Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ROGOH NYOWO (Part 1) - Pesugihan & Penganut Ilmu Hitam

Ketika pelaku pesugihan digabung dengan mencari ilmu hitam, tumbalnya pun tidak main-main. Hingga memakan banyak korban.

Tapi satu hal yang ingin saya sampaikan di cerita ini, bahwasanya gaib itu benar-benar ada. Semoga para pembaca sekalian bisa mengambil hikmah dan sebagai pembelajaran dari setiap cerita yang di suguhkan.


Suasana duka tampak menyelimuti sebuah rumah berukuran sedang, berdinding papan, dan beralaskan tanah. Cahaya lampu petromak juga tampak menerangi ruang depan dan belakang.

Di dalam, tepatnya di ruang tamu, sebuah meja panjang terpasang menyilang dengan seonggok tubuh membujur diatasnya. Tubuh pucat tanpa nafas, tertutupi kain-kain jarik batik, adalah milik sesosok wanita muda yang meninggal sekitar 3 jam lalu.

Narsih, gadis cantik nan malang. Meninggal dunia di usianya terbilang belia, sebab sakit aneh yang lama dideritanya.

Di sisi kanan dan kiri meja, terdengar suara lantunan Ayat-Ayat Suci Al Quran, tengah dibaca beberapa perempuan berkerudung hitam.

Sedangkan di belakang rumah, dua orang laki-laki tampak sedang berbicara serius, bersama seorang lelaki tua berbaju dombor, berikat kepala hitam.

“Sebaiknya, Narsih di kuburkan di tanahmu sendiri, biar lebih aman," ucap lelaki tua berikat kepala hitam.

"Tapi, Saya tak punya tanah sendiri di dekat rumah, Mbah," jawab laki-laki berkopiah hitam lusuh, tak lain ayah dari Narsih, wanita yang baru meninggal.

“Ini yang menyulitkan,” sahut lelaki tua berbaju batik, di sebelah lelaki berikat kepala hitam.

“Ya sudah, begini saja. Kuburkan di tanah makam. Tapi, cari tempat di tengah-tengah dan tetap harus dijaga sampai 40 hari."

Dengan tegas, akhirnya Mbah Rekso, sosok yang di sepuhkan di desa itu, memutuskan.

Di samping Mbah Rekso di kenal sebagai sesepuh, beliau juga di kenal dengan ilmu-ilmu Kejawen. Sehingga masyarakat di desa itu segan dan menaruh hormat pada beliau.

Hari berganti pagi, prosesi mensucikan jenazah Narsih rampung. Penggalian liang lahat yang letaknya hampir di tengah-tengah tanah makam umum, juga sudah selesai.

Terlihat dari beberapa penduduk ikut dalam penggalian, tampak sudah duduk-duduk santai sembari menanti jenazah datang.

"Denger-denger, kuburan Narsih ini akan dijaga sampai 40 hari ya, Kang?” tanya salah seorang dari mereka, sambil sibuk meracik tembakau dan cengkeh untuk dijadikan rokok.

“Ya, harus. Kalau gak, wah.. bahaya," sahut temanya yang duduk di sebelahnya, seraya menuangkan kopi dari TEKO ke dalam gelas.

"Memang, bahaya kenapa?" kembali satu temanya bertanya dengan mimik wajah heran.

“Gak tau pastinya. Cuma, kata Mbah Rekso begitu. Jadi, yang tau alasannya, ya Mbah Rekso," jawab temanya tadi, sambil meneguk kopi sedikit sudah menghangat.
Tak lama kemudian, mereka terdiam.

Saat mata mereka melihat iring-iringan para pelayat, berjalan di belakang sebuah keranda, yang di pikul empat orang laki-laki.

Salah satu dari pengiring, tampak menaburkan bunga warna-warni di sepanjang jalan yang dilalui.

Di tambah isak tangis keluarga Narsih, menambah suasana duka di hari itu.

Setelah melewati beberapa gundukan tanah, sampailah keranda jenazah dan di letakan, tepat samping sebuah liang lahat yang bakal menjadi rumah terakhir bagi Narsih.

Suara Adzan sebentar berkumandang, setelah penutup keranda di buka. Terlihat sebujur tubuh kaku jenazah Narsih berbalut tiga lembar kain putih. Wajahnya pucat, dengan beberapa kapas menempel pada bagian-bagian tertentu.

Juga, beberapa tali masih terlihat mengikat dari ujung kaki sampai atas kepala.
Tiba saatnya jenazah Narsih di masukan ke liang lahat. Terdengar iringan tangis, dari keluarga Narsih, seperti belum bisa merelakan.

Setelah selesai jenazah diletakan, dan Iqomah terdengar, papan juga terpasang rapi menutupi mayat Narsih, barulah tanah-tanah galian di urukkan kembali hingga menutup dan membentuk sebuah gundukan bernisan kayu kuncup.

Lantunan bait-bait Doa, mengiringi proses akhir pemakaman Narsih. Isak tangis masih terdengar tersedu dan lirih, ketika langkah kaki para pelayat mulai meninggalkan tanah makam umum. Namun mereka, para pelayat dan beberapa anggota keluarga,-

tak menyadari, bahwa di sudut ujung tanah makam, tepatnya di samping sebuah pohon Lego besar menjulang, sepasang mata tengah mengawasi dari awal sampai akhir proses pemakaman.

Mata dari sesosok laki-laki setengah baya, berperawakan kurus tinggi berkulit hitam. Ia tersenyum melihat para pelayat sudah meninggalkan tanah kuburan. Dimana, Sang perawan ontang anting di makamkan.

“Akhirnya, yang ku tunggu-tunggu dan ku cari sekian lama, kini ada di depan mata." ucapnya lirih, disertai senyum sinis tersungging di bibirnya yang kecoklatan.

Hari terus bergulir, terik matahari yang menyengat dirasa warga kampung, sejenak terganti dengan kesejukan senja sore. Membuat sebagian mereka, masih berada di sawah-sawah semakin bersemangat.

Namun, hal itu tak berlangsung lama. Sebab, sebentar kemudian, gumpalan awan-awan hitam berkejaran dan menutup semburat merah di ujung langit timur.

“Ayo, cepat! keburu hujan nanti." Teriak Inal, salah seorang yang di tugaskan menjaga kuburan Narsih bersama dua temannya, Tono dan Sugeng.

Mereka bertiga yang sedang membuat tenda dari papan sebagai alas, dan terpal sebagai penutup, sedikit panik.

Melihat angin kencang dan mendung begitu pekat, menandakan jika langit akan menumpahkan Rahmat hujannya.

Sedikit demi sedikit, ketiganya merampungkan tenda bakal tempat bermalam selama beberapa hari guna menjaga makam Narsih. Tanpa tau, tanpa sadar, dengan besarnya resiko yang akan mereka hadapi.

Sore itu langit Singosari (samaran) hampir rata menjatuhkan air hujan. Hawa dingin mulai menusuk, membuat hampir seluruh masyarakat Desa, khususnya kampung Krajan, memilih untuk berdiam diri rumah.

Rerata, rumah-rumah penduduk yang masih berdinding papan dan penerangan dari lampu-lampu dimar, tertutup dan sepi. Membuat Kampung Krajan seolah menjadi kampung mati.

Tapi, malam sunyi itu, tak berlaku untuk tiga laki-laki berumur 30 tahunan. Mereka harus keluar, melawan hembusan angin dingin dan pekatnya malam, guna menjaga kuburan Narsih. Sebab, mereka telah sanggup dengan bayaran yang telah disepakati selama 40 hari.

Meski hujan masih menyisakan gerimis kecil, tak membuat ketiganya mundur. Bermodalkan lampu petromak, ketiganya berjalan menyusuri jalanan Kampung yang sepi dan gelap. Hanya suara binatang kecil terdengar, seolah ikut mengiringi awal pekerjaan mereka.

Langkah ketiganya melambat, saat memasuki jalan setapak becek dan banyak berkubang lumpur. Hingga sampai di sebuah rumah sedikit besar dan tampak terang, mereka berhenti. Menunggu sebentar,-

dan tak lama menyambut kemunculan dua wanita membawa termos dan bungkusan-bungkusan dari daun pisang, sebagai bekal pemberian keluarga Narsih.

“Kalian bertiga, harus benar-benar menjaganya. Jangan sampai kalian lengah. Karena kuburan Narsih, sudah pasti diincar banyak orang. Ingat! Kalau ada apa-apa kabari saya secepatnya," ucap Mbah Rekso, dari ambang pintu dengan raut wajah datar pada Inal, Tono, dan Sugeng, yang langsung dijawab anggukan pelan.

Setelah menerima bekal, dan dirasa cukup semua pesan dari Mbah Rekso, ketiganya berpamitan. Meneruskan langkah menuju tenda, yang sudah mereka buat sore tadi.

Sebuah tenda beratap dan berdinding terpal hijau. Berpilar bambu dan berlantai papan bersusun, terletak persis di belakang pintu masuk makam umum. Gelap, dingin, dan menyeramkan sudah barang tentu terasa di tempat itu. Tapi tak membuat ciut nyali ketiganya.

Sesampainya mereka di tenda, Inal langsung menggantung lampu petromak di pilar bambu. Sedang Sugeng dan Tono, bermodalkan senter dengan 3 batu baterai di tangan, langsung berjalan menuju makam Narsih, guna memastikan bahwa makam Narsih masih aman.

Gundukan tanah basah, dengan sisa-sisa taburan bunga, tampak masih utuh. Bahkan, nisan bertuliskan NARSIH masih tegak lurus tak goyah sedikitpun, Membuat Tono dan Sugeng merasa lega.

Setelah memastikan, Tono dan Sugeng berbalik kembali ke tenda. Dimana, sudah ada Inal di dalamnya. Tiga gelas kopi telah Inal tuang, bersama makanan olahan dari singkong untuk menemani ketiganya berjaga.

“Gimana Ton, aman?” tanya Inal ketika Tono, masuk duluan ke dalam tenda.
“Aman, Nal. Masih utuh" jawab Tono, sambil tanganya menyambar gelas berisi kopi hitam yang mereka bawa dari rumah pak Widi, orang tua Narsih.

Hal sama juga di lakukan Sugeng, ikut menyusul masuk ke dalam tenda.

“Kenapa to, kok makam Narsih harus dijaga?” tanya Tono, merasa belum begitu mengerti tujuan utama pekerjaannya.

“Supaya tidak digali orang, dan di ambil sesuatu dari jenazahnya,” jawab Sugeng, paling tua di antara Inal dan Tono.

“Maksudnya, gimana to Kang? gak paham Aku,” kembali Tono bertanya, belum puas dengan jawaban Sugeng.

“Gini lho, Narsih ini perawan ontang-anting yang meninggal tepat malam jumat kliwon. Dan itu paling dicari oleh para penganut ilmu hitam. Karena….”

Penjelasan Sugeng seketika terhenti. Saat telinganya mendengar sesuatu, di balik pintu masuk makam umum yang hanya berjarak beberapa meter dari tenda mereka.

Sebentar ketiganya saling pandang, seperti sama mendengar suara dengusan kuat disertai geraman-geraman lirih.

“Jangan di dekati!" Larang Sugeng, melihat Inal akan beranjak mendekati pintu gerbang.

“Kenapa, kang?” tanya Tono heran.

“Biarkan dulu. Aku takut itu pancingan agar kita meninggalkan kuburan Narsih. Kamu ingat kan, pesan Mbah Rekso?” jelas Sugeng pada Tono.

Tono dan Inal terlihat tegang. Merasakan suasana mulai mencekam. Berbeda dengan Sugeng, terlihat biasa saja. Sugeng memang paling pemberani, di banding Inal dan Tono. Sebab dia sedikit banyak belajar dari Mbah Rekso.

Lama mereka menunggu dalam kebisuan. Namun tak ada tanda-tanda apapun selepas suara-suara itu menghilang. Membuat ketegangan di wajah mereka mengendur.

Malam terus bergulir, meninggalkan larut hingga ke dini. Sampai akhirnya sayup-sayup suara Tarhim terdengar, menandakan waktu Subuh hampir tiba. Sugeng yang tak terlelap semenit pun, segera membangunkan Inal dan Tono,-

tertidur meringkuk dalam dekapan sarung, mengakhiri tugas pertama mereka dengan hanya gangguan kecil.

Dari Surau kecil yang letaknya paling dekat dengan tanah Kuburan di banding Masjid, suara Adzan Subuh terdengar di kumandangkan oleh suara tua.

Setelahnya, hanya beberapa gelintir orang sepuh terlihat ikut menunaikan sholat subuh berjamaah. Miris, padahal satu kewajiban berpahala lipat ganda, namun justru tak menarik bagi sebagian besar kawula muda.

Mereka lebih asik berkelimpung di pembaringan, menikmati alam mimpi, mengabaikan diri mereka sebagai seorang hamba.

Tiga sekawan sang penjaga kuburan Narsih, segera beranjak. Setelah melihat semburat kemerahan di ufuk barat.

Mereka melangkah pulang bersamaan warga yang mulai keluar rumah menjemput rizki dengan berbagai peralatan masing-masing. Menandakan semangat juang, demi menyambung nafas anak dan istri.

Sawah dan ladang memang menjadi sumber utama penghasilan, dan kehidupan mayoritas warga Kampung Krajan. Bahkan, sudah seperti rumah kedua bagi mereka. Sebab, pergi petang pulang petang adalah menjadi keseharian mereka.

“Ke sawah, Mbah, Pakde?" sapa Sugeng, Inal maupun Tono saat berpapasan di jalan dengan para penduduk yang akan pergi ke medan lumpur.

Suasana akrab antar sesama sangat terasa. Mencerminkan satu budaya ramah tamah, sopan santun, masih dijunjung tinggi, sebelum tergerus era modernisasi.

Sebelum pulang kerumah masing-masing, ketiganya sebentar singgah di rumah Mbah Rekso, yang langsung disambut di teras depan rumah sederhana miliknya.

“Bagaimana, Sugeng? apakah ada gangguan?” tanya Mbah Rekso setelah mempersilahkan mereka duduk.

“Maaf, Mbah. Cuma gangguan-gangguan kecil,” jawab Sugeng, menunduk. Menandakan ia begitu menghormati Mbah Rekso.

“Semoga saja, sampai tutup lemah Jalasuto, tak ada yang berniat membongkar kuburan Narsih," ucap Mbah Rekso sembari menatap lurus ke depan, saat bergumam sebuah harapan.

Sejenak suasana hening. Ketiga lelaki muda yang duduk di hadapan Mbah Rekso tertunduk diam. Menunggu, tanpa berani mengganggu lamunan lelaki tua, penerus awal Trah Rengko Sasmito. Tapi tak lama, suasana mencair dengan datangnya tiga gelas kopi dan satu gelas sebekong teh.

Obrolan hangat kemudian mengalir, diselingi candaan Mbah Rekso, sesekali menggoda ketiga lelaki muda yang masih membujang. Hingga matahari mulai menampakkan kegagahannya, dan juga kopi mereka pun tinggal ampas, mereka bertiga akhirnya pamit.

***

Malam kedua bagi Sugeng dan kedua temanya, masih seperti malam pertama. Hanya gangguan-gangguan kecil mereka alami. Namun saat malam ketiga, menjadi momok mengerikan untuk ketiganya.

Malam itu, entah mengapa suasana Desa dan tanah kuburan berbeda dari malam-malam sebelumnya. Hawa panas di rasakan semua penduduk Desa, tak terkecuali Sugeng, Inal dan Tono, yang sudah berada di tenda darurat mereka.

Sugeng terlihat duduk di sudut tenda, mengipas-ngipas sarung kotak-kotak warisan bapaknya. Mencoba melawan hawa panas yang sudah membuat tubuhnya berkeringat, sampai membasahi kaos oblong di penuhi bintik-bintik hitam, menandakan betapa akrabnya kaos itu melekat di tubuhnya.

“Kang, gerah banget ya, malam ini?" keluh Tono, juga merasakan panas, sembari melepas kancing-kancing kemejanya.

“Iya, padahal tadi siang mendung," sahut Inal, dari luar tenda.

Sedang Sugeng tak menanggapi. Ia masih asik dengan kipasan sarungnya. Sampai tak berapa lama, mereka bertiga sedikit terkejut. Ketika tiba-tiba sapuan angin kencang menghampiri dalam tenda.

Sesaat kepanikan muncul dari diri Inal dan Tono, mendapati hawa berbeda datang beriringan dengan angin panas.

Suasana semakin mencekam, ketika Inal mendadak melompat masuk ke dalam tenda. Wajahnya tegang, seraya matanya melirik ke ujung tanah makam sisi kanan.

“Kang, Aku melihat bayangan hitam masuk lewat sudut sana." Inal berucap sambil menunjuk arah. Dimana, ia melihat bayangan hitam, melompat bersamaan dengan datangnya angin kencang. Membuat Sugeng yang biasanya terlihat santai, langsung terjingkat, mendengar ucapan Inal.

"Sebelah mana?" tanya Sugeng, setelah bangkit dari duduknya.

"Dari sudut itu, Kang." Inal menjawab sambil jarinya menunjuk ke arah tempat dirinya yakini sebagai awal munculnya bayangan hitam.

Mata Sugeng langsung mengikuti arah telunjuk Inal. Sungguh masuk akal pikirnya, jika ada orang masuk melalui tempat itu. Sebab tempat yang di tunjuk Inal, adalah batas tanah makam dan tanah milik penduduk hanya terpisahkan sungai kecil.

Sejenak Sugeng tertegun. Sebelum tangannya menyambar senter dari dalam tenda.

“Nal, kita cek kuburan Narsih. Biar Tono jaga tenda." Ajak sugeng. Seraya melangkah pelan, sambil menghidupkan senter. Sedang Inal, tanpa menjawab langsung mengekor di belakang.

“Sebelah mana tepatnya Kamu lihat bayangan tadi?” tanya Sugeng kembali, saat sudah berjalan lumayan jauh dari tenda.

“Itu kang,” jawab Inal, mengarahkan cahaya senternya ke sudut tanah makam, di sebelah sungai kecil berbatas dengan ladang ubi milik warga.

Sugeng terus berjalan bersama Inal di belakangnya. Melangkah pelan, melewati gundukan-gundukan makam, yang terkadang harus mereka injak.

Langkah mereka baru terhenti, sesampainya di tempat inal, melihat bayangan hitam itu masuk.

Sekilas, tempat itu tampak biasa saja. Tak ada yang aneh dan ganjil. Sebelum Sugeng mengarahkan senternya ke bawah. Melihat jejak-jejak kaki bertanda hitam mengarah ke makam Narsih.

“Nal, cepat! Kita lihat kuburan Narsih!" Ajak Sugeng, menunjukan kepanikan.

Inal yang belum sempat menjawab, setengah berlari mengikuti Sugeng, sambil terus mengarahkan cahaya senter ke kuburan Narsih.

Sugeng dan Inal tak peduli lagi, kaki mereka berkali-kali menginjak, menendang nisan kuburan yang berjejer. Mengabaikan rasa takut, demi sebuah tanggung jawab.

Hingga sesampainya di kuburan Narsih, Sugeng dan Inal terdiam sebentar. Tak lama, keduanya menarik nafas lega. Melihat gundukan tanah masih berpayung, masih sama dan utuh.

"Kenapa tadi pucet banget, Kang?" tanya Inal, sedikit heran pada Sugeng. Saat begitu panik dan tegang sewaktu melihat jejak kaki bertanda hitam.

“Gapapa. Malam ini kita harus bener-bener extra menjaga kuburannya. Nanti giliran ngeceknya,” jawab Sugeng tak menjelaskan yang sebenarnya.

Setelah beberapa kali memeriksa sekeliling kuburan Narsih, dan merasa aman, Sugeng dan Inal memutuskan kembali ke tenda.

Hawa mencekam benar-benar Sugeng rasakan saat melangkah, merasa bahwa sedang diawasi banyak mata dari samping kanan dan kiri. Namun, Sugeng. Mencoba untuk tak mengindahkannya, meski dadanya bergemuruh tak beraturan.

“Gimana Kang, aman?” tanya Tono begitu melihat dua temanya masuk dan duduk di dalam tenda.

“Aman, untuk sementara. Tapi nanti, kita bergilir ngecek dan mengawasi kuburan Narsih," jawab Sugeng.

Inal dan Tono hanya mengangguk, tanda mengiyakan. Meski dalam hati, ada sesuatu yang mereka rasakan.

Malam terus bergulir. Hembusan angin-angin tipis khas area persawahan mulai sedikit kencang menyapa alam.

Menyusul langit yang tadinya terang, mulai tertutup gumpalan awan-awan hitam. Seakan ikut melindungi sesosok tubuh, berjarak beberapa tombak dari kuburan Narsih.

“Malam ini, Aku harus mendapatkanya," gumam sosok lelaki kurus tinggi, berbalut kain selempang berikat kepala hitam.

Tubuhnya yang saat itu terbaring menelungkup di samping satu makam, perlahan bangkit.

Matanya tajam menatap kearah tenda. Kemudian berpaling ke arah satu gundukan tanah berpayung dan melangkah pelan mendekatinya.

Sesampainya di sisi makam tersemat nama Narsih, ia memejamkan mata. Menyilangkan kedua tangan, dengan bibir mulai terlihat bergetar. Menandakan jika ia sedang merapalkan sesuatu.

Tak lama, ia terdiam. seolah tengah memastikan, sebelum tangannya menjulur, mencabut payung hitam dan kayu nisan.

Langit semakin kelam. Kilatan-kilatan mulai bermunculan. Ketika tangan sosok itu sedikit demi sedikit menggali tanah kubur penutup jasad Narsih.

Ia tak peduli dengan puluhan sosok-sosok yang tiba-tiba bermunculan, menatap dan mengawasi setiap jari-jari tangannya menjejal ke tanah.

Sosok-sosok menyeramkan yang tadinya hanya melihat, kini tampak melayang dan berlompatan mengerubungi, saat tangan lelaki hitam mulai sampai pada papan dalam.

Terlihat aneh. Puluhan makhluk menyeramkan hanya terdiam dan terus memandang ke arah liang, seolah ingin tau jasad membujur di dalamnya.

Sepintas suasana terasa hening. Sampai pada hawa panas menyambut iringan kilat-kilat, kala tangan sosok lelaki tak lain adalah Suyono, membuka papan terakhir penutup liang.

Wajah putih membiru, dengan tubuh membujur terbungkus kain putih kusam, terlihat jelas dari cahaya sambaran kilat. Membuat seringaian, seketika menyungging di sudut bibir coklat Suyono.

Perlahan, Yono menarik satu demi satu, tali-tali kecil di bawah jasad Narsih. Mendekatkan wajah dan menempelkan bibirnya pada bibir mayat Narsih. Mengakhiri semua ritual yang telah ia jalankan selama bertahun-tahun.

Sementara itu, di dalam tenda, tampak Inal dan Tono tengah menikmati hisapan demi hisapan rokok kretek bersama segelas kopi masih mengepul panas. Mereka terlihat sama, seperti malam-malam sebelumnya.

Tapi tidak pada Sugeng. Dari raut wajahnya, terlihat kilatan rasa cemas penuh khawatir. Berkali-kali matanya menatap keluar tenda, seperti ada sesuatu yang membuatnya merasa tak nyaman.

"Wussss...."

Terjingkat Sugeng. Ketika sekelebat bayangan berlalu cepat di depan tenda.
Buru-buru ia bangkit dan mengedarkan pandangannya, memutari sekitaran tenda.

Dingin udara malam saat itu, tak sedingin tubuh Sugeng. mendapati puluhan sosok pocong berwajah hitam sudah berdiri di sisi kanan tenda.

"Nal, cepat! Bawa senter kemari!" Teriak Sugeng.

Inal dan Tono yang belum menyadari keadaan di luar, sebentar saling pandang. Kemudian keduanya bergegas bangkit meraih senter, mendengar kedua kalinya teriakan Sugeng dengan suara bergetar.

Tak kalah dengan Sugeng. Wajah Tono dan Inal, seketika memucat penuh ketakutan, melihat suasana di luar.

Kini, bukan hanya pocong-pocong berwajah hitam yang berada di sekeliling tenda, melainkan beberapa sosok perempuan bergaun putih panjang, melayang, mengitari mereka.

"Ton, kamu cepat beritahu Mbah Rekso. Aku dan Inal akan melihat makam Narsih," ucap Sugeng, panik.

"Cepat, Ton!"
Lagi, Sugeng berseru, menyadarkan Tono yang masih berdiri kaku.

Dengan bermodal dua senter di tangan, Sugeng dan Inal mulai melangkah, selepas Tono berlari keluar area makam menuju Kampung.

Setapak demi setapak kaki Sugeng dan Inal melangkah mendekati puluhan pocong-pocong berwajah hitam gosong, yang berdiri seolah sengaja menutup jalan.

Tak ada jalan lain bagi Sugeng, untuk menuju ke makam Narsih, selain harus melewati pocong-pocong berbau busuk menyengat. Meski ia seorang paling berani, tapi saat itu nyalinya benar-benar menciut.

Apalagi, ketika ia dan Inal mulai menerobos dan berusaha melalui barisan makhluk menyeramkan itu, tubuh Sugeng terasa anyep.

Jiwa Sugeng dan Inal benar-benar diuji malam itu. Baru saja keduanya lepas dari barisan puluhan sosok pocong. Mereka sudah kembali dihadang satu sosok tak kalah mengerikan.

Gemetar kali ini tubuh Sugeng juga Inal. Jantung keduanya serasa berhenti berdetak, melihat sosok wanita tua berambut acak-acakkan, menyeringai di depan mereka. Tatapannya tajam menusuk, dengan dua bola mata putih rata.

Menyiratkan kesadisan bersama tangan kanannya, menenteng sebilah parang panjang putih mengkilap.

Tak ada lagi yang bisa Sugeng dan Inal lakukan, saat sosok itu berjalan mendekati mereka. Kecuali hanya berdoa dalam kepasrahan.

Sebab, semua mantra dan sedikit bekal dari Mbah Rekso telah Sugeng kerahkan. Namun, tak berpengaruh sama sekali terhadap sosok wanita tua itu.

Seringaian sinis, sesaat berubah lengkingan tawa panjang, melihat Sugeng dan Inal limbung, kemudian roboh.

Padahal, baru hanya sapuan angin menghantam keduanya. Lain halnya dengan Tono. Dirinya masih terus berlari menembus kabut-kabut malam pekat. Berharap bisa segera sampai di kediaman Mbah Rekso.

Tapi sayang, baru saja langkah cepatnya masuk di jalan Kampung, mendadak sekelebat bayangan menghadangnya.

Tono terpaku. Tubuhnya dingin, seakan tak ada lagi darah mengalir. Melihat satu sosok wanita bergaun putih panjang berdiri melototkan mata.

Lutut Tono seketika goyah. Jantungnya sudah tak terasa berdetak, melihat sosok itu melayang sembari tertawa ngikik menuju ke arahnya. Bau amis begitu menyengat, menusuk hidung Tono, saat sosok itu berdiri tepat di depannya,-

membuat kepalanya terasa berat, nafasnya tersengal serta pandangan berubah gelap gulita. Mengakhiri semua perjuangan yang sia-sia.

Semburat kemerah-merahan perlahan menyembul di ujung langit timur.

Menandakan jika sang Surya, penerang alam di waktu siang, akan segera menampakkan sinarnya yang menjadi sumber bagi penghuni bumi.

Pagi itu, suasana berbeda terlihat di kampung Krajan. Keseharian dan rutinitas para petani, biasa terlihat di sawah, ladang, tampak lengang.

Hal berbeda, justru terlihat di tanah layat. Dimana, puluhan orang terlihat sedang mengerumuni sebuah makam. Dari wajah mereka, tampak menyembul kengerian dan ketakutan. Melihat satu sosok jenazah menghitam di dalam makam yang terbuka.

Tak banyak dari mereka mengetahui tentang kejadian saat itu. Mereka hanya tau, jika makam terbuka dan terlihat jasadnya menghitam, adalah milik Narsih.

“Benar-benar iblis! yang nekat melakukan ini," ucap Mbah Rekso geram.

Raut wajahnya merah, menandakan satu amarah menggumpal di dada. Berkali-kali matanya menatap jasad Narsih, telah berubah hitam dan sedikit terendam air berlumpur.

"Apa yang di dapat dari jasad Narsih ini, Mbah? Sampai begitu nekatnya.” tanya Pak Wiro, sang kepala Dusun,

“Semuanya!" jawab Mbah Rekso, singkat.

Pak Wiro sempat ingin bertanya kembali, namun ia urungkan, kala melihat seorang laki-laki datang setengah berlari menghampiri Mbah Rekso.

"Maaf, Mbah. Sugeng dan Inal sudah siuman. Tapi, mereka berdua sepertinya linglung dan ketakutan,” ucap lelaki yang baru saja tiba, dengan nafas terengah-engah.

Mbah Rekso terdiam. Wajahnya benar-benar di penuhi keresahan. Mendengar kabar keadaan Sugeng dan Inal, seperti tau apa penyebabnya.

“Bawa mereka berdua, ke rumahku. Dan tolong, tutup serta timbun kembali kuburan Narsih ini." Parau suara Mbah Rekso saat memberi perintah.

Mendengar ucapan Mbah Rekso, spontan beberapa warga mendekat dan mulai menimbun makam Narsih yang sudah gagal dijaga. Sementara beberapa orang lainnya, ikut mengurus Sugeng dan Inal bersama Mbah Rekso.

Tak butuh waktu lama, kehebohan berita kuburan Narsih di bongkar. Menggemparkan seluruh penduduk Kampung. Bahkan, menyebar hingga ke beberapa Desa tetangga. Membuat Kampung Krajan, hari itu ramai di kunjungi puluhan bahkan ratusan orang.

Banyak asumsi seketika beredar dari mulut ke mulut. Tentang apa tujuan dari pembongkaran makam Narsih. Dari mulai untuk kekayaan hingga sebuah penyempurna ritual ilmu hitam.

Di rumah Mbah Rekso sendiri, tampak Inal dan Sugeng baru sadar, namun dalam keadaan linglung dan tak bisa mengingat apa-apa.

Terlebih, keduanya tak sanggup berbicara. Mereka hanya terdiam dengan expresi wajah sangat ketakutan. Sehingga Mbah Rekso dan beberapa orang lainya tak bisa mendengar cerita apapun dari keduanya.

Nasib naas juga tak luput di alami Tono. Ia juga mengalami hal serupa, sehingga membuat semua orang yang mendengar dan melihat keadaan mereka bertiga, semakin yakin, jika kejadian pembongkaran mayat Narsih, sebuah ritual pesugihan dan ilmu hitam.

Sore itu, Mbah Rekso, sedang duduk berhadapan dengan Pak Wiro. Membicarakan seputar kejadian menimpa jasad Narsih. Tak lama ia mendadak bangkit, ketika melihat seorang lelaki tua berjalan dengan buru-buru mendekatinya.

Wajah lelaki itu tampak begitu tegang. Matanya yang bening nyalang, menyorot kecemasan dan kekhawatiran begitu dalam. Tapi sebentar, terlihat keakraban antara lelaki tua berbaju dombor hitam dengan Mbah Rekso dari cara mereka berpelukan.

Sebelum ia duduk di sebelah Mbah Rekso, dan menggerakkan bibirnya berucap.

“Ini bakal menjadi gerbang angkoro. Lemah Jalasuto sudah dia ambil. Artinya, dua kekuatan hitam sudah ia dapatkan."

Mbah Rekso nampak tertegun, mendengar ucapan laki-laki tua biasa di panggil Mbah Bayan. Salah satu sesepuh Kampung Krajan, juga salah satu ketua adat Kejawen, yang di angkat oleh Trah Rengko Sasmito.

"Itu artinya, panjenengan sudah tau siapa pelakunya, Mbah?" tanya Pak Wiro sedari awal hanya diam, memberanikan diri bertanya.

“Saya rasa, Rekso juga sudah bisa menduga siapa pelakunya? Tapi, sekarang Dia sudah pergi. Karena semua sudah ia dapatkan," sahut Mbah Bayan.

"Tirakat Ngrame, 100 hari di Alas Purwo, bukan hal yang mudah dan ringan. Tapi ia sanggup melewatinya," ucap Mbah Rekso menanggapi ucapan Mbah Bayan.

“Sebenarnya, siapa yang panjenengan-panjenengan maksud? Dan ilmu apa yang didapatkan dari membongkar makam Narsih?" Pak Wiro, sudah tak tahan dengan rasa penasarannya, lagi-lagi bertanya.

Mbah Rekso dan Mbah Bayan sejenak saling pandang. Sebelum Mbah Rekso melempar tatapannya lurus ke depan. Menarik nafas panjang, seraya berucap dengan berat.

"ROGOH NYOWO"

"Sudah, Pak. Meski tak sepadan dengan bapak, tapi saya yakin Mas Suntoro bakal suka dengan gadis itu," jawab Munaji dengan sedikit membungkuk hormat.

"Masudmu, tidak sepadan soal harta?" kembali laki-laki berwibawa dengan jaket bludrunya bertanya, seraya mengetuk-ngetukkan pelan ujung tongkat kayu di tangan kanannya ke tanah.

"Njih Pak," sahut Munaji pelan.

"Aku tidak memikirkan masalah itu. Asal gadis itu benar-benar lahir, pada weton selasa kliwon," tegasnya kembali. Kali ini dengan kepala menoleh serta mata menatap Munaji, orang kepercayaanya dalam segala hal. Bukan saja mengurusi puluhan hektar kebun miliknya, tapi juga urusan ritualnya.

"Kalau soal itu, sudah saya pastikan Pak. Bahwa dia benar-benar perawan selasa kliwon, dan anak tunggal."

Dengan penuh percaya diri Munaji menjawab. Meyakinkan Suyono sang juragan, yang telah ia ikuti beberapa tahun belakang.

Senyum tipis sebentar menghiasi bibir Suyono. Matanya memandang lepas kedepan. Membayangkan jika usahanya bakal membuahkan hasil, mewariskan semua yang ia dapat dari usaha penuh perjuangan dahulu.

Senja sore semakin merangkak hampir tenggelam. Memunculkan sribitan angin-angin tipis mendayu, menyebar kesejukan seantero lahan perkebunan. Membuat dua lelaki itu menyedekapkan kedua tangan mereka seraya menatap kabut-kabut berkejaran.

Menjadi penanda atau peringatan bagi para penghuni bumi, jika malam akan merajai mengganti kepongahan siang menyengat.

Malam itu, di sebuah rumah lumayan besar. Berhalaman luas dengan naungan beberapa pohon buah yang rindang menjulang tinggi di sisi kanan kiri gerbang pintu masuk.

Terlihat semakin asri dengan aneka macam bunga warna-warni tergantung di teras.

Bercahayakan lampu terang di setiap sudut, menyebarkan cahaya putih hingga ke halaman.

Di dalam, di ruang keluarga. Tampak seorang gadis duduk dengan kepala tertunduk di hadapan seorang lelaki berpakaian batik halus berpadu blangkon di kepala.

"Nduk, kamu tau siapa yang kemaren datang?" dengan suara berat dan wajah sedikit tegang, lelaki itu mengawali percakapan dengan bertanya.

Sang gadis cantik nan anggun hanya menggelangkan kepalanya pelan. Menandakan jawaban ketidak tahuannya, tanpa berani mengangkat wajah.

"Dia adalah utusan Pak Yono. Juragan serta orang paling di segani sekitaran wilayah ini," sambung lelaki itu.

Sejenak ia terdiam, menatap dalam-dalam gadis ayu yang masih tetap menunduk di hadapanya. Sebelum meneruskan ucapannya.

"Dia datang atas perintah dan sekaligus wakil dari salah satu anak Pak Yono, ingin melamarmu."

Desiran darah dan degupan jantung gadis itu spontan bergejolak. Membuatnya memberanikan diri mengangkat kepala dan memandang lelaki berblangkon yang tak lain bapaknya sendiri.

Demi Mendengar sebuah kalimat yang masih tabu baginya, lamaran.

"Tapi, Wuri masih terlalu muda Pak. Wuri masih ingin kuliah, belum siap kalau harus menikah," jawab gadis cantik bernama lengkap Wuri Handayani kepada bapaknya, Wardoyo.

Pak Wardoyo lagi-lagi terdiam. Wajahnya sedikit menegang, mendengar jawaban putri semata wayangnya. Seperti ada beban bergelanyut di pundak, saat berpikir akan satu pilihan yang amat sulit.

Suasana sebentar hening. Sebelum dari sebuah kamar paling ujung, tepatnya sebuah ruangan khusus, muncul seorang wanita setengah baya.

Berkain batik setelan kebaya serta rambut di sanggul kebelakang. Terlihat semakin anggun dengan sebuah selendang melilit pada perut rampingnya.

Pelan langkah wanita itu. Mendekat dan duduk di samping Wuri. Tanganya segera membelai dengan lembut rambut panjang milik putrinya yang di biarkan tergerai.

"Nduk, Ibu tau kalau kamu punya cita-cita sendiri. Ibu sama Bapak, sebenarnya juga berat, jika kamu jadi menantu Pak Yono," sejenak wanita yang tak lain Ibu dari Wuri, menghentikan ucapannya. Matanya menatap Pak Wardoyo seolah tengah meminta persetujuan.

"Namun, Bapak sama Ibu, juga berat untuk menolak lamaran dari Pak Yono. Dia bukan orang sembarangan."

Lembut terdengar di telinga Wuri ucapan Ibunya. Tapi bagi Wuri, ada tekanan kuat di balik kelembutan suara itu.

"Karena dia orang kaya raya?" tanya Wuri dengan mata mulai berkaca.

“Bukan hanya itu, Nduk. Tapi lebih dari yang kamu sangkakan." Pak Wardoyo yang tadinya menyimak, ikut menjelaskan.

Bukan tanpa sebab Wardoyo mengucapkan itu. Dirinya tau betul siapa sosok Yono. Menjadi salah satu penguasa lahan perkebunan paling di takuti dan di segani rival-rivalnya. Namun, untuk satu alasan mengapa sosok Yono di perhitungkan, Wardoyo enggan untuk membuka di depan Wuri.

Malam itu tak ada kesepakatan antara Wuri dan orang tuanya. Wuri sendiri tetap kekeh ingin meneruskan cita-citanya menjadi seorang Dokter. Ia tak pernah berpikir jika di usianya yang masih terlalu muda untuk menikah.

Apalagi, dirinya belum tau dan mengenal sosok Suntoro, laki-laki yang menginginkannya.

Hal itu menjadi satu dilema bagi kedua orang tuanya. Sejatinya mereka tak menyukai lamaran itu. Tapi di sisi lain, mereka juga sulit untuk bisa menolaknya.

Selepas perbincangan itu suasana hati Wuri tak nyaman. Meski berkali-kali matanya berusaha untuk dipejamkan, namun tetap saja pikiran dan hatinya memaksa untuk terjaga.

Lama Wuri tertegun di atas pembaringan. Menatap langit-langit kamar, sebelum mengalihkan pandangan ke samping kanan ranjang. Dimana, tergeletak sebuah buku tebal, berisi deretan huruf-huruf bersusun dari penulis idolanya.

Wuri perlahan bangkit dan duduk menyandar setelah tangannya meraih buku Novel tebal dari meja. Mencoba mengusir perasaan yang dirasa semakin tak enak. Tapi, baru saja ia membuka lembaran berlipat sebagai penanda, mendadak ia terdiam.

"Srekk... Srreekkk... Sreekk...."

Sekilas mata Wuri melirik jendela kamarnya. Tempat asal suara langkah terseret menyentuh daun-daun kering.

Tak ada apapun, tak ada siapapun. Hanya kain kuning ke emasan penutup kaca jendela yang bergoyang pelan terhembus angin.

Mata Wuri kembali fokus pada novel yang di pegangnya. Membaca kalimat demi kalimat dalam hati. Sampai akhirnya kembali terhenti, kala telinganya lagi-lagi mendengar suara langkah itu.

Bahkan, kali ini Wuri menajamkan mata dan pendengarannya saat langkah itu semakin jelas dan mendekat ke arah jendela.

Wuri seketika meletakkan novelnya. Kakinya perlahan turun dari ranjang besi berhias kelambu putih motif bunga-bunga.

Ia melangkah pelan mendekati jendela kamar berlapis kain horden kuning tanpa teralis.

"Wuusshh...."

Terjingkat kaget Wuri. Saat baru beberapa langkah, tiba-tiba satu tiupan angin kencang masuk dan melewati kain horden menerpa wajah serta rambutnya.

Membuatnya berangsur mundur ke belakang. Bukan saja ia dikejutkan dengan hembusan angin kencang, tapi juga pada bau gosong daging terbakar yang datang bersamaan.

Mata Wuri tak lepas memandang jendela kamar berbentuk memanjang dari bawah keatas setinggi dirinya. Meskipun rasa takut mulai menyusup, tapi rasa penasarannya jauh lebih besar.

Namun, beberapa saat kemudian, Wuri merasakan tengkuknya dingin, bulu kuduknya meremang,-

ketika untuk kedua kalinya angin berhembus lebih kencang menyibak tirai gorden, memunculkan dua bayangan sosok di luar kamar.

Jelas, sangat jelas mata Wuri melihat dua sosok itu. Sosok wanita tinggi bergaun putih kusam, berwajah hitam gosong dengan rambut terjuntai memanjang.

Namun, bukan sosok itu yang membuat Wuri gemetar. Tapi satu sosok wanita tua sedikit bungkuk di belakangnya. Berbola mata putih rata dan menenteng sebilah parang panjang mengkilap di tangan kanannya.

Wuri yang sudah ketakutan, membalikan badan berusaha lari keluar dari kamar. Sayang langkahnya lagi-lagi harus tertahan, terhadang sosok wanita bergaun panjang, yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu.

Kini wuri benar-benar tak berdaya. Tubuhnya kaku, wajahnya pucat pasi, mendapati sosok itu tersenyum, sembari menjulurkan kedua tangannya seperti ingin memeluk.

"Aaaaakkkkhh...."

Jerit Wuri tak kuat lagi menahan ketakutannya.

Tubuhnya terkulai lemas, terduduk di tepian ranjang dengan nafas memburu. Menyesapi bau gosong bercampur kamboja memenuhi rongga hidungnya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close