Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BELENGGU SUKMA (Part 1) - Lemah Sajen

Mereka ada dimana-mana, mengintai hampir setiap malam. Pengabdian KKN yg diperkirakan lancar, ternyata malah akan merenggut nyawa mereka satu-persatu setelah kutukan desa tempatnya KKN kembali muncul setelah puluhan tahun menghilang.


Detik demi detik berputar, tanpa terasa satu persatu dari mereka datang lalu memperkenalkan dirinya masing-masing. Pertemuan itu, akan mereka gunakan untuk membahas susunan tugas serta program bersama yang akan mereka bawa saat terjun di desa.

Namun, sudah tiga puluh menit berlalu sejak orang terakhir datang, ada satu orang yang belum juga terlihat wujudnya. Dia adalah Maya. Bahkan, sejak komunikasi melalui grup whatsapp, Maya pun belum sama sekali merespon.

“Ada yang tau Maya? Kok belum kelihatan” tanya Dela.

“Reni. Kamu kamarnya gak deket sama Maya?”

“Enggak. Kami juga belum pernah ketemu” jawab Reni.

“Lho. Kalian bukannya sekampus?” tanya Darma.

“Enggak. Kami hanya satu provinsi aja, tapi beda kota dan beda kampus” tutur Reni.

Tak berselang lama, seorang wanita terlihat berjalan mendekat, lantas bertanya. Akhirnya, satu orang terakhir yang akan bergabung dalam tim kelompok KKN mereka pun muncul. Ya, dia adalah Maya.

“Apa benar, ini kelompok 17?” tanya wanita tersebut.

“Oh. Iya-iya benar” jawab Mala yang berada di dekatnya.

“Saya Maya. Maaf saya telat. Boleh saya bergabung?”

“Dengan senang hati, Maya. Kami sudah menunggumu” balas Mala.

Setelah semuanya berkumpul, rapat pun dimulai. Diawali dengan memperkenalkan diri masing-masing. Tapi, kedatangan Maya membuat Darma penasaran. Pasalnya, Maya datang dengan wajahnya yang dingin dan terlihat diam seperti enggan berbicara dengan yang lainnya.

Badannya yang tidak begitu tinggi, datang dengan wajah kaku dan tanpa ekspresi sama sekali. Bahkan, sampai ia duduk pun, tidak terlukis senyum di wajahnya.

“Hallo Maya…” sapa Darma.

Sesuai dugaannya. Maya hanya mengangguk tanpa memberikan ekspresi apa-apa.

Saat itu, Darma menyimpan rasa penasarannya sendiri dalam hatinya, mungkin ini hanya berlaku malam ini saja karena lelah baru saja datang.

“Soal koordinator desa, silakan siapa yang mau mencalonkan diri. Aku anggota saja” tukas Darma.

“Yah. Lo cowok masak manut-manut aja sih, Dar” balas Mala dengan logat betawinya.

“Hahaha. Diantara kalian berdua aja, Bay, Bi” ucap Darma.

“Yang lain gimana, nih?” tanya Arbi.

Satu persatu mulai mengutarakan pendapatnya, hingga sampai pada bagian Maya. Saat ditanya, Maya masih dengan wajah misteriusnya. Ia mengangguk saja tanpa mengutarakan apa-apa.

“Maya gimana? Usul aja gak apa-apa” suruh Bayu.

Maya masih enggan membuka mulutnya.Wajahnya tertunduk dengan wajah lesu seperti orang yang sudah dua hari tidak makan. Dia seperti tidak nyaman di antara teman-temannya.

“Maya ngikut aja sama kita?” tanya yang lain.

“Gak perlu malu-malu. Kita kan akan hidup bersama sebulanan ke depan” imbuh Bayu.

Lagi-lagi, Maya pun hanya membalas pertanyaan Darma dengan mengangguk dan sedikit tersenyum. Memang aneh.

Singkat cerita, setelah melewati musyawarah, terpilihlah Bayu sebagai koordinator desa.

“Jika datang jauh-jauh dari luar pulau ke sini. Seharusnya gak begitu dong” bisik Arbi.

“Itu Maya kenapa sih?” bisik Arbi kepada Darma

“Nah. Baru juga aku mikir gitu” jawab Darma.

Saat pembahasan selanjutnya pun Maya masih terus diam dan enggan bicara. Saat menjelaskan program kerja individunya pun yang lain perlu berpikir keras agar bisa memahami apa yang diucapkannya.

Lama-lama, tidak hanya Darma dan Arbi yang merasa aneh terhadap Maya, tampak yang lainnya pun mulai menyadari keanehan pada diri Maya.

“Maya lagi gak enak badan, ya?” tanya Mala.
Maya menggeleng.

Sejak pertemuan pertama itu, beberapa anak-anak mulai menaruh curiga terhadap Maya. Terkhusus Darma dan Arbi. “Wanita misterius” begitu anggapan mereka berdua terhadapnya.

“Aneh ya dia? bagaimana saat satu bulan ke depan nanti?” tanya Arbi kepada Darma.

“Semoga dia semakin terbiasa.” jawab Darma.

“Terima kasih semuanya. Saya mohon masukan dan keringanan tangannya agar KKN kita nanti dapat berjalan lancar dan semua program dapat terlaksana” ucap Bayu menutup pertemuan malam itu.

***

Setelah seluruh pembekalan KKN selesai, hari keberangkatan yang dinantikan pun tiba. Darma, Bayu, Arbi, Dela, Mala, Maya dan Putri sudah berkumpul.

Mereka akan diantar oleh mobil angkutan kota berwarna orange yang sudah disediakan oleh panitia penyelenggara ke desa dimana mereka akan diterjunkan, orang-orang di sana menyebut angkutan itu dengan sebutan ‘Angkutan Jeruk’

karena warnanya dan atap mobilnya yang melengkung sudah seperti satu buah jeruk. Desa Suguhan, itu lah nama desa yang akan mereka tempati selama KKN nanti.

Sebagai koordinator desa, Bayu memimpin doa. Terbesit sebuah harapan dan doa dari semuanya, agar diberi kelancaran dalam melaksanakan program kerja dan dapat diterima dengan baik oleh warga desa.

Sopir mulai memacu kendaraannya. Bersamaan dengan itu, langit yang dari tadi mendung, mulai menjatuhkan butiran-butiran airnya.

“Sejuk ya disini, nggak kayak di ibukota” terang Mala.

“Iya ih. Mana banyak sawah hijau-hijau begini. Betah sih gue kalau di sini” balas Putri.

Sepanjang perjalanan, mereka berdua memandangi sawah di pinggiran jalan yang begitu luas. Mereka berdua terlihat senang melihatnya. Maklum, mereka berasal dari daerah Jakarta, jadi suasana desa seperti ini menjadi tempat yang menyejukkan bagi mereka.

“Ya beginilah jika di desa, Mas-Mbak. Beda dengan kota. Kalau di kota banyak gedung tinggi dan tempat-tempat modern, kalau di desa ya sawah dan hutan-hutan begini.” ujar supir saat melihat Mala dan Putri dari kaca mobil di atas kepalanya.

Perlahan, setelah menempuh satu jam perjalanan kawasan kondisi jalan berubah semakin sepi dan sesekali melintasi hutan.

“Pak. Apa masih jauh?” tanya Darma pada supir angkutan.

“Sekitar tiga puluhan menit lagi, Mas. Itu tempatnya di balik bukit itu” tunjuk supir ke arah pegunungan yang membentang panjang di ujung matanya.

“Wah. Berarti desanya dekat dengan pegunungan dong, Pak?” timpal Mala.

“Iya, Mbak”

Mendengar itu, mereka merasa senang. Karena, selama lima minggu ke depan, mereka akan tinggal diantara bukit yang hijau dan sejuk itu.

Jalanan aspal halus pun berganti dengan bebatuan yang bercampur lumpur karena sehabis hujan.

Pohon-pohon kelapa terlihat berjejeran di sepanjang jalan. Beberapa warga desa yang menyadari kedatangan mereka pun ikut membuntuti angkutan dari belakang, terlebih lagi anak-anak, mereka terlihat sekali wajah bahagianya karena kedatangan mahasiswa KKN.

“Gue kira pas masuk jalan ini, udah tinggal dikit. Ternyata masih lumayan juga” ucap Arbi

“Sebentar lagi sampai kok mas” kata sopir.

“Bay. Jangan lupa hubungi bapaknya ya” seru Dela, mengingatkan Bayu untuk menghubungi bapak yang rumahnya akan mereka tinggali nanti.

Kabut tipis terlihat hinggap di perbukitan. Tak ada yang aneh saat itu. Yang ada hanyalah raut muka senang karena mendapatkan desa dengan suasana sejuk seperti itu.

Diantara teman-temannya yang tengah ngobrol satu sama lain, Darma memandangi hutan di lereng perbukitan dengan teliti. Rasa-rasanya, sedang ada yang memperhatikannya dari sana. Tapi apa? Darma juga tidak mampu menjelaskannya secara jelas, hanya perasaannya yang merasa tidak enak.

“Darma! Ngapain lo? Jangan ngelamun ntar kesambet” tegur Mala saat melihat Darma melamun.

“Enggak kok” balas Darma. Darma masih diam sambil sesekali memainkan HPnya.

Beberapa menit setelah itu, kecepatan angkutan melambat, lalu berhenti di tepi lapangan. Darma dan seluruh teman-temannya pun turun. Seorang laki-laki paruh baya berperawakan sedang, berambut panjang serta tato kepala macan di lengan kanannya tampak mendekat.

Ia mengulurkan tangan, berniat bersalaman. Darma yang berada paling dekat dengannya pun segera menyambutnya.

“Mas-mbaknya, yang mau KKN di sini, ya?” tanyanya. Meski terlihat sangar tapi suara laki-laki paruh baya itu terdengar sopan dan lembut di telinga.

“Iya, Pak. Kami baru saja datang” ujar Bayu.

“Oalahh. Syukurlah. Semuanya sampai dengan selamat. Mari, ke rumah saya” ajak laki-laki paruh baya tersebut.

“Nama saya Teja, panggil saja Pak Teja.” ucap laki-laki itu sambil tersenyum dan menuntun perjalanan mereka.

Mereka diajak berjalan melewati jalanan kecil yang rimbun dengan pepohonan. Warga-warga desa pun menyambut mereka dengan hangat. Rumah-rumah di sini terlihat sederhana,

hanya beberapa rumah saja yang sudah terlihat modern seperti rumah-rumah sekarang. Bahkan masih banyak rumah yang hanya terbuat dari bamboo kering yang disusun sedemikian rupa.

Di sepanjang perjalanan, Pak Teja bercerita sedikit tentang desa.

“Pendopo desa ini dulunya adalah pendopo yang cukup bersejarah, kata orang-orang tua, pendopo ini sudah ada sejak jaman Belanda dan sempat beberapa kali beralih fugsi. “ jelas Pak Teja saat melewati area depannya.

“Lalu sekarang digunakan untuk apa, Pak?” sahut Bayu

“Digunakan desa jika ada acara. Semacam balai pertemuan.” kata Pak Teja

Ada pemandangan yang tak biasa yang menyita perhatian mereka. Hampir di setiap pertigaan atau perempatan, selalu ada sajen kecil yang diletakkan di sana.

“Ini, untuk apa ya, Pak?” tanya Darma.

Ekpresi Pak Teja tampak berbeda, menurut keterangannya, itu digunakan untuk menangkal hal-hal jahat yang akan datang ke desa Suguhan. Itu sudah dilakukan sejak lama, dan selalu dianjurkan oleh para tetua di desa.

“Kita kan punya Tuhan, kenapa tidak meminta perlindungan kepada-Nya?” bisik Putri pada Dela.
Tanpa ia sadari, ternyata Pak Teja mendengarnya.

“Hahaha….” Pak Teja tertawa.

“Ya jelas kami juga berdoa sama Tuhan, Mbak, wong warga di sini juga beragama. Tenang saja, tidak perlu khawatir.” ucap Pak Teja,seolah beliau tahu apa yang sedang dipikirkan Putri

Mendengar itu, Putri hanya tersenyum sungkan sambil menundukkan kepalanya karena merasa tidak enak

Beberapa puluh meter kemudian, Pak Teja menyuruh mereka menunggu.

“Mas-Mbak, tunggu sebentar.” ucap Pak Teja.
Mereka berdiri memperhatikan Pak Teja yang sedang berjalan menuju sebuah padasan dengan dua kendi di dekatnya.

Pak Teja merogoh kantong celananya, ternyata dia membawa beberapa potong bunga melati, lalu menaruhnya di dalam kendi yang sudah penuh berisi air.

“Mas-Mbak, silakan cuci muka dahulu di sini.” ujar Pak Teja.

Hampir semua diantara mereka ingin sekali bertanya, tapi mereka mengurungkan niatnya, karena merasa tidak enak akibat perkataan Putri.

“Ini budaya kami untuk para pendatang yang datang ke Desa Suguhan, Mas-Mbak. Tenang saja, ini untuk kebaikan bersama.” pungkas Pak Teja.

Seberes itu, Pak Teja kembali melanjutkan langkahnya, sampai sekitar lima menit berjalan, sampailah mereka di depan sebuah rumah sederhana namun kental dengan nuansa desa dan jawanya.

“Ini rumah saya. Mari, silakan masuk, Mas-Mbak” ucap laki-laki tersebut memperkenalkan rumahnya.

“Selama KKN nanti, panjenengan semuanya nanti tinggal di sini bersama saya. Rumah saya selalu menjadi tempat tinggal mahasiswa jika ada KKN. Saya senang jika ada mahasiswa KKN, karena saya sudah lama tinggal sendirian.” jelas Pak Teja.

“Yang perempuan di rumah depan. Laki-lakinya di belakang ya. Masing-masing ada kamarnya dan sudah ada kasur dan bantalnya buat kalian istirahat” ucap Pak Teja.

Singkat cerita, mereka dipersilakan istirahat terlebih dulu. Besok pagi akan diantar Pak Teja ke balai desa untuk kenalan dengan kepala desa dan semua perangkatnya.

“Hari ini istirahat dulu ya, biar badannya segar. Kegiatannya dimulai besok saja” ucap Pak Teja

Masing-masing mulai menenteng barang bawaannya ke kamar setelah Pak Teja mempersilakan mereka

“Oh ya, Mas-Mbak. Kalau mau ke kamar mandi, kamar mandinya di belakang ya” ucap Pak Teja

Darma dengan Bayu dan Arbi jalan ke rumah belakang. Meski masih menjadi satu bangunan, rumah belakang dan depan memiliki bangunan yang berbeda. Jika di rumah depan sudah terlihat lebih modern, beda halnya dengan rumah belakang.

Rumah belakang terlihat lebih usang dan terasa singup. Bahkan, dua kamar di rumah belakang hanya terbuat dari gedek (anyaman bambu).

“Ini kamarnya?” tanya Darma tepat di ambang pintu. Ia merasa suasananya berbeda ketika melihat kamar yang akan mereka pakai selama sebulan nanti

“Kayaknya ini kamar udah lama gak di pake deh” imbuh Darma.

“Apa iya? Bersih gini” tanya Arbi.

“Kayaknya sih iya. Aku merasanya begitu. Tapi semoga saja hanya firasatku yang salah” terang Darma.

“Ya sudah, masih beruntung kita diberi tempat tinggal.” ujar Bayu.

Memang agak seram. Tanpa mengikuti percakapan mereka berdua, Bayu tiba-tiba masuk dan menaruh kopernya di pojokan kamar. Di lantas menyalakan lampu kamar, namun yang menyala hanyalah lampu pijar kuning yang tak begitu terang.

“Wih. Remang-remang gini ya. Asyik nih” ujar Arbi sambil tertawa.

“Asyik? Kita laki semua!” timpal Darma.
Saat itu waktu sudah siang, Arbi dan Bayu langsung sedang tidur dengan nyamannya.

Darma yang merasa sepi, beranjak ke rumah depan, bermaskud mencari teman. Tapi, ternyata di sana sama saja seperti di belakang, semuanya tidur. Pak Teja pun entah kemana.

Karena bingung ingin melakukan apa, Darma berinisiatif keliling melihat setiap sudut isi rumah Pak Teja.

Rumah Pak Teja tergolong masih menjaga nuansa jawanya jika dibandingkan tetangga yang bersebelahan dengan rumahnya. Ornamen-ornamen khas jawa pun banyak di pajang di sini.

Saat beres di rumah depan, Darma berjalan ke belakang. Memang, sejak tadi, rumah belakanglah yang menyita perhatian Darma. Walau hanya terbatas almari besar, namun suasananya jauh berbeda. “Singup” kalau kata orang-orang jawa.

Saat masuk area rumah belakang, perbedaan lantai pun sangat ketara, di rumah belakang masih pakai keramik lawas berwarna abu-abu.

Darma melihat seluruh isi rumah belakang, hingga sampailah dia melihat sebuah figura foto berisikan foto perempuan muda cantik yang menyita perhatiannya.

Siapa dia? Darma penasaran. Namun Darma tidak memikirkannya begitu dalam. “Mungkin foto istri Pak Teja sewaktu muda” gumam Darma. Darma melanjutkan lagi melihat yang lainnya.

“Bruuuugggg”

Suara benda terjatuh mengagetkan Darma. Saat menoleh ke sumber suara itu, ternyata figuran foto yang barusan Darma lihat terjatuh. Seketika Darma merinding. Padahal, tidak ada angin yang menerobos masuk ke rumah belakang.

“Kok bisa?” pikir Darma.

Darma mengambil figura itu, lalu menggantungkan kembali ke tempatnya.

“Aneh.” batin Darma.

Sekarang, Darma menulusur semakin ke belakang. Meski baru akan masuk waktu sore, langit yang sejak pagi mendung membuat isi rumah agak gelap.

Darma mencari saklar lampu rumah belakang, tapi saat lampu menyala, ternyata, di sana juga baru diterangi oleh lampu pijar kuning saja. Bedanya dengan yang di kamar, ini sedikit lebih terang dan berukuran agak besar.

Sampailah Darma di dekat kamar mandi, saat itu ia baru menyadari jika ada sumur yang terutup rapat di di depan kamar mandi. Rasa penasaran Darma pun kembali tergugah.

Ia melangkah mendekat, berniat membuka penutup di atasnya untuk sekadar melihat isi di dalamnya. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara perempuan menangis. Suaranya kedengaran pelan, tapi jelas di telinga Darma.

Kadang, saat seseorang sudah merasa penasaran, ia akan mengesampingkan rasa takut atas kebodohan yang akan dia lakukan,hal ini lah yang terjadi dengan Darma sekarang.Berbekal keberanian yg hanya sebesar biji jagung,dia dengan percaya diri memutuskan untuk mencari sumber suara itu

Darma mencoba ke depan, menguping di kamar perempuan. Khawatirnya, suara tangisan itu berasal dari dalam kamar perempuan. Namun, di situ Darma tak mendengarkan apa-apa. Yang ada malah suara itu semakin tak didengarnya.

“Kok gak di sini?” pikir Darma.

Darma kembali ke belakang, kemudian memeriksa belakang rumah melalui jendela kayu yang masih tertutup rapat.

“Halo! Siapa?” tanya Darma dengan meninggikan suarahya. Darma semakin merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Darma tak mendapatkan balasan dari pertanyaannya. Ia pun kembali memeriksa kamar dan seluruh ruang dalam rumah. Setiap ruang yang diperiksanya, tak ada siapa-siapa di sana kecuali Arbi dan Bayu yang sedang tidur.

Darma masih terus mencari, karena ia yakin suara itu tak jauh dari tempatnya berdiri. Entah mengapa, meski tau jika tidak ada orang, Darma memiliki niat memeriksa kamar mandi. Darma melangkah pelan, merayap-rayap ke sana.

Saat itu lah Darma menyadari, jika suaranya kedengaran semakin jelas.

Darma mulai bingung. Karena, ia sendiri tau, jika tidak ada orang yang sedang berada di kamar mandi. Tapi, kenapa suaranya semakin jelas saat di dekat kamar mandi?

“Halo. Ada orang?” Darma mencoba tanya. Walaupun ia sadari jika itu adalah pertanyaan yang bodoh.
Darma dibuat bingung, ia beberapa kali keluar masuk rumah hanya untuk mencari dari mana suara itu berasal.

Tapi, disisi lain Darma masih yakin jika suaranya ada di dekat kamar mandi. Tiba-tiba saja Darma teringat oleh sumur yang dilarang dibuka oleh Pak Teja. Darma berjalan ke arah sana, berniat memeriksanya lebih dekat.

“Tok.. tok… tok”
Darma mengetuk penutup lubang sumur dengan tangan kirinya. Seolah benar, suara tangis itu kembali muncul dan kedengaran semakin jelas. Lagi, rasa penasaran Darma semakin besar dan menuntunnya untuk menyeka rasa takutnya.

Darma menunduk, menempelkan telinganya ke penutup di atas sumur. Beberapa detik kemudian, rupanya benar, suara itu berasal dari dalam sumur. Seketika Darma terlonjak, sontak ingin membuka penutupnya.

“Mas Darma, lagi ngapain? Sumurnya jangan dibuka mas.”

Darma Terlonjak, lantas membalikkan badan, melihat seseorang yang menegurnya tiba-tiba. Rupanya, di belakangnya berdiri Pak Teja yang tengah memperhatikannya.

“Eh. Pak Teja.” sapa Darma.

Pak Teja mendekat, membetulkan penutup kayu yang hampir dibuka oleh Darma.

“Jangan dibuka, Mas. Sumur ini udah lama gak kepakai. Bau kalau dibuka” tukas Pak Teja.

“Nanti teman-temannya diberi tau, ya. Saya tadi lupa ngasih tau”

“Kalau mau pakai air, air yang di dalam bak dan ember saja” tambahnya.

Darma yang merasa sungkan pun hanya mendengarkan perkataan Pak Teja seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close