Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUNGGU MAYIT (Part 2)


JEJAKMISTERI - "Itu ayahku, ayah kami bertiga tepatnya," suara gadis itu terdengar dalam, sementara aku hanya berdiri mematung di ambang pintu kamar sambil menelan ludah. Bagaimana tidak, sesosok tubuh yang demikian kurus, (nyaris hanya meninggalkan tulang belulang yang terbalut kulit keriput), terbaring lemah diatas ranjang. Hanya nafasnya yang tersendat sendat, yang membuat dada kerempeng itu turun naik, yang menandakan kalau sosok laki laki tua itu masih hidup. Pantas saja Parmin bilang kalau tugasku disini adalah menunggu mayit.

"Sudah sekian tahun belakangan ini ayahku menderita sakit seperti itu. Penyakit tua, namun ajal seolah enggan untuk menjemputnya. Dan tugasmu disini adalah mengurus dan menjaga beliau, mengingat kami, anak anaknya, terlalu sibuk untuk..., ah, kau tau sendirilah. Kedua kakakku tadi, Mas Han dan Mas Aryo, mereka adalah pebisnis yang lumayan sibuk. Sedangkan aku, aku harus bolak balik Indonesia-Amerika, demi mengurus ayah kami," ujar gadis itu lagi, begitu menyadari bahwa aku hanya terdiam seribu bahasa.

"Non bilang tadi..."

"Tak perlu terlalu formal Mas. Sepertinya kita seumuran. Jadi panggil saja aku Mira." gadis itu meralat ucapanku.

"Jadi, selama ini, siapa yang merawat dan menjaga beliau?" pelan aku bertanya, dengan suara yang sedikit bergetar.

"Sudah tak terhitung orang yang merawat ayah. Rata rata mereka hanya mampu bertahan dalam hitungan minggu," jawab gadis itu tak kalah pelan.

"Kenapa?" aku menatap gadis itu tanpa berkedip.

"Entahlah," gadis itu mengangkat bahu, lalu menutup kembali pintu kamar itu. "Mari, akan kujelaskan prosedur kerjanya, sekalian nanti Mas tanda tangani surat perjanjiannya."

Kembali aku mengikuti langkah gadis itu, menuju ke sebuah ruangan yang sepertinya sebuah kamar kerja. Ada meja besar dengan map map yang menumpuk di atasnya. Juga seperangkat komputer dan beberapa buku buku tebal yang tersusun rapi.

"Silahkan duduk," gadis itu mempersilahkan, setelah ia sendiri duduk di belakang meja. "Ini prosedur dan daftar pekerjaan yang harus Mas kerjakan, dan ini surat perjanjian kerja yang harus Mas tanda tangani. Tolong dibaca dengan seksama, sebelum Mas memutuskan untuk menerima atau menolak tawaran kerja ini."

Mataku menyipit, menelusuri kata demi kata yang tertulis di lembaran lembaran kertas itu. Sepertinya cukup mudah, hanya merawat dan menjaga orang sakit seperti biasanya. Memandikan, menyuapi, dan..., dahiku mengernyit saat membaca baris ketiga dari daftar pekerjaan yang harus aku lakukan.

"Menyuapi si sakit dengan darah ayam cemani setiap malam jumat?" aku menatap gadis di depanku itu, yang hanya mengangguk pelan, seolah ia memintaku untuk membaca daftar itu sampai selesai.

"Dilarang berbicara sedikitpun kepada si sakit. Apapun yang dikatakan oleh si sakit, abaikan. Jangan sekali kali ditanggapi atau dijawab, apalagi sampai mengatakan kalimat 'YA' atau semacamnya," aku menggumamkan kalimat yang membuatku semakin terheran heran itu.

Kembali aku menatap gadis yang duduk di hadapanku itu. Ia hanya diam, tak memberi respon sama sekali, membuatku kembali mengalihkan pandanganku pada lembaran lembaran kertas di tanganku. Lembar terakhir yang merupakan surat perjanjian kontrak kerja, tak kalah aneh dengan daftar pekerjaan yang telah kubaca sebelumnya. Tanda tangan atau belum, sepertinya aku tak bisa mundur lagi, karena aku sudah menerima sejumlah uang yang sebelumnya dititipkan kepada Parmin. Ada resiko yang bukan hanya aku saja yang akan menanggungnya, tapi juga keluargaku, jika aku sampai membatalkan niatku untuk bekerja di tempat ini.

"Sebuah jebakan ya? Dan aku sepertinya tak bisa mundur lagi," desisku sambil meletakkan kertas kertas itu di atas meja.

"Hanya untuk mengantisipasi Mas, agar..."

"Ya. Aku tau. Dan sedikit banyak aku mulai bisa meraba, keluarga macam apa yang tinggal di rumah ini," tukasku sedikit ketus.

"Jadi?" gadis itu menegakkan punggungnya dan menatapku tajam.

"Sebelum aku menyanggupi, aku punya beberapa pertanyaan yang harus dijawab dengan jujur. Tak perlu ada rahasia rahasia lagi, karena toh aku sudah terlibat dalam masalah di keluarga ini. Hanya untuk mengantisipasi Nona, agar aku tak sampai melakukan kesalahan kesalahan dalam bekerja nanti," ujarku tegas.

"Ah," gadis itu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. "Untuk ukuran orang desa, sepertinya Mas Sutarji ini termasuk orang yang cerdas."

Aku hanya diam, menunggu lanjutan kata kata dari gadis itu.

"Sebenarnya, tak ada tawar menawar dalam perjanjian ini, karena..."

"Aku tau. Karena aku sudah terjebak dan tak bisa menolak lagi, tapi, jika aku tak diberi kesempatan untuk mengetahui apa yang ingin kuketahui, maka aku juga tak bisa menjamin, pekerjaan yang aku lakukan bisa berjalan seperti semestinya," tegasku.

"Baiklah," ujar gadis itu, setelah berpikir sejenak. "Apa yang ingin Mas Sutarji tanyakan?"

"Siapa sebenarnya ayah Nona, pelaku pesugihan? Penganut ilmu hitam? Atau..."

"Pengemban kutuk!" potong gadis itu tegas.

"Pengemban kutuk?" kini aku yang terheran heran.

"Kutukan turun temurun dari nenek moyang kami. Yang telah diturunkan dari generasi ke generasi selama entah sudah berapa ratus tahun. Semacam ilmu hitam yang tak bisa dibuang atau dihilangkan. Hanya bisa diturunkan kepada keturunannya langsung. Dan selama ilmu itu belum bisa diwariskan, maka si pengemban kutuk tidak akan bisa mati. Dan parahnya, kutukan itu tak bisa diwariskan selama si keturunan tidak menyatakan kebersediaannya."

"Kutukan macam apa itu? Sampai kalian anak keturunannya sepertinya enggan untuk mewarisinya?" tanyaku.

"Kutukan yang sangat mengerikan! Yang bisa membuat perangai si pengemban kutuk itu menyerupai iblis!"

"Biar kutebak," ujarku. "Kalian pasti telah melakukan segala cara untuk menyempurnakan kematian ayah kalian, hingga kalian menemukan cara agar kutukan itu bisa diturunkan kepada orang luar yang memiliki keistimewaan tertentu."

"Tepat sekali," gadis itu menjentikkan jarinya. "Bocah julung caplok*) yang lahir di hari Selasa Kliwon. Tapi tetap saja, selama bocah julung caplok itu tak menyatakan kebersediaannya, kutukan itu tak akan pernah bisa diturunkan. Karena itu dalam perjanjian, dikatakan agar Mas Sutarji jangan pernah menjawab apapun yang dikatakan oleh ayah."

"Sebentar," aku menyela. "Kalau niat kalian itu ingin mencari penerus dari kutukan itu, kenapa di surat perjanjian justru ditulis syarat yang seperti itu?"

"Sebenarnya," gadis itu kembali menegakkan punggungnya. "Aku sendiri yang menulis surat perjanjian itu. Tanpa sepengetahuan kedua kakakku tentunya. Mereka berdua yang memiliki ide untuk menjebak orang agar bisa menjadi penerus kutukan itu. Tapi aku, sebagai seorang wanita, hati kecilku mengatakan kalau itu bukanlah hal yang baik. Jadi, tanpa sepengetahuan kedua kakakku, aku menukar surat perjanjian yang telah kami sepakati sebelumnya."

"Jadi karena itu, penunggu mayit yang sebelum sebelumnya gagal menjadi penerus kutukan?" tanyaku.

"Ya, aku tak ingin mencelakai orang hanya demi kepentingan pribadi kami Mas. Tapi kedua kakakku itu..."

"Bagaimana kalau kedua kakakmu itu sampai tau apa yang telah kamu perbuat?"

"Entahlah," gadis itu tersenyum kecut. "Mungkin mereka akan murka. Dan bisa saja mereka akan memaksaku untuk menjadi penerus kutukan itu."

Rumit! Batinku. Intrik dalam sebuah keluarga yang dipenuhi dengan misteri dan kutukan. Gadis bernama Mira ini, entah aku harus kasihan atau malah membencinya.

"Lalu, bagaimana nasib dari penunggu penunggu mayat yang sebelumnya?" tanyaku lagi.

"Aku tak tau pasti Mas. Tapi kemungkinan, karena sedikit banyak mereka telah mengetahui aib dan rahasia keluarga ini, aku yakin keadaan mereka saat ini tidak baik baik saja. Demikian juga dengan keluarga mereka."

Aku mendesah pelan, sebelum akhirnya tanganku bergerak meraih ballpoint dan kertas berisi kontrak kerja itu. Tanpa ragu lagi aku membubuhkan tanda tanganku diatas materai yang tertempel di kertas itu.

"Niatmu baik Mira, tapi perjuanganmu cukup berat. Resiko yang mungkin akan kau tanggung juga besar. Jadi, dengan aku menandatangani surat perjanjian ini, mudah mudahan bisa sedikit meringankan bebanmu," ujarku sambil menyerahkan kertas itu kepada Mira yang nampak terbengong bengong mendengar ucapanku.

"Mas Sutarji..."

"Sudah malam, besok kita lanjutkan lagi obrolan kita. Sekarang ijinkan aku untuk berbicara dengan teman sekampungku itu," tegasku.

"Baiklah. Akan kuantar Mas Sutarji ke kamar Mas Parmin," gadis itu bangkit dari duduknya. Akupun segera mengikuti langkahnya menuju ke kamar Parmin. Aku harus bicara dengan bocah gendheng itu, malam ini juga!

(bocah julung caplok= anak yang lahir bersamaan dengan terbenamnya matahari)

"Hei, apa yang..." Parmin berseru tertahan saat tiba tiba aku menerobos masuk ke dalam kamarnya, menyambar remote yang tergeletak diatas meja, lalu mematikan pesawat televisi yang sedang ditontonnya.

"Beri aku penjelasan yang masuk akal, sebelum tanganku terlanjur menghajarmu!" dengusku sambil ikut duduk di sofa panjang yang diduduki oleh laki laki itu.

"Penjelasan?" Parmin nampak bingung.

"Ehem," suara deheman dari ambang pintu kamar membuat laki laki itu menoleh. Ternyata Mira masih berdiri di sana. Sepertinya gadis itu sedikit ragu, antara ikut masuk dan mendengarkan pembicaraan kami berdua, atau meninggalkan kami bicara berdua saja.

"Masuklah, mungkin nanti aku juga masih butuh penjelasan darimu juga," ujarku ketus. Meski masih nampak ragu, toh akhirnya gadis itu ikut masuk dan duduk bersama kami.

"Jadi, Non Mira sudah menjelaskan semuanya ya?" Parmin nampak salah tingkah.

"Belum semuanya. Dan aku masih butuh alasanmu, kenapa kau membawaku kemari," ujarku lagi.

"Hahaha, santai Bro, jangan tegang begitu. Kamu pasti taulah alasanku mengajakmu kemari. Semua ini demi Non Mira," Parmin tertawa sumbang, seolah ingin memecah suasana kekakuan diantara kami bertiga.

"Demi aku?!" kini Mira yang terlihat keheranan.

"Yach, sepertinya aku memang harus menceritakan semuanya dari awal," Parmin meraih bungkus rokoknya yang tergeletak di atas meja, mengeluarkannya sebatang, lalu menyulutnya.

"Jadi begini Ji," sambung Parmin setelah menghembuskan asap bernikotin itu dari mulutnya. "Aku, sudah cukup lama bekerja dan mengabdi di keluarga ini. Jadi sedikit banyak aku juga tau masalah yang dihadapi oleh Tuan Han, Tuan Aryo, dan Non Mira. Tugas utamaku disini memang hanya seorang sopir. Sopir pribadi Tuan Han tepatnya. Tapi selain itu, Tuan Han secara diam diam juga sering menugaskanku untuk mencari orang orang spesial sepertimu, bocah julung caplok yang lahir di hari Selasa Kliwon, untuk mengatasi masalah yang menimpa Tuan Besar Darmo. Tugas yang lumayan berat, karena tak mudah untuk menemukan orang orang seperti itu. Tapi jujur, imbalan yang diberikan oleh Tuan Han, cukup sepadan dengan jerih payah yang harus kulakukan."

"Cih! Tak kusangka, ternyata begitu mudah hati nuranimu dibutakan oleh harta, sampai kau tega menjual sahabatmu sendiri," decihku tajam.

"Hahaha, jangan terlalu kejam menuduhku kawan," kembali Parmin tergelak sambil menepuk nepuk bahuku. "Jika aku sejahat yang kautuduhkan itu, tentu sudah sejak dulu aku membawamu kemari."

"Lalu?!" tanyaku lagi tak sabar.

"Jadi begini, aku berani membawa orang orang itu kemari, tentu ada alasannya. Non Mira ini, satu satunya keturunan Tuan Besar Darmo yang masih memiliki hati nurani, beda dengan Tuan Han dan Tuan Aryo," Parmin menoleh sejenak ke arah Mira. "Maaf Non, saya tak bermaksud untuk menjelek jelekkan saudara saudara Non."

"Tak apa Mas Parmin, lanjutkan saja," ujar Mira pelan. Sepertinya gadis itu cukup tenang menghadapi segala kemelut yang dihadapi oleh keluarganya.

"Aku berani membawa orang orang itu kesini Ji, karena aku yakin, Non Mira ini nggak akan membiarkan orang orang tak berdosa itu menjadi korban kutukan leluhurnya itu. Dan benar saja, dari sekian banyak orang yang kubawa untuk dijadikan tumbal, tak ada satupun yang berhasil. Itu semua karena usaha dan kecerdasan Non Mira," Parmin mematikan sisa rokoknya ke dalam asbak.

"Lalu, apa hubungannya denganku? Kenapa tiba tiba kau memutuskan untuk melibatkanku dalam masalah ini Min?" aku sedikit menurunkan nada suaraku. Penjelasan dari Parmin barusan sedikit banyak mulai bisa kucerna.

"Keadaan yang memaksaku Ji," kembali Parmin menyalakan batang rokok yang baru. "Sekian lama berusaha dan tak pernah membuahkan hasil, Tuan Han dan Tuan Aryo sepertinya mulai kehabisan kesabaran. Apalagi melihat kondisi sang ayah yang semakin lama semakin memprihatinkan. Keduanyapun mulai kehilangan akal sehatnya, sampai nekat mengambil keputusan gila yang aku sendiri sulit untuk mempercayainya."

"Biar kutebak," selaku saat Parmin menghentikan certanya sejenak. "Mereka, Tuan Han dan Tuan Aryo itu, akan menumbalkan Mira untuk mengakhiri penderitaan Tuan Darmo. Benar kan?"

"Tepat sekali," sentak Parmin, membuat Mira terlonjak kaget. "Non Mira, satu satunya perempuan dalam keluarga mereka, yang dianggap paling lemah, mereka jadikan pion untuk mengakhiri penderitaan sang ayah."

"Sebentar," lagi lagi aku menyela. "Bagaimana caranya mereka akan menumbalkan Mira? Sedang kata Mira tadi, meski dia keturunan langsung dari Tuan Darmo, tapi kalau dia tidak menyatakan kebersediaannya, kutukan itu tak akan pernah bisa diturunkan?"

"Memang," sahut Parmin. "Tapi untuk orang orang seperti Tuan Han dan Tuan Aryo, segala sesuatu bisa saja mereka lakukan untuk mewujudkan apa yang mereka inginkan."

"Biadab!" ujarku kesal, sambil melirik Mira yang sepertinya masih nampak tenang tenang saja. Apakah gadis itu sudah mengetahui rencana kedua saudaranya?

"Karena itulah, akhirnya mau nggak mau aku melibatkanmu dalam masalah ini Ji. Sebelum Tuan Han dan Tuan Aryo bertindak terlalu jauh, aku mengusulkan untuk mencari tumbal pengganti yang terakhir, yaitu dirimu. Sedikit sulit sebenarnya untuk meyakinkan mereka. Tapi dengan kepiawaianku merayu dan membujuk, akhirnya mereka memberiku kesempatan."

"Edan! Kenapa harus aku Min?"

"Ya karena aku yakin, kamu satu satunya orang yang bisa mengatasi masalah ini."

"Mengatasi apa? Aku bahkan tak tau apa apa soal masalah yang seperti ini. Kau pikir aku dukun atau orang sakti heh?!"

"Tarji. Tarji. Kamu kayak baru sehari dua hari saja kenal denganku. Tentu aku punya pertimbangan tersendiri, sampai aku berani melibatkanmu. Percayalah, sebagai sahabatmu, aku tak akan pernah menjerumuskanmu. Aku yakin, sadar atau tidak, kamu pasti bisa mengatasi masalah ini. Demi Non Mira, juga demi Tuan Besar Darmo," ujar Parmin penuh keyakinan.

Aku terdiam sejenak. Sahabatku yang satu ini, memang susah ditebak sifatnya. Pun demikian, sedikit banyak aku bisa mempercayainya, karena selain kami sudah berteman sejak kecil, Parmin juga kukenal sebagai sahabat yang bisa dipercaya.

"Mas Sutarji," suara lembut Mira membuyarkan lamunanku. "Aku tak memaksa Mas Sutarji untuk melakukan semua ini. Kalau seandainya keadaan tidak memungkinkan, lebih baik Mas Sutarji mengikuti jejak calon tumbal pengganti yang sebelum sebelumnya. Soal kutukan itu, mungkin memang sudah menjadi takdirku untuk menjalaninya."

"Yach," sejenak aku menghela nafas. Tak tega juga rasanya kalau harus membiarkan gadis sebaik Mira menjadi korban dari keserakahan saudara saudaranya.

"Akan kuusahakan, meski aku tak yakin akan berhasil," ujarku akhirnya. "Tapi Min, beri aku satu alasan lagi, kenapa kau begitu yakin aku akan berhasil mengatasi masalah ini!"

"Kebetulan, aku juga cuma satu alasan Ji," kembali Parmin menyulut sebatang rokoknya. "Dari sekian banyak bocah julung caplok yang pernah kubawa kemari, hanya kau satu satunya bocah julung caplok yang belum pernah diruwat."

"Hanya itu?" tanyaku menandaskan.

"Ya, hanya itu alasan yang aku miliki Ji."

"Baiklah kalau begitu, untuk sementara, kukira cukup perbincangan kita kali ini. Aku akan melihat keadaan orang yang harus kujaga itu. Tapi, kalian masih berhutang padaku. Soal kutukan dari leluhur keluarga ini, aku ingin mengetahui kisah lengkapnya. Dari awal sampai akhir. Itu juga nanti kalau aku berhasil melaksanakan tugasku ini," segera aku bangkit dan melangkah keluar dari kamar itu.

"Mas..." masih sempat kudengar suara Mira yang mencoba menahanku, namun aku sengaja tak mengacuhkannya.

"Percayalah Non, kali ini saya yakin, saya tak salah memilih orang," samar kudengar suara Parmin.[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close