Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ROGOH NYOWO (Part 5) - Penumbalan Sang Bayi


Bagian 5
PENUMBALAN SANG BAYI

Cuaca malam yang sejatinya dingin, tetiba saja terasa panas di sekitaran rumah gubuk, pinggiran sebuah hutan. Dimana sesosok perempuan tua memakai baju hitam dombor, berdiri dengan wajah begitu tegang.

Buliran keringat yang keluar dari pori-pori kulitnya, menandakan jika ia tengah melakukan sesuatu yang tak main-main.

Tak kalah tegangnya satu sosok lelaki tua, yang berdiri di samping Nyi Anggar, dengan mengapit sesosok bayi mungil di tangan kanan, sedang tangan kirinya,-

menenteng wadah berisi bunga tiga warna. Sebuah lubang sedalam satu setengah meteran layaknya liang lahat, yang berada tepat di bawah sosok Nyi Anggar dan Mbah Lenggono, berisikan sebujur tubuh berbalut kain putih dengan mata terpejam.

Meskipun sosok lelaki muda yang terbujur, bagaikan seonggok mayat, tapi, jika di lihat dengan seksama, maka akan terlihat dadanya turun naik serta suara dengusan nafas, menandakan bahwa tubuh itu masih bernyawa.

Sejenak, suasana terlihat sunyi, sebelum lantunan bait berirama berasal dari bibir hitam Nyi Anggar, mengubah menjadi riuh gegap gempita dengan kemunculan puluhan makhluk hitam bermata bolong. Mahluk-makhluk yang juga bermulut lebar tak berahang dengan lidah menjulur panjang, berjalan mendekat kearah lubang.

Lidah-Lidah panjang mereka tampak mengeluarkan lendir berbau busuk menyengat, yang mereka teteskan ke lubang, di mana tubuh milik Sudiro terbaring.

"Letakkan bayi itu!" perintah Nyi Anggar pada Mbah Lenggono.

Setelah meletakan sesosok bayi mungil yang diam terpejam, Mbah Lenggono kemudian menaburkan bunga tiga warna mengelilingi tubuh sang bayi, hingga membuat diamnya berubah tangis keras mengiba.

Akan tetapi, itulah malapetaka awal, karena suara jeritan tangis dari sang bayi mungil, rupanya menjadi penanda atau awal, akan di mulainya sebuah persekutuan dengan penyerahan bayi itu sendiri, sebagai TETALEN GETEH PANGKEP.

Nyi Anggar, yang telah duduk bersila menghadap sang bayi, memejamkan matanya sembari menyilangkan kedua tanganya di dada. Tiga dupa yang telah terbakar mengepulkan asap membubung tak berpendar,-

dan seperti hanya berputar masuk kedalam lubang, menyelimuti tubuh Sudiro yang telah terbasahi oleh lendir-lendir beraroma busuk pekat.

Angin kencang mulai berhembus kuat, mengibaskan nyala api pada obor-obor besar di sekitaran ruangan.

Membuat makhluk-makhluk hitam bermata bolong mundur menjauh dari lubang, yang sudah terlihat putih tertutupi asap dupa.

Sekejap kemudian, lengking nyengit suara Nyi Anggar, mengakhiri alunan mantra pembuka ritual yang membahana seantero tepian hutan.

Membuat langit malam yang tenang, mengerjap-ngerjap mengiringi gulungan angin besar yang datang dari dalam hutan, menyambut lengkingan panjang Nyi Anggar. Hawa mencekam bertambah pekat, manakala suara gemuruh angin bebarengan dengan derap kaki riuh dan suara nyaring ringikan kuda.

Seisi makhluk dalam ruangan itu seketika menjura hormat, ketika satu sosok wanita cantik memakai kain batik bercorak, muncul dengan tebaran harum mawar yang terselip di telinganya.

"GETEH PANGKEP! BAKAL MBANJURI TETALEN KANGGO NGGOWO BETORO KOLO SAK LAWASE!" (Geteh Pangkep! Akan menjadi sebuah ikatan untuk membawa betarakala selamanya!) ucap tegas sosok Ratu Pambayun dengan menatap nyalang, bayi mungil yang seketika terdiam dari tangisnya.

Hening, tak satupun dari Mbah Lenggono maupun Nyi Anggar yang berani menatap Ratu Pambayun, yang tiba-tiba berubah dengan mengeluarkan sebuah suara ringikan kuda.

Wangi bunga mawar yang tadinya menyejukan penciuman, berganti Bau Arus tajam menusuk, seiring perubahan wujud sosok Ratu Pambayun.

Sosok cantik yang kini menjadi sesosok berbulu coklat lebat, berwajah seekor kuda dengan dua taring panjang, mendekat pelan kearah sang bayi.

Sejenak, sosok Ratu Pambayun yang kini menjelma sosok aslinya, menatap tajam dengan mata bulat lebarnya. Lidahnya menjulur, dengusan kuat beraroma Arus, kencang terhembus saat hidungnya mengendus tubuh mungil, membuat sang bayi yang terpejam menjadi terjaga.

Keheningan dalam beberapa saat di ruangan itu, seketika pecah! Oleh jerit tangis melengking! Menyayat! Dari bayi laki-laki yang tak berdosa. Kaki mungilnya menghentak, menjejal, sebelum mengejang kuat bersama kedua tanganya.

Sekejab, suasana ruangan kembali sunyi.

Hanya suara keciplakan dari mulut bertaring Ratu Pambayun yang menghirup, meminum darah merah sang Bayi mungil yang diam kaku, dengan mata terbuka tak sempurna.

"Bangunlah Abdi Pangkepku! Tetalenmu sudah kuterima!" Ucap sosok Ratu Pambayun pada Sudiro.
Wujudnya yang kembali seperti awal, cantik dengan mawar terselip, menyunggingkan senyum dari bibirnya yang masih terkotori warna merah darah.

Dari tangan kanannya, ia menyodorkan sepotong gumpalan berlumuran darah, kepada Sudiro yang baru bangkit dari lubang. Tanpa bertanya apapun, Sudiro yang menerima potongan jantung milik sang bayi mungil nan malang, segera memakanya tanpa sisa.

Iringan tawa sosok Ratu Pambayun, saat Sudiro memakan jantung sebagai simbol, nampaknya menjadi momok bagi satu sosok perempuan muda. Sosok yang tengah tertidur pulas, tiba-tiba saja menjerit kesakitan sembari tangannya meremas kuat pada perutnya.

Wajahnya pucat dengan tubuh yang sudah basah oleh keringat.

"Mbok! Tolong Mbok!" Teriaknya di sela-sela ringisan dan bersimpuh di lantai.

Jeritanya yang keras rupanya terdengar sampai di kamar belakang, dimana satu sosok perempuan sepuh, yang mendengarnya, dengan buru-buru menuju kamarnya.

"Astaga! Den Ayu kenapa!" seru wanita sepuh yang baru saja tiba.

Hanya ringisan sakit yang menjawab seruan panik dari wanita sepuh. Membuatnya tanpa pikir panjang lagi, segera memapah tubuh wanita muda ke atas ranjang. Sejenak ia mengamati wajah ayu majikanya, sebelum jari jempol tangan kananya menekan pelan tepat di kening sang wanita muda.

Entah apa yang perempuan sepuh lihat atau rasakan, baru saja sesaat ia menekan kening majikanya, mendadak ia tarik jempolnya dan beringsut mundur. Wajah keriputnya menegang, keringat mulai mengucur deras dengan tangan sedikit gemetar.

"Siapa yang tega menandai Den Ayu Winarni!" tanya perempuan sepuh dalam batinnya sendiri. Matanya iba menatap sosok wanita muda yang tak lain, Winarni, tergolek lunglai dengan wajah masih memucat.

Udara pagi yang menghangat dari paparan cahaya matahari, menambah semangat para pekerja di sebuah tempat pembuatan alas kaki. Di mana seorang lelaki 60an berbadan tegap memakai koko panjang coklat, kopiah putih lipat,-

berdiri mengawasi sembari tersenyum mendengar canda gurau dari para karyawanya. Tampak keakraban, keceriaan serta rasa kekeluargaan, mereka baurkan menyatu dalam kebersamaan, seolah tak ada jarak antara majikan dan anak buah.

Gelak tawa mereka sejenak terhenti, manakala mereka melihat seorang laki-laki, yang berjalan pelan dan berhenti sebentar di halaman. Sekilas wajahnya menyiratkan keragu-raguan, sebelum akhirnya ia menapakan kakinya di pintu gudang.

"Maaf, boleh saya bertanya?" ucapnya, bertanya pada sosok seperti sang pemilik tempat, yang berjalan menyambutnya di pintu gudang.

"Monggo, mau tanya apa kang?" Jawab sang lelaki berbaju koko coklat dengan senyum ramahnya.

"Rumah buk Sawitri, sebelah mana ya, Pak?" tanyanya kembali, pada laki-laki tegap di depanya.

"Kang... ini, siapa ya?" ucap lelaki sang pemilik gudang, sambil matanya menatap dalam-dalam si tamu.

"Maaf, nama saya Likun. Saya kesini mau cari Buk Sawitri. Ada urusan penting dengan beliau." jawab sang tamu, yang tak lain adalah Likun.
Kening sang pemilik gudang berkerut, wajahnya menciut seolah tengah mengingat-ngingat sesuatu.

"Maaf, kalau boleh tau? Ada kepentingan apa mencari istri saya? Dan Kang Likun ini dari mana?" Kembali sang lelaki berkopiah putih lipat masih bertanya menyelidik.

"Oh... Kebetulan kalau begitu. Saya ini sopir Pak Satrio." Jelas Likun dengan senyum tipisnya.

Mendengar nama Satrio, lelaki yang mengaku Suami dari Sawitri, sedikit tegang. Sorotnya matanya di pertajam ke arah Likun, seakan ada sesuatu yang tak ia suka setelah Likun, menyebut nama Satrio.

"Mau apa Satrio mengutusmu kemari!" Ucap suami Sawitri pelan tapi tegas, pada Likun.

"Maaf, Pak. Saya kemari atas kemauan saya, bukan atas suruhan Pak Satrio! Kalau berkenan, ijinkan saya menjelaskan dengan Bapak dan Buk Sawitri, tapi bukan di sini." Jawab Likun menampik anggapan suami Sawitri.

Agak ragu suami Sawitri dengar penjelasan dan permintaan Likun, yang baru di kenalnya. Namun, pada akhirnya, Likun mendapat isyarat dari suami Sawitri, untuk mengikuti langkahnya meninggalkan gudang.

Tak ada yang istimewa dari rumah yang baru di masuki Likun, tapi, Likun yang baru di persilahkan dan duduk di kursi sofa biasa, memasang wajah begitu heran. Matanya mengedar kesekeliling ruang tamu berukuran 4x3, tanpa hiasan mewah seperti yang tiap hari matanya lihat di rumah Satrio.

Beberapa kali Likun terlihat menggelengkan kepalanya, seperti ada perasaan heran bercampur ketidakpercayaanya dengan apa yang ia saksikan. Hingga tanpa ia sadari, ketika dua sosok muncul dari pintu bertirai kain horden.

"Maaf kang! Ini istri saya." Seru suami Sawitri, sedikit mengagetkan Likun.

"Ohh... Iya Pak..." Jawab Likun gugup mendapati sang tuan rumah sudah berdiri di sebelahnya, tanpa ia sadari.

Seulas senyum ramah dari sesosok perempuan setengah abad, bergaun putih motif kembang-kembang, serta kerudung hitam menutup kepala dan rambutnya, menambah keanggunannya.

"Saya Sawitri." sapanya memperkenalkan diri setelah duduk bersampingan dengan lelaki berkopiah putih lipat, yang tak lain, benar suaminya.

Likun hanya mengangguk pelan setelah ia juga mengenalkan dirinya, ada rasa sungkan ketika melihat penampilan dari sosok perempuan yang sengaja di carinya.

"Maaf, Buk. Saya kemari...." Likun menunduk sebentar, melawan keraguannya untuk meneruskan ucapanya.

"Bicaralah, apa yang membuat sampean, jauh-jauh mencari istri saya!" sahut suami Sawitri menguatkan Likun.
Sejenak Likun menarik nafas panjang, sebelum menceritakan semua yang dirinya alami dalam beberapa hari, saat bersama Satrio.

Beberapa kali mata Likun menatap rikuh pada sosok Sawitri, yang wajahnya sangat mirip dengan wajah tuanya. Sementara Sawitri dan suaminya, mendengarkan semua cerita Likun dengan wajah datar tanpa expresi.

"Begitulah ceritanya. Jujur, saat ini saya bingung harus bagaimana. Sementara kondisi Pak Satrio semakin memburuk dari semalam." Ucap Likun, mengakhiri ceritanya.
Sawitri memandang suaminya sejenak, seolah meminta restu untuk membuka suara,-

yang kemudian anggukan kepala pelan suaminya, membuat Sawitri menarik nafas berat, dan menimpali cerita Likun.

"Maaf, Kang Likun. Saya memang Kakak kandung Satrio. Tapi... Beberapa tahun silam, Saya sudah bukan anggota keluarga SAPTO PRAWAIRO.

Sebab Saya menolak meneruskan persekutuan dengan iblis!" ucap Sawitri dengan wajah sedikit memerah.

"Untuk itu, jika sekarang Satrio tengah sekarat! Itu sudah menjadi resiko yang harus ia tanggung! Apapun alasanya." Sambung Sawitri menggebu.

"Tapi, apakah Buk Sawitri tak ingin Pak Satrio sadar? Jika berhasil di sembuhkan?" Timpal Likun berharap.

Senyum tipis menyungging dari sudut bibir Sawitri, menanggapi ucapan Likun.

"Hanya ajal yang bisa membuatnya sadar! Kesadaran yang terlambat dan akan ia sesali selamanya di akhirat, seperti Orang Tua dan beberapa saudaraku."

Tegas suara Sawitri menyahuti saran Likun, dengan mata mengembung seakan bayangan luka beberapa tahun silam, menggores kembali di hatinya.

"Lalu? Apa yang harus saya lakukan sekarang, dengan kondisi Pak Satrio saat ini? Karena hanya..."

"Tidak! Tak akan kubiarkan setetes darah Rosyid tertumpah, meski untuk menyelamatkan bapak kandungnya sendiri!" Pekik sengit Sawitri memotong ucapan Likun.

"Sudah cukup banyak nyawa dan darah yang telah di korbankan oleh keluargaku sendiri! Demi angkara nafsu iblis!" Kembali suara pelan namun tegas Sawitri, membuat Likun makin tertunduk.

"Kang Likun, meskipun Rosyid anak kandung Satrio, tapi dia sudah di titipkan kami sejak bayi, saat ibunya ikut menjadi korban persembahan Satrio. Jadi, apapun yang terjadi, Rosyid akan kami lindungi, sampai kapanpun!"

Suara suami Sawitri yang sedari tadi diam, kini ikut menguatkan ucapan Sawitri.

"Lebih baik, Kang Likun cari cara lain. Bila perlu, Kang Likun menjauh dari hidup Satrio. Jangan sampai Kang Likun ikut menjadi korban selanjutnya.-

Sebab siapapun yang ikut menikmati pemberianya maka harus siap dengan resikonya." Sambung suami Sawitri penuh bijak.

Likun terdiam dan menundukan wajahnya. Pikiranya berkecamuk dengan keadaanya saat ini. Apalagi, klebatan bayang-bayang tentang semua kejadian di kala ia-

mengantar Satrio, membawa bocah kecil ke tempat yang dirinya sendiri yakini bukan alam manusia, kembali mengusik dan mencuat di kepalanya, membuat wajahnya di penuhi kegusaran.

Dengan tangan hampa dan langkah gontai, Likun berpamitan meninggalkan rumah tak begitu mewah Sawitri, kakak kandung Satrio. Namun, saat kakinya akan menapak keluar dari halaman berumput rumah Sawitri, satu panggilan dari Suami Sawitri menghentikan langkahnya.

"Kang Likun. Saran saya, Kang Likun jangan kembali kerumah Satrio. Sebab dalam perut Kang Likun telah bersemayam AMUNGKO." Satu kalimat pesan dari Suami Sawitri seketika membuat tubuh Likun dingin. Jiwanya tercekat! Dengan pikiran berkecamuk, yang berbuah ketakutan.

***

Hari sudah beranjak petang, kegelapan malam sudah menanti di ambang pintu, untuk segera mengganti perubahan sang waktu. Membuat sebagian orang ceria, menyambut kepulangan anggota keluarga, yang baru pulang setelah beraktivitas seharian di luar.

Tapi tidak pada sebujur tubuh gempal, yang terbaring di ranjang empuk bertilam kain halus.

Beberapa kali matanya mengerjap dan menatap ke arah pintu kamar, seperti tangah menunggu seseorang penuh harap. Wajahnya yang pucat pasi, menggurat dan menahan rasa gusar serta sakit,-

manakala dirinya beberapa kali terbatuk, dengan melelehkan darah hitam beku. Sirat kelegaan sedikit terpancar, ketika telinganya mendengar derap langkah kaki dari luar, menuju kamarnya. Berbinar mata sosok berperut buncit yang tergolek lunglai di atas ranjang,-

saat pintu kamar terbuka, dengan satu sosok yang memang ia tunggu dan harapkan kedatanganya.

"Kang Likun." berat dan parau suara sapa, dari sosok yang tengah berusaha untuk bangkit dan bersandar.

"Maaf, Pak Satrio. Saya terlambat." Sahut sosok yang baru datang. Likun.

"Bagaimana Kang? Apa Kang Likun ketemu Mbakyu Witri?" Tanya Satrio tak sabar.

"Iya Pak, Saya ketemu dengan Buk Sawitri. Tapi... Maaf Pak! Saya tak berhasil." Jawab Likun dengan pelan dan menunduk.

Mendengar jawaban Likun, wajah antusias Satrio, berubah mengeras. Matanya nyalang menatap kearah Likun dengan geraman tertahan, sampai darah yang keluar dari bibirnya menderas keluar. Likun yang tau akan kemarahan Satrio terdiam membisu, pikiranya carut marut berkecamuk,-

menahan takut dan amarah, yang mana ingatanya kembali pada kalimat, pesan terakhir suami Sawitri.

"Akhirnya! Kejayaan Trah keluarga SAPTO PRAWAIRO harus berakhir malam ini!" Ucap Satrio dengan suara berat.

Wajah Satrio menengadah Sejenak, sebelum matanya menatap hambar pada lukisan tangan, dua sosok yang menghias dinding kamarnya.

"Maaf, Pak Satrio. Apakah selain Buk Sawitri, tak ada lagi yang bisa menolong Pak Satrio?" Tanya Likun yang melihat keputus asaan dalam diri Satrio.

Satrio yang mendengar ucapan Likun, memalingkan wajahnya. Sebentar ia menatap Likun lekat-lekat, sebelum tawa keras keluar dari mulutnya yang masih terbasahi darah hitam.

"Andaikan Nyai Dewi Prameswari tidak sedang dalam Mukso Sukmo! Tentu kita tak akan mati secepat ini!" sahut Satrio setelah menghentikan tawanya dan menatap dingin lukisan wanita cantik berkebaya kuning.

Likun yang mendengar dengan seksama ucapan Satrio, beringsut mundur dengan wajah memucat.

"Apa maksut Pak Satrio dengan KITA!" Tanya Likun dengan suara mulai bergetar.

Kembali Satrio tertawa keras mendengar pertanyaan Likun, meskipun berkali-kali harus terjeda saat mulutnya menyemburkan darah hitam.

"Kang Likun! Jika Aku mati! Kang Likun akan menemaniku, sebab GETEH BOCAH AMUNGKO sudah Kang Likun santap, dan masuk dalam darah daging Kang Likun!" Ucap Satrio menjawab kecemasan Likun.

Seketika tubuh Likun menggigil lemas, wajahnya memucat, dengan runtukan dalam hati, setelah tau, ternyata hidangan yang ia makan, adalah bagian tubuh bocah tak berdosa yang menjadi tumbal.

Geraham gigi Likun bergemelatak menahan amarah, matanya melotot tajam ke arah Satrio, yang masih tertawa keras.

Namun sayang, tubuh Likun seketika limbung, saat kakinya ingin mendekat kearah Satrio. Dari dalam perutnya,-

Likun merasakan sesuatu yang tiba-tiba seperti memaksa ingin keluar, sampai urat leher dan wajahnya menonjol keras, menunjukan jika ia menahan sakit luar biasa.

Satrio semakin tergelak melihat Likun yang kelojotan di lantai, sebelum diam sejenak dan berseru garang.

"AMUNGKO REKSO PATI... AMUNGKO REKSO PATI... AMUNGKO REKSO PATI."

Di saat itulah dari mulut Likun mengeluarkan untaian rambut-rambut hitam yang memanjang seolah tiada ujung.

Rambut-rambut yang terbasahi lendir hitam berbau busuk, terus mengular membalut tubuh Likun, yang menjerit meronta kesakitan.

Di saat tubuh Likun hanya menyisakan kepalanya saja yang masih terlihat, seketika itu juga! Satu dentuman keras terdengar dari luar kamar Satrio,-

sebelum satu sosok melesat masuk kedalam kamar. Mata Satrio terbelalak kaget, melihat sosok lelaki muda bertelanjang dada, berwajah pucat, kini sudah berdiri tegak di samping tubuh likun yang terkapar mengejang.

Namun, yang lebih membuat Satrio terkejut adalah, satu bawaan yang di tenteng tangan kanan sosok tersebut, sebuah kepala.

"Suntoro!" seru Satrio tertahan. Saat mengenali sosok lelaki muda yang menjelma sebagai RANGGI ANOM.

Senyum sengit atau lebih tepatnya seringaian dari sudut bibir sosok Toro, mengiring lemparan potongan kepala yang jatuh tepat di hadapan Satrio.

"Hari ini kita sudahi permusuhan keluarga kita!" Ucap sosok Toro dingin.

Satrio yang baru saja meringis ngeri, melihat potongan kepala botak tengah, mengelupas dan berlendir, menatap Toro dengan mata tajam. Tanganya menggenggam kuat seraya tertawa keras membahana, sebelum lengkingan panjang menggema, mengakhiri hidupnya.

Senyum puas tersungging dari mulut Suntoro, matanya melotot menatap tubuh gempal Satrio, yang terkapar dengan perut membuncah. Genangan darah Satrio dan Likun yg membaur di lantai marmer, menjadi saksi kematian mengerikan, kematian mengenaskan, dari TRAH TERAKHIR SAPTO PRAWAIRO.

Dinginya udara malam dengan rintik gerimis membasahi alam sejak sore, membuat kenyamanan melelapkan sesiapa saja untuk melepas lelah dan penat dari kesibukan di siang hari. Tapi, tidak bagi Winarni, Selimut lembut nan halus, yang seharusnya bisa menghangatkan,-

memberinya rasa nyaman, di kala suasana dingin, tak mampu menghilangkan kegusaran dalam dirinya.

Semenjak kejadian beberapa waktu lalu, saat perutnya seperti terjalari sesuatu yang membuatnya kesakitan, Win, selalu merasa di awasi bayang-bayang satu sosok.

Selagi Win tengah melawan rasa mual yang amat, kembali ia di kejutkan dengan suara kaca jendela yang pecah.

Namun, lebih dari itu, tubuh Win seketika menggigil ketakutan, takkala matanya melihat dengan jelas dari jendela yang sudah tak berkaca, sesosok wajah pucat dengan mata merah menyorot tajam ke arahnya.

"Mbok....! Mbok....!" Teriak Win melengking, saat ketakutanya memuncak tak tertahan.

Sedangkan sosok lelaki muda bertelanjang dada yang masih berdiri tegap, tampak menyeringai melihat tubuh Win gemetar hebat.

"Ada apa Den Ayu!" seruan kaget dari perempuan sepuh yang baru masuk kekamar, saat melihat kondisi Win, yang pucat dengan tubuh sudah terbasahi keringat.

"Ada apa lagi Den Ayu?" Kembali sang wanita sepuh bertanya saat tubuh Win sudah dalam pelukanya.

"Itu Mbok... Itu di luar jendela." Jawab Win pelan, semakin membenamkan kepalanya di pelukan Mbok Idah. Sang Wanita Sepuh.

Wajah Mbok Idah sesaat menegang, ketika matanya beradu dengan sorot mata merah yang di tunjuk Win, di luar jendela.

Tapi, sebentar kemudian, Mbok Idah yang perlahan melepas pelukan Win, berdiri menghadap sosok itu seolah tak ada rasa takut dalam dirinya.

"Siapa Kamu!" ucap Mbok Idah dengan lantang dan berani.

"Hemmhhg... Mana Sudiro!" Jawab sosok itu yang di dului geraman.

"Tuan Diro tak ada di rumah! Jangan ganggu kami." jawab Mbok Idah tegas. Namun, sebentar kemudian, wajah Mbok Idah berubah, ia terlihat meringis ketika memperhatikan dua tangan dari sosok itu yang memegang gulungan rantai, untuk menyeret dua kepala di belakangnya.

"Mas Diro! Tak akan kubiarkan hidupmu tenang!" Pekik dengan suara berat Sosok itu, sembari wajahnya yang putih pucat menengadah ke atas.

Tapi, sesaat kemudian, sosok bersewek hitam yang baru saja memekik, terdiam.

Matanya mengedar seakan tengah merasakan sesuatu... Sesuatu yang sekejab kemudian, tiba-tiba saja membuat tubuhnya terpental.

Mata Mbok Idah dan Win, terbelalak! Melihat puluhan sosok hitam bermata bolong,-

bermulut lebar tak berahang mendadak muncul di luar kamar, setelah sosok lelaki muda terpental beberapa meter kebelakang.

"Tutup kain jendela itu Mbok!" Satu seruan tegas mengejutkan Mbok Idah dan Win.

Suara dari Lelaki yang sudah berdiri di depan pintu dengan wajah tegang dan mata melotot, menunjukan rasa ketidak senangan.

"Baik Tuan." sahut Mbok Idah, buru-buru melangkah ke arah jendela. Mbok Idah melihat sekilas ke luar jendela, namun, yang matanya lihat kini,-

hanyalah hamparan lahan mengkilap, dari air hujan yang terpantul cahaya lampu, di tiap-tiap sudut.

Tak ada sosok lelaki muda, tak ada makhluk hitam bermata bolong, tak ada dua kepala yang menggelinding terikat rantai, semuanya hilang, seolah tak terjadi apa-apa.

Tapi, satu yang membuat Mbok Idah yakin jika kejadian yang dirinya dan Win lihat nyata, pecahan kaca.

"Maaf, Tuan. Saya permisi." Pamit Mbok Idah setelah menutup kain putih dan kain horden di jendela, pada sosok yang sudah berada di dalam kamar, tak lain, Sudiro.

"Mas. Aku takut sekali!" Ucap Win menghambur dalam pelukan Diro, setelah kepergian Mbok Idah.
Ia menagis ketakutan, namun, Diro terlihat hanya menanggapi dengan dingin.

"Sudahlah, sekarang sudah tak ada apa-apa." Sahut Diro datar.

"Tapi laki-laki itu mencarimu mas, dia mengancam gak akan membiarkan hidup kita tenang!" Kembali Win mencoba meluapkan ketakutanya dan kecemasanya.

Sudiro hanya terdiam, matanya menatap kearah jendela yang sudah tertutup kain. Benaknya berkecamuk,-

penuh tanya tentang yang terjadi selanjutnya. Sebab, dia tak begitu yakin, jika puluhan makhluk hitam pengikutnya, mampu memusnahkan sosok lelaki muda yang Win katakan mengancamnya, karena Diro sendiri tau, siapa sosok lelaki muda itu.

***

Jika di rumah Sudiro sendiri ketegangan telah terlewati, tapi tidak di rumah keluarganya dulu. Rumah berlantai dua, berhalaman luas dan berpagar teralis dengan pagar tembok mengitari seluruh rumah.

Suyuti, yang telah mendapat mandat, untuk merawat rumah peninggalan sang pemilik ROGOH NYOWO, tampak terlelap dengan selimut tebal membungkus tubuhnya. Sementara, penghuni rumah yang masih terjaga di malam dengan hawa dingin menusuk, adalah dua penjaga di pintu depan.

"Kang, rasanya dingin banget malam ini." Ucap salah satu dari mereka, Idris.

"He eh Dris, kayak dingin senyap. Mana jaket aja masih tembus." Sahut Ratno, dengan posisi menelungkupkan sarung kumal pada tubuhnya dengan posisi duduk.

Sejenak mereka masih asyik dengan hawa dingin, dan sebuah acara di salah satu stasiun TV hitam putih di pos. Sebelum Ratno, pamit untuk mengambil air panas di dapur belakang rumah.

Ratno yang berjalan dengan memutar dari arah samping, sejenak terpaku menatap bangunan kecil di sudut kiri belakang rumah, paling ujung. Matanya mengerjap-kerjap, ketika melihat satu bayangan dengan dua buah kerlipan api. Rasa penasaran Ratno meninggi,-

manakala bayangan itu berjalan mendekati bangunan joglo di sebelah kanan, tepatnya di samping bangunan kecil yang terdapat tiga patung pendek dan panjang menyerupai sesosok makhluk.

Ratno melupakan tujuan awal, ia memilih mengikuti langkah bayangan yang dirinya curigai pencuri. Namun Ratno salah, ketika kakinya tinggal beberapa meter dari bangunan itu, lutut Ratno gemetar.

Keringat mengucur deras dari tubuh dan wajahnya yang memucat, bau busuk yang sejatinya menyengat, tak lagi ia hiraukan ketika matanya menatap lekat bayangan yang ia ikuti, ternyata sesosok makhluk bermata merah nyala dengan tubuh tinggi menjulang.

Geraman yang keluar dari mulut bertaring makhluk itu, meluluh lunglaikan seluruh persendian tubuh Ratno, hingga tubuhnya jatuh tersimpuh di hadapan sosok makhluk berkepala plontos tanpa sehelai rambut, yang hanya berhias dua tanduk merah api.

Tak ada kata, ucapan yang keluar dari mulut Ratno, hanya pekik dan jerit tertahan yang di expresikan dari wajahnya, saat sosok itu mendekat dan menancapkan kuku-kuku tajam di perut Ratno, yang langsung mengoyak isi dalamnya.

Seringaian puas dari sosok itu, masih Ratno lihat terakhir kali saat tubuhnya mengejang, sebelum dua taring makhluk itu, menyumbat nafas Ratno selamanya.

Di sisi lain. Idris, mulai gusar dengan kepergian Ratno yang pamit untuk mengambil air panas, namun sudah hampir satu jam, Ratno tak jua kembali. Dengan sedikit keberanian, Idris berinisiatif menyusul Ratno, dengan melalui jalan yang sama, memutar dari samping kiri.

Meski tak di pungkiri, rasa takut dan merinding mulai menggelanyuti dirinya, namun Idris tetap meneruskan langkahnya hingga menginjakan kaki di lantai dapur.

Kosong. Sunyi, itulah yang Idris lihat dan rasakan ketika dirinya telah berada di dalam dapur. Matanya mengedar kesekeliling ruangan, mencari sosok yang ia susul, Ratno. Namun, sampai seluruh ruangan, bahkan hingga Idris cari ke ruang-ruang dalam rumah,-

sosok Ratno tak Idris temukan. Lama Idris tertegun di luar pintu dapur, ia bingung dan cemas, wajahnya menegang dengan perasaan mulai di susupi kekhawatiran, namun Idris masih berharap dan bertekad untuk terus mencari Ratno.

Tetapi, langkah dan semangat Idris sebentar kemudian luntur, ketika telinganya mendengar suara gerincing, layaknya rantai diseret menyentuh lantai. Idris tercengang dgn tubuh menahan gigil ketakutan, saat ia menoleh, satu sosok hitam hanya bersewek berdiri menatap sayu padanya.

Suara gemerincing yang awal Idris dengar, ternyata berasal dari rantai, yang membelenggu tangan dan kaki sosok tua dengan begitu erat. Rasa ngilu dan ngeri terpancar dari wajah Idris, saat matanya menatap lengan tangan dan kaki yang terbelenggu dari sosok itu, hanya terlihat tulang-tulangnya tanpa daging sama sekali.

"Temanmu sudah mati! Ia sudah di santap penghuni tempat itu!" ucap sosok tua itu, sembari menunjuk bangunan kecil di sudut kiri halaman belakang.

Tercekam Idris mendengar suara berat sosok yang baginya sudah menakutkan, tapi kini, ada yang lebih menakutkan baginya, yaitu ucapan sosok di hadapanya yang memberi tau jika Ratno temanya, yang tengah ia cari, sudah meninggal.

Belum hilang rasa takut yang mencekam Idris, kembali ia dikejutkan dengan kemunculan dua sosok perempuan berwajah pucat pasi, dengan wangi kembang kamboja, semakin menyudutkanya. Dua sosok perempuan tanpa expresi dan sorot mata kosong,-

mendekat kearah Idris yang sudah terduduk bersandar dengan air mata mengalir. Idris sendiri sudah tak berdaya dalam kepasrahan, saat dua sosok perempuan itu menarik, menyeret kedua tanganya dengan keras.

Mata Idris terpejam, rasa sakit pada tulang-tulangnya, rasa perih pada lecet di kulitnya, sudah tak ia hiraukan.

Namun, ketika tarikan yang ia rasakan berganti sebuah lemparan, ia membuka matanya. Hanya mata melotot dengan jerit tertahan di tenggorokan yg mampu Idris lakukan.

Manakala tepat di depan matanya, sebujur tubuh Ratno yang tercabik-cabik dengan isi perut memburai, sudah tak bernyawa. Idris masih sempat melihat dua sosok perempuan yang menyeret dan melemparnya,-

menyeringai dan berlalu mengikuti langkah laki-laki tua yang terbelenggu rantai, sebelum gelap menghampiri Idris.

Keesokan harinya, Rumah yang kini di urus Suyuti geger, setelah di temukan mayat Ratno bersampingan dengan Idris yang pingsan.

Beberapa polisi yang mendengar kejadian itu sempat memasang garis polisi, namun, tak ada bukti apapun yang bisa polisi jadikan alat, sehingga kasus itu di tutup. Idris, meski ia tak sampai meninggal, tapi naas, ia menjadi linglung dan depresi berkepanjangan hingga membuatnya gila.

Setelah kejadian itu, rumah peninggalan Yono di kosongkan hingga beberapa tahun, tak ada yang berani menempati, sampai satu kontraktor yang menyewanya untuk pekerja dan dirinya kembali membangkitkan malapetaka di rumah itu.

INI ADALAH CERITA AKHIR RUMAH PENINGGALAN SUYONO DALAM ROGOH NYOWO. SEBAB RUMAH YONO AKAN DI TULIS DALAM CERITA LAIN, YAITU

""OMAH ANGKER JEJER KOLO PATI""

"Nduk, apa yang tengah kamu pikirkan?" sapa pelan seorang wanita setengah abad, pada wanita muda yang duduk, di bawah pohon beringin nan besar menikmati semilir angin dan semburat kekuningan di ujung langit.

"Tidak Ibu... Wuri tidak memikirkan apa-apa." sahut wanita muda, yang tak lain adalah Wuri.

Laswati, menyunggingkan senyum penuh kasih sembari tanganya mengusap rambut kepala Wuri, ia tau betul dengan sifat putri satu-satunya itu.

Gurat kesedihan sejenak terpancar dari wajah Laswati, ketika melihat putrinya mengusap pelan perutnya yang telah membesar. Ada rasa nyeri menelusup ke dalam dadanya, saat otaknya merekam kembali peristiwa demi peristiwa,-

yang telah banyak merenggut kebahagiaan dan nyawa orang-orang yang seharusnya ikut berbahagia, dengan bakal kelahiran anak pertama Wuri, sekaligus cucu pertamanya.

"Menjadi Laweyan Lenggan memang berat Nduk. Apalagi, umurmu yang masih terlalu muda. Tentu Ibu tau betapa sulitnya kamu untuk melupakan dunia." Ucap Laswati kembali dengan pelan.

"Ibu tenang saja, Wuri pasti kuat, Wuri pasti bisa melewatinya demi anak ini kelak." Sahut Wuri menunduk, dan kembali mengusap pelan perutnya yang terbungkus kebaya berenda di lapisi kain selendang biru muda, kendit sutra.

Meski tampak tegar, namun dua bulir bening dari matanya tetap saja meleleh. Membuat Laswati yang mengetahuinya, segera merengkuh kepala Wuri, dan membenamkanya dalam-dalam ke dadanya.

"Sudah Nduk, hampir surup. Kita masuk sekarang." Ujar Laswati, yang tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan.

Waktu memang semakin gelap, membuat Wuri bangkit, dan melangkah masuk mengikuti Laswati. Suasana sunyi di sekitaran rumah peninggalan Mbah Sinom, yang memang terletak jauh dari rumah tetangga, sangat terasa jika waktu malam menjelang.

Apalagi, warga sekitar yang mengenal Mbah Sinom sewaktu masih hidup, sebagai seorang tetua Kejawen, akan riskan bila bertamu tanpa urusan penting. Oleh sebab itu, hampir setiap malam keheningan akan selalu menyelimuti kediaman Mbah Sinom.

Mbah Sinom sendiri, memang di kenal baik, disegani, berwibawa, juga di sepuhkan, namun tak jarang mereka akan berpikir ulang untuk sekedar lewat di depan atau samping rumah Mbah Sinom, yang sebenarnya sebuah jalan kampung,

Sebab kesan angker melekat kuat pada warga, yang tau kebiasaan dan tradisi keseharian di rumah Mbah Sinom.

Meskipun kini Mbah Sinom sudah tiada, namun kebiasaan dan tradisi itu masih berlanjut, terlihat dengan kepulan asap dupa dan taburan bunga-bunga di hampir setiap sudut rumah serta di bawah pohon beringin, yang berbalut kain putih di halaman depan.

Adalah Mayang, putri bungsu Trah Rengko, yang mendapat mandat dari Mbah Sinom, untuk meneruskan semua tradisi yang selalu di lakukan Mbah Sinom semasa hidup.

Walau Mayang sendiri, tak pernah menjadi seorang Laweyan Lenggan, namun, setelah kematian suaminya, Mayang tak pernah lagi mau menikah.

Kini, Trah atau keterunan RENGKO, hanya tinggal bertiga, dengan tampuk Laweyan Lenggan di pegang oleh Wuri yang tengah mengandung.

Meskipun, rumah prabon peninggalan Ki Rengko masih utuh di kota apel, tapi mereka memilih tinggal bersama di rumah joglo kediaman Mbah Sinom, di tempat yang telah di buka awal oleh Trah keturunan Blambangan.

"Ada apa Mbah?" tanya Wuri pada Mayang, yang tengah berdiri di depan jendela ruang depan, dengan tatapan lurus kedepan.

Mayang membalikan tubuhnya setelah mendengar sapaan Wuri, matanya menatap sayu Wuri dan Laswati, yang baru saja masuk dari belakang.

"Gak apa-apa Nduk. Cuma... mungkin sebentar lagi kita kedatangan tamu." jawab Mayang dengan polesan senyum tipis, menutupi keresahan pada wajahnya.

Sejenak, Wuri dan Laswati terlihat saling pandang. Benak keduanya di penuhi tanda tanya, mendengar kata TAMU, yang di ucap Mayang.

"Siapa Bulek?" tanya Laswati yang mulai gusar.

"Entahlah. Tapi, Saya harap tamu ini nantinya tak membawa memolo untuk kita, terutama kamu dan bayimu Nduk." sahut Mayang sembari menatap Wuri.

Baru saja Wuri menganggukan kepalanya pelan, mereka di kejutkan dengan suara deru mobil yang datang dan berhenti di halaman depan. Wajah Mayang tiba-tiba saja menegang, menatap dua lelaki yang baru saja turun dari mobil.

Tapi, nampaknya bukan dua sosok itu yang membuat Mayang tercekat, tapi sosok-sosok lain yang hanya bisa di lihat oleh matanya sendiri.

"Rupanya ABDI SASONGKO!" Gumam Mayang lirih.

"Ada apa Mas Diro kemari?" Ganti Wuri yang bergumam, setelah tau siapa tamu yang datang.

Ada kecemasan terlihat di wajah Wuri, sebab ia tau dan yakin, jika kedatangan Diro, tak mungkin tanpa suatu tujuan. Apalagi, selama ini Wuri juga tau jika hubungan Sudiro dan Suntoro, Suaminya, tak baik. Bahkan mereka saling bermusuhan.

"Kamu tunggu di sini saja Nduk, biar Aku dan Ibumu yang akan menemuinya." Ucap Mayang, melihat ada kecemasan yang mendera Wuri.

Wuri hanya terdiam tanpa menjawab, matanya tersingkup dan menunduk seperti berdoa, yang mungkin untuk meminta keselamatan dirinya,-

Mayang serta Ibunya, yang sudah berlalu dari hadapanya.

Wuri yang masih di liputi rasa cemas dan sedikit penasaran, melangkah, mendekat kearah jendela. Matanya mengawasi sosok Ibunya dan Mayang,-

tengah berhadapan dengan sosok laki-laki, kini berjumlah tiga orang, dan hanya satu yang Wuri kenal, Sudiro.

Sekilas, Wuri melihat tak ada ketegangan, meski wajah-wajah yang di terangi cahaya lampu remang, tengah serius. Sampai beberapa saat kemudian,

Mayang terlihat begitu antusias mendengar ucapan-ucapan dari Sudiro, yang Wuri lihat dari gerakan mulutnya, sebelum mereka semua melangkah beriiringan masuk kedalam.

Wuri yang keheranan dan sedikit takut, sempat ingin masuk kedalam kamar, tapi, langkahnya terhenti dengan terciumnya harum melati dan kemunculan sosok wanita ayu, di depan pintu.

"Kanjeng Ibu!" Seru Wuri sedikit terkejut.

"Tenanglah Nduk, temui Abdi Sasongko. Ada sesuatu yang bisa kamu dapatkan dari dia." Ucap sosok yang di segani Wuri.

Wuri tertunduk sebentar, namun saat ia ingin menyahuti ucapan NYI LENGI, yang membuatnya penasaran, sosok Nyi Lengi sudah menghilang.

Rasa heran, takut, membaur dalam benak Wuri. Heran, dengan ucapan sosok yang sudah ia anggap Ibunya sendiri.

Takut, saat harus bertemu dengan Sudiro, sebab Wuri tau, sikap diam mantan kakak iparnya, mencerminkan kebengisanya.

"Nduk," satu sapaan dari suara lembut Ibunya, Laswati, menyadarkanya dari lamunan.

"Iya... Buk." Jawab Wuri sedikit gugup, apalagi, kini di hadapanya lima sosok tengah menatapnya.

"Pak Diro ingin bicara padamu," Ucap kembali Ibunya, membuat Wuri terpaksa menganggukan kepalanya.

Diro yang berdiri di belakang Mayang, melangkah maju. Matanya menatap datar Wuri yang masih tertunduk, sebelum kalimat demi kalimat ia ucapkan, membuat Wuri yang mendengarkan dengan seksama, tertegun.

Jika awal dirinya di rundung rasa takut dan cemas, tapi setelah mendengar maksud dari tujuan Diro, Wuri berubah bingung.

"Bagaimana Dek? Apakah Kamu bersedia?" tanya Diro yang melihat Wuri terdiam cukup lama setelah mendengar penuturanya.

Wuri yang masih terlihat ragu dan bimbang, mengedarkan pandanganya pada Mayang dan Ibunya, seolah meminta petunjuk dan restu sebelum menyanggupi permintaan Sudiro.

Namun, Mayang dan Ibunya hanya diam tanpa expresi, seakan malah membalikan semua kepada dirinya. Ingatan Wuri sejenak kembali pada satu sosok, yang beberapa saat lalu muncul dengan ucapan penuh arti, dan kini Wuri mengerti jika itu adalah satu petunjuk baginya.

"Baiklah. Aku bersedia Mas! Tapi, setelah semua ini berakhir, Aku minta, Mas Diro tak mengganggu kehidupan kami lagi." ucap Wuri dengan tarikan panjang, membuat Diro tersenyum menyanggupi.

Semilir angin malam dengan cuaca mendung, yang sedari sore di rasakan Wuri beserta Ibunya dan Mayang, mendadak lenyap. Berganti dengan hawa panas menggerahkan, membuat buliran-buliran keringat mengucur dari tubuh semua orang, yang berada di dalam rumah peninggalan Mbah Sinom.

Tak hanya sampai di situ, ketika kepulan asap dupa yang memenuhi sebuah ruangan, di mana terdapat sesosok lelaki tua, Mbah Lenggono, yang tengah melakukan ritual, membubung keluar dari segala celah, seketika di sambut gemuruh, gelombang angin kibasan.

Yang kemudian di susul letupan-letupan kecil di atas atap genteng, menimbulkan percikan-percikan api, membuat suasana rumah peninggalan Mbah Sinom, berubah mencekam.

"Sebentar lagi Dia akan datang!" ucap Mbah Lenggono yang baru keluar dari kamar ritual, dengan wajah pucat berkeringat.

"Dek, Wuri. Apa kamu sudah siap?" tanya Diro pada Wuri, setelah mendengar penuturan Mbah Lenggono.

Wuri hanya menganggukan kepala dengan perasaan bercampur aduk. Kemantapan hatinya seolah goyah saat mendengar kata "DIA", yang membuat ingatanya melambung ke beberapa bulan silam, saat semua ketegangan dan kabut hitam dalam hidupnya di mulai.

"Dia sudah datang!" ucap Mbah Lenggono kembali dengan wajah menegang.

Namun, yang paling tercekat saat itu adalah Wuri. Kata "DIA" yang kembali di ucap mbah Lenggono, bagaikan welat tajam menyayat hatinya.

Wuri menunduk, di usapnya perut yang sudah mulai membesar, dengan guratan wajah menunjukan satu kesedihan dan keterpaksaan.

"Maafkan Ibu, Nak." Gumam Wuri, menitikan dua bulir bening, namun cepat-cepat ia hapus dengan tanganya.

Berbeda dengan keadaan di luar, saat dua sosok muncul beriringan, dengan raut amarah yang meluap. Terutama dari sesosok laki-laki muda bertelanjang dada, yang berdiri di depan sesosok wanita berambut panjang, bergaun biru.

Matanya merah, tatapanya tajam menusuk, mencerminkan luap kemarahan yang memuncak. Sedang di depannya, tiga sosok yang berdiri menghadang, memandang sinis dengan kilatan kesiapan yang tak kalah tajam menatapnya.

"Penghianat! Mana Tuanmu!" ucap tegas sosok lelaki muda berwajah pucat, yang tak lain Suntoro, sembari menatap Mbah Lenggono.

Tak ada sahutan dari Mbah Lenggono, ia seperti terpaku menatap sosok di belakang Suntoro, wanita jangkung bergaun biru panjang dan bersanggul.

"Rupanya Adikku, RANGGI ANOM. Masih belum menerima kenyataan" Satu suara pelan namun terdengar jelas dari Sudiro. Yang tiba-tiba keluar dari balik pintu, dengan tatapan dingin.

Sosok Suntoro, yang mendengar dan melihat Diro baru keluar, menyeringai sengit. Matanya terlihat bertambah merah dan nyalang. Apalagi, saat sosok-sosok hitam bermata bolong, yang pernah menghadang dan mengusirnya, saat ia meneror rumah Kakaknya itu, kembali muncul mengelilinginya.

"BETOROKOLO!" ucap sosok wanita jangkung bergaun biru panjang, terkejut! Ketika menyadari puluhan Makhluk bermulut lebar tak berahang, sudah mengepung dirinya yang berdiri di belakang Toro.

Tak hanya di luar, ketegangan juga di rasakan satu wajah yang tengah mengawasi di balik jendela dalam rumah. Kilatan bayang kenangan yang menggores, begitu membekas terlihat dari pancaran matanya, yang terarah ke sosok lelaki muda bertelanjang dada, Suntoro.

Ada kerlingan dendam bergemuruh, saat sosok tak lain dan tak bukan, dalah Wuri, yang mengawasi dari dari dalam, mendengar ucapan-ucapan sosok Suntoro yang menyangkut dirinya, sebelum terjadi pergulatan di iringi dentuman-dentuman yang sesekali di barengi kilatan berpercik api,-

dan hanya bisa di lihat dengan mata batin terjadi dari dua kubu yang sejatinya bersaudara kandung.

Sampai beberapa lama kemudian, suasana tegang memanas di halaman rumah peninggalan Mbah Sinom, terhenti sejenak. Saat mata semua sosok yang berada di tempat itu,-

terfokus pada sosok Suntoro yang tiba-tiba terpekik dengan mata membeliak.

Tubuh Suntoro menghitam, selaras dengan darah yang mengalir dari dada sebelah kirinya, yang tertancap sebilah keris bergagang kepala naga, bermata batu hijau.

Toro terduduk lunglai, matanya meredup menatapi satu persatu sosok-sosok di depanya, sebelum satu tangan mencabut keris dari dadanya, membuat tubuh Toro terbaring dengan keadaan gosong.

Sunggingan senyum sinis, atau seringaian dari sudut bibir Diro, yang telah berhasil menancapkan keris Laweyan Lenggan, bertolak dengan raut wajah Wuri. Semburat kesedihan nampak jelas, saat ia menatap tubuh gosong Toro, sembari mengelus perutnya.

"Sesuai janjiku. Mulai sekarang kita sudah sama-sama aman dari terornya, dan jika memang Kamu tak mau menerima pemberian dariku, atau dari peninggalan keluargaku, Aku tak berhak memaksa.

Tapi, jika suatu hari nanti, kamu, atau calon anakmu kelak membutuhkan sesuatu, silahkan datang padaku." ucap Diro, setelah tubuh gosong Toro menghilang bersama sosok perempuan jangkung bergaun biru.

Wuri hanya tertunduk tanpa menjawab, matanya menatap keris berkepala naga, yang baru saja ia pinjamkan pada Diro, untuk membunuh atau menyempurnakan sosok pewaris ROGOH NYOWO, yang juga mantan suaminya, Suntoro.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close