Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUAMI (Part 5)

"Baiklah, saya akan berikan apa yang kamu minta. Tapi kasih saya waktu." Jawab Marlina.

"Nggak masalah. Saya kasih waktu seminggu. Tapi saya masih punya satu permintaan lagi." Sahut Bidin.

"Hah? Apalagi? Kamu jangan main-main ya?!" Jawab Marlina sengit melihat sikap oportunis Bidin yang menjengkelkan.

Bidin tak langsung menjawab. Sejenak dia tersenyum sambil mengelus-elus dagunya seraya memandangi wajah dan tubuh Marlina.

"Saya mau ibu tidur dengan saya."


SUAMI (Bagian 5)

Malam harinya, Marlina tengah bersiap untuk pergi menuju rumah calon tumbalnya. Letaknya lumayan jauh, tapi mau bagaimana lagi? Hanya itu yang saat ini bisa dia dapatkan.

Karena letaknya yang cukup jauh, Marlina terpaksa meminta Bidin untuk mengantarnya dengan mobil. Tentu saja dengan alasan yang lain. Marlina sengaja berbohong dengan bilang kalau dia akan mengunjungi rumah temannya.

Sesampainya di tempat tujuan, Marlina sengaja minta Bidin untuk berhenti dan menunggu cukup jauh dari rumah sang korban.

"Kamu tunggu di sini. Jangan keluar dari mobil sampai saya datang." Ucap Marlina mewanti-wanti.

Bidin mengangguk patuh. Padahal dalam hati dia bingung, kenapa harus berhenti dan menunggu di tempat sepi begini? Aneh.

Marlina bergegas keluar dari dalam mobil lalu cepat-cepat melangkah menyusuri jalan lengang. Situasi yang sepi justru membuat hatinya tenang. Matanya terus jelalatan demi memastikan kalau tak ada seorang pun yang melihatnya.

Lumayan jauh dia berjalan. Hingga akhirnya dia sampai di depan rumah calon korbannya itu. Sayup terdengar suara tangisan bayi dari dalam sana. Marlina pun tersenyum senang karena merasa ada di tempat yang benar.

Segera dia ambil telur itu dari dalam tasnya. Dia sempat bingung hendak meletakkannya dimana. Dia pun tak mungkin menguburnya karena halaman rumah itu seluruhnya ditutupi lantai keramik.

Akhirnya dia putuskan untuk menaruhnya di balik sebuah pot tanaman hias berukuran lumayan besar. Rumah type cluster yang tanpa pagar itu jadi sedikit mempermudah aksinya.

Setelah yakin kalau telur itu benar-benar tersembunyi, Marlina ingin segera pergi. Tapi baru saja dia berbalik badan, tiba-tiba Bidin sudah berdiri di belakangnya.

"Astaga! Kamu mau apa? Kan tadi saya bilang kamu tunggu saja di mobil!" Ucap Marlina yang marah namun hanya bisa berbisik karena takut membuat gaduh.

"Maaf bu, ini hp ibu ketinggalan. Takutnya ibu butuh. Makanya tadi langsung saya susul kemari." Jawab Bidin sambil menyodorkan ponsel Marlina.

"Ya sudah, kita pulang saja." Ujar Marlina sambil meraih ponselnya lalu melangkah pergi terburu-buru. Bidin pun jadi bingung sambil mengikuti langkah Majikannya dari belakang.

"Kok cepet banget bu?"

"Nggak jadi. Teman saya sudah tidur." Jawab Marlina sekenanya.

Bidin terdiam. Dia sama sekali tak mengerti dengan tingkah Majikannya yang membingungkan.

Dia pun masih heran ketika tadi sempat melihat majikannya itu mengendap-endap di depan rumah yang katanya rumah temannya itu. Sudah jauh-jauh datang, belum sempat masuk kenapa malah minta pulang?

***

Tapi sejak saat itu, sikap Bidin mendadak berubah. Dia yang awalnya banyak omong tiba-tiba jadi pendiam. Lelaki itu pun bersikap amat hati-hati baik tingkah laku maupun tutur katanya.

Awalnya semua itu sempat menjadi perhatian Marlina. Tapi kemudian Marlina mengabaikannya. Dia pikir sopirnya itu mungkin sedang ada masalah, dan dia tak mau ikut campur.

Hingga pada suatu hari, Bidin mendatanginya dengan mimik wajah yang serius.

"Maaf bu, ada yang mau saya bicarakan." Ucap lelaki kurus berkulit hitam itu.

"Mau bicara apa? Dari tampang kamu, sepertinya ada yang serius?" Jawab Marlina.

Sejenak Bidin diam sambil celingak-celinguk. Marlina jadi heran melihat tingkah Bidin.

Tapi rasa heran Marlina seketika pupus saat Bidin berkata lirih, namun mampu membuatnya kaget bagai mendengar suara sambaran petir..

"Saya tau ibu melakukan pesugihan."

Wajah Marlina langsung pucat seputih kapas. Tubuhnya jadi lemas. Tapi dia berusaha menguasai diri dan langsung menghardik Bidin demi menutupi kegugupannya.

"Heh! Kamu jangan asal bicara ya! Kurang ajar sekali kamu! Berani-beraninya kamu menuduh saya seperti itu!"

Tapi bukannya ciut, Bidin malah tersenyum sinis lalu menjawab tak kalah sengit.

"Nggak ada gunanya ibu mengelak. Saya sudah pelajari semuanya. Mulai dari kulit telur yang ditemukan istri saya, sampai ibu yang malam itu minta diantar ke rumah teman ibu."

"Tadinya saya masih ragu, tapi jadi yakin setelah tau kalau besoknya ada bayi yang meninggal di rumah itu akibat digigit ular. Bayi Itu tumbalnya kan?"

Marlina kembali terhenyak. Dia sama sekali tak menyangka kalau Bidin mampu menganalisa dengan cermat. Dia jadi menyesal karena sudah bertindak ceroboh. Kini dia tak tau harus menjawab apa. Lalu Bidin kembali bicara demi menguatkan tuduhannya.

"Jujur saja, sejak awal saya sudah curiga. Ibu seperti tak pernah kehabisan uang, padahal ibu cuma punya satu toko mungil yang sepi pembeli. Tadinya saya pikir ibu ini wanita simpanan pejabat, tapi dari semua petunjuk yang saya dapat, ternyata ibu lebih dari sekedar itu."

"Lalu istri saya juga cerita, kalau dia pernah melihat ada ular yang merayap keluar dari dalam kamar ibu, padahal waktu itu kamarnya terkunci. Tadinya dia mau langsung cerita sama ibu, tapi sengaja saya larang."

Marlina membisu. Setelah sekian lama, akhirnya kedoknya terbongkar. Namun dia tak mengira kalau Bidin yang mampu melakukannya.

Bukan apa-apa, lelaki itu nampak biasa saja, bahkan terkesan lugu. Namun siapa sangka, ternyata dia seorang lelaki yang cukup cerdas.

Tapi Marlina tak mau kalah gertak. Setengah mati dia terus mengelak bahkan mengancam akan memecat Bidin.

"Terserah kamu mau ngomong apa. Mulai sekarang, kamu dan istri kamu saya pecat!"

Tapi bukannya takut, Bidin malah tunjukkan sikap menantang.

"Oh begitu? Silahkan saja. Tapi asal ibu tau, saya akan ceritakan semua ini pada orang-orang. Kita lihat saja nanti apa jadinya. Kecuali kalau ibu mau turuti permintaan saya."

Marlina langsung terdiam. Situasinya kini malah berbalik. Sekarang justru nyalinya yang ciut. Akhirnya dia coba melunak demi meredam situasi.

"Apa mau kamu?" Tanya Marlina ketus.

Bidin langsung sunggingkan senyum kemenangan. Dia paham kalau kini dia ada di atas angin.

"Ibu tenang saja. Tanpa dipecat pun saya dan istri saya memang akan berhenti kerja. Kami juga nggak mau kalau suatu hari nanti kami ikut jadi tumbalnya. Tapi saya minta uang tutup mulut."

"Berapa?" Tanya Marlina cepat. Dia sudah menduga kalau Bidin akan meminta uang. Memangnya apa lagi?

Bidin kembali tersenyum. Situasi kini berjalan sesuai harapannya. Dia pun sebutkan besaran uang yang jumlahnya sudah dia pikirkan sejak jauh hari.

"Satu milyar."

Mata Marlina langsung mendelik lalu spontan mencibir. "Hah? Gila kamu! Enak saja! Kamu mau peras saya?!"

Tapi Bidin malah tertawa dan menanggapinya dengan santai.

"Ayo lah bu. Dari gaya hidup ibu sehari-hari, saya rasa uang sebesar itu tak ada artinya bagi ibu. Tapi yang jelas, itu akan sangat berarti buat saya."

Marlina kembali diam. Dia ada dalam posisi tersudut. Bidin benar, uang sebesar itu baginya memang tak seberapa. Saldo tabungannya jauh lebih besar daripada itu.

Tapi Marlina khawatir, kalau sekali dituruti, dia takut kalau nanti Bidin akan kembali minta uang dan menjadikannya sapi perahan. Dan dia tak mau hal itu sampai terjadi. Tapi untuk saat ini, dia tak punya pilihan lain.

"Kalau aku bisa kasih uangnya, kamu janji akan tutup mulut?"

"Oh sudah pasti. Ibu tenang saja. Rahasia ibu aman sama saya." Jawab Bidin sambil menunjukkan gestur menyegel mulut.

"Baiklah. Saya akan segera berikan uangnya. Tapi kasih saya waktu. Uang sebesar itu bukannya jatuh dari langit." Ucap Marlina.

"Nggak masalah. Saya kasih waktu seminggu. Tapi saya masih punya satu permintaan lagi." Sahut Bidin.

"Hah? Apalagi? Kamu jangan main-main ya?!" Jawab Marlina mendelik marah.

"Tenang bu, ibu jangan marah. Kalau ibu nggak mau ya nggak apa-apa. Tapi siap-siap saja, sepulang dari sini saya akan langsung ceritakan semuanya pada orang-orang, termasuk orang tua dari bayi yang sudah ibu tumbalkan. Gimana?"

"Sudah! Jangan banyak omong kamu! Memangnya kamu mau minta apalagi?" Ucap Marlina kini dengan emosi meledak-ledak melihat sikap oportunis Bidin yang menjengkelkan.

Bidin tak langsung menjawab. Sejenak dia tersenyum sambil mengelus-elus dagunya seraya memandangi wajah dan tubuh Marlina.

"Saya mau ibu tidur dengan saya."

Marlina terperangah spontan melongo! Dia benar-benar tak menyangka kalau Bidin akan berani meminta hal semacam itu.

"Heh! Bangsat kamu ya! Kurang ajar sekali kamu!" Hardik Marlina sambil menunjuk-nunjuk dengan napas terengah-engah menahan emosi yang memuncak sampai ke ubun-ubun.

Tapi memang harus diakui, Marlina memiliki wajah cantik oriental dengan kulit putih mulus dan tubuh yang padat berisi.

Apalagi sejak dia punya banyak uang. Dia rutin pergi ke salon kecantikan demi merawat wajah dan kulitnya hingga memanjakan mata setiap lelaki yang memandangnya.

"Terserah. Kalau ibu menolak ya nggak apa-apa. Tapi ibu tau kan resikonya?" Jawab Bidin kembali mengancam.

Marlina langsung terduduk menangis. Dia benar-benar ada dalam titik terendah. Dia tak menyangka kalau orang yang dia pekerjakan kini malah menikamnya dari belakang.

Demi melihat hal itu, Bidin sama sekali tak mengiba. Dia yakin kalau dia akan dapatkan apa yang dia mau. Akhirnya dia pun pamit.

"Saya pamit dulu. Saya tunggu jawaban ibu secepatnya. Saya harap ibu bisa ambil keputusan bijak. Semua ini demi kebaikan ibu."

"Anjing kamu! Pergi kamu sana!" Balas Marlina kasar karena sudah tak mampu lagi menahan emosi.

Bidin tak menanggapi. Lelaki itu pun berbalik pergi sambil bersiul-siul. Sudah terbayang segala kesenangan yang akan diraihnya satu minggu ke depan.

Uang dan tubuh seksi dari majikannya sendiri. Luar biasa!

***

Sejak hari itu, Bidin dan Parti tak pernah terlihat lagi. Bidin benar-benar menepati ucapannya dengan berhenti bekerja.

Lagi pula untuk apa susah-susah kerja? Paling lama seminggu lagi dia dan istrinya akan jadi orang kaya. Sungguh satu euforia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Apalagi Bidin akan mendapatkan sebuah 'bonus' yang rasanya saja tak mampu dia bayangkan. Oh Marlina, siapa sangka wanita kelas atas itu akan jatuh dalam pelukannya.

Lain halnya dengan Marlina. Selama beberapa hari, dia merenung di dalam kamarnya. Pikirannya kalut, ruwet, kusut.

Dia bukan mengkhawatirkan uangnya. Tapi dia tak mampu membayangkan saat tangan Bidin yang kurus dan hitam penuh urat menonjol itu menggerayangi dan menjamah tubuhnya. Sungguh menjijikkan.

Tadinya dia sempat punya pikiran untuk membayar orang suruhan demi melenyapkan nyawa Bidin. Tapi langsung dia buang jauh-jauh pikiran gila itu.

Selain dia tak tau dimana harus mencari orang yang mau melakukannya, bayangan jeruji besi andai kata semua itu benar terjadi lalu ketahuan polisi, sungguh membuat dirinya jadi berpikir ulang.

Hingga tiba malam terakhir. Marlina makin gelisah dalam kamarnya. Kenapa jadi begini? Apa yang harus dia lakukan?

Sementara di tempat lain, di dalam kamarnya, Bidin juga tak bisa tidur. Dia berbaring di atas ranjang dengan mata menerawang jauh membayangkan semua kesenangan yang akan dia dapatkan.

"Kamu belum tidur bang?" Tanya Parti yang terbangun di samping suaminya.

"Belum ngantuk." Jawab Bidin singkat tanpa menoleh.

"Kenapa? Nggak sabar ya mau pegang uang satu milyar? Hihihi..." Sahut Parti sambil cekikikan.

Bidin pun tersenyum kecil. Tapi dalam hatinya dia terbahak-bahak karena istrinya sama sekali tak tau kalau bukan hanya uang yang akan dia dapatkan.

Bosan di kamar, Bidin pun keluar kamar lalu duduk merokok di teras rumah. Pikirannya kembali menerawang. Sebentar lagi semuanya akan berubah. Dia sudah tak sabar untuk pindah dari rumahnya yang busuk ini.

Sudah habis satu batang, dia ingin membakar sebatang rokok lagi sebelum akhirnya dia mendengar suara erangan tertahan dari dalam sana.

Hekkkhhh... Hekkkhhh...

Suara apa itu? Sejenak Bidin diam pasang telinga. Lalu terdengar suara benda keras yang bergemeretak membuat ngilu..

Krekk... Krekk...

Suara apa lagi itu? Suaranya mirip botol plastik kosong yang diremas-remas. Bidin yang penasaran akhirnya bergegas menuju kamarnya demi memastikan apa yang tadi dia dengar.

Tapi begitu dia menyibak tirai kumal yang menutupi pintu kamarnya, matanya langsung terbelalak menyaksikan pemandangan mengerikan yang terpampang di dalam sana!

Astaga!

Ada seekor ular raksasa yang sedang melilit tubuh Parti yang nampak megap-megap kehabisan napas!

Suara gemeretak tadi rupanya berasal dari tulang Parti yang remuk akibat lilitan ular raksasa itu!

PARTIIIII !!

Bidin memekik memanggil nama istrinya. Tapi percuma. Istrinya tak lagi mampu menjawab. Wanita itu telah tewas dengan mata mendelik dan tubuh yang remuk!

Bidin jelas tak berani mendekat. Cari mati itu namanya. Dia pun segera lari dari tempat itu. Tapi baru beberapa langkah..

AAAAAH !

Bidin menjerit kesakitan dan langsung jatuh terjerembab. Dia pun kaget ketika melihat ada 4 ekor ular yang mematuk dan menempel di kedua betis kakinya!

Bidin langsung menendang-nendang berharap gerakannya itu mampu membuat pagutan ular-ular itu terlepas.

Tapi sayang, semua itu hanyalah sia-sia. Tak butuh waktu lama, lelaki itu langsung kejang-kejang dengan tubuh menghitam serta mulut yang mengeluarkan busa!

***

Marlina menghela napas. Sudah tiba waktunya. Dia masih tak percaya kalau hari ini dia harus merelakan uang dan tubuhnya untuk dinikmati Bidin.

Sudah seminggu pikirannya kusut. Dia telah memikirkan berbagai macam cara agar bisa lepas dari jeratan Bidin. Tapi pikirannya buntu. Akhirnya dia cuma bisa pasrah sambil berharap kelak dia akan dapatkan jalan keluarnya.

"Gimana sih? Kok malah nggak bisa dihubungi?" Batin Marlina kesal. Sejak tadi sudah berkali-kali dia coba menghubungi Bidin, tapi tak tersambung. Menelpon Parti pun sama saja. Sama sekali tak ada respon.

"Masa aku harus ke rumahnya?" Gerutu Marlina dalam hati. Tapi mau bagaimana lagi? Dia tak punya pilihan lain.

Dengan malas, akhirnya Marlina pergi untuk menemui Bidin di rumahnya. Sepanjang jalan hatinya gundah. Dia masih coba memikirkan apakah ada cara lain agar semua ini bisa digagalkan.

Tapi ketika Marlina sampai di daerah dekat rumah Bidin, dia jadi kaget saat melihat ada bendera kuning yang bertuliskan nama Abidin dan Sri Suparti yang terpasang di salah satu tiang listrik.

Astaga! Apa jangan-jangan...

Marlina pun mempercepat langkahnya dengan dada yang jadi berdebar-debar. Rasa penasaran, takut dan senang seolah jadi satu berjejal memenuhi benaknya.

Hingga akhirnya langkahnya terhenti tak jauh dari rumah Bidin. Dari situ sejenak Marlina berdiri sambil memperhatikan rumah Bidin yang nampak ramai dengan orang-orang yang duduk-duduk di depan rumah dinaungi terpal plastik.

Lalu ada seorang pelayat yang kebetulan lewat di dekatnya. Marlina pun langsung bertanya.

"Maaf bu, siapa yang meninggal?"

"Pak Bidin dan bu Parti." Jawab wanita pelayat itu.

Marlina hampir saja melonjak girang. Lalu dia kembali bertanya sekedar untuk memastikan.

"Pak Bidin dan bu Parti yang kerja jadi supir dan pembantu itu?" Tanya Marlina sengaja bersiasat. Dia yakin kalau wanita ini tak mengenalinya sebagai majikan Bidin dan Parti.

"Iya betul. Tapi kabarnya sudah seminggu mereka berhenti. Nggak kuat katanya. Majikannya pelit."

"Eh?"

Marlina sedikit kaget. Bisa-bisanya mereka mengarang cerita seperti itu! Sialan!

"Kalau boleh tau, meninggalnya kenapa ya bu? Kok bisa barengan gitu?" Tanya Marlina lagi. Jujur saja, dia penasaran.

Tanpa diminta, wanita pelayat itu mendekatkan wajahnya ke telinga Marlina lalu berbisik lirih layaknya ibu-ibu yang sedang bergosip.

"Mereka matinya aneh. Asal ibu tau, pak Bidin ditemukan tewas dengan tubuh menghitam dan mulut berbusa. Tapi itu belum seberapa. Bu Parti lebih tragis lagi. Dia tewas dengan tubuh yang remuk!"

Marlina terperangah! Dia masih belum percaya dengan apa yang didengarnya. Tapi kemudian dia yakin kalau semua itu adalah perbuatan dari sang siluman alias suami gaibnya.

"Ya sudah bu. Makasih ya infonya." Ucap Marlina yang dibalas senyuman oleh wanita itu lalu melangkah pergi.

Tanpa menunggu lama, Marlina pun segera pergi meninggalkan tempat itu. Lega sekali rasanya. Beban berat yang menghimpitnya seolah hilang tak tersisa.

Sepanjang langkahnya pulang sesekali dia tertawa. Mampus kalian! Begitu batinnya berkali-kali mengutuk senang.

Hingga tiba di rumah, Marlina langsung hempaskan dirinya di sofa empuk sambil menghela napas lega.

"Aaaah...."

Tapi kemudian Marlina merasa kakinya tergelitik. Dia sempat memekik kaget, namun langsung tersenyum begitu melihat 4 ekor ular bersisik kehijauan yang seolah berebut untuk melingkari kedua kakinya.

"Hai anak-anakku, apa kabar? Mama sayang sama kalian." Ucap Marlina girang.

Andai saja saat ini anak-anaknya itu hadir dalam wujud anak kecil yang lucu-lucu, ingin rasanya dia memeluk dan menciumi mereka satu-persatu.

"Ma? Mama ngomong sama siapa?"

Marlina kaget sedikit gelagapan melihat Sinta yang tiba-tiba saja sudah berdiri di dekatnya. Marlina pun langsung melirik ke arah kakinya dan jadi lega karena ular-ular itu ternyata telah menghilang.

"Nggak. Nggak ngomong sama siapa-siapa. Mama cuma lagi nyanyi-nyanyi aja."

"Nyanyi? Tumben. Tapi ngomong-ngomong, kapan mama cari sopir baru? Ribet kalau harus pulang-pergi sekolah naik angkot terus."

"Iya kamu sabar dulu. Nanti pasti mama cariin."

"Trus pembantunya jangan lupa dicari juga. Sinta nggak mau terus-terusan bersih-bersih rumah. Capek ma." Rengek Sinta lagi.

"Iyaaaa... Cerewet banget sih kamu! Ya sudah sana, makan dulu. Tadi mama sudah beliin bakmi kesukaaan kamu."

Sinta pun berbalik pergi meninggalkan Marlina yang masih duduk sambil bersandar nyaman di sofa empuknya.

Minggu yang menegangkan telah berakhir. Meski hasil akhirnya sungguh tak disangka-sangka, namun Marlina tak keberatan. Yang penting sekarang tak ada lagi yang perlu dia khawatirkan.

"Tumbal sudah. Melayani siluman itu juga sudah. Apa lagi? Aku malas kalau harus buru-buru cari sopir dan pembantu. Kalau sampai salah pilih, bisa-bisa jadi masalah lagi." Begitu benak Marlina coba menasehati diri sendiri.

Lantas dia teringat akan sosok mak Enok. Wanita tua itu belum sempat dia berikan imbalan. Ah kenapa bisa sampai lupa? Padahal ini sudah menginjak tahun kedua.

Dia pun berniat untuk menunaikannya karena tak ingin di cap sebagai orang yang tak tau berterima kasih.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close