segera terbebas dari kutukan yang telah diturunkan oleh leluhurnya itu."

"Itu aku sudah tau Min, tapi gimana carany? Aku ndak mau lho kalau dhemitnya sampai pindah ngikut sama aku. Amit amit jabang bayi deh, jangan sampai aku nanti mengalami nasib kayak Tuan Besarmu itu."

"Justru itu, makanya aku ngajak kamu kemari Ji."

"Kenapa harus aku Min?"

"Kan aku sudah bilang, kamu bocah julung caplok yang belum diruwat."

"Apa hubungannya Min."

"Gini lho Le, cah bagus. Sebagai seorang bocah julung caplok yang belum diruwat, jiwamu itu masih menjadi milik 'kau taulah siapa dia.' Nah, saat nanti, dhemit yang ada di dalam tubuh Tuan Besar itu memaksa mau mengambil alih ragamu, 'Dia yang memiliki jiwamu' itu pasti tak akan tinggal diam. Jadi intinya, malam jumat nanti, aku ingin mengadu dhemit dalam tubuh Tuan Besar itu dengan 'Dia yang menjadi pemilik jiwamu' itu. Paham ndak?"

"Wedhus! Jadi secara tidak langsung kamu mau mempertaruhkan jiwaku gitu Min?"

"Hahaha, tenang Ji. Aku yakin seyakin yakinnya. 'Dia si pemilik jiwamu' itu pasti akan menang, dan dhemit tanah seberang itu akan musnah."

"Dhemit tanah seberang?"

"Intinya gini Ji, 'Dia yang menjadi pemilik jiwamu' itu, merupakan raja dari segala raja dhedemit di tanah jawa ini. Sedang dhemit yang bersemayam dalam tubuh Tuan Besar itu, asalnya dari tanah seberang. Bisa dibilang ia cuma tamu di tanah jawa ini. Sebagai tamu, kan sudah seharusnya menghormati si tuan rumah. Kalau ndak bisa menghormati dan menghargai si tuan rumah, apalagi sampai bikin ulah hendak mengambil paksa apa yang menjadi milik si tuan rumah, ya siap siap aja untuk dimusnahkan. Begitu intinya Ji."

Sejenak aku terdiam, mencoba mencerna kata kata Parmin yang terkesan bertele tele itu. Dan setelah kupikir pikir, ide dari Parmin ini adalah ide paling gila yang pernah kudengar. Urusan sama dhemit kok dibuat main main begini. Sampai mempertaruhkan nyawa orang lain lagi.

"Kamu masih waras kan Min?" tanyaku akhirnya.

"Jangan sembarangan menuduhku Ji. Kau pikir aku main main apa? Ide ini sudah kupikirkan matang matang, bahkan aku sudah mempertimbangkan sejak lama. Pokoknya percaya deh sama aku. Kita pasti berhasil. Demi Non Mira Ji. Apa kamu ndak kasihan kalau nanti Non Mira sampai mengalami nasib kayak bapaknya itu?"

"Kamu ini, Mira kamu khawatirkan, tapi justru aku yang mau kau jadikan korban. Teman macam apa kamu ini?"

"Sudah! Ndak usah protes lagi. Pokoknya kamu ikuti saja apa yang aku katakan tadi. Setelahnya, kamu bakalan menjadi orang paling kaya di Kedhung Jati. Kamu sudah minta bayaran tinggi to sama Non Mira?"

"Ndak tuh, aku cuma minta bayaran sesuai UMR aja."

"Walah, piye to kowe ki Ji. Dikasih jalan buat dapat duit besar kok malah..."

"Halah, sudah, ndak penting soal duit. Yang paling penting, nanti malam Jumat aku harus ngapain?"

"Yo wis lah. Gampang kalau soal itu. Nanti malam Jumat, tepat tengah malam, kamu langgar saja tuh semua pantangan yang sudah dibilang sama Non Mira. Dan selanjutnya, BOOOMMM!!!! Semua masalah ini akan selesai. Kamu bisa pulang dengan hati tenang, atau tetap kerja disini juga ndak papa. Nanti biar aku yang bilang sama Non Mira."

Lagi lagi aku terdiam. Semua kata kata Parmin itu, seolah enteng banget dia mengucapkannya. Andai aku tak mengenal Parmin luar dalam, tentu aku akan langsung minggat dari rumah terkutuk ini. Tapi aku tau siapa Parmin. Dibalik sifatnya yang selenge'an itu, ia termasuk orang yang paling bisa aku percaya. Jadi sepertinya aku tak punya pilihan lain. Hatiku sudah mantab dan yakin. Malam Jumat nanti, aku siap menanggung segala resiko dari pekerjaanku ini.

Kata orang, menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan. Ternyata itu benar adanya. Dan aku mengalaminya sendiri sekarang. Menunggu datangnya malam Jumat yang tinggal tiga hari lagi, terasa seperti menunggu turunnya hujan di musim kemarau. Waktu terasa begitu lambat berjalan, meski sebisa mungkin aku telah berusaha untuk menyibukkan diri.

Tugas yang diberikan oleh Mira, sebisa mungkin aku laksanakan dengan sebaik mungkin. Tak ada yang terlewat. Aku berharap, dengan itu maka semua akan berjalan dengan baik-baik saja. Tapi aku salah. Hal hal yang tak kuharapkan, kejadian kejadian janggal dan tak masuk akal, semakin sering aku alami. Dari suasana hati yang selalu tak nyaman, bisikan-bisikan aneh yang sering terdengar, sampai teror mimpi buruk yang selalu datang mengganggu tidurku.

Beruntung, Parmin selalu setia menemaniku berjaga setiap malam. Dan dari dialah aku banyak belajar. Jangan sampai pikiran kosong katanya, lalu juga abaikan saja jika ada hal hal yang berasa mengganggu atau kejadian kejadian janggal dan tak masuk akal, begitu selalu Parmin berpesan kepadaku. Akupun hanya bisa pasrah dan mengikuti semua saran saran darinya. Sudah kepalang basah, dan hanya dia satu satunya yang bisa kupercaya di dalam rumah terkutuk ini.

Hingga waktu yang ditunggu tunggupun akhirnya tiba. Tak seperti biasanya, Kamis pagi Parmin menyempatkan diri untuk menemuiku dan mengajakku ke kamarnya. Ternyata sudah ada Mira juga disana. "Khusus untuk hari ini kamu libur Ji," ujarnya.

"Libur bagaimana maksudmu?" tanyaku tak mengerti.

"Ya libur. Nggak kerja. Jadi hari ini, semua tugas tugas yang diberikan kepadamu oleh Non Mira, tak perlu kau lakukan. Kau cukup duduk manis di kamarku ini. Boleh nonton tivi, atau dengerin musik, atau apa saja. Kalau lapar itu di bufet juga sudah ada makanan dan kopi. Rokok juga ada dua bungkus tuh di laci meja. Pokoknya, kamu disini aja, jangan kemana mana sebelum aku pulang," kata Parmin lagi.

Sejenak aku merasa kurang yakin, dan menoleh ke arah Mira. Gadis itu mengangguk, meski dari sorot matanya aku menangkap sedikit ada keraguan.

"Jam berapa kamu pulang?" tanyaku lagi pada Parmin.

"Nggak tentu sih, tapi sebelum tengah malam aku pasti sudah pulang kok. Ingat, pokoknya sebelum aku pulang, jangan pernah keluar dari kamar ini, apapun yang terjadi."

Meski belum paham sepenuhnya dengan apa yang dikatakan oleh Parmin, toh akhirnya aku mengiyakan saja semua ucapannya. Setelah berbasa basi sebentar, Parminpun pergi meninggalkanku sendirian di kamar ini. Demikian juga dengan Mira. Praktis, aku kini sendirian di kamar yang lumayan mewah ini.

Ya, kamar ini cukup mewah untuk ukuran Parmin yang hanya seorang sopir. Sudah mirip sebuah kamar hotel, meski aku belum pernah tau seperti apa yang namanya kamar hotel itu. Dilengkapi dengan AC dan ranjang besar yang jika diduduki atau dipakai tidur bisa mantul mantul, sepringbet kalau nggak salah namanya. Lalu ada tivi gepeng yang layarnya selebar layar tancep menempel di dinding. Sebuah lemari gantung yang kata Parmin namanya kicenset berisi beraneka makanan dan cemilan, lalu dispenser yang bisa mengeluarkan air panas, tawar, dan dingin. Ada juga kulkas, lalu seperangkat sofa lengkap dengan meja kacanya, bahkan ada kamar mandi juga di dalam kamar itu. Edan! Rumahku di kampung yang hanya berdinding gedhek jelas tak ada apa apanya jika dibandingkan dengan kamar Parmin ini. Pantas saja anak itu betah kerja disini.

Puas mengagumi kamar Parmin, aku lalu duduk di sofa dan menyalakan tivi. Luar biasa. Suara dan gambar di tivi itu sangat bening, beda dengan tivi tetanggaku di kampung yang gambarnya kadang banyak semut dan suaranya sember.

Iseng, sambil nonton tivi aku menyeduh kopi dan mencari cemilan di dalam lemari gantung. Kapan lagi bisa menikmati fasilitas yang serba mewah begini. Tanpa sadar aku berangan menjadi orang kaya. Duduk di sofa dengan kaki terangkat ke atas meja, menikmati siaran tivi sambil ngopi dan ngemil di dalam ruangan yang dingin dari hembusan udara AC.

Ah. Iya. Sepertinya udara di kamar ini terlalu dingin, membuat rasa kantuk tiba tiba datang menyerang. Tanpa ragu akupun merebahkan tubuhku diatas sofa panjang itu, dan tanpa sadar, akupun terlelap dibuai mimpi.

***

"Ji, bangun Ji," aku menggeragap saat merasakan sebuah tepukan di bahuku. Segera kubuka mataku dan menggeliat bangun. Ternyata Parmin telah kembali bersama Mira. Sekilas kulirik jam yang menempel di dinding. Jam sepuluh malam. Selama itukah aku tertidur?

"Sorry Min, aku ketiduran," ujarku malu malu.

"Iya, ndak papa. Malah bagus kok, jadi kamu ndak keluyuran kemana mana. Sekarang kamu siap siap. Sudah hampir tengah malam ini," kata Parmin.

"Siap siap?" tanyaku heran.

"Halah, apa kamu lupa to? Malam Jumat..."

"Haduh!!!" tanpa sadar aku menepuk jidatku. Kemewahan kamar Parmin membuatku lupa kalau aku sedang menghadapi masalah yang gawat.

"Kenapa?" Parmin menatapku heran.

"Anu Min, sepertinya.., sepertinya aku belum siap e, malah ketiduran sampai malam gini. Gimana dong?"

"Udah, ndak usah dipikirin. Yang penting ikuti saja semua kata kataku nanti. Ya sudah, ayo, kita ke kamar Tuan Besar. Non Mira, lebih baik Non tunggu disini saja, atau kembali ke kamar Non." Duh, si Parmin ini, main perintah saja kepada majikannya.

"Enggak Mas, aku mau ikut," Mira berkata pelan namun tegas.

"Tapi Non...."

"Mas, aku tak mau lari dari tanggungjawab. Meski Mas Parmin begitu yakin rencana ini akan berhasil, tapi aku harus ikut memastikan. Dan Mas Tarji, kalau sekiranya nanti keadaan tak memungkinkan dan membahayakan keselamatan sampeyan, tolong, jangan diteruskan. Aku yang seharusnya menanggung semua masalah ini, bukan sampeyan," ujar gadis itu tegas.

Sejenak aku dan Parmin saling pandang. Kata kata Mira barusan, sepertinya sudah tak bisa dibantah lagi. Akupun mengangguk samar ke arah Parmin, tanda bahwa aku kini telah benar benar siap.

"Baiklah kalau begitu," kata Parmin akhirnya. Bertiga, kamipun akhirnya keluar menuju ke kamar Tuan Besar. Sambil berjalan Parmin terus memberi arahan kepadaku.

"Ji, ingat. Kau harus fokus. Kosongkan pikiranmu. Apapun yang terjadi, semisal ada suara bisikan atau kamu merasa ada yang mendatangimu dan mengatakan sesuatu, ikuti saja," kata Parmin setengah berbisik.

"Iya, aku paham. Tapi kamu harus janji Min, kalau seandainya nanti terjadi sesuatu kepadaku, tolong, jaga simbok dan adikku di kampung ya. Aku titipkan mereka padamu," aku ikut berbisik.

"Halah! Jangan ngomong yang macem macem. Ndak akan terjadi apa apa padamu. Percaya saja padaku."

Akhirnya, kamipun sampai di kamar Tuan Besar. Segera kukeluarkan dua kursi dan kususun di luar pintu. Parmin dan Mira akan dusuk mengawasiku dari sini. Sejenak aku menarik nafas panjang, lalu kembali berbisik kepada Parmin, sebelum aku masuk ke kamar terkutuk itu.

"Ingat Min, simbok dan adikku," bisikku, lalu dengan langkah mantab aku masuk ke kamar itu.

Hawa aneh segera menyambutku. Gerah dan pengab. Sengaja lampu besar aku matikan, hingga suasana kamar menjadi remang remang. Aku lalu duduk di kursi dekat ranjang si mayat hidup. Hanya duduk, diam, dan menunggu. Begitu yang dikatakan Parmin tadi.

Suasana semakin hening, bersamaan dengan malam yang kian merambat menuju ke puncaknya. Hanya suara helaan nafas yang terdengar. Nafasku, nafas si mayat hidup, bahkan suara helaan nafas Parmin dan Mira di luar kamarpun bisa kudengar dengan jelas. Juga suara detak jarum jam yang menempel di dinding.

Tik! Tak! Tik! Tak! Tik! Tak! Keheningan yang menyelimuti malam, seolah membawaku ke alam bawah sadar. Dan antara sadar dan tidak, sekelebat bayangan tiba tiba telah hadir di hadapanku.

"Le, kowe ki ngopo neng kene? Kene ki dudu papanmu! Ayo mulih!" (Le, kamu ngapain disini? Disini bukan tempatmu! Ayo pulang!) sebuah suara yang sudah tak asing lagi bagiku, membuatku tergeragap.

"Bapak?!" gumamku begitu mengenali sosok di depanku itu. (entah bagaimana ceritanya, saat itu aku benar benar tak ingat kalau sebenarnya bapakku sudah lama meninggal)

"Malah bengong lho! Ayo, kita pulang! Simbok dan adikmu sudah nungguin dirumah, lha kok kamu malah enak enakan disini," kata sosok itu lagi, sambil mengulurkan tangannya ke arahku.

Antara sadar dan tidak, tanpa ragu aku segera menyambut uluran tangan itu. Sosok itu menggandengku, atau lebih tepatnya menuntunku, melewati Parmi dan Mira yang masih duduk diam di luar kamar.

Heran, mereka seolah tak memperdulikanku. Membiarkanku lewat begitu saja, tanpa menegur, bahkan sama sekali tak melirik. Mereka seolah tak melihatku. Ingin rasanya aku berteriak memanggil mereka, namun sosok yang menuntunku itu seolah bisa membaca jalan pikiranku.

"Sudah, ndak usah pedulikan mereka. Pikirkan dirimu sendiri kalau mau selamat," ujar sosok itu tegas.

Bagai terhipnotis, akupun mengikuti langkah sosok bapakku itu, hingga kami berhasil keluar dari rumah gedhong itu dan sampai di sebuah padang rumput yang terbentang sangat luas.

"Ayo cepat, sebelum kita..."

"GRRROOOOAAAARRRRR...!!!" Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara geraman yang sangat dahsyat, yang membuat tanah kami berpijak bergetar hebat, disusul dengan tiupan angin yang juga tak kalah dahsyat.

"Gawat! Kita ketahuan! Ayo, cepat lari!" sosok bapakku itu kembali menarik tanganku. Namun bumi yang semakin hebat berguncang membuat langkah kami sedikit goyah. Beberapa kali aku nyaris terjungkal akibat guncangan yang semakin lama semakin dahsyat. Angin yang bertiup kencang seketika berubah menjadi badai. Dari kejauhan terdengar dentuman dentuman yang berirama, dimana setiap dentuman mengakibatkan bumi berguncang dan angin badai menerpa kami.

"BHUUUMMM...!!! WHUUUSSSS...!!! BHUUUMM...!!!WHUUUSSS...!!! GRRROOOAAAARRRR...!!!" begitu yang kudengar dan kurasakan saat itu. Suara dentuman yang mirip sebuah benda raksasa yang menghentak bumi, menimbulkan getaran hebat dan sapuan angin badai.

Panik, sosok bapakku itu terus menarik tanganku dan berlari, membuatku harus pontang panting memperahankan keseimbangan tubuhku. Sempat aku melirik ke belakang. Dan apa yang aku lihat di kejauhan sana, sukses membuat tubuhku merinding seketika.

Betapa tidak, jauh di belakang sana, sesosok tinggi besar sedang mengejar kami. Entah makhluk apa gerangan sosok itu. Mungkin itu yang disebut raksasa. Tubuhnya tinggi besar. Mengenakan pakaian yang gemerlapan yang memancarkan sinar kuning keemasan, lengkap dengan mahkota di atas kepalanya. Kedua lengannya yang sebesar drum minyak tanah terayun ayun saat ia melangkah. Dan kedua kakinya yang masing besar dan kokoh, menimbulkan goncangan dahsyat saat melangkah menginjak bumi.

Sesaat aku terpana melihat sosok itu. Bayangkan, dari jarak yang mungkin sekian ratus meter saja sosok itu sudah terlihat sebesar itu. Bagaimana kalau sosok itu dekat di hadapanku? Dan belum habis rasa terpanaku, sosok itu tiba tiba melompat ke atas, lalu melesat ke arah kami.

Gawat! Bisa beneran jadi perkedel kalau sosok itu sampai menerjangku. Panik aku berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun belum sempat aku beranjak dari tempatku berdiri, sosok itu telah mendarat tepat di depan kami.

"BUUUMMMM...!!!" kembali bumi berguncang dahsyat. Aku terlempar hingga beberapa depa dan jatuh bergulingan. Begitu juga dengan sosok mirip bapak yang tadi mengajakku lari.

"WRRRRRAAAAHHHKKKK....!!! IBLIS LAKNAT! SIAPA YANG TELAH BERANI MENGGANGGU JATAH MAKANKU HAH?!" suara serak serak ngebass dari sosok itu, mampu menggetarkan segala sesuatu yang berada di sekitarku. Bahkan aku yang sempat menutup kedua telingaku dengan telapak tangankupun masih bisa merasakan rasa ngilu di gendang telingaku.

Pelan pelan aku mencuri pandang pada sosok itu. Terlihat jelas kini, sosok itu lebih besar dari yang kubayangkan. Dan wajahnya, jangan ditanya seperti apa seramnya. Dua buah bola mata berwarna merah selebar pantat bak mandi, hidung besar sebesar bonggol pohon kelapa dengan lubang hidung masing masing selebar pantat baskom, dan mulut selebar mulut goa dengan dua pasang taring yang masing-masing sebesar paha perawan dan berkilat kilat tajam, menghembuskan nafas berbau sangat busuk saat ia berbicara tadi.

"Hihihihi...!!! Ternyata aku ketahuan ya," sosok mirip bapak yang tadi terlempar ke arah yang berlawanan denganku itu pelan pelan bangkit dan terkekeh. Terhuyung huyung ia melangkah ke arahku. Baru kusadari, ternyata kini sosok itu juga telah berubah. Semakin lama semakin membesar, eh, meninggi ding, dan sekujur tubuhnya juga berubah menjadi menghitam sehitam arang.

Semakin mendekat, maka semakin jelas bentuk dan rupa dari sosok itu. Mirip dengan si mayat hidup. Kurus kering hingga tinggal tulang berbalut kulit, namun memiliki tinggi yang sama dengan si raksasa. Sekujur tubuhnya yang menghitam membuatku tak begitu jelas melihat wajahnya. Sadar bahwa aku akan terjebak dalam pertarungan yang maha dahsyat antara dua sosok yang berukuran tak lazim, membuatku pelan pelan beringsut mundur.

"HMMMRRHHH...!!! BEDEBAH DARI TANAH SEBERANG RUPANYA! MAU NYARI MAMPUS HAH, BERANI MENGACAU DI TANAH JAWADWIPA INI?"

"Khikhikhikhi...!!! Jangan ikut campur Bathara. Bocah ini sudah menjadi milikku!" si raksasa hitam ceking tertawa mengikik. Suaranya yang cempreng terasa menusuk gendang telingaku.

"DIA JATAH SANTAPANKU! DAN KAU, TAK PUNYA HAK APA APA DI TANAH JAWADWIPA INI! KEMBALI KE ASALMU, ATAU KAU JUGA AKAN MENJADI SANTAPANKU!"

"Khikhikhikhi...! Coba saja kalau kau bisa menelanku Bathara! Akan kusembah telapak kakimu!"

"BEDEBAH!!!" si raksasa gemuk mengayunkan tangannya yang sebesar drum minyak itu, menghajar tepat ke arah si raksasa kurus kerempeng.

"BHUUMMM...!!!" Kembali bumi bergetar hebat, saat tangan si raksasa gemuk itu menimpa si raksasa kurus ceking. Bumi bagai terbelah. Tubuh si raksasa ceking melesak terbenam ke dalam tanah ditimpa oleh bogem si raksasa gemuk. Aku bergidig ngeri, tak bisa membayangkan seperti apa kondisi si raksasa ceking. Mungkin sudah menjadi perkedel di dalam tanah sana.

Namun dugaanku ternyata meleset. Karena begitu si raksasa gemuk mengangkat tangannya, dari dalam lubang bekas pukulannya itu nampak si raksasa ceking merangkak keluar sambil tertawa terkekeh kekeh. Begitu berhasil keluar dan berdiri terhuyung huyung, sosok itu kemudian melangkah tertatih tatih ke arahku.

Sial! Sepertinya sosok itu lebih memilih untuk mngincarku daripada melayani si raksasa gemuk. Si raksasa gemuk yang merasa diacuhkan tentu saja menjadi berang. Kembali tangannya terayun. Dan kejadian yang sama terulang kembali. Dipukul, nyungsep ke dalam tanah, merangkak keluar, dan kembali mengincarku. Demikian terus menerus dilakukan oleh si raksasa ceking.

"Khikhikhi...! Lakukan sepuasmu Bathara! Mungkin kau bisa menyakitiku, tapi kau tak akan pernah bisa membunuhku," kekeh si raksasa ceking sambil kembali melangkah terhuyung ke arahku.

"KHAAARRRRGGGHHH...!!!" si raksasa gemuk yang semakin berang lalu melancarkan serangan yang lebih dahsyat lagi. Kali ini tidak hanya memukul, tapi juga menendang, menginjak, membanting, melempar, menggigit, dan mencabik cabik. Namun lagi dan lagi, sehebat apapun serangan si raksasa gemuk, si raksasa ceking masih bisa bangkit dan bangkit lagi.

"KHAKHAKHAKHA...!!! IBLIS LAKNAT! MEMANG TIDAK BISA DIANGGAP ENTENG KAU MAKHLUK TANAH SEBERANG! BAIKLAH! KALAU MEMANG KAU MERASA HEBAT DAN TAK BISA DIMUSNAHKAN, BAGAIMANA KALAU KAU KUSERET KE ISTANAKU DAN KUREBUS DI KAWAH C***** HAH?!" si raksasa gemuk menggeram marah. Dari mulut dan kedua lubang hidungnya kini menyemburkan api yang segera menghanguskan apa saja yang diterpanya.

Aku kembali beringsut menjauh, meski aku tak yakin bisa menghindar dan selamat dari kepungan pertarungan kedua raksasa itu. Si raksasa ceking sendiri, begitu nama kawah C***** disebut, nampaknya lebih waspada kini. Meski tak balas menyerang, namun terlihat kalau ia mulai menghindari serangan demi serangan yang kian ganas dilancarkan oleh si raksasa gemuk.

Sambaran sambaran api kian gencar menyambar dari mulut si raksasa gemuk, disusul dengan sambaran sambaran kedua tangannya yang sepertinya berusaha mencengkeram tubuh si raksasa ceking. Kedua kakinya yang membawa tubuh besarnya berlarian kesana kemari mengejar si raksasa ceking, membuat bumi semakin berguncang hebat. Aku yang berusaha untuk menyelamatkan diri sampai terpontang panting kesana kemari akibat dari guncangan guncangan itu.

Sesak kian melanda, juga rasa pening di kepala. Darah segar mulai mengucur dari kedua lubang hidung dan mulutku, efek dari guncangan dan terpaan angin badai yang menerpa serta hawa panas dari api yang terus menerus menyembur dari mulut si raksasa gemuk. Namun aku mencoba terus bertahan, menantikan akhir dari pertarungan sengit ini dan berharap bisa selamat dan kembali pulang.

Bayangan Simbok dan adikku di kampung, juga almarhum bapak, serta Parmin dan Mira datang silih berganti berkelebat di pelupuk mataku, seiring dengan kesadaranku yang kian lama kian memudar. Mata yang semakin berkunang kunang membuat pandanganku semakin mengabur. Dan sebelum kesadaranku benar benar hilang, samar samar masih sempat kulihat si raksasa gemuk melesat terbang ke angkasa sambil menenteng tubuh si raksasa ceking dalam cengkeramannya. Samar juga masih kudengar raungan dahsyat dari si raksasa gemuk. Lalu, sesosok bayangan samar mendekatiku dan berbisik pelan di telingaku, "Bali! Baliyo Le, neng kene dudu papanmu!"

"Simbok?!" dan gelap seketika. Akupun tak ingat apa apa lagi.

***

Hening, sepi, dan sunyi. Itu yang aku rasakan saat pertama kali membuka mataku. Sebuah wajah cantik berlinang air mata segera menyambutku, disusul isak tangis yang terdengar pelan. Samar samar juga kulihat cahaya kemerahan yang berkilat kilat meniupkan hawa panas di sekitarku.

"Arrrgghhh...!!!" aku mengerang seketika saat berusaha untuk menggerakkan tubuhku. Rasa sakit dan ngilu terasa menusuk di setiap persendianku.

"Mas Tarji?! Ah, syukurlah!!!" samar kudengar suara wanita yang memelukku sambil menangis itu. Mira. Syukurlah! Sepertinya aku selamat!

"Apa yang terjadi?" aku meringis menahan sakit, sambil berusaha untuk bangkit.

"Mas Tarji tiba tiba pingsan tadi, dan...."

"Sepertinya kamu berhasil Ji," terdengar suara Parmin dari arah sebelah kiriku. Aku menoleh ke arah asal suara itu. Nampak Parmin tengah berdiri di samping ranjang Tuan Besar. Laki laki itu sibuk merapikan jasad si mayat hidup dan menutupinya dengan kain jarik.

"Tuan Besar sudah nggak ada," desis Parmin Lirih.

"Ayah..." suara Mira tercekat. Gadis itu bangkit dan melangkah pelan menghampiri ranjang sang ayah. Pelan juga kudengar kembali isak tangisnya.

"Ikhlaskan kepergian ayahmu Non, mungkin ini jalan yang terbaik buat beliau," Parmin mencoba menabahkan hati sang majikan.

"Ayah," sambil terisak gadis itu membuka kain jarik yang tadi digunakan oleh Parmin untuk menutupi jasad sang ayah. Sejenak gadis itu tertegun, lalu dengan isakan yang semakin jelas terdengar ia memeluk jasad yang telah kaku itu.

Tertatih tatih akupun ikut mendekat ke ranjang besar itu. Kuusap punggung gadis yang masih terus menangis sambil memeluk jasad ayahnya itu. "Mira, maaf. Ini semua salahku. Secara tidak langsung, akulah yang telah membunuh ayahmu."

Gadis itu melepaskan pelukannya pada jasad sang ayah, lalu mengangkat wajahnya, menatapku lekat lekat dengan kedua matanya yang masih membanjir. "Tidak Mas Tarji, kau tak salah. Aku justru sangat berterimakasih kepadamu, karena berkat usahamu, akhirnya ayah bisa terbebas dari kutukan yang selama ini membelenggu hidupnya. Benar kata Mas Parmin, mungkin ini merupakan jalan yang terbaik untuk ayah, meski tak kupungkiri, aku merasa sangat kehilangan."

Aku hanya terdiam, sambil merenungi, apa yang sebenarnya telah aku lakukan. Kejadian yang tadi kualami, seolah olah hanya terjadi di dalam mimpiku.

"Mas," kembali kudengar suara Mira. "Bisa tolong kau ceritakan apa yang sebenarnya terjadi tadi?"

"Aku?" aku tergagap.

"Iya. Tadi tiba-tiba Mas Tarji jatuh pingsan, bahkan kami sudah mengira kalau Mas Tarji tadi sudah..."

"Aku juga tak paham. Tadi tiba-tiba ada orang yang menyerupai almarhum bapakku datang dan mengajakku pergi, lalu..." akupun segera menceritakan semua kejadian tak masuk akal yang barusan aku alami.

"Jadi begitu ya," Parmin nampak mengangguk anggukkan kepalanya setelah mendengar ceritaku. "Beruntung kau masih bisa kembali Ji, kalau tidak, mungkin hari ini kami harus menguburkan dua jenazah."

"Dua jenazah?!" kutatap Parmin dengan pandangan penuh tanya.

"Ya, karena orang yang kau kira bapakmu itu, adalah iblis yang mencoba menculik dan mmbawa lari jiwamu, untuk selanjutnya menempati ragamu dan menjadikannya budak," jelas Parmin.

Aku bergidig ngeri mendengarkan penjelasan sahabatku itu. Sebegitu mengerikannyakah kejadian yang telah aku alami tadi? Sampai akupun nyaris kehilangan nyawaku?

"Tapi kita patut bersyukur, biar bagaimanapun akhirnya semua masalah ini sudah bisa teratasi. Dan sekarang, lebih baik kita segera mengurus jenazah Tuan Besar," ujar Parmin lagi sambil kembali menutup jenazah si mayat hidup dengan kain jarik.

"Biar kubangunkan Mas Han dan Mas Yoga dulu, mereka berdua harus segera mengetahui hal ini," Mira melangkah menuju ke arah pintu, bermaksud untuk keluar kamar. Namun baru beberapa tindak, langkah gadis itu terhenti. Ia nampak seperti mengendus endus dan membalikkan badannya, menatap kami berdua dengan pandangan penuh tanya.

"Kalian tak mencium bau aneh?" ujar gadis itu.

Aku dan Parmin saling tatap, lalu seperti dikomando kami ikut mengendus endus. Bau ini seperti...

"Gawat! Aku lupa..." Parmin buru buru berjongkok dan melongok ke kolong ranjang, tempat dimana biasanya diletakkan dupa untuk membakar kemenyan. Ya. Bau yang kami endus tadi adalah bau asap dupa. Dan semakin lama aroma pepak menyesakkan dada itu tercium semakin tajam.

"As*! Lali tenan aku! Seharusnya, semenjak sore tadi segala macam sesajen dan dupa ini sudah kita singkirkan!" gerutu Parmin sambil tangannya mencoba meraih dupa di bawah kolong ranjang itu.

"Bllluurrrbbbb...!!! Blegaarrrr...!!!" belum sempat Parmin meraih dupa itu, tiba-tiba terdengar suara letupan dan ledakan dari bawah ranjang. Tubuh Parmin yang sedang berjongkok terlempar ke belakang. Dari arah bawah kolong ranjang, nampak api mulai menyala. Awalnya hanya kecil, lalu semakin lama semakin membesar, menyambar kain sprei dan horden yang menjuntai di sisi ranjang.

"Sial!" aku segera berlari untuk mencari air dan memadamkan api itu, namun suara Parmin menahanku.

"Tak ada gunanya Ji, cepat bawa Non Mira keluar," demikian teriak Parmin.

"Tapi Min..."

"Jangan membantah. Lihat bentuk api itu seperti apa," lagi lagi Parmin berteriak memotong ucapanku.

Aku terperangah. Di tengah kobaran api yang semakin membesar, samar samar kulihat sosok yang masih sangat jelas kuingat. Ya. Sosok raksasa ceking yang tadi bertarung dengan si raksasa gemuk. Namun kali ini dalam wujud api yang berkobar kobar dan semakin membesar.

"Sial! Kukira iblis itu sudah mampus!" dengusku kesal. Sadar bahwa itu bukanlah api sembarang api, aku segera menarik tangan Mira dan menyeretnya keluar.

"Mas Parmin! Jangan nekat! Ayo kita pergi! Tak usah kau hiraukan ..."

"Kalian berdua keluar duluan! Aku akan berusaha membangunkan Tuan Han dan Tuan Yoga!" lagi lagi Parmin berteriak memotong teriakan Mira, juga sambil lari keluar kamar menuju ke arah tangga yang menuju ke lantai dua rumah gedong itu.

"Jangan konyol Min! Utamakan keselamatanmu sendiri!" aku ikut berteriak memperingatkan sahabatku itu.

"Percaya saja padaku Ji! Keserahkan keselamatan Non Mira padamu, dan tunggu saja aku diluar!" masih sempat kudengar suara Parmin sebelum bayangan laki laki itu lenyap dari pandanganku.

Suara gemeratak api yang membakar segala apa yang dilandanya, membuatku tersadar. Tak ada waktu lagi untuk berdebat. Segera kuseret tangan Mira yang masih meronta dan menjerit jerit histeris menyaksikan jsad sang ayah yang mulai dilalap kobaran api.


***

Seminggu kemudian.

Aku tengah duduk di lincak yang berada di teras rumahku sambil membaca koran usang terbitan minggu lalu. "RUMAH MEWAH TERBAKAR DI KOTA S, MENEWASKAN TIGA ORANG PENGUSAHA TERNAMA." Entah sudah berapa kali kubaca headline berita itu. Aku bersyukur, namaku sama sekali tak disebut dalam berita itu, meski sebenarnya aku turut terlibat dalam kasus ini.

Masih kuingat jelas peristiwa seminggu yang lalu itu. Api yang berkobar kobar meluluh lantakkan bangunan rumah megah yang mirip istana itu. Juga Parmin yang berteriak teriak dari lubang jendela di lantai dua. Beruntung Parmin masih bisa berpikir jernih. Meski tak sempat menyelamatkan Tuan Han dan Tuan Yoga, tapi Parmin masih bisa menyelamatkan diri dengan nekat melompat dari lantai dua dan jatuh tepat di kolam renang di halaman belakang. Meski mengalami beberapa luka bakar dan memar di tubuhnya, toh Parmin masih bisa menyelamatkan diri.

Aku mendongak saat kudengar suara deru mesin dari sebuah sedan merah yang berhenti tepat di depan rumahku. Kedua pengendaranya turun, lalu menghampiriku.

"Mas Tarji, apa kabar?" sapa salah seorang dari keduanya, seorang gadis cantik berambut sebahu dengan lesung pipit di pipi sebelah kanan.

"Kabar baik Mira," sahutku menyambut kedatangan kedua tamu istimewaku itu.

"Syukurlah Mas," tanpa sungkan gadis ikut duduk di sebelahku. Sementara Parmin, si pengemudi sedan merah itu, langsung masuk dan menemui simbokku.

"Mbok, punya kopi nggak?" ah, Parmin. Dari dulu sampai sekarang sikapnya masih belum berubah. Rumahku adalah juga rumahnya, dan simbokku juga sudah dianggapnya sebagai orang tuanya sendiri.

"Bagaimana soal tawaranku kemarin Mas? Kini Mas Tarji sudah benar benar sehat, dan aku, sangat membutuhkan bantuan Mas Tarji. Setelah kedua kakakku meninggal dalam peristiwa kemarin itu, tak ada lagi yang bisa membantuku...."

"Mir," ujarku memotong ucapan gadis itu. "Bukannya aku menolak. Tapi, kamu tau sendiri kan, aku ini cuma orang desa yang tak tau apa apa soal bisnis seperti itu."

"Ah, begitu ya," kulihat gadis itu menghela nafas. Jelas kulihat gurat kekecewaan di wajahnya. "Baiklah kalau memang itu keputusan Mas Tarji. Aku menghargainya. Tapi kuharap, Mas Tarji juga berkenan untuk menerima dan menghargai sedikit pemberian dariku ini," Mira mengeluarkan sebuah amplop tebal berwarna coklat dari dalam tasnya, lalu menyerahkannya kepadaku.

"Apa lagi ini Mir? Yang kemarin kau berikan padaku saja, itu sudah lebih dari cukup, dan..."

"Kudengar dari Mas Parmin, Mas Tarji harus segera diruwat setelah peristiwa yang kemarin itu. Jadi, sedikit dariku ini mudah mudahan bisa untuk menambah biaya acara ruwatan nanti," ujar gadis itu.

"Terima saja Ji," tiba tiba Parmin muncul sambil menenteng segelas kopi. "Tak baik menolak rejeki, dan tak baik kalau sampai mengecewakan seorang gadis yang telah berniat baik kepadamu."

Aku terdiam sesaat, lalu dengan sedikit ragu kuterima juga amplop itu. "Terimakasih banyak Mir."

"Aku yang berterimakasih Mas. Berkat Mas Tarji akhirnya keluargaku bisa terlepas dari masalah yang selama ini membelenggu kami, meski aku harus kehilangan ayah dan kedua kakakku," ujar Mira sendu.

"Sudahlah Mir," Parmin ikut duduk di sebelah Mira. Aku sedikit terkejut. Sejak kapan Parmin berani memanggil Mira tanpa embel embel Non di depannya. "Ikhlaskan saja kepergian ayah dan kedua kakakmu. Yang terpenting sekarang, hidupmu sudah tak dibayang bayangi kengerian dari kutukan itu. Dan, kamu Ji, jangan lupa ya, bulan depan datang."

"Datang?!" kutatap Parmin dengan pandangan heran.

"Oh, iya, aku sampai lupa," Mira kembali membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah undangan berwarna pink, lalu menyerahkannya kepadaku. Sejenak kupandang dan kubaca isi surat undangan itu.

"Ckckck...! Jadi kalian mau menikah ya?" ujarku.

"Yach, begitulah Mas. Aku sudah tak punya siapa siapa lagi, dan aku butuh seorang pendamping untuk meneruskan bisnis keluargaku yang sempat morat marit akibat peristiwa kemarin itu. Dan kurasa, Mas Parminlah orang yang tepat untuk itu."

"Wah, wedhus tenan kowe Min! mimpi apa kamu sampai bisa mendapat nasib sebaik ini?" selorohku. Parmin hanya tertawa lebar.

"Tapi aku setuju. Kalian memang pasangan yang sangat cocok. Selamat ya. Nanti pasti aku datang di pernikahan kalian," ujarku lagi.

"Terimakasih Mas," Mira berkata sambil menunduk malu.

Setelah bercengkerama sebentar, keduanyapun lalu pamit. Aku melepas kepergian mereka sampai menghilang di tikungan jalan. Rasa syukur membuncah dalam hatiku. Seorang sahabat telah menemukan kebahagiaannya. Dan secara tidak semua itu karena aku. Ah, Mira, Parmin, semoga kalian bahagia!
[TAMAT]

*****
Sebelumnya
close