Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUNGGU MAYIT(Part 3)


JEJAKMISTERI - Hening, sepi, pengap dan suram, itu kesan pertama saat aku membuka pintu kamar itu. Derit engsel pintu yang mulai berkarat menusuk gendang telingaku. Lampu dengan watt kecil seolah tak mampu menerangi setiap sudut ruangan berukuran sekitar empat kali lima meter itu.

Sejenak aku terpaku di depan pintu. Nanar mataku menyapu setiap jengkal sudut kamar yang remang remang itu. Sebuah ranjang besar dengan sosok kurus kering seperti mayat hidup yang terbaring di atasnya, sekilas tadi sudah kulihat saat Mira menunjukkan kamar itu padaku. Lalu ada satu ranjang lagi dengan ukuran yang lebih kecil, terletak di sudut yang berseberangan dengan ranjang si mayat hidup, sepertinya memang telah dipersiapkan khusus untukku. Lalu sebuah meja kecil dengan sesajen dan beberapa batang hio yang menyala tersusun rapi diatasnya, serta lemari kayu besar yang nampak sudah setengah bobrok. Selain itu tak ada lagi perabotan yang mengisi kamar itu.

Sungguh kontras suasana ruangan ini jika dibandingkan dengan kemegahan rumah yang sudah mirip dengan istana. Sejenak aku menghela nafas, sebelum melangkahkan kakiku memasuki kamar suram ini. Bau asap hio segera memenuhi paru paruku.

"Hhhhhhssssss...!!!" suara desahan halus terdengar, saat aku baru bergerak setindak memasuki kamar itu. Aku yakin, desahan itu berasal dari si mayat hidup yang terbaring diam di atas ranjang besar itu. Mungkinkah ia menyadari kedatanganku?

Meski bulu bulu halus di sekujur tubuhku mulai merinding, namun aku memberanikan diri untuk terus melangkah masuk. Jelas terdengar di telingaku gesekan sendal jepit yang kukenakan saat bersentuhan dengan lantai, menandakan betapa sunyinya ruangan ini. Hawa di ruangan ini juga berasa lebih dingin dibandingkan dengan hawa diluar kamar, membuatku merasa telah memasuki dunia lain.

"Hmmmmmm...!!!" kembali kudengar si mayat hidup itu menggumam. Refleks aku melirik ke arahnya. Tak ada gerakan lain selain dadanya yang naik turun seiring dengan desah nafasnya yang sedikit tersendat itu.

Pelan pelan aku duduk di ranjang kecil yang telah disediakan untukku itu, lalu kembali menyapukan pandanganku ke setiap sudut ruangan itu. Entah mengapa, aku merasa tak sendirian di tempat itu. Bukan hanya si mayat hidup yang menemaniku, tapi aku merasa ada makhluk lain yang sedang mengamatiku, menunggu saat yang tepat untuk...

"Tidak! Aku tak boleh berpikir yang macam macam," gumamku dalam hati, berusaha untuk menenangkan diriku sendiri.

Jujur, rasa takut jelas kurasakan saat ini. Dan itu wajar. Siapa yang tak merasa takut berada di tempat seperti ini, ditemani oleh orang yang sedang sekarat yang seharusnya sudah mati sejak dulu?

"Krekeeet...!!! Krekeeettt...!!!" aku tersentak saat suara berkeriyet itu menyapa telingaku. Jelas asalnya dari ranjang besar di depanku itu. Segera aku memicingkan mata untuk memperjelas pengelihatanku. Ranjang besar itu nampak bergetar, meski si mayat hidup yang terbaring diatasnya masih terlihat diam tak bergerak.

"Cah baguuussss...!!! Mrene! Nyedhak'o mrene Le!" (Cah bagus! Kemarilah! Mendekatlah kemari!) samar kudengar suara serak berbisik di telingaku. Bulu kudukku semakin merinding mendengarnya. Segera mulutku komat kamit membaca doa semampuku, untuk menekan rasa takut yang kurasakan.

"Ora usah wedi Le! Mrene! Nyedhak'o mrene! Bakal tak wenehi kamulyan!" (Tak usah takut Nak! Kemarilah! Mendekatlah kemari! Akan kuberi kau kemuliyaan!)

Sekujur tubuhku semakin bergetar. Keringat dingin mulai mengucur di pelipisku. Apalagi saat kurasakan hawa dingin yang pelan pelan merambat dari telapak kakiku, lalu semakin naik ke sekujur tubuhku, lalu entah darimana datangnya, seperti ada kekuatan yang memaksaku untuk berdiri dan melangkah mendekat ke ranjang besar dimana ada si mayat hidup yang masih terbaring diam itu.

"Tidak! Ini tak mungkin! Aku...," hati kecilku memberontak. Kesadaranku masih pulih sepenuhnya. Bahkan aku masih ingat wanti wanti dari Mira agar jangan sekali kali menyahuti setiap suara yang kudengar di ruangan ini. Tapi kekuatan tak kasat mata itu seolah telah menguasai ragaku, dan memaksaku untuk mendekat dan semakin mendekat ke arah ranjang besar itu.

"Bagus! Mendekatlah cah bagus! Kemarilah!" kini kulihat si mayat hidup itu melambaikan tangannya ke arahku. Dan sialnya, tanganku seolah dipaksa untuk terangkat dan menyambut tangan kurus kering berkulit keriput itu.

"Wedhus! Apa apaan ini?!" umpatku sambil sekuat tenaga mencoba melawan kekuatan tak terlihat yang memaksa tangan dan kakiku untuk bergerak semakin mendekat ke arah sosok si mayat hidup itu.

"Hihihi...!!! Akhirnya!" suara serak itu kembali tersengar membisik di telingaku. Dan kakiku juga semakin dipaksa untuk melangkah ke depan, sampai jarak antara ujung jari tanganku yang terangkat ke depan tinggal beberapa centi saja dengan tangan kurus keriput itu.

"Wedhus! As*! Jaran! Aku...!" aku mengumpat sejadi jadinya, sambil mencoba mempertahankan tanganku agar tak sampai bersentuhan dengan tangan kurus kering keriput itu.

"Tap!" tiba tiba kurasakan sebuah tepukan di bahuku, yang disusul dengan sebuah bisikan pelan.

"Belum saatnya kawan! Tunggu beberapa malam lagi, sampai datang malam Jumat yang bertepatan dengan malam bulan purnama!"

Sisa kesadaranku masih bisa mengenali kalau itu adalah suara Parmin, tapi kodisi tubuhku benar benar sudah tak bisa diajak kompromi. Jangankan untuk sekedar menoleh, untuk menggerakkan lidah dan mengucapkan kata saja aku sudah tak mampu.

Dua kekuatan seolah sedang meperebutkan ragaku. Kekuatan tak kasat mata yang memaksaku untuk terus mendekat ke arah sosok si mayat hidup, dan kekuatan tangan di pundakku yang juga semakin kuat menekan.

Keringat dingin semakin membanjir membasahi sekujur tubuhku. Urat urat si tubuhku menegang hebat. Dan hampir semua persendian tulang tulangku terasa sangat ngilu, seolah sedang dibetot ke segala arah.

"LEPAS!!!" kembali suara Parmin terdengar, disertai dengan tepukan keras di bahuku. Seketika itu juga, kekuatan tak kasat mata yang tadi menguasai tubuhku tiba-tiba tak kurasakan lagi. Dan karena kekuatan itu menghilang tiba-tiba, maka tak ayal lagi tubuhku bagai disentakkan ke belakang.

"Gubraaakkk...!!!" tanpa ampun tubuhku terlempar kebelakang, menghempas pintu kamar dengan kerasnya, hingga pintu yang masih setengah terbuka itu terbanting menutup.

"Wed...dhus!!!" itu kata pertama yang keluar dari mulutku, sebelum aku berusaha bangkit. Rasa pening di kepalaku tak ku hiraukan lagi. Juga rasa nyeri di bagian punggung yang barusan beradu dengan pintu kayu jati yang lumayan keras. Hanya satu yang kuinginkan saat itu. Mendamprat si sial Parmin!

"Min!" sentakku begitu aku telah berhasil berdiri.

Tak ada jawaban. Hanya kesunyian yang menyahuti panggilanku.

"PARMIIINNN!!!" aku semakin meradang. Mataku nanar menyapu setiap sudut ruangan itu. Tak ada sosok Parmin. Hanya ada sosok si mayat hidup yang masih terbaring diam di atas ranjang.

"Brengsek!!!" sekuat tenaga aku membuka pintu dengan kasar, lalu dengan langkah lebar aku menuju ke arah kamar Parmin. Bagus! Pintu kamar Parmin masih terbuka, menandakan bahwa si empunya kamar belum tidur. Samar samar juga kudengar percakapan antara Parmin dan Mira.

Mira? Jadi gadis itu masih berada di kamar Parmin? Apa yang mereka bicarakan sampai selarut ini? Dan jika Parmin masih ngobrol dengan Mira di kamar ini, lalu suara yang kudengar di kamar si mayat hidup tadi...?

Rasa kesalku seketika berubah menjadi rasa penasaran. Pelan-pelan, dengan langkah berjingkat aku mendekat ke bibir pintu kamar Parmin dan berusaha untuk menguping pembicaraan mereka. Namun sepertinya aku harus menelan kekecewaan, karena setelah sekian menit aku menguping, tak ada percakapan penting yang menyangkut diriku ataupun pekerjaanku di rumah ini. Mereka hanya membicarakan masalah pekerjaan. Bisa seakrab itukan Parmin dengan majikannya? Rasa curiga mulai menelusup ke dalam benakku.

Sadar bahwa tak ada gunanya lagi aku menguping, maka akupun segera masuk ke kamar Parmin tanpa mengetuk pintu ataupun mengucap salam, membuat kedua orang itu terkejut.

"Lho, Ji, kirain sudah tidur," sapa Parmin sambil menggeser posisi duduknya.

"Besok aku mau pulang saja Min," ujarku pelan sambil duduk di sebelah laki laki itu. Sementara Mira yang duduk agak jauh dari kami hanya menatapku dengan pandangan heran.

"Kenapa?" tak kalah heran Parmin juga menatapku.

"Sepertinya aku nggak sanggup menerima pekerjaan ini," ujarku lagi.

Sejenak Parmin terdiam, sambil tetep memandangku dengan tatapan penuh selidik. "Apa yang terjadi? Coba ceritakan dulu. Jangan langsung mengambil keputusan seperti itu. Ingat resiko yang harus kau terima jika kau sampai membatalkan kesanggupanmu."

Kembali rasa kesal membuncah di hatiku. Andai tak ada Mira, pasti sudah kucaci maki si Parmin ini. Enteng saja dia ngomong begitu, seolah tak merasa bersalah telah menyeretku ke dalam masalah ini.

"Biar kubuatkan kopi," Mira menyela. Sepertinya gadis itu justru lebih memahami beban yang aku rasakan. Terbukti, sebagai seorang majikan ia tanpa sungkan menawarkan diri untuk menyeduhkan kopi untuk kami.

Tanpa memperdulikan Mira yang telah beranjak ke sudut kamar dimana sebuah dispenser air panas berada, aku lalu menceritakan semua kejadian ganjil yang baru saja kualami.

"Jadi begitu ya," Parmin mengangguk anggukkan kepalanya, seolah telah memahami apa yang aku ceritakan. "Aku tak menyangka akan secepat itu 'dia' bereaksi. Tapi tenang saja Ji. Ini hanya permulaan. Dan kamu sudah berhasil melewatinya. Jadi tak perlu ada yang dikhawatirkan lagi. Aku yakin, apapun yang mengganggumu itu, pasti tak akan berani lagi untuk macam macam denganmu."

"Tenang gundhulmu itu!" sungutku kesal. "Kamu nggak merasakan apa yang aku rasakan, makanya bisa ngomong begitu. Coba kamu..."

"Hehehe, iya iya, aku paham," Parmin terkekeh, membuatku semakin kesal. "Gini aja, untuk malam ini, biar aku temani kamu berjaga di kamar Tuan Besar. Tapi urungkan niatmu untuk pulang besok, bagaimana?"

Kembali aku terdiam. Mencoba menimbang nimbang tawaran Parmin barusan. Sepertinya tak ada salahnya kalau dicoba, daripada aku harus mengambil resiko besar dengan membatalkan kesanggupanku kepada keluarga aneh ini.

"Baiklah," ujarku akhirnya. "Tapi dengan syarat, nanti kamu jelaskan soal kejadian yang kualami tadi."

"Deal!" ujar Parmin sambil berdiri. "Kita ke kamar Tuan Besar sekarang. Aku memang akan menjelaskan soal suara yang lau dengar tadi. Sepertinya itu sebuah petunjuk."

"Boleh aku ikut Mas?" tanya Mira yang telah selesai menyeduh kopi.

"Tidak Non. Non Mira masih ingat kan kejadian kemarin saat Non Mira masuk ke kamar Tuan Besar?" jawab Parmin tegas.

"Tapi..." Mira tak melanjutkan kata katanya. Sepertinya ada yang ditakutkan oleh gadis itu.

"Percayakan saja semua pada Tarji Non. Pokoknya selama Tarji belum berhasil, tak ada seorangpun keturunan Tuan Besar yang boleh mendekati Tuan Besar. Bisa fatal akibatnya Non," ujar Parmin lagi.

"Baiklah, aku mengerti Mas," Mira menoleh ke arahku. "Aku berharap banyak padamu Mas. Dan maaf kalau aku sudah banyak merepotkanmu."

Aku hanya tersenyum kecut menanggapi ucapan itu.

"Ya sudah, lebih baik Non Mira sekarang kembali ke kamar. Ji, itu kopinya kita bawa saja ke kamar Tuan Besar, sama aku tak bawa ini," Parmin mengambil sebuah papan catur dari dalam lemari.

"Ngapain pakai bawa papan catur segala?" tanyaku heran.

"Nanti juga kamu akan tau apa gunanya. Ya sudah, yuk kita kesana, kasihan Tuan Besar kalau terlalu lama ditinggal sendirian."

Jadilah, malam itu aku ditemani oleh Parmin berjaga di kamar si mayat hidup. Dan, apa yang kudengar dari laki laki itu saat kami tengah asyik bermain catur di depan kamar si mayat hidup, benar benar membuatku tercengang.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close