Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUNGGU MAYIT (Part 1)


JEJAKMISTERI - Sore itu, aku tengah melepas lelah di atas lincakdi teras rumahku, setelah seharian bekerja di sawah milik Mbah Jo, saat seseorang dengan rambut klimis dan dandanan rapi menyapa dan menghampiriku.

"Hei, Ji, sore sore kok ngalamun lho, kesambet dhemit Salahan kapok koen!" (Hei, Ji, sore sore kok melamun lho, kesambet dhemit Salahan kapok kamu!) seru orang itu. Sejenak aku menatap orang itu. Siapa ya? Sepertinya kenal, tapi...

"We lha, kesambet tenan arek iki, ditakoni kok malah plonga plongo, lali to ambek aku?" (We lha, beneran kesambet anak ini, ditanya kok malah bengong, lupa ya sama aku?) orang itu melepas kacamata hitamnya, lalu tersenyum lebar, memamerkan giginya yang ompong dua biji di bagian depan.

"Oalah, asu! Tak kiro sopo, jebul awakmu to Min! Kene, kene, lungguh kene. Jiaaannn, gayamu, wes kenal kutho, dandananmu wes koyo artis wae." (oalah, anj*ng! Kirain siapa, ternyata kamu to Min! Sini sini, duduk sini! Jiaannn, udah kenal kota, dandananmu udah mirip artis aja). Aku tertawa saat mengenali bahwa orang itu adalah Parmin, sahabat karibku yang sudah beberapa bulan ini merantau ke Jawa Timur, tepatnya ke kota B.

"Edan koen, lagi limang wulan ga ketemu, mosok awakmu wes lali ambek aku!" (Edan kamu, baru lima bulan nggak ketemu, masa udah lupa sama aku) Parmin memukul bahuku pelan, lalu ikut duduk di sebelahku.

"Enggak lho, dandananmu itu yang bikin aku pangling. Beruntung aku masih ingat dengan gigi ompongmu itu," aku masih belum bisa menahan tawaku.

"Djancuk! Tau temennya datang mbok ya dibikinin kopi apa gimana gitu, malah ngungkit ngungkit gigi ompong!" Parmin pura pura bersungut sambil mengangsurkan bungkusan plastik yang dibawanya. Setelah kubuka, ternyata isinya berupa kopi, gula, teh, serta dua bungkus rokok putih.

"Wah, udah sukses kamu ya, pake bawa bawa beginian segala lho, jadi ndak enak aku. Sebentar tak bikinin kopi dulu," akupun beranjak membawa bungkusan itu ke dalam, lalu menyeduh secangkir kopi untuk sahabat kentalku itu.

"Nih, kita ngopi ngopi dulu sambil bernostalgia. Sudah lama to kita ndak ngopi bareng kayak gini. Gimana gimana, sudah sukses kayaknya kamu di kota sana ya," ujarku sambil meletakkan cangkir kopi diatas lincak.

"Lha yo jelas to Bro. Kamu ndak lihat apa, penampilanku udah kayak gini, ya pasti sukses to. Beruntung banget lho, disana aku dapat majikan yang baik dan royal, ngasih gaji gedhe dan kerjaan enak," jawab Parmin setelah menyecap sedikit kopinya.

"Lha mbok kalau udah sukses itu ngajak ngajak, inget sama temennya yang di desa ini," celetukku sambil melinting tembakau.

"Weh, kamu ini lho, udah dibawain rokok enak kok malah nglinthing."

"Haha, ndak biasa aku ngisep rokok begituan Min."

"Oalah, dasar wong ndeso," Parmin tergelak. "Jadi begini Ji, aku sengaja kesini, selain mau silaturahmi juga mau nawari kerjaan buat kamu. Juraganku disana itu lagi butuh orang, dan aku rasa kamulah orang yang paling tepat."

"Serius kamu Min?" tanyaku.

"Ya serius to. Tak jamin wis, kerjaannya ndak berat berat berat amat kok, dan soal gaji, nanti kamu tinggal bilang mau gaji berapa. Berapapun yang kamu minta, pasti bakalan dikasih," jawab Parmin sambil menyalakan rokok putihnya.

"Mosok to Min, sampai bisa minta gaji berapa aja?"

"Weh, kamu ini dibilangin kok ndak percaya lho."

"Bukannya ndak percaya Min, tapi..."

"Ji, ndak usah pakai tapi tapi kalau mau sukses. Apa kamu mau, selamanya hidup kayak gini? Jadi buruh macul yang hasilnya ndak seberapa? Apa kamu ndak pengen ngebangun rumahmu ini, terus nyekolahin adikmu tinggi tinggi? Masa depan Ji, kesempatan bagus gini jangan disia siakan," ujar Parmin lagi.

"Kota B itu jauh e Min, dan simbokku sudah tua, ndak tega aku ninggalinnya."

"Halah, soal simbokmu, kan masih ada adikmu to, lagian juga nanti sebulan sekali kamu bisa tilik. Nih, kalau kamu mau, ini bisa buat pegangan simbokmu selama kamu tinggal merantau kesana," Parmin mengeluarkan amplop coklat tebal dari balik saku jaket jeansnya.

"Apa itu Min?" tanyaku heran, sambil menatap amplop yang diangsurkannya di depan hidungku.

"Kamu lihat saja sendiri, apa isinya."

Gemetar tanganku saat meneruma dan membuka amplop itu. Segepok uang berwarna kemerahan kini terpampang di depan mataku.

"Edan! Ini beneran to Min?"

"Kamu ini lho! Lha ya jelas bener lah. Uang itu akan jadi milikmu, kalau kamu mau ikut kerja sama majikanku. Cash itu, soal gaji nanti lain lagi urusannya."

"Sebentar Min, kok aku malah jadi curiga ya. Belum kerja tapi sudah dikasih duit segini banyaknya. Memangnya kerjaannya yang kamu tawarkan itu kerjaan apa to?"

"Nunggu mayit!"

"Hah?!"

"Wuedan! Ini rumah apa keraton Min?" aku benar benar tak bisa menahan rasa kekagumanku saat sore itu telah tiba di depan sebuah bangunan megah di pinggiran kota B. Ya, setelah mempertimbangkan dan mendengar penjelasan dari Parmin, akhirnya aku memutuskan untuk menerima tawaran kerja dari sahabatku itu.

"Hiisss! Ojok ngisin isini! Iki neng kutho Ji! Biasa wae, ojok nggumunan!" Parmin memperingatkanku sambil menekan sebuah tombol yang berada di tiang beton di samping pintu gerbang. Tak lama, pintu gerbang besar yang terbuat dari besi itu bergerak membuka. Kembali aku berdecak kagum. Tak ada orang yang membuka gerbang itu. Jelas, pintu gerbang ini bergerak dengan sendirinya.

"Sudah, jangan kebanyakan bengong! Ayo masuk!" seru Parmin sambil mencolek pundakku.

Akupun mengikuti langkah Parmin memasuki halaman rumah megah yang sangat luas itu. Benar benar seperti istana. Halaman luas itu dikelilingi oleh taman taman yang menghijau dengan aneka tanaman hias, serta beberapa kerangkeng besar berisi anjing anjing berbulu hitam dengan tubuh sebesar anak sapi. Binatang binatang yang terlihat buas itu nampak diam menatapku dengan pandangan yang sanggup mendirikan bulu romaku.

Beberapa mobil yang nampak mengkilap terparkir di tengah tengah halaman. Pilar pilar beton berukir dengan ukuran sepelukan orang dewasa nampak berdiri kokoh menyangga bangunan megah itu. Cahaya lampu yang terang benderang menerangi setiap penjuru bangunan. Meski begitu, entah mengapa aku merasakan suasana yang sangat suram. Rumah semegah itu, terlihat sangat sepi dan menyeramkan.

Parmin terus berjalan memasuki bangunan megah itu, dengan aku yang mengekor di belakangnya. Sebisa mungkin aku menahan rasa kekagumanku, melihat seisi ruangan yang serba gemerlapan. Guci guci antik, lukisan lukisan yang aku yakin itu karya seniman terkenal, lampu lampu kristal yang menggantung di langit langit, dan... Tiga orang yang duduk diam diatas sofa mewah sambil menatap tajam ke arahku, membuatku merasa bahwa kedatanganku ke tempat ini adalah sebuah keputusan yang salah.

Seorang laki laki berusia sekitar empat puluhan, duduk bersilang kaki sambil merentangkan kedua tangannya pada sandaran sofa panjang yang didudukinya. Seorang lagi, juga laki laki yang berusia sedikit lebih muda dari laki laki pertama, nampak asyik menikmati rokok cerutu di sela sela jari tangannya. Dan orang terakhir, seorang gadis yang mungkin seumuran denganku, hanya menatapku tanpa sedikitpun mengulas senyum. Benar benar sebuah sambutan yang sangat dingin.

"Parmin! Syukurlah kau kembali tepat waktu. Dan sepertinya kau kembali dengan membawa hasil," si laki laki pertama akhirnya bersuara juga. Dingin dan dalam suaranya, membuatku semakin salah tingkah.

"Seperti permintaan Tuan dan Nona. Perkenalkan, ini teman saya dari kampung. Namanya Sutarji," Parmin berkata sambil setengah membungkuk. Jelas, rasa hormat yang terlalu berlebihan menurutku.

"Duduklah!" kata laki laki itu lagi. Akupun mengikuti Parmin duduk di sofa yang masih kosong. Seorang pelayan perempuan berusia lanjut datang menyuguhkan minuman.

"Jadi begini Mas Sutarji," kata laki laki itu lagi, setelah mempersilahkan kami mencicipi hidangan yang telah disediakan. "Tentu Parmin sudah menjelaskan soal pekerjaan yang akan Mas Sutarji kerjakan di sini bukan?"

"Iya Tuan," seperti Parmin, akupun memanggil laki laki itu dengan sebutan Tuan, meski agak bertentangan dengan hati kecilku. "Kata Parmin, tugas saya nanti merawat dan menjaga ayah Tuan yang sedang sakit."

"Bagus kalau Parmin sudah memberitahu mas Sutarji. Tapi sebelum itu, perlu saya perjelas sekali lagi, apakah betul Mas Sutarji ini dulu lahir saat menjelang senja di hari Selasa Kliwon?" tanya laki laki yang satunya lagi, yang semenjak tadi hanya diam sambil menghisap cerutu.

"Iya, benar tuan," sahutku pelan. Parmin memang sudah bilang kalau orang yang dicari oleh tuannya untuk merawat sang ayah haruslah orang yang lahir di hari Selasa Kliwon saat senja hari. Karena itulah Parmin sampai rela pulang kampung untuk menjemputku.

"Kalau begitu, tak ada yang perlu saya jelaskan lagi. Mira," si laki laki pertama menoleh ke arah si gadis yang sejak tadi hanya diam. "Bisa kau antar Mas Sutarji ke kamar ayah? Sekalian nanti kamu jelaskan apa apa saja yang perlu dikerjakan olehnya. Dan kamu Parmin, tugasmu sudah selesai. Istirahatlah. Besok pagi pagi kamu sudah bisa bekerja seperti sediakala."

"Ikut aku," gadis itu bangkit dan melirikku. Aku menoleh sekilas ke arah Parmin yang segera mengangguk ke arahku.

Sedikit ragu, akupun segera mengikuti langkah gadis itu menyusuri lorong demi lorong yang berada di dalam bangunan megah itu. Tak ada kata kata yang terucap, sampai kami tiba di depan sebuah kamar besar dengan pintu kayu jati berukir yang tertutup rapat.

"Mudah mudahan kamu nggak kaget setelah melihat apa yang berada di dalam kamar ini," ujar gadis itu sambil membuka pintu, lalu menyalakan lampu di dalam kamar.

"Djan....!" nyaris saja aku mengumpat, saat melihat pemandangan yang terpampang di depan mataku. Sosok yang terbaring di atas ranjang itu.., pantas saja Parmin bilang kalau tugasku adalah menjaga mayat.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close