Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TURONGGO MAYIT (Part 2) - Jaran Gupolo

Mereka bermain bukan untuk menghibur, tapi untuk menentukan tumbal berikutnya..


“Pusakaku tidak untuk menghadapai masalah seperti ini, Mas. Sepertinya aku butuh bantuan Mas Bisma,” Ucap Paklek dari dalam bilik wartel.

Aku menunggu di luar bilik menanti sembari menguping tentang apa yang mereka bicarakan.

“Saya coba dulu mas, kalau memang Mas Bisma sudah sempat tolong kabari ya,” Ucap Paklek menutup pembicaraanya.

Paklek keluar dengan wajah yang cemas, sepertinya masalah yang akan kami hadapi bukan masalah biasa.

“Memang yang ngikutin Widi seserem apa sih Paklek? Sampai Paklek minta bantuan orang lain?” Tanyaku sembari mengikuti Paklek ke sepedanya.

“Untuk masalah ini kamu jangan banyak ikutan ya, Paklek sendiri belum yakin bisa menghadapi mereka secara langsung,” Balas Paklek.

Aku mengangguk, secara aku juga sebenarnya sangat malas berurusan dengan sosok-sosok seperti itu. aku sudah bersiap, begitu sudah ada tanda-tanda kemunculan sosok ghaib, aku akan kabur sejauh mungkin.

Kali ini Paklek memang terlihat cemas, bahkan saat kami makanpun Paklek tidak terlalu banyak bicara & lebih banyak melamun.

“Memangnya resiko terparahnya kalau Bapak gagal apa to Pak?” Bulek penasaran dengan kecemasan Paklek.

“Kita bisa nggak ketemu mereka lagi,” balas Paklek.

Bulek tertegun, akupun berhenti mengunyah mendengar jawaban Paklek barusan. Sudah jelas maksudnya bahwa jika Paklek Gagal, Bu Sunar dan Widi tidak akan selamat.

Setelah makan aku menghabiskan waktuku di teras sembari memikirkan perkataan Paklek tadi.

Baru saja aku mengenal Widi, tapi kalau sampai kami gagal apakah itu artinya aku tidak akan bisa bertemu dengannya lagi.

“Heh, Panjul! Ngapain malem-malem nongkrong di luar? Janjian sama demit mana?”

Seorang anak di desa yang seumuran denganku lewat depan rumah dan menyapaku dengan ledekkan. Sarmin namanya.

“Lah, ini udah dateng.. Jadi nggak ada yang ada yang kutunggu lagi deh,” balasku pada Sarmin.

“Uasem.. bisa saja ngejawabnya. Yowis, duluan ya!” Pamitnya.

“Nggak mampir?”

“Kapan-kapan aja kalau kamu udah mandi,” ledeknya lagi.

Kali ini aku tak membalasnya, dan membalasnya hanya dengan lambaian tangan.

Aku ingin masuk ke dalam rumah, namun aku merasa ada yang janggal dari ucapan Sarmin tadi.

Dengan cepat aku berbalik dan segera menyusulnya.

“Heh, kok kamu nyebut Panjul? Siapa yang ngasi tahu?!” tanyaku pada Sarmin.

“Ealah, Paklekmu itu lho. Pas ke sekolah tadi minta nama di seragam mu di tulis panjul. Kreatif emang,” balasnya sambil tertawa meledek.

“Uassem dasar Paklek!” Ucapku yang segera meninggalkan sarmin.

Dengan cepat aku berlari menuju halaman belakang tempat Paklek biasa menghabiskan malamnya sebelum tidur. Protes! Pokoknya aku ingin protes! Ini namanya pembunuhan karakter dalam rumah tangga.

Ada sebuah pendopo di halaman belakang. Tempat itu berbatasan dengan hutan kecil yang entah menyambung ke mana.

Aku melihat Paklek sedang duduk bersila di pendopo itu tanpa bergerak sedikitpun.

Ada sebuah tungku berisi kemenyan yang dibakar dan ada segelas air yang ditutup dengan kitab di hadapanya.

Akupun mendekat, namun tidak ada respon dari Paklek. matanya benar-benar tertutup tanpa ada sedikitpun kedipan.

Walaupun aku menggerakkan tanganku beberapa kali di hadapan matanya, Paklek tetap tidak bergerak.

Tak jauh dari tempat kami, aku menemukan tempat dengan beberapa ilalang yang cukup tinggi.

Seketika insting isengku berpacu membuatku ingin mengambilnya dan mencoba menggunakannya untuk menggelitik hidung Paklek.

Namun saat berada di tengah ilalang itu, tiba-tiba aku merasakan hal yang aneh.

Aku yakin tidak ada orang lain selain aku dan Paklek, tapi entah mengapa aku merasakan ada sosok yang memperhatikanku dengan tajam.

Aku mencoba tidak memperdulikannya dan tetap memetik sehelai rumput liar yang panjang, tapi setelahnya seketika juga bulu kudukku berdiri.

Krossakk!!
Terdengar suara tak jauh dari tempatku berdiri saat ini. Suara itu seperti suara manusia atau hewan yang melintas di antara kumpulan ilalang ini.

Aku merasa semakin takut dan ingin buru-buru segera kembali ke tempat Paklek. Tapi, sesuatu menghadangku.

Ada bayangan putih melayang layang menyerupai manusia. ia menghadangku sebelum sempat mendekat ke arah Paklek yang tengah tertidur.

“Se—setan!” Teriakku berharap Paklek terbangun dan mendengarku, sayangnya aku tidak melihatkan sedikitpun gerakan dari dirinya.

“Paklek.. tolong Paklek! Ada setan…” Teriakku.

“Hrrrrr…. Hr…..”

Terdengar suara mengerikan dari sosok yang melayang-layang itu. Sontak wajahku pucat dan terjatuh diantara ilalang-ilalang.

“Ampun! Saya nggak niat ngapa-ngapain…” ucapku.

Namun sepertinya makhluk itu tidak begitu peduli dengan perkataanku.

“Tinggalkan kepalamu… Hrrr….”

Mendengar perkataan itu aku semakin lemas. Sosok itu benar-benar mengincar kepalaku.

“Ja—jaangan, kepala saya cuma satu. Kalau kepala ayam, masih sisa satu di dapur,” balasku spontan.

Mendengar ucapanku seketika sosok itu mendekat dan terlihat begitu besar tepat di depan mataku.

“Hrrrrr….” Suara dan keberadaan sosok itu hampir saja membuatku pingsan. Sepertinya ucapanku barusan membuatnya marah.

“Ampun, jangan kepala saya! Yang lain saja, saya lakuin apapun.. Janji!” Ucapku berusaha untuk mencari cara agar setan itu tidak menginginkan kepalaku.

Makhluk itu terdiam. Wujudnya berubah-ubah. Entah karena memang sosok itu yang tidak punya wujud tetap, atau memang aku yang memang tidak punya bakat melihat sosok ghaib.

“Kalau begitu, kuampuni kau dengan satu syarat..”

“Apa? Apa itu?”

“Ada sebuah tempat keramat di bangunan ini yang kutempati. Kau harus merapikan dan membersihkannya setiap pagi sebelum matahari terbit..” ucap sosok itu.

Tempat keramat? Aku tidak menyangka ada tempat seperti itu di rumah Paklek. Atau jangan-jangan Paklek tidak mengetahuinya.

“Ba—baik, tapi di mana tempat keramatnya?” Tanyaku.

Sosok putih itu membentuk sebuah tangan dan menunjuk ke sebuah bilik kecil di belakang rumah. itu adalah kamar mandi..

“Kamar mandi? Nggak mungkin itu kan?”

“Benar, itulah tempat keramat untukku. Bersihkan tempat itu sebelum matahari terbit. Dan jangan beritahu siapapun tentang keberadaanku… Itu bila kepalamu masih mau menempel dengan lehermu…” Ucap sosok itu yang kembali mendekat ke arahku.

“I—iya, aku lakukan! Aku bersihin tempat itu sebersih mungkin!” Balasku.
“Kutagih janjimu!” Ucap sosok itu yang kemudian menghilang begitu saja.
Saat memastikan sosok itu tidak lagi berada di sekitarku, aku buru-buru berlari meninggalkan ilalang di sana dan menuju ke arah Paklek.

Tepat saat aku sampai, tiba-tiba mata Paklek terbuka.

Aku bersiap menceritakan hal yang barusan kutemui, namun tiba-tiba aku terhenti saat mengingat ucapan dari sosok itu bahwa aku tidak boleh memberitahu keberadaanya.

“Kowe ngopo Jul? Kok pucet?” (Kamu kenapa Jul, kok pucat?) Tanya Paklek yang sepertinya menyadari keanehan pada wajahku.

“E—enggak, dingin di sini… masuk aja yuk Paklek,” Balasku yang segera ingin kembali ke dalam rumah dan menjauh dari tempat dimana sosok itu menampakkan diri.

Malam itu aku hampir tidak bisa tidur. Aku kepikiran bagaimana bila sosok itu muncul kembali. Berbeda dari hantu yang kulihat di belakang rumah Widi, mereka menyeramkan tapi mereka jauh. Sedangkan sosok ini berada tak jauh dari tempatku berada saat ini.
...

Pagi itu aku menikmati sarapan yang dimasakkan oleh bulek dengan mata yang sayu.

“Kok tumben nggak nafsu makan? Nggak doyan?” Tanya Paklek.

“Nggak Paklek, enak kok makananya,” Balasku yang sebenarnya ingin sekali menikmati masakan bulek, namun rasa kantukku masih belum bisa kukalahkan.
Bulek datang menghampiri dengan wajah yang bingung.

“Itu kok kamar mandi tiba-tiba bersih mengkilat begitu? Paklek bersihin?” Tanya Bulek.

“Ndak,” balas Paklek singkat.

Akupun mengangkat satu tanganku mengakui bahwa aku yang melakukanya.

“Aku bulek,” ucapku.

“Lha kok tumben?”

“Lagi kesurupan..” balasku tanpa mau memperjelas alasanku. Kalau sampai salah bicara dan membocorkan tentang sosok ghaib di belakang rumah, bisa-bisa kepalaku melayang.

Bulek menggeleng melihat ekspresiku yang tidak biasa.

Aku makan dengan tatapan kosong dengan kantung mata yang menggantung. Sementara itu entah mengapa aku merasa Paklek sedikit tersenyum seolah menahan tawa.

***

Berselang satu hari, aku dan Paklek kembali ke rumah Widi. Kali ini Paklek membawa berbagai macam barang yang lebih banyak. Aku tidak mengetahui benda apa saja yang dibawa Paklek di tas kain.

Namun yang pasti sepeda yang kami naiki cukup oleng ke arah tas yang kami bawa.

“Malam ini kita coba bersihkan semuanya ya..” Ucap Paklek kepada Bu Sunar.

“Membersihkan Widi dari sosok ghaib?”

“Bukan, semuanya… Widi, Bu Sunar, hingga seluruh rumah ini,” jelas Paklek.

Ternyata Paklek membaca bahwa bukan hanya Widi yang bermasalah. Namun walau begitu, aku masih belum tahu masalah apa yang terjadi pada Widi sehingga ia didiagnosa sedang diincar oleh sosok roh gentayangan dari kelompok Jaran Gupolo.

“Iya Paklek, kabari saja apa yang perlu saya bantu persiapkan,” balas Bu Sunar.
Paklek Pun meminta Bu Sunar menyiapkan air hangat dan setumpuk kayu bakar untuk membuat api di halaman. Api itu harus sudah menyala sebelum matahari terbenam.

“Jul, tugas kamu cari benda-benda yang mencurigakan di sekitar rumah ini,” Ucap Paklek.

“Benda apaan Paklek?”

“Buhul, rajah, dan benda yang sekiranya mencurigakan,”

“Tapi bukanya pas motong rumput kemarin kita nggak nemuin benda begituan, Paklek?”

“Benda itu ditanam dan disembunyikan, Nanti Paklek akan narik benda itu semua dan tugas kamu buat ngumpulin,” Jelas Paklek.

“Iya Paklek,”

Akupun menuruti perintah Paklek dan bersiap mencari benda-benda yang diciri-cirikan oleh Paklek.

Satu persatu aku menyusuri sudut halaman dan memperhatikan satu-persatu pohon yang tumbuh di halaman rumah, namun aku tidak melihat tanda-tanda keberadaan benda yang Paklek maksud.

“Paklek, udah aku puterin. Tapi nggak nemu yang aneh-aneh,” tanyaku bingung.

Paklek Pun menoleh ke arahku dan melihatku dengan bingung.
“Lha kamu ngapain to Panjul?”

“Nyari yang disuruh Paklek tadi?”

“Lha Paklek aja, belum ngapa-ngapain. Kok udah nyari aja.. Kalo nggak nungguin Paklek, kamu nyari sampe besok pagi juga nggak ketemu,” Balas Paklek sambil menyeruput kopinya dengan santai.

“Uuaaseemmm Paklek, tadi katanya buru-buru?” Protesku yang terkecoh perbuatan Paklek.

“Udah dibuatin sama Bu Sunar masak nggak diminum,” Paklek tetap santai sembari menghirup aroma kopi itu seolah meledekku.

“Istirahat dulu saja Cahyo, kasihan Paklek genjot sepeda sampe sini. Itu udah ibu bikinin es teh buat Cahyo sama Widi,” ucap Bu Sunar.

“Es teh? Iya Bu.. istirahat dulu saja,” ucapku yang segera menghampiri gelas es teh yang sudah tersaji di meja.

“Yuk mulai!”

Tiba-tiba Paklek berdiri dari kursinya saat aku baru saja meletakkan bibirku di mulut gelas.

“Asemmm! Dasar Paklek bapak tua nakal! Nggak bosen-bosenya ngerjain anak kecil!” Teriakku yang kesal dengan keisengan Paklek.

Akupun meneguk esteh itu sebisaku dan segera meninggalkan sisanya di meja. Bu Sunar dan Widi hanya tertawa menyaksikan itu kelakuan Paklek.

“Maaf ya Bu Sunar, maklumi saja.. pawangnya Paklek lagi gak di sini,” ucapku pada Bu Sunar.
Plakk!!

Seketika gulungan koran menghantam kepalaku yang dipukulkan oleh Paklek. Akupun hanya bisa mengelus kepalaku sembari ikut berjalan keluar.

Benar saja, setelah Paklek melakukan ritual di di halaman dengan memercikan air yang telah ia doakan tiba-tiba aku bisa menemukan benda-benda aneh yang tidak kutemukan sebelumnya.

Ada sebuah kain kafan yang dibentuk seperti pocong dengan tanah berada di dalamnya.

Ada gulungan kertas yang dilipat berbentuk segitiga dengan tulisan-tulisan aneh disebaliknya.

“Ini Paklek?”

“Benar, kumpulin di kaleng di dekat kayu bakar!” Perintah Paklek.

Kami menyisir ke setiap halaman dan ke dalam rumah hingga menemukan belasan benda serupa di sekitar rumah.

Saat sudah tidak bisa menemukanya lagi, kami pun mengumpulkan nya di depan api yang sudah dinyalakan di halaman.

Paklek membacakan doa pada satu persatu benda itu dan melemparkannya ke dalam api. Samar-samar aku melihat bentuk seperti kabut putih menyerupai manusia dari benda yang dibakar itu, setelahnya sosok itu pun menghilang bersama terbakarnya benda itu.

“Paklek, tadi kayak ada kabut putih.. wujudnya mirip manusia,” ucapku yang kali ini mencoba berani mempertanyakan apa yang kulihat. Paklek menoleh ke arahku dan memegang dahiku dengan jempolnya.

“Kamu bisa liat itu?”

“Iya Paklek, Memang kenapa?”

Paklek melempar benda serupa ke api lagi, dan kali ini adalah kabut yang berwujud seperti ular yang menggeliat.

“Kamu liat apa?”

“Nggak jelas, tapi mirip ular,” sahutku. Paklek menghela nafas dan melanjutkan hal itu sembari menceritakan kepadaku.

“Sosok yang kamu lihat adalah makhluk-makhluk yang terikat dengan benda ini,” Jelas Paklek.
Paklek bercerita bahwa benda ini adalah benda-benda yang digunakan untuk menyerang Ayah Widi dan seluruh anggota keluarganya.

Dan mengerikan, itu semua sudah tertanam di rumah ini bahkan sebelum ayah Widi meninggal.

“Persaingan di pekerjaan yang berhubungan dengan klenik memang sebegitu kejamnya,” jelas Paklek.

“Berarti bukan ulah setan-setan dari kelompok Jaran Gupolo itu saja?” Tanyaku.

“Benar.. Yang ini baru ulah mereka,” Paklek melemparkan beberapa bungkusan kain berwarna hitam ke api hingga beberapa sosok seperti meronta-ronta di dalam api. Sosoknya terlihat buas dan hampir tidak berbentuk manusia atau hewan.

“Itu apaan Paklek? Serem..” ucapku yang merinding melihat bayangan yang muncul dari api.
“Kamu bisa ngeliat itu juga?”

“Bi—bisa, emang aneh Paklek?”

Paklek menceritakan bahwa sosok yang terakhir itu adalah perwujudan sosok yang selama ini mengikuti dan mengganggu Widi.

Aku mengangguk mengerti walaupun sebenarnya aku belum tahu gangguan apa yang sebenarnya terjadi padanya.

“Terlepas dari sosok-sosok itu, sepertinya mata batin kamu mulai terusik.” Ucap Paklek.

“Maksud Paklek? Yang Cahyo lihat itu semua setan?” tanyaku.

“Paklek nggak mau jelasin dulu, semakin banyak kamu berurusan dengan hal seperti itu, mata batin kamu akan mulai peka. Paklek akan jelasin semua kalau sudah memastikan iman dan ibadahmu sudah cukup,” balas Paklek yang segera mengajakku masuk ke dalam rumah.

Hari sudah malam, matahari sudah tak lagi menunjukkan sinarnya. Namun entah mengapa lampu rumah masih belum menyala. Aku merasa ada yang aneh, tapi tidak dengan Paklek. Ia seolah sudah siap akan hal ini.

“Sopo kowe?” (Siapa kamu)

Paklek berbicara dengan seseorang.

Rupanya ada seseorang yang berdiri di remangnya ruang tengah. Aku hanya melihatnya sebagai bayangan yang disinari sedikit cahaya api di luar yang masuk melalui kaca jendela.

“Kudune bocah iki tak pateni pirang dino meneh, nanging kowe sing mekso aku nuntaske iki wengi iki,”

(Harusnya anak ini aku bunuh beberapa hari lagi, tapi kamu yang memaksaku menyelesaikan ini semua malam ini)

Suara itu terdengar dari sosok itu. samar-samar aku menyadari bahwa itu adalah sosok Widi. Tubuh kecilnya berdiri menantang Paklek dengan ekspresi wajah yang penuh amarah.

Wajahnya pucat, namun setiap urat di kulitnya membiru.
Widi kerasukan…

“Aku ora wedi, Ono Gusti ning sandingku,” (Aku tidak takut! Ada Tuhan bersamaku) Balas Paklek.

Widi Pun tertawa meremehkan, sementara aku tangan Paklek yang mengepal seolah merasa cemas.

Tawa Widi terus terdengar bersamaan dengan tangis histeris Bu Sunar yang meringkuk di belakang Widi tanpa tahu harus berbuat apa.

“Uwis Le.. Sadar, ojo kalah karo demit kuwi,” (Sudah nak.. sadar, jangan kalah dengan setan itu) Tangis Bu Sunar.

Tapi Widi tidak menghiraukan tangisan ibunya dan menatap ke arah setiap jendela. Bersamaan dengan itu aku merasakan seperti rumah ini sudah terkepung.

“Jangan jauh-jauh dari Paklek,” Perintah Paklek. Akupun mendekat dan menggenggam baju Paklek.

Bukan tanpa alasan, aku saat ini seperti diawasi oleh sosok-sosok yang tak dapat kuketahui. Sampai aku menatap ke salah satu jendela.

Saat itu juga wajahku pucat dan tubuhku lemas. Ada sesosok makhluk yang menatap kami dari luar jendela.

Makhluk dengan wajah yang penuh bolongan dan membusuk tertutup kain kafan mengawasi kami dari setiap jendela.

“Po—pocong?” Tanyaku pada Paklek. Paklek mengangguk sembari menelan ludah.

Sosok pocong yang kulihat saat ini benar-benar berbeda dengan saat aku tersesat di alam ghaib beberapa hari lalu. Kali ini makhluk itu memiliki fisik yang mengerikan dan seolah berniat jahat.

Paklekpun tidak tinggal diam, ia membacakan lantunan ayat-ayat suci sembari mengeluarkan sebuah benda.

Korek api gas dengan ukiran aksara jawa di wadahnya.

Clang!!

Korek itu menyala dengan cahaya oranye memenuhi seluruh rumah.

Kini aku bisa melihat lebih baik sosok Widi yang kerasukan dan Bu Sunar yang akhirnya berlari dari tempatnya meringkuk menuju ke belakang Paklek bersamaku.

Tapi tak hanya itu saja..
Cahaya api itu juga memperlihatkan sosok-sosok tak kasat mata yang berada di rumah ini.

Mulai dari cahaya putih yang beterbangan hingga telapak kaki tanpa tubuh. Namun aku tahu bahwa sosok itu hanyalah penunggu rumah yang tidak ikut campur dengan urusan setan itu.

Semakin terangnya nyala api dari korek Paklek, makhluk di tubuh Widi Pun merasa tersiksa.

Setan-setan yang mengawasi di luar rumah pun merasa gelisah dan memilih untuk mundur.

"Geni kuwi ora iso nyelamatke kowe! Wengi iki bakal nemtokake sapa sing bisa urip, antarane aku utawa kawruh sampeyan!"

(Api itu tidak akan bisa menyelamatkanmu! Malam ini akan jadi penentuan siapa yang akan bertahan! Antara aku atau ilmumu!)

Setelah mengucapkan kalimat itu Widipun terjatuh lemas.

Aku menyaksikan roh di dalam Widi tidak pergi, dan sebaliknya ada sap hitam yang merasuk ke dalam tubuhnya.

Aku mencoba menyalakan lampu namun tidak ada yang bisa menyala. Sebaliknya hujan mulai turun membasahi tanah dan mematikan api yang ada di halaman. 

Blarrr!!!

Petir menyambar dan cahayanya menunjukkan kepada kami tentang keberadaan pocong yang mengawasi kami di halaman.

“Jangan gentar, mereka tidak akan berani masuk,” ucap Paklek.

Entah mengapa Paklek bisa seyakin itu, ia seperti sudah mempersiapkan sesuatu yang membuat makhluk seperti pocong di luar rumah tidak mampu mendekat ke dalam rumah.

“Bu Sunar, bawa kemari air hangat yang saya minta tadi. Bersama baskom dan kain untuk membasuh.. 

Panjul, ambil tampah bambu dan bawa tas Paklek kesini,” Paklek memerintahkan kami dengan tegas.

Akupun mengikuti arahan Bu Sunar untuk mencari tampah dan mengambil tas Paklek.

Blarrr!!!

Sekali lagi Petir menyambar dan sosok pocong yang ada di luar benar-benar menempelkan wajahnya di kaca jendela tempatku mengambil tas Paklek.

Aku hampir terjatuh, namun dari situ aku sadar bahwa ucapan Paklek benar. Makhluk itu tidak akan sembarangan masuk ke tempat ini.

Paklek menggendong Widi dan membaringkannya di ranjang. Aku baru sadar bahwa terjadi sesuatu yang mengerikan padanya.

Tiba-tiba borok muncul di sekujur tubuh Widi. Luka bernanah terbuka mulai dari pipi, leher, hingga ke tubuhnya. Bau busuk pun mulai muncul dari luka-luka itu.

“Paklek.. sakit,” ucap Widi yang sepertinya tersiksa dengan keadaan ini.

“Astaga, Widi….” Bu Sunar menangis sembari mengantar baskom berisi air hangat yang diminta Paklek.

Paklek Pun mengeluarkan beberapa benda dari tasnya.

Ia menyusun di atas tampah beberapa jenis kembang, tungku dan kemenyan, serta sebuah gelas berisi air yang ditutup dengan sebuah kitab di atasnya.

Paklek meletakkan tampah itu di bawah ranjang Widi dan membiarkannya berada di sana.

“Malam ini pastikan kita berdoa tanpa terputus, malam ini penentuan nasib Widi,” Perintah Paklek.

Paklek mencoba mengambil sebuah benda lagi dari tasnya, dari bentuknya mirip sebuah keris pusaka yang dibungkus dengan kain namun sepertinya ia ragu untuk mengeluarkanya dan mengembalikanya lagi ke dalam tasnya.
Kami Pun bersahutan membacakan ayat-ayat suci di kamar Widi.

Sesekali Widi kesakitan dengan luka-luka di tubuhnya, namun Paklek meminta Bu Sunar untuk mengompresnya untuk mengurangi rasa sakitnya.

“Percuma! Anak ini pasti mati!” Teriak sosok itu yang kembali menguasai Widi, namun seiring dengan ayat-ayat yang kami bacakan Makhluk itu terlihat cemas dan kembali tak menguasai tubuh Widi.

Menjelang tengah malam, Paklek menyalakan koreknya sekali lagi dan memberi kami waktu untuk beristirahat. Ia mengatakan bahwa kami harus bersiap bahwa lewat tengah malam serangan yang datang akan lebih mengerikan.

Sekarang aku yakin, korek itu adalah benda pusaka yang bisa melindungi kami dari serangan ghaib. Namun entah korek itu bisa menyala hingga berapa lama.

Bu Sunar Pun meminta izin pada Paklek untuk membuat kopi minuman untuk kami sebagai persiapan agar tetap terjaga hingga pagi tiba. Akupun berinisiatif untuk menemaninya sementara Paklek akan terus berjaga di dalam kamar.

Suara sendok yang beradu dengan gelas terdengar tak beraturan, aku merasakan bahwa Bu Sunar masih gemetar menyaksikan apa yang terjadi pada anaknya itu.

“Tenang Bu, Widi pasti selamat,” ucapku mencoba menenangkan Bu Sunar sembari mengambil nampan dengan minuman dan teko yang telah siap.

“Iyo le.. Sebenarnya sekarang Ibu sudah ikhlas, Ibu serahkan Widi Pada Yang maha Kuasa.

Apakah Widi akan selamat atau akan menghadap Yang Maha Kuasa.” Ucap Bu Sunar sembari menahan air matanya.

Apa maksudnya ini? Mengapa tiba-tiba aku merasa Widi sedang di penghujung hayatnya. Bukankah kemarin-kemarin Widi masih baik-baik saja.

Saat akan kembali masuk ke kamar, kami pun terhenti sesaat. Suara gemerincing kaca gelas terdengar dari tanganku yang bergetar saat melihat sosok pocong-pocong yang tadi diluar kini sudah semakin mendekat dan mengelilingi kamar.

“Nggak usah takut Bu, anggap tidak lihat saja,” ucapku sembari terus mengulang ayat-ayat suci yang sedari tadi kami lantunkan di kamar.

Pocong-pocong itu tidak menyerang kami, namun mereka terus menatap kami dengan wajah mengerikanya dan mengikuti kami.

Sebagian dari mereka mendekat, wajahnya begitu dekat dengan bau busuk yang tercium oleh kami. Namun aku berusaha untuk tidak menoleh dan terus meminta Bu Sunar untuk melakukan hal serupa.

Kami Pun berhasil masuk kembali ke dalam kamar, dan sosok pocong-pocong itu tidak ada yang memasuki ruangan ini satupun.

“Pocong-pocong itu sudah sampai depan kamar, Paklek”

Aku mencoba menceritakan bagaimana situasi di luar kamar.

Paklek Pun mengangguk dan menyeruput kopi panas yang baru saja kami antarkan.

“Setelah ini jangan ada yang keluar kamar lagi,” Perintah Paklek.

Aku dan Bu Sunar saling bertatapan dan mempersiapkan mental kami.

“Kenapa tiba-tiba Widi bisa separah ini Paklek? Bukanya sebelumnya baik-baik saja?” Tanyaku penasaran.

“Nggak Cahyo, Luka-luka ini sudah ada di tubuh Widi sejak lama. Paklek yang mengobatinya, namun saat kambuh luka ini malah semakin parah,’ Jelas Bu Sunar.

“Kenapa Widi nggak pernah cerita?” Tanyaku.
“Matanya yang buta saja sudah membuat dia sulit bergaul, apalagi saat mengetahui kutukan ini. Widi hanya ingin merasakan bermain dengan normal,” Jelas Bu Sunar.

Sekarang aku sadar mengapa Paklek mengajakku untuk membantunya di kasus kali ini.

Hanya sejenak waktu yang kami gunakan untuk menyeruput minuman yang melegakan dahaga kami hingga Paklek menutup kembali korek apinya dan meminta kami terus melantunkan ayat-ayat suci.

Hujan semakin deras, kilatan terus menyambar. Sementara Widi terus berteriak kesakitan.

Paklek Pun meletakkan tanganya di kepala Widi sembari membacakan doa. Saat itu lonceng jam dinding tua Bu Sunar berbunyi dua belas kali menandakan malam telah mencapai puncaknya.

Seketika juga Widi terduduk dengan mata yang memutih. Mulutnya seolah ingin berteriak namun tak ada suara apapun yang keluar dari mulutnya selain teriakan kesakitan.

Namun lambat laun suara itu berubah menjadi kata-kata dengan suara yang berbeda dari suara Widi.

“Wanita Sundal! Kau senang kan kalau aku mati? Kau bebas dan bisa menikah dengan penjaga kebun Juragan itu!” Teriak Widi pada ibunya sendiri.

Wajah Bu Sunar terlihat pucat, ia sama sekali tidak menyangka kata-kata itu terucap dari mulut Widi.

“Nggak, Ibu nggak ada hubungan apa-apa dengan dia Widi!” Teriak Bu Sunar yang semakin meneteskan air mata.

“Jangan bohong! Semua orang sudah mengetahui kelakuan hinamu!” Widi terus mencecar ibunya. Paklek tidak tinggal diam dan kembali mencengkram kepala Widi.

“Jangan terpengaruh, itu bukan Widi,” Teriak Paklek.

Widi berteriak sejenak, namun teriakkan itu berubah menjadi tawa dan menatap ke arahku.
“Kau masih berani hidup setelah seluruh warga desa dan orang tuamu mati?” Ucap makhluk itu sembari menatap ke mataku.

Saat itu semua ingatan tentang bagaimana kedua orang tuaku mati teringat dengan jelas di kepalaku.

“Kalau kau masih hidup, berarti kau yang membunuh mereka semua!” Ucap sosok di dalam tubuh Widi.
Aku gemetar tak mampu lagi mengucap alunan ayat-ayat suci dari mulutku.

Makhluk itu pun tertawa kegirangan, namun Paklek tetap bertahan. Ia tak hentinya membacakan doa-doa sembari mencengkram kepala Widi.

“Dan kamu… menyelamatkan sebanyak apapun orang tidak akan mengubah kenyataan bahwa kau sudah membunuh anakmu sendiri,”

Makhluk itu berbicara sambil menoleh ke arah Paklek.

Akupun tertegun mendengar perkataan setan itu. Paklek terguncang, doanya hampir terhenti. Namun aku mengingat kembali semua kejadian di desaku dan memastikan bahwa semua yang dikatakan oleh setan itu adalah dusta.

Tepat saat Paklek terhenti dengan doa-doanya, setan itu mulai mencengkeram tangan Paklek.
Namun aku segera menyahutnya dengan ayat-ayat suci yang tadi sempat terputus.
Aku menutup mata tak peduli dengan apapun yang setan itu lakukan dan katakan.

Aku hanya terus mengulang ayat-ayat itu dan meresapinya. Suara teriakan Widi terdengar semakin dekat ke arahku, namun aku tidak peduli dan tidak berniat untuk membuka mataku.

Aku pasrahkan pada Tuhan akan apa yang terjadi padaku malam ini.

Tapi setelah beberapa saat, aku mulai mendengar suara Paklek kembali membacakan doanya dan suara Bu Sunar yang kembali membacakan ayat-ayat yang sama denganku.

“Bodoh!!! Kalian bodoh!!! Kalian hanya makhluk lemah!!”

Widi berteriak kesetanan dengan ekspresi kesakitan.

Aku membuka mataku saat mendengar Paklek mengeraskan doanya. Dan ketika tubuh Widi kaku, ia mengikat tangan Widi dengan sebuah kain. Widi Meronta…

Clang!!!

Sekali lagi korek pusaka Paklek terbuka. Paklek menatap wajah Widi melalui api yang menyala di korek itu.

ia menggenggam tangan yang terikat dan membakar kain itu dengan apinya.

"Kanthi kuwasane Sang Pencipta, geni iki bakal ngeculake kekuwatan ala ing awak iki"

(Dengan kuasa Yang Maha Pencipta, api ini akan melepas kuasa jahat pada tubuh ini) ucap Paklek sembari membakar ikatan kain itu.

“Aaaarrrrrgghhhh!!!”

Widi berteriak dengan keras berkali-kali. Paklek berusaha menahan tubuhnya agar tidak melukai diri sendiri, sampai akhirnya Widi terkulai lemas dan aku melihat sesuatu keluar dari tubuh Widi.

Ada tiga sosok hitam membentuk tubuh manusia dengan pakaian seragam pemain kuda lumping. Tubuhnya menyatu dengan kuda lumping yang seharusnya di dalam kuasanya. Tak hanya itu, leher mereka terikat oleh sosok hitam lainya.

Aku bisa memastikan, sosok itu bukan berbentuk manusia maupun binatang.

Makhluk itu masih terlihat tersiksa dengan semua doa-doa yang tak henti melantun dari tubuh kami.

“Kutinggalkan bocah itu, tapi tumbal yang lain tetap akan kuambil!”

Sosok itu menghilang seketika dari pandangan kami. Bersamaan dengan hujan mulai berhenti perlahan dan keadaan mulai tenang.

“Nak! Bangun nak!”

Bu Sunar segera menghampiri tubuh Widi. Aku juga mendekat penasaran dengan keadaanya.

Sayangnya tidak ada respon dari tubuh Widi, lukanya penuh nanah dan darah segar mengalir dari beberapa lukanya.

Bu Widi menangis sejadi-jadinya sementara aku terpatung tak tahu harus berbuat apa.

Tapi Paklek datang dengan mengambil air yang sebelumnya ia letakkan di bawah ranjang Widi. Ia memaksa meminumkan air itu melalui mulut Widi dan membiarkannya masuk ke tenggorokan.

“I—ibu?”

Widi tersadar, ia mencoba meraba mencari asal suara ibunya.

“Ibu di sini nak, ibu di sini..”

Aku tersenyum melihat pemandangan itu. tapi belum sempat mereka berpelukkan, Paklek meminta Bu Sunar menjauh dari anaknya. Ia mengalirkan sisa air di gelas itu pada luka-luka Widi dan ajaibnya luka itupun mengering seketika.

“Paklek, apa kita berhasil?” Tanyaku.

“Seharusnya begitu…” balas Paklek dengan wajahnya yang terlihat kelelahan.

Luka-luka Widi memang tidak segera pulih sepenuhnya, namun Paklek mengatakan bahwa luka itu akan pulih dalam beberapa seperti luka biasa dan tidak akan kambuh lagi.

Saat keadaan mulai tenang, aku berinisiatif membuka kamar dan tidak lagi mendapati sosok pocong yang mengelilingi rumah ini. Lampu rumah pun mulai menyala dengan sendirinya.

Saat inilah aku sadar bahwa keberadaan makhluk ghaib yang mengerikan bahkan bisa mempengaruhi keadaan di sekitar kita.

Kamipun terjaga hingga subuh sembari mencari beberapa benda ghaib yang mungkin terlewatkan oleh kami.
Namun sepertinya semua sudah bersih.

Akupun menanyakan kepada Paklek perihal sosok yang merasuki tubuh Widi.

“Kelompok Jaran Gupolo, itu adalah mereka. Mereka diperbudak oleh setan yang mereka manfaatkan sebelumnya,” jelas Paklek.

Rupanya yang kami hadapi bukan sekedar roh gentayangan atau roh pada umumnya.

Sosok yang kami hadapi adalah setan atau mungkin siluman yang mampu memperbudak manusia yang semasa hidup menyembahnya.

“Paklek, terus yang setan itu maksud tentang tumbal lainya itu apa?” Tanyaku.

Paklek menghela nafas, “Itu juga yang harus Paklek cari tahu. Sepertinya tugas Paklek belum selesai,”

Aku melihat Paklek berpikir keras. Ia sudah terlalu lelah malam ini, sepertinya aku tidak boleh menambah bebannya lagi.

Saat matahari terbit barulah kami bisa beristirahat dengan tenang di tikar yang sudah disediakan oleh Bu Sunar.

***

“Cahyo, Bangun!”

Cahaya matahari masuk melalui jendela ruang tamu dan menyorot tepat di wajahku. Suara Widi terdengar tak jauh dari telingaku.

“MMhh… sepuluh menit lagi,” balasku yang masih tak kuat menahan kantuk.

“Yowis, tak tunggu,” balas Widi.
Benar saja, tak lama kemudian Widi membangunkanku lagi.

“Sudah sepuluh menit, ayo bangun..:” Ucap Widi yang kini mulai menggoyangkan badanku.

Akupun tak punya alasan lagi untuk menunda kebangunanku. Rupanya matahari juga sudah cukup tinggi dan Paklek sudah tidak berada di tikarnya lagi.

“Kenapa to Wid? Habis capek semalem kamu tidur sampe siang juga nggak papa,” balasku pada Widi.

“Tolong aku mastiin sesuatu,” ucap Widi.

“Apa?”

Widi bercerita bahwa kemarin saat Paklek melakukan ritual penarikan untuk menemukan buhul atau rajah, ia melihat ada beberapa benda yang ikut muncul di belakang rumah.

“Bantu aku mastiin ke sana, ya!” Ajak Widi.

“Kebun jati?”

Widi mengangguk.

Aku cukup ragu, tapi hari masih siang sehingga tidak ada alasan untuk aku menolak permintaanya.

Widipun memintaku menuntun ke belakang rumah dan berjalan memasuki kebun jati.

Ia memberi petunjuk mengenai sepasang jati yang berdekatan dan setelahnya ada tanah yang cukup lapang tanpa ditanam jati.

Dengan mudah aku menemukan tempat itu dan mendapati ada benda tergeletak di sana.

“Seharusnya benda itu ada di sana,” ucap Widi.

Benar.. Widi tidak mengada-ada. Ada beberapa benda tergeletak di tanah tertutup dengan daun jati yang berguguran.

Aku dan Widi mendekatinya dan mencari tahu benda apa itu.

“Itu apa Cahyo?”

Aku mengambil benda itu dan memastikanya.

“Kuda lumping, cemeti, dan selendang..” Balasku. Benda-benda itu muncul di tempat ini. Tak hanya satu tapi ada beberapa. Samar-samar aku mengingat bahwa benda itu adalah benda yang mirip dengan yang pernah kulihat di ritual Turonggo Mayit.

“Kita bawa masuk dulu ya kita tanyakan ke Paklek,” ucapku.

Widi mengangguk setuju. Akupun segera menuntun Widi meninggalkan tempat itu menuju ke dalam rumah. Dalam langkahku aku terganggu.

Aku menoleh ke belakang sejenak dan samar-samar melihat kabut putih yang memperhatikanku dari belakang namun penglihatanku itu menghilang begitu saja.

Kami menunggu sesaat sampai Paklek kembali dengan membawa nasi bungkus untuk makan kami berempat.

Bu Sunar merasa tidak enak, tapi menurut Paklek kesembuhan Widi harus dirayakan.

Kamipun menikmati makanan itu dengan begitu lahap. Awalnya Widi makan dengan berhati-hati namun semakin lama ia meletakkan sendoknya dan memakan nasi itu dengan tangannya.

Tenaganya sudah benar-benar pulih.

“Enak le?” Tanya Bu Sunar.

“Enak Buk, sudah lama nggak makan seenak ini,” ucap Widi yang sepertinya sudah cukup lama tidak bisa menikmati makanan dengan keadaanya.

Aku dan Pak Lek Pun tersenyum melihat pemandangan itu.

Setelah selesai makan, aku menceritakan tentang benda yang kami temukan di hutan jati kepada Paklek. Ia segera memeriksa benda itu dan tidak menemukan keanehan.

“Walaupun ini muncul dari alam yang pernah Cahyo datangi, tetap saja benda ini adalah benda biasa,” ucap Paklek.

“Nggak ada yang aneh-aneh dari benda ini Paklek? Nggak harus dibakar?” Tanyaku.
“Nggak usah,” jawab Paklek dengan mantap.

Widi Pun memutuskan untuk menyimpan benda itu. Entah mengapa ia merasa benda itu mengingatkan dirinya akan keberadaan ayahnya dan Paklek Pun mengizinkan.

Tanpa kami sadari, langit kembali menyambut petang. Aku dan Pak Lek berniat untuk kembali pulang setelah mandi membersihkan diri. Namun saat tengah bersiap kami mendengar suara yang cukup aneh.

Suara itu berasal dari arah tengah desa.

“Ada hajatan?” Tanya Widi dengan wajah bingung.

“Ndak tahu, coba ibu cari tahu..” balas Bu Sunar yang segera keluar dan mengenakan sandalnya.
Akupun mendengar suara itu. Itu seperti suara terompet dan musik jatilan yang menggema dari desa.

Cukup lama berselang Bu Sunar tidak segera kembali. Aku, Paklek,dan Widi memutuskan untuk menyusul keluar melihat keadaan di luar. Dan yang kami dapati, Bu Sunar terpaku menatap kondisi desa.

Saat ini, Desa Jumon sedang tertutup kabut tebal. Padahal maghrib baru saja berlalu dan petang belum sepenuhnya tiba.

“Belum pernah ada kabut seperti ini di desa ini” Ucap Bu Sunar.

Paklek mendekat ke arah kabut itu dan segera melompat kembali ke belakang ke arah kami.

“Semua terasa jauh saat kita memasuki kabut itu, kita pergi dari sini!” Perintah Paklek.

Kami segera beranjak pergi namun anehnya Widi menolak untuk mengikuti kami.

“Widi! Ayo kembali! Bahaya!” Teriakku.

Widi tidak menggubris dan terpaku di hadapan kabut itu.

“Dia ada di sana…” Ucap Widi tiba-tiba. Paklek dan Bu Sunar berhenti dan menghampiri Widi.

“Dia siapa?” Tanya Paklek.

“Setan yang mengambil penglihatanku. Sekarang ia tengah ada di desa di tengah kabut ini. Ia sedang bersiap menonton sesuatu,” jelas Widi.

“Menonton?” Tanya Paklek.
Wajah Widi kali ini berubah takut dan cemas, sepertinya ia melihat sesuatu yang tidak biasa.

“Ada pementasan, ada beberapa orang yang bersiap menari kuda lumping dengan serombongan warga desa mengelilingi menontonya, mereka tidak sadar,” Jelas Widi.

Mendengar ucapan itu Paklek menjadi cemas. Ia mengambil posisi duduk bersila sembari membacakan sebuah mantra.

“Panjul, jagain Paklek dulu..” Perintahnya tiba-tiba.

Aku tidak mengerti dan hanya mendekat ke arah Paklek. Paklek hanya berdiam tanpa gerakan dalam tubuh bersila.

Namun saat mantranya selesai tiba-tiba aku melihat ada sesuatu seperti bayangan putih yang meninggalkan tubuh Paklek.

Tunggu.. aku seperti mengenal sosok itu?

“Cahyo, Paklek kenapa?” Tanya Bu Sunar.

“Nggak, nggak papa kok Bu.. tenang saja. Percayain sama Paklek,” balasku seadanya, masalahnya aku sendiri tidak mengetahui apa yang tengah Paklek lakukan.

Tapi setelah beberapa saat, tiba-tiba aku melihat bayangan putih itu kembali merasuk dalam tubuh Paklek.

Ia Pun segera berdiri dengan wajah cemas. “Ini yang mereka maksud! tidak Cuma Widi, mereka juga mengincar warga desa untuk menjadi tumbal mereka..” ucap Paklek.

“Siapa Paklek? Ngomongnya yang jelas..” balasku.

“Kelompok Jaran Gupolo!”

“Setan yang tadi?”

“Bukan, mereka anggota yang tersisa. Mereka harus mencari tumbal pengganti agar bisa terus hidup dan tidak diperbudak oleh setan yang mereka sembah,” jelas Paklek.

Ucapan Paklek jelas saja membuat kami semua cemas.

Paklek Pun segera meminta kami kembali ke rumah secepat mungkin untuk mencari tempat yang aman.
Namun di tengah jalan aku teringat hal penting.

Ternyata bayangan putih yang keluar dari tubuh Paklek tadi, mirip dengan sosok yang menyuruhku membersihkan kamar mandi setiap subuh.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

Terima kasih sudah mengikuti kisah ini. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.
close