Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TEREKAN KEDUNG JANIN (Part 8)


JEJAKMISTERI - Rahmad cepat-cepat membalikan badan. Melangkah terburu seirama degup jantungnya yang sudah tak beraturan. 
Sesampainya ia di kamar, segera menyelimuti seluruh tubuhnya. Membiarkan keringat dingin yang membasahi tubuh dan pakaiannya. Mengabaikan suara lirih nan samar dari kamar mandi, lagi-lagi terdengar layaknya orang tengah mandi sembari bersenandung kecil. 

Malam itu adalah awal dari puncak semua kejadian pilu yang merenggut harapan kebahagiaannya. Tak bisa di tolak atau pun dirinya cegah. 

Di hari kedua, sama persis di waktu yang sama. Saat fajar mulai meredup, Rahmad yang baru pulang dari mencari nafkah, kembali mendapati istrinya tengah di pijat oleh sosok Mbah Sulak.
Keanehan dan kejanggalan sudah Rahmad rasakan dari tatapan dan bau kapur barus sosok tua Mbah Sulak yang sedang mengelus pelan bagian perut Warni. Rahmad hanya diam, tak mampu ia bersitatap lama, tak sanggup dadanya menampung aroma kapur barus yang menyengat, membuatnya memilih untuk keluar dari kamar dengan iringan seringai kecil yang selalu keluar dari bibir tua Mbah Sulak bila melihat dirinya. 

Tapi sore itu, Rahmad mempunyai pemikiran lain. Ia mencoba membangun keberanian guna menjawab rasa penasaran serta ingin mengetahui, siapa sosok Mbah Sulak sebenarnya. 

Rahmad saat itu duduk menunggu tepat di sisi kiri pintu lorong bersekat kain gorden berenda bunga. Setelah sebelumnya sengaja menggeser letak kursi untuk tujuan memudahkan dirinya melihat jelas ke arah pintu kamar. 

Semenit, dua menit, sampai puluhan menit Rahmad menunggu, akhirnya yang ia tunggu pun muncul. 
Mbah Sulak, dengan tubuh sedikit membungkuk melangkah pelan keluar dari dalam kamar. Matanya seketika menyorot tajam melihat Rahmad yang duduk dan juga tengah memandang dirinya, seperti tau bila Rahmad sengaja menunggu. 

Sebentar mereka beradu pandang untuk kesekian kali. Lalu tak lama, Rahmad bangkit dan selangkah maju mendekat. 

"Mari, Mbah. Saya antar pulang," ucap Rahmad, sedikit menekan rasa takut, kala mencoba menawarkan diri untuk mengantar sosok Mbah Sulak. 
"Tidak usah. Saya bisa pulang sendiri," sahut Mbah Sulak dengan suara berat sedikit serak. 
"Hari sudah gelap, Mbah. Biar lebih cepat, Mbah sampai di rumah," kembali Rahmad menawarkan diri. Berharap jika Mbah Sulak bersedia dirinya antar, dan menjadi jawaban atas rasa penasarannya. 

Kali ini Mbah Sulak hanya diam. Mata tuanya semakin menyorot tajam, seperti ada sesuatu dirinya tak sukai dari kalimat yang di ungkapkan Rahmad. 
Sebentar sosok Mbah Sulak melangkah lebih mendekat ke arah Rahmad. Dan berhenti tepat di sisi kanan Rahmad. Membuat jantung Rahmad mendadak berdegup kencang saat merasakan hawa berbeda dari sosok tua bertapi jarik yang kini di sampingnya, selain bau kapur barus yang tajam menyebar dari tubuh berkulit penuh kerutan. 

"Rumahku tak jauh dari sini. Dan cucu-cucu saya, sudah menunggu untuk menjemput. Jadi kamu tak perlu mengantar," bisik lirih Mbah Sulak, di telinga kanan Rahmad.

Antara kaget dan takut saat itu di rasa Rahmad. Meski suara Mbah Sulak pelan masuk ke dalam gendang telinganya, tapi makna dari kalimat itu, janggal dan langsung membuat merinding tubuhnya. 

"Saya permisi dulu, besok saya datang lagi," ucap Mbah Sulak kembali masih lirih, sebelum senyum sinis di sudut bibir, mengawali tubuh bungkuknya berbalik dan melangkah pelan menuju pintu belakang.

Rahmad semakin terpaku. Menyaksikan kepergian Mbah Sulak lewat belakang, bukan melewati pintu depan sebagaimana umumnya seorang tamu. 
Seketika rasa penasaran menggelanyuti benak Rahmad, demi keingintahuan kemana lagi arah Mbah Sulak selepas dari rumahnya. 
Saat itu juga, Rahmad mengikuti langkah Mbah Sulak. Mengabaikan suara Warni yang beberapa kali memanggil namanya. 

Dingin di rasa Rahmad saat baru menapak lantai ruang keluarga. Walau ia tau waktu memang telah petang sesudah beberapa menit lalu telinganya mendengar Iqomah sebagai tanda masuknya waktu Sholat Maghrib berjama'ah. Namun kali ini, rasa dingin yang menjalari sekujur tubuh, terasa lain dari hari biasanya.

Rahmad terus saja melangkah sedikit berjinjit. Meski ada beberapa hal janggal sudah menyambut, namun tak ia perdulikan. Ia baru berhenti, terdiam kaku mematung, saat melihat Mbah Sulak sudah berada di ambang pintu belakang. 
Seringai tajam sesaat menghias dari bibir Mbah Sulak kepada Rahmad, sebelum kakinya melangkah keluar. 
Tepat di saat itu, satu pemandangan di luar, seketika membuat tubuh Rahmad gemetar. Jelas, sangat jelas mata Rahmad melihat beberapa sosok anak kecil berkain sewek menyambut dan menggandeng tangan Mbah Sulak. Sosok-sosok itu terlihat riang, mengerubung dan berlarian mengelilingi tubuh Mbah Sulak, layaknya cucu yang bermanja pada neneknya. 

Kini, Rahmad yakin dengan firasatnya tentang siapa sebenarnya sosok Mbah Sulak. Keyakinan itu semakin menguat dalam diri Rahmat, manakala ia memberanikan diri mendekat ke arah pintu, dan mendapati sosok Mbah Sulak di iringi puluhan anak kecil, melangkah lurus menuju ke belakang rumah.

Suasana yang gelap memendekan jarak pandang mata Rahmad. Sehingga hanya bisa melihat sampai pada tempat yang terkena sebaran cahaya lampu dari sudut kanan. Namun dari situ, Rahmad tau, Rahmad mengerti arah ke mana Mbah Sulak berjalan dan menghilang. Dari situ juga, Rahmad mengetahui sosok Mbah Sulak yang tiba-tiba berubah wujud menjadi sosok wanita cantik, bergaun putih lusuh dengan rambut terjuntai memanjang sampai menyapu tanah. Membuat dirinya langsung bergidik ngeri penuh ketakutan. 

"Mas, Kamu ngapain di situ?" 

Terjingkat kaget Rahmad, mendengar suara Warni dari arah belakang. Sebentar ia menoleh, menatap istrinya yang sudah berdiri sedikit bersandar pada pintu lorong penghubung dapur dan ruang keluarga. 
"Gak apa-apa, Dek," sahut Rahmad mencoba menutupi ketakutannya. 
Cepat-cepat Rahmad berpaling. Sekilas matanya masih sempat melirik ke arah luar. Di mana, sosok Mbah Sulak yang berubah menjadi sosok wanita cantik bergaun putih panjang dan puluhan anak kecil sudah menghilang. Berganti kabut-kabut tipis bertebaran menghias gelap malam, sebelum tangannya dengan keras menutup pintu dan menguncinya. 

Rahmad segera beranjak dari ruang dapur. Menghampiri Warni yang memasang wajah menciut, dan langsung menarik pelan membawanya ke dalam kamar. 

"Ada apa sih, Mas? kok semakin aneh saja kamu ini?" tanya Warni sesampainya di dalam kamar.
"Dek, ini benar-benar bahaya! Aku harus menemui Mbah Sarji dan Pak Luqman malam ini juga," jawab Rahmad dengan panik. 
"Bahaya? bahaya kenapa, Mas? apanya yang bahaya?" tanya Warni dengan raut heran. Namun tak lama, wajah Warni kembali berubah sebelum Rahmad sempat menjawab. 
"Jangan kamu bilang ini ada urusanya dengan hal takhayul, hingga kamu mau menemui orang tua itu. Tidak..! tidak Mas. Aku tidak ijinkan kamu pergi! apalagi cuma untuk menemui orang tua dan Ustad itu!" sambung Warni tegas dan sengit. 

"Dek, sekarang aku tanya. Dari mana kamu tau dan mengenal Mbah Sulak, sebagai seorang tukang pijat?" tanya Rahmad masih dalam kepanikan. 
"Dia itu memang dukun pijat, Mas. Mbah Sulak itu juga warga kampung sini, yang biasa mengurusi wanita hamil sampai masa lahiran. Kemaren dia datang dan menawarkan diri buat ngurut saya, kebetulan memang saya kan sudah lama gak pijat. Dan pijatanya tu, enak, nyaman banget. Cocok aku pokoknya sama pijitannya."

Warni menjawab dengan panjang lebar. Tapi dari jawaban itu, semakin menyiratkan kecemasan dan kekhawatiran dalam diri Rahmad.

"Tidak, Dek. Besok kalau dia datang lagi, kamu harus menolaknya. Dia itu bukan manusia. Mbah Sulak itu sosok wanita yang Mas lihat beberapa kali di belakang rumah. Dia bukanlah manusia," sahut Rahmad menjelaskan tentang apa yang sudah benar-benar ia saksikan sendiri beberapa menit lalu. 

"Mas, coba deh. Mas Rahmad sekali-kali berpikir secara logis. Jangan mudah percaya dengan hal-hal seperti itu. Apalagi berdasarkan ocehan orang tua itu," lagi-lagi sangkalan keluar dari mulut Warni, mendengar ucapan suaminya. 
"Kali ini tolong kamu percaya, Dek. Mas tadi lihat sendiri, jika Mbah Sulak berubah menjadi sosok wanita yang pernah Mas lihat sebelumnya. Dan rumah Mbah Sulak itu di belakang rumah kita ini. Makanya, Mas mau nemuin Mbah Sarji dan Ustad Luqman yang tau dengan hal-hal seperti ini." Terang Rahmad yang masih ngotot dan berusaha meyakinkan Warni. 

"Terserah apa kata kamu, Mas. Aku tetap nggak percaya dengan semua itu. Aku yakin jika Mas Rahmad terlalu banyak berhalusinasi dan kemakan cerita dari orang tua itu. Mas mau anggap manusia atau bukan Mbah Sulak, itu terserah Mas Rahmad. Tapi aku tetap tak ijinkan Mas Rahmad keluar dan menemui orang tua maupun Ustad itu titik!" 

Terdiam kali ini Rahmad, mendengar ucapan dan larangan keras nan sengit istrinya. Ia tak mampu lagi berkata, matanya hanya bisa menatap tubuh Warni yang sudah terbaring membelakangi. Pikiran Rahmad seketika melayang penuh kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan, kala bayangan sosok Mbah Sulak, manari-nari di pelupuk mata. Seolah tengah tersenyum penuh kemenangan atas kegagalan sekian kalinya meyakinkan istrinya sendiri. 

Lunglai tubuh Rahmad terduduk di tepian Ranjang. Dan tak lama, ia pun terpaksa ikut berbaring di samping Warni. Jiwanya berkecamuk, batinnya bercampur aduk antara takut, ngeri, dan cemas. Membuat matanya enggan mengatup meski badannya yang sudah terasa dingin merasakan keletihan, setelah sehari penuh berkecimpung melaksanakan tugas dan kewajiban seorang laki-laki dalam mencari nafkah. 

Selagi Rahmad hanyut dan tengah berpikir keras, satu perasaan takut kembali hadir dan menyusup kuat, saat tiba-tiba saja, hidungnya membaui satu aroma wangi yang tak asing. Hingga semakin lama, aroma wangi itu semakin menguat di dalam kamar, membuat bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya berdiri meremang. 

Tak sampai di situ, perasaan takut dalam diri Rahmad, semakin menjadi-jadi. Ketika dirinya merasa ada sepasang mata tengah menatapi. Sepasang mata itu seolah tengah melotot dan mengawasi dengan tajam. 

Rahmad terhenyak dan tercekat kuat, ketika sepasang mata dan bau wangi bunga kamboja, di rasanya begitu dekat, bahkan sangat dekat sekali, seperti berada tepat di sampingnya, bersebelahan dengan tubuh Warni yang telah terlelap berselimut. Namun ketika ia bangkit terduduk, mengamati serta ingin memastikan, sepasang mata dan bau wangi bunga kamboja mendadak hilang. Hanya geraian rambut hitam tanpa di ikat milik istrinya yang terlihat. Membuat dirinya tertegun sejenak, sebelum buru-buru menarik selimut, menutupkan ke seluruh tubuhnya. 

***

Pagi itu, setelah mengisi perut serta mengemas keperluan kerja, Rahmad dengan wajah lesu melangkah dan menghampiri kuda besi buatan jepang yang selalu menemaninya bekerja. Tapi pagi itu, sepertinya ada hal lain yang di lakukan Rahmad. Sebab jalan yang biasa dan seharusnya ia lalui untuk ke tempat kerja berbelok ke arah kanan, namun pagi itu Rahmad seperti sengaja berbelok ke arah kiri. 

Ia terus memaju laju kendaraan roda dua warna merah miliknya. Menyusuri jalanan kampung tanpa aspal dan banyak berlubang. Melewati puluhan rumah warga, sampai akhirnya berbelok dan berhenti di halaman sebuah rumah berdinding tembok bercat hijau, berteras lebar dan memanjang seperti sebuah pendopo.

Tak berapa lama, setelah tiga atau empat kali Rahmad mengucap salam, seorang lelaki tua dengan memakai sarung dan berkopiah lusuh, muncul menyambutnya. 
Keduanya segera duduk di kursi berukir dengan sebuah meja bulat di tengah. Sepintas berbasa-basi, sampai akhirnya Rahmad mengutarakan dan memulai cerita panjang lebar, tentang kejadian demi kejadian yang dalam dua malam ia alami berkenaan munculnya sosok Mbah Sulak.

Sejenak laki-laki tua yang tak lain adalah Mbah Sarji, mendengarkan seksama dari awal cerita Rahmad dengan wajah biasa dan sesekali datar. Hingga sampai pada saat Rahmad menyebut nama Mbah Sulak, wajah Mbah Sarji seketika berubah menegang kencang, menunjukan rasa terkejut yang teramat.

"Celaka! jika benar-benar sosok Mbah Sulak muncul dan sudah menemui istrimu, Mas Rahmad!" ucap Mbah Sarji tegang. 
"Maksudnya, Mbah?" tanya Rahmad mulai sedikit cemas.
"Istrimu berarti tak meminum serta menggunakan air pemberian saya dan Pak Luqman. Juga ada sesuatu telah di lakukan istrimu sampai mengundang kemunculan sosok Mbah Sulak yang sudah puluhan tahun tak terdengar kemunculannya," jawab Mbah Sarji sembari matanya menerawang jauh ke depan, seperti tengah memutar memori dalam ingatannya. 

"Siapa Mbah Sulak, sebenarnya Mbah?" tanya Rahmad kembali, yang belum mengerti. 
Sebentar Mbah Sarji terdiam. Seakan enggan menjawab pertanyaan Rahmad. Namun kemudian, satu tarikan nafas berat mengawali sebuah kalimat jawaban, yang membuat Rahmad terhenyak dalam ketakutan. 
"Mbah Sulak, adalah seorang dukun ilmu hitam yang merangkap dukun bayi. Ia menjadi jujugan para wanita malam guna memasang susuk ghaib dan juga orang yang ingin menggugurkan kandungan. Ia adalah pemilik pertama rumah yang kamu tempati." 

"Dulu, rumah itu adalah praktek perdukunan dan tempat aborsi. Sehingga banyak janin serta bayi yang di buang, di kubur sembarangan di pekarangan belakang rumah itu. Sampai akhirnya, warga yang geram setelah mengetahui perbuatan Mbah Sulak, menghakimi dan mengubur hidup-hidup Mbah Sulak di tempat yang sama. Di tempat terkuburnya puluhan janin dan bayi hasil perbuatannya." Jelas kembali Mbah Sarji, dengan raut wajah yang masih menegang...

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close