Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUAMI (Part 6)

"M-mmaak... Aku nggak kuat mak.." Terdengar kembali suara wanita itu dengan nada lirih yang memelas.

"Sudah, kamu berbaring saja, jangan banyak bicara." Ujar Mak Enok sembari membenarkan kain yang menutupi tubuh wanita itu yang sedikit melorot.

Hati Marlina berontak minta jawaban. Suara wanita itu benar-benar mengingatkannya pada seseorang.

Marlina beranikan diri menghampiri mak Enok hingga akhirnya berdiri di sampingnya dan langsung memekik!

YA TUHAN!


SUAMI (Bagian 6)

Untuk mengunjungi mak Enok, Marlina berniat mengajak Ningsih. Dia rindu pada sahabatnya itu. Sudah beberapa bulan mereka tak saling berkabar karena kesibukannya masing-masing.

Tapi entah kenapa Ningsih malah tak bisa dihubungi. Hal itu sempat membuat Marlina berniat untuk mengunjungi rumah Ningsih. Toh dia sudah punya alamatnya. Mungkin malah jadi sebuah kejutan kalau dia tiba-tiba datang, Ningsih pasti senang.

Namun Marlina jadi ragu, bagaimana kalau Ningsih tak ada di rumah? Karena Ningsih pernah cerita, kalau dia sering plesir ke tempat-tempat eksotis yang ada di penjuru negeri ini. Mungkin saja di sana tak ada sinyal.

Akhirnya Marlina putuskan untuk pergi mengunjungi mak Enok seorang diri. Meskipun jauh, tapi dia masih ingat tempatnya.

Berangkat sejak pagi, Marlina berkendara sendirian menuju rumah mak Enok. Uang tunai 100 juta telah siap dan terbungkus rapi dalam sebuah tas di jok belakang mobilnya.

Setelah seharian menempuh perjalanan dan sempat beberapa kali salah jalan, Marlina akhirnya tiba di tempat tujuan menjelang malam.

Usai memarkir mobilnya di halaman rumah mak Enok yang cukup luas, kini Marlina telah berdiri di depan pintu rumah dengan menjinjing tas berisi uang.

"Mak.. Mak Enok... Mak.."

Marlina memanggil sambil mengetuk pintu. Namun tak ada jawaban. Marlina jadi bimbang, apa jangan-jangan mak Enok tak ada di rumah?

Namun cuping hidungnya langsung berkerut begitu mencium bau bakaran dupa yang amat dia kenali. Apa jangan-jangan mak Enok sedang melakukan ritual?

Mungkin saat ini ada orang lain yang sedang melaksanakan ritual yang dulu pernah dia jalani, dan dia tak ingin kedatangannya malah jadi mengganggu.

Akhirnya Marlina memutuskan untuk menunggu. Lagipula dia tak punya pilihan lain. Ini sudah malam, dia tak mungkin pulang lagi. Dia takut kalau terjadi apa-apa di jalan sedangkan dia hanya sendiri.

Marlina ingin menunggu di dalam mobilnya sambil duduk santai mendengarkan lagu-lagu kesukaannya. Tapi belum apa-apa, sayup terdengar suara langkah kaki dari dalam sana yang datang mendekati pintu.

Klek..

Pintu pun terbuka. Muncul mak Enok yang langsung memicingkan mata tuanya demi bisa mengenali wajah Marlina yang berdiri dalam gelap.

"Siapa?"

"Marlina mak."

Dahi mak Enok berkerut coba mengingat-ingat. "Marlina? Oh iya, kamu ya. Ada perlu apa?"

Marlina tak langsung menjawab. Dia tak tau bagaimana cara mengatakannya. Dia tak bisa begitu saja serahkan uang lalu pergi karena takut dianggap tak sopan.

Akhirnya dia coba cari alasan lain sekedar untuk basa-basi.

"Cuma mau silaturahmi mak."

"Hmm, begitu? Ayo masuk."

Marlina pun menurut. Dia langsung masuk ke dalam rumah dimana bau dupa kian tajam menusuk hidungnya.

Di dalam ruangan, Marlina menyadari kalau ternyata dia tak sendiri. Di balik kepulan asap bakaran dupa, nampak ada seseorang yang berbaring di atas dipan kayu di sudut ruangan. Dipan yang sama saat dia melakukan ritualnya dulu.

Sepertinya seorang wanita. Dia berbaring diselimuti kain batik sebatas leher. Wajahnya tak terlihat karena tertutupi asap tipis dupa yang mengepul.

Tapi Marlina yakin wanita itu sedang menjalani ritual. Dia jadi merasa tak enak. Dia pun ucapkan permintaan maaf pada mak Enok.

"Maaf mak, saya nggak maksud ganggu. Kalau memang emak sedang sibuk, lebih baik saya pergi saja."

Mak Enok menggeleng. Sejenak lempar pandangan ke arah wanita yang berbaring di dipan itu, lalu kembali memandang wajah Marlina sambil tersenyum.

"Emak memang sedang melakukan sesuatu. Tapi ini hal yang lain, bukan ritual seperti yang pernah kamu lakukan. Tapi nggak apa-apa. Bisa dilanjut nanti. Itu kamu bawa apa?"

"Ini mak, saya sengaja datang untuk memberikan sesuatu untuk emak, mohon diterima." Jawab Marlina sambil menyodorkan tasnya.

"Ini apa?"

Mak Enok menerima tas itu lantas membukanya. Dia pun langsung terkekeh begitu melihat tumpukan uang yang ada di dalamnya.

"Hehehe... Uang? Untuk apa? Orang setua emak sudah tak butuh uang."

Marlina tersenyum. Dia yakin mak Enok hanya bercanda. Siapa yang tak butuh uang? Hanya orang mati saja yang sudah tak membutuhkannya.

"Nggak apa-apa mak. Simpan saja. Siapa tau nanti emak perlu."

Mak Enok tersenyum lalu kembali menutup tas itu kemudian meletakkannya persis di sampingnya. "Ya sudah. Terima kasih."

Marlina mengangguk sambil tersenyum. Hatinya lega, niatnya sudah terlaksana. Tapi sekarang dia jadi bingung sendiri.

Urusannya sudah selesai, namun dia tak berani pulang malam-malam begini, dan dia sungkan meminta ijin untuk menginap pada mak Enok.

"M-mmaak... Maak..."

Mendadak terdengar suara lirih dari wanita yang berbaring di atas dipan. Marlina kernyitkan dahi. Dia seperti mengenali suara itu. Tapi dia belum sepenuhnya yakin.

Marlina langsung menatap mata mak Enok seolah minta penjelasan. Namun mak Enok tak berucap sepatah kata pun.

Wanita tua itu malah langsung bangkit dan melangkah mendekati dipan lalu berdiri persis di sampingnya.

"M--mmaak... Aku nggak kuat mak.." Terdengar kembali suara wanita itu dengan nada yang memelas.

"Sudah. Kamu berbaring saja. Jangan banyak bicara." Ujar Mak Enok menimpali sambil membenarkan kain yang menutupi tubuh wanita itu yang sedikit melorot.

Hati Marlina berontak minta jawaban. Suara wanita itu benar-benar mengingatkannya pada seseorang.

Akhirnya dia beranikan diri mendekat tanpa minta ijin pada mak Enok. Tapi sepertinya wanita tua itu tak keberatan.

Mak Enok biarkan Marlina menghampirinya hingga akhirnya berdiri di sampingnya dan langsung memekik...

"NINGSIH ???"

Mata Marlina terbelalak seakan tak percaya!

Di hadapannya, ada Ningsih yang terbaring dengan kondisi mengenaskan hingga nyaris tak dikenali.

Wajahnya cekung dengan tulang pipi yang menonjol. Bola matanya seakan membesar dengan lingkaran hitam di sekelilingnya. Rambutnya garing riap-riapan. Tubuhnya kurus kering menyisakan kulit pembalut tulang.

***

"Li-na... Mar-li-na..."

Ningsih memanggil lirih terbata-bata. Tangannya coba menggapai, namun gerakannya yang lemah hanya mampu membuat tangannya terangkat sedikit lalu kembali terkulai.

"MAK? NINGSIH KENAPA?"

Marlina histeris sambil pandangi tubuh Ningsih yang kini tak ubahnya bagai tengkorak hidup.

Mak Enok menyeringai. Raut wajahnya menyimpan sejuta misteri. Untuk sesaat dia pandangi wajah Marlina lekat-lekat. Lalu wanita tua itu pun mulai angkat bicara.

"Sekarang kamu dengar baik-baik. Karena Ini juga berlaku untuk dirimu. Ketahuilah, selama menjalani pernikahan, saripati kehidupan kalian sedikit demi sedikit diambil oleh sang siluman setiap kali kalian berhubungan badan...

"Akibatnya, tubuh kalian perlahan-lahan akan melemah. Tapi memang itulah harga atas semua kekayaan yang selama ini kalian terima."

ASTAGA!

Marlina terhenyak. Kakinya seketika lemas. Nyalinya amblas. Dia tak mengira kalau hal mengerikan macam itu bakal terjadi.

"Ya Tuhan! Kenapa emak tidak beritahukan semua ini sejak awal?" Tanya Marlina dengan jengkelnya.

"Memberitahu? Aku tak punya kewajiban untuk itu. Lagi pula kalian semua para pemuja harta memang sama saja. Kalian terlalu larut dalam kesenangan hingga tak menyadari kalau ada sesuatu yang harus kalian beri." Jawab mak Enok.

"Lalu apa gunanya tumbal yang selama ini kami berikan? Apa itu tidak cukup?" Balas Marlina yang tak puas dengan jawaban mak Enok.

Mak Enok menggeleng sambil tersenyum sinis. "Tidak. Tumbal bayi itu hanya sebagai bukti atas pengabdian kalian. Memangnya apa yang kalian pikirkan? Orang lain yang kehilangan nyawa tapi kalian yang menikmati hasilnya? Enak betul!"

"Tapi tadi emak bilang tubuh kami akan melemah secara perlahan-lahan? Lalu kenapa kondisi Ningsih bisa berubah secepat ini? Selama ini dia baik-baik saja. Bahkan beberapa bulan yang lalu kami masih sempat saling menghubungi." Sahut Marlina.

Mak Enok kembali tersenyum sinis lalu menjawab.

"Dia termakan oleh keserakahannya sendiri. Enam bulan yang lalu, dia mendatangiku untuk minta petunjuk bagaimana caranya agar bisa mendapatkan hasil yang lebih banyak...

"Aku pun memenuhi keinginannya dengan memintanya untuk melakukan ritual itu sekali lagi. Karena memang dengan begitu, sang siluman akan lebih sering datang untuk menidurinya."

"Tapi tanpa dia sadari, hal itu justru jadi malapetaka. Saripati kehidupannya lebih cepat terkuras hingga dalam waktu singkat tubuhnya kian lemah sampai seperti yang kamu lihat saat ini."

"Ya Tuhan..."

Marlina bergumam lirih. Langit serasa runtuh. Kenyataan ini terlalu sulit untuk diterima. Rasa takut seketika menjalar dalam hatinya. Apa gunanya banyak harta kalau kelak dia tak bisa menikmatinya?

"Tapi bagaimana Ningsih bisa ada di sini?" Tanya Marlina penuh selidik.

"Sebulan yang lalu dia kembali mendatangiku untuk minta pertolongan. Tapi sudah tak ada lagi yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa sedikit mengurangi penderitaannya sampai nanti ajalnya datang menjemput." Jawab mak Enok.

Marlina bergidik ngeri. Tak terbayangkan kalau hal ini sampai terjadi pada dirinya. Semua itu langsung membuatnya berpikir ulang dan ingin menyudahi semuanya.

"Kalau begitu aku mau berhenti saja mak."

Mak Enok spontan menggeleng. "Tidak semudah itu. Sejak kamu memulainya, tak ada yang bisa menghentikannya. Kecuali...

"Kecuali apa mak?"

"Kecuali anakmu yang menggantikannya."

BLAAAR !

Marlina tersentak bagai mendengar sambaran petir. Gila! Mana mungkin dia menjerumuskan Sinta?

"Apa tak ada cara lain mak?" Tanya Marlina coba menggali kemungkinan.

"Hanya kematian yang bisa mengakhiri semua ini. Tapi apa kamu sudah siap untuk mati?" Tegas mak Enok lagi.

Marlina tertunduk lesu. Matanya yang lentik langsung meredup. Tak ada jalan keluar. Tak ada lagi harapan. Semua yang dikatakan mak Enok tak satu pun yang bisa berakhir bahagia.

Demi melihat Marlina yang mentalnya anjlok, mak Enok coba berikan kata-kata penghibur sekedar untuk kembali membangkitkan semangat Marlina.

"Sudahlah, jalani saja. Nikmati saja semua harta itu selagi kamu bisa. Memang itu kan yang kamu mau? Toh semua manusia akhirnya akan mati. Tapi lebih baik mati bergelimang harta daripada mati dalam keadaan miskin. Iya kan?"

Marlina membisu. Hatinya terbelah. Satu sisi dia mengamini ucapan mak Enok. Namun di sisi lain mulai timbul rasa khawatir.

Marlina sadar, hari-harinya kedepan takkan pernah sama lagi.

***

Malam itu juga, Marlina pergi meninggalkan rumah mak Enok. Dia sudah tak perduli kalau nanti terjadi apa-apa di jalan. Apa bedanya? Toh sesuatu yang lebih menakutkan kini telah menantinya di depan mata.

Marlina berkendara sambil menangis. Sepanjang jalan dilaluinya dengan perasaan campur aduk. Terbayang-bayang wajah Sinta, satu-satunya harta paling berharga di dunia ini.

Marlina dalam dilema. Sesungguhnya dia benar-benar ingin mengakhiri semua ini. Dia tak perduli kalau itu berarti harus mengorbankan nyawanya.

Tapi apa jaminannya kalau setelah itu Sinta akan mewarisi semua hartanya? Bagaimana kalau setelah dia mati lalu semuanya musnah hingga Sinta kembali hidup miskin? Satu hal yang jelas-jelas tidak dia inginkan.

Namun terus menjalani semua ini juga tak membuat segalanya jadi mudah. Kenyataan kalau dirinya akan terus melemah akibat saripati hidupnya direnggut, jelas membuat nyalinya ciut.

Tapi akhirnya dia coba yakinkan diri untuk tetap menjalani semuanya seperti saran mak Enok. Meskipun lambat laun tubuhnya akan rusak, namun dia yakin semua itu akan melalui proses yang panjang.

Dan selama itu, dia akan pastikan Sinta mampu berdiri di atas kakinya sendiri tanpa harus bergantung pada semua harta hasil pesugihannya.

Entah sudah berapa lama Marlina berkendara menyusuri jalan sepi yang gelap. Sampai pada satu tikungan tajam, dirinya yang kurang fokus membuatnya lengah hingga mobilnya menabrak pagar pembatas jalan.

BRAKKK!

AAAAAHH!

Mobilnya melintir masuk ke dalam jurang lalu berhenti setelah sempat terguling-guling beberapa kali.

"Toloong... Tolooong..."

Marlina minta tolong dengan suara parau. Darah mengucur deras dari kepalanya. Tubuhnya lemas, pandangannya kabur.

Tubuhnya lemas, pandangannya kabur. Namun dia merasa seolah ada sesuatu yang melilit tubuhnya lalu menyeretnya keluar dari dalam mobil.

Kemudian terdengar suara yang berbisik lirih persis di telinganya.

"Kamu belum boleh mati..."

Lalu gelap...

***

Marlina perlahan membuka mata. Hal pertama yang dilihatnya adalah wajah Sinta yang langsung memekik begitu melihat dirinya sadar.

"Mama!"

Sinta membelai wajah mamanya sambil menangis. Anak itu nampak khawatir. Lalu datang seorang dokter bersama dua orang perawat yang dengan cekatan langsung memeriksa kondisi Marlina.

"Syukurlah ibu sudah sadar. Sekarang lebih baik ibu istirahat saja. Jangan banyak bicara dulu apalagi bergerak." Pesan sang dokter.

"Saya dimana?" Tanya Marlina yang masih bingung. Terakhir kali yang diingatnya adalah dirinya yang minta tolong dalam mobilnya yang terbalik.

"Ibu ada di rumah sakit. Ibu mengalami kecelakaan. Untungnya ibu bisa selamat. Sekarang lebih baik ibu istirahat." Jelas sang dokter lalu berbalik pergi setelah sebelumnya memeriksa botol infus.

Marlina menghela napas. Sejenak merasakan nyeri pada kepalanya yang terbalut perban. Dipandanginya sekujur tubuhnya yang penuh luka hingga harus mendapatkan sejumlah jahitan.

"Kenapa jadi begini ma? Memangnya mama darimana sampai nekat bawa mobil malam-malam?" Tanya Sinta yang langsung memberondong Marlina dengan pertanyaan.

"Mama dari rumah tante Ningsih. Mama nekat pulang malam-malam karena ada urusan penting."

"Ya Tuhan.."

Sinta cuma bisa geleng-geleng kepala. Tapi sepertinya dia percaya dengan ucapan mamanya, dan itu membuat Marlina sedikit lega di tengah rasa nyeri yang mendera sekujur tubuhnya.

***

Setelah beberapa hari, akhirnya Marlina diperbolehkan pulang. Sejak tiba di rumah, Sinta sebisa mungkin berusaha untuk merawat mamanya meski dia sedikit canggung karena tak biasa melakukan apa-apa.

Tapi mau bagaimana lagi? Hanya Sinta yang Marlina punya. Dia tak mau mempekerjakan orang lain karena masih trauma dengan kejadian Bidin dan Parti.

Selama masa pemulihan, Marlina tak bisa lepas untuk terus memikirkan Ningsih. Marlina masih tak habis pikir, kenapa Ningsih nekat berbuat sejauh itu? Apa uang yang selama ini dia dapatkan masih belum cukup?

Tapi Marlina tak mau menghakimi. Dia sadar, setiap manusia memiliki batas kepuasannya masing-masing. Dan keserakahan adalah satu penyakit hati yang kadarnya sulit untuk diukur.

Ningsih pun telah menuai hasil dari apa yang telah dia tanam. Namun Marlina yakin, andaikan Ningsih tau kalau akhirnya akan seperti ini, mungkin sahabatnya itu takkan mau melakukannya.

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Segalanya telah terjadi. Dan dengan kondisi tubuh yang seperti itu, Marlina sadar kalau ajal Ningsih hanya tinggal hitungan hari.

Dan benar saja. Setelah beberapa hari, kekhawatiran Marlina pun akhirnya terjawab. Datang kabar duka, Ningsih meninggal dunia...

Marlina hanya bisa menangis. Sebenarnya dia ingin sekali pergi ke rumah Ningsih demi menghadiri pemakaman sahabatnya itu. Namun kondisi tubuhnya yang masih lemah tak memungkinkannya untuk pergi ke sana.

Sejak kematian Ningsih, Marlina merasa sendirian. Tak ada lagi teman tempat berbagi cerita tentang segala pesugihan itu.

Tapi Marlina sadar, dia sudah terlanjur memilih. Tak ada jalan untuk kembali. Suka tak suka, mau tak mau, dia harus tetap menjalaninya meski kini dengan semangat yang telah redup.

Hari berganti, waktu berlalu. Hingga tibalah saat yang dulunya begitu dia tunggu, namun kini jadi saat yang teramat menegangkan,

Waktunya melayani sang siluman...

Kini Marlina diam menunggu sambil duduk di atas ranjang. Dipandanginya bekas luka pada beberapa bagian tubuhnya yang masih terasa nyeri. Entah bagaimana dia bisa melayani siluman itu dengan kondisi seperti ini. Lihat saja nanti.

Teng!

Tepat jam 12 malam. Mendadak ada angin dingin yang berhembus menerpa tengkuk Marlina.

"Huffthh.. Sudah waktunya."

Segalanya masih sama. Suasana mendadak hening. Lampu kamarnya berkedip-kedip lalu mati.

Namun kini tercium bau busuk yang kian menyengat hingga memenuhi seluruh ruangan. Marlina spontan menutup hidung. Bau apa ini?

Belum hilang rasa herannya, Marlina memekik tertahan saat melihat ada sesuatu yang besar dan panjang berkilau merayap di lantai kamarnya!

Astaga!

Marlina seketika palingkan wajah! Ada ular besar seukuran paha manusia dengan sisik kehijauan yang kini tengah merayap naik ke atas tempat tidurnya!

Marlina hanya bisa meringis jijik sambil membuang muka. Dia merinding saat merasakan sisik-sisik ular itu bergesekan dengan kulit tubuhnya yang polos tanpa busana.

Marlina sadar, kini suaminya hadir dalam wujud aslinya, sesuatu yang selama ini sangat dia khawatirkan.

Dengan mata terpejam, Marlina hanya bisa pasrah saat ular besar itu perlahan-lahan melilit tubuhnya sambil menjulur-julurkan lidahnya. Rasanya begitu licin. Dirinya seolah sedang bermandikan lem yang kental dan berbau busuk.

Selama beberapa saat, ular besar itu masih terus melilitnya. Sampai akhirnya pada satu momen, Marlina tersentak saat merasakan ada sesuatu yang merangsek masuk ke dalam organ kewanitaannya bagai tembus sampai ke rahim!

Hmmpph!

Marlina meringis menahan sakit sampai menggigit bibir. Tak ada lagi sensasi hebat dari sebuah senggama. Kini yang ada hanya rasa perih pada kemaluannya disertai bau busuk yang menyengat.

Waktu seakan berjalan begitu lama. Rasanya bagai di neraka. Andai kata situasi mengijinkannya untuk menjerit, mungkin lengkingannya bisa terdengar hingga jauh menembus malam.

Rasa sakit yang luar biasa nyaris membuat Marlina pingsan. Namun saat dia ada di ambang batas kesadarannya, ular itu perlahan mulai melonggarkan lilitannya lalu merayap pergi hilang entah kemana.

Marlina terkulai lemas. Tubuhnya serasa remuk dan layu bagai tanaman yang terinjak-injak. Kemaluannya panas serasa terbakar menimbulkan rasa nyeri sampai ke ulu hati.

Sejenak dia mengatur napas dengan dada turun naik. Tapi rasa lengket dan aroma busuk tak ubahnya bau tong sampah membuatnya mual hingga isi perutnya berontak minta keluar.

Hueeekkkh!

Marlina muntah sejadi-jadinya hingga mengotori lembaran-lembaran uang yang bertebaran di lantai. Tapi dia tak perduli. Dia hanya ingin segera mandi demi menghilangkan semua noda dan melupakan malam yang terkutuk ini.

Sejak hari itu, Marlina mengurung diri di dalam kamarnya. Kejadian demi kejadian yang beruntun dia alami membuat mentalnya ambruk.

Apa yang terjadi dengan Ningsih saja masih membuatnya tak bisa tidur. Ditambah lagi kejadian malam itu saat sang ular menggaulinya. Benar-benar meninggalkan trauma.

Dia sama sekali tak menyangka kalau melayani suaminya dalam wujud aslinya terasa begitu menyiksa. Sungguh berbanding terbalik dengan pengalaman sebelumnya.

Kini hatinya diliputi rasa gundah. Bagaimana kalau siluman itu akan terus datang dengan wujud aslinya? Apakah dia sanggup menghadapinya? Entahlah. Pengalaman pertama saja sudah begitu menyiksa. Dia tak tau bagaimana kedepannya nanti.

Hingga tiba waktu untuk satu kewajiban yang lain. Anak-anak ularnya datang demi mendapatkan jatah darahnya. Marlina hanya bisa pasrah. Dia biarkan ular-ular itu menggigit lalu menghisap darahnya yang rasanya kini lebih menyakitkan.

Bagaimana tidak? Tubuh anak-anaknya kini makin membesar. Ukurannya nyaris sebesar lengan orang dewasa. Sudah barang tentu asupannya jauh lebih banyak. Bahkan hisapannya mampu membuat Marlina tak bisa berjalan hingga dua hari.

Tapi semua itu dengan terpaksa harus dia hadapi. Mau bagaimana lagi? Bersembunyi pun jelas tak mungkin. Dia hanya berharap kalau dia mampu menjalaninya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close