Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TEREKAN KEDUNG JANIN (Part 9)


JEJAKMISTERI - "Yang aku takutkan, anak dalam kandungan Istrimu, sebab hampir semua wanita yang tengah mengandung, bila bersentuhan dengan sosok Mbah Sulak, di pastikan kehilangan janinnya," ucap Mbah Sarji, membangkitkan rasa cemas kembali dalam diri Rahmad. 

"Apa yang harus saya lakukan demi menyelamatkan Istri dan calon anak dalam kandungannya, Mbah?" sahut Rahmad dengan penuh kekhawatiran. 

"Bawa Istrimu keluar dari rumah itu hari ini juga! jangan kembali sebelum tali pusar mengering dan Pancer Papat Istrimu pulang ke dalam rahim. Hanya itu satu-satunya cara supaya janin dalam kandungan Istrimu lepas dari incaran Mbah Sulak."

"Andai Istrimu tak Mbanggel, mungkin Mbah Sulak masih terkubur dalam kubangan jasad mati yang terkurung. Tapi sekarang sudah terlambat!" sambung Mbah Sarji menjelaskan. 

"Apa tak ada cara lain, Mbah? mungkin dengan bantuan orang-orang tua, Ustad atau sesepuh spiritual di kampung ini, supaya bisa mengusir sosok Mbah Sulak." Ujar Rahmad di sela-sela pikirannya, yang terfokus pada saran Mbah Sarji. 

"Iblis tak akan bisa musnah, Mas. Siapapun yang bersekutu dengannya, akan abadi dalam kesesatan. Hanya raganya bisa musnah, tapi sukmanya akan tersandra oleh ikatan yang telah tergadai. Kelak di hari Kiamat, sukma dan raganya bisa kembali menyatu, guna mempertanggung jawabkan di hadapan Pengeran kang mbau rekso alam dunyo." Jelas dan terang, jawaban dari Mbah Sarji, setelah sebelumnya menggelengkan kepala pelan. 

Rahmad tertegun, ia tidak menampik ucapan Mbah Sarji. Meski dirinya belum begitu tau akan hal seperti itu, tapi ia tak memungkiri satu kebenaran terkandung dari kalimat-kalimat yang di lontarkan Mbah Sarji. 

Secercah harapan sesaat menyelinap dalam benak Rahmad. Tapi di balik itu, tak luput satu keresahan juga ikut menyusup. Mengingat akan sifat keras membatu istrinya, ibarat karang yang tertanam tajam dan kokoh di lautan. 

Memikirkan hal itu, sedikit mengendurkan semangat Rahmad. Seakan sudah tau apa yang bakal terjadi, bila dirinya bercerita serta mengajak Warni untuk meninggalkan rumah, yang sudah di beli dari hasil jerih payah mereka berdua. Apalagi, dengan satu alasan selama ini amat di ingkari istrinya, bakal semakin menyulitkan dirinya guna bisa mengikuti saran dari Mbah Sarji.

Hari itu, Rahmad memutuskan untuk tak bekerja. Setelah meneruskan obrolan sebentar, ia pun pamit kepada Mbah Sarji. Memacu kembali kuda besinya, menuju ke rumah orang tuanya dan beberapa keluarga dekat serta orang tua Warni. Dengan harapan bisa menemukan solusi untuk mengatasi masalahnya. 

Tak ada satupun dari seluruh keluarga dan orang tua yang menolak saran dari Mbah Sarji setelah di jabarkannya. Membuat setitik harapan menyinar dari wajah Rahmad. Namun, harapan itu seketika memudar saat waktu menginjak sore dirinya sampai di rumah. Lagi-lagi, semua upaya serta rencana yang telah mendapat restu seluruh keluarga, terbentur dan mendapat penolakan keras dari Warni.

"Untuk apa pindah? di sana maupun di sini sama, Mas!" Ujar Warni tak setuju, setelah mendengar semua penjelasan dan ajakan Rahmad. 

"Iya, Dek. Tapi ini demi kebaikan kita semua. Aku ingin calon anak kita sehat, lahir dengan selamat," timpal Rahmad berusaha meyakinkan. 
"Lho, kenapa dengan calon anak kita? dia sehat Mas. Bahkan aku jauh lebih baik sekarang, setelah di urut dan minum ramuan dari Mbah Sulak," bantah Warni dengan datar. 

Meski tak terkesan keras ucapan Warni, namun sanggup membuat Rahmad terhenyak. Wajahnya seketika menegang, mendengar nama Mbah Sulak dan kalimat ramuan terucap dari bibir istrinya. 

"Justru itu, Dek. Aku mengajak kamu untuk sementara pindah. Dek, Mbah Sulak itu pemilik pertama rumah ini, dan dia sudah meninggal puluhan tahun silam terkubur tanpa terurus di belakang rumah," sedikit bergetar suara Rahmad, berusaha menjelaskan alasan intinya.

"Mas, kamu jangan ngaco. Dari mana kamu dapat cerita seperti itu!" tanya Warni sembari bangkit dari duduknya, seperti terkejut mendengar ucapan Rahmad. 

"Mbah Sarji. Beliau sudah menceritakan semuanya. Karena itu juga, yang menjadi alasan kuatku mengajak kamu sementara pindah. Kamu tau...? kini Mbah Sulak sedang mengincar calon anak kita." Dingin, jawaban Rahmad kali ini. 
"Sulit bagiku Mas, untuk percaya dengan semua cerita dari orang tua itu. Aku sudah terlanjur nyaman berada di dalam rumah hasil keringat kita berdua. Aku yakin, kita akan baik-baik saja. Lagian, tinggal beberapa bulan lagi, masa kelahiran anak kita. Jadi, kamu gak usah berpikir aneh-aneh mulai sekarang," sahut Warni yang kembali duduk di samping Rahmad. Tangannya perlahan mengelus bahu Rahmad. Mencoba untuk menghibur suaminya yang terlihat kalut. 

"Tapi, Dek. Ini beneran! Mas tadi juga mencari tau dari beberapa teman dan warga kampung sini tentang siapa Mbah Sulak. Dan jawaban mereka sama, jika Mbah Sulak itu sudah meninggal. Bahkan, meninggalnya itu di kubur hidup-hidup oleh warga yang kesal dengan perbuatannya. Mbah Sulak itu dulunya memang dukun pijat tapi juga penganut ilmu hitam," ungkap Rahmad kembali masih berusaha untuk tak menyerah meyakinkan Warni. 

"Lebih baik, nanti kita tanya langsung kebenaran cerita yang Mas dapat pada Mbah Sulak. Biar jelas! aku sih gak percaya. Masa ada orang sudah meninggal, kok masih bisa mijit. Nanti, Mas. Sebentar lagi Mbah Sulak datang, kita cari tau kebenaranya," sahut Warni, masih dengan ketidak percayaannya. 

"Akan lebih baik lagi, jangan terima dan menemui dia lagi. Dek, aku benar-benar khawatir. Aku tak mau terjadi apa-apa lagi denganmu dan calon anak kita. Seperti waktu itu," ujar Rahmad sembari memdongakkan wajahnya. Berharap Warni yang sudah menemani hidupnya beberapa tahun, luluh dan mau mengikuti nasehatnya. 

"Kita lihat dulu kebenarannya, Mas. Jangan-jangan ini cuma fitnah dari orang tua sok pintar itu! juga orang-orang yang tak suka dengan kita dan Mbah Sulak. Kita tunggu sebentar lagi. Supaya semuanya bisa jelas!" lagi-lagi, sahutan sengit, Rahmad terima dari Warni sembari bangkit dan melangkah pergi. 

Rahmad hanya terdiam. Menatapi pungggung istrinya sebelum menghilang di balik kain gorden penyekat pintu penghubung. Sirat kecemasan tampak begitu kuat, menggurat pada wajahnya yang kuyu. 

Sesaat setelahnya, ketika waktu merayap semakin sore, Rahmad mulai merasakan hawa lain dan suasana tak seperti biasanya. Ada perasaan aneh bergelanyut, menyusup, menguat dalam batinnya. Apalagi, ketika matanya menyorot ke luar, melihat keredupan alam yang mulai tersembul bayang-bayang petang, seolah Rahmad rasa bagai satu tanda atau isyarat sebuah kesedihan. 

Lama, lama sekali Rahmad termenung membisu di ruang tamu tanpa tau harus berbuat apa. Sampai tak menyadari bila suara panggilan, lantunan Adzan Maghrib berkumandang lantang, guna menggugah para hamba-hamba untuk segera mendatangi rumah suci, menunaikan kewajiban sebagai makhluk tercipta, menyembah kepada yang menciptakannya secara berjama'ah. 

Rahmad baru tersadar setelah suara saklar, lalu di susul gebyar nyala lampu di seluruh rumahnya. Meski dirinya tak mengetahui tangan siapa yang sudah menekan dan menghidupkannya.

Seketika Rahmad bangkit dan melangkah menuju pintu. Ia semakin sadar jika waktu telah berganti malam, melihat di luar, suasana sudah berubah gelap. 
Rahmad sempat tertegun sejenak, mencoba mengingat-ngingat lamanya ia terduduk sendiri. Ia merasa seolah terhipnotis hingga tak bisa menghitung waktu. Padahal, sore itu, ia berkeinginan membawa Warni keluar, meski tak membawa pindah, namun sekedar mengalihkan dari kedatangan Mbah Sulak. 

Rahmad kembali menyandarkan punggungnya di kursi setelah menutup pintu rapat-rapat. Tapi tak lama, Rahmad kembali bangkit, saat satu jeritan melengking mengejutkannya. 
Gugup dan setengah berlari Rahmad menghampiri kamar, tempat di mana jeritan itu berasal. Sampai sepersekian detik, tepatnya ketika Rahmad sudah di ambang pintu, tubuhnya mendadak terasa kaku dan dingin, sedingin tatapanya yang tertumpu ke atas ranjang. 

"Mbah Sulak!"

Lirih suara gumam tercekat Rahmad, menyaksikan sosok Mbah Sulak tengah terkekeh dan duduk di atas perut istrinya. Ingin Rahmad segera menghampiri serta menolong Warni yang terlihat meringis, seperti menahan kesakitan teramat sangat. Tapi saat itu, kaki Rahmad seolah terpaku, berat, tak mampu ia gerakan sedikitpun.

"Jangan, Mbah... sakitt....!" Rintih Warni dengan mata melotot tertuju pada sosok Mbah Sulak.
Namun suara Warni, seolah satu rintih mengasikan bagi Mbah Sulak. Ia terus saja tertawa ngikik sembari menghentak-hentakkan tubuhnya di atas perut buncit Warni. Membuat Rahmad yang melihat secara jelas, panik dan ketakutan. 

"Mbah, tolong hentikan! jangan sakiti istri saya, Mbah. Lepaskan dia, Mbaahhh!" seru Rahmad di sela-sela kecemasan dan ketakutannya. Tapi lagi-lagi, seruan Rahmad tak di hiraukan sosok Mbah Sulak. Bahkan tidak sedikitpun Mbah Sulak menoleh, ia malah semakin mengeraskan tawa ngikiknya, mengiringi jerit melolong dari bibir Warni.

Rahmad yang masih di rundung kepanikan, kini tersusup rasa tak tega melihat istrinya sangat tersiksa. Ia meraung dan memaksa kakinya untuk melangkah. Namun, baru saja kaki kanannya terangkat, tiba-tiba ia merasa ada tangan-tangan yang menahannya, menarik kembali dengan kuat hingga menjejak dan menapak di lantai semula. 

Sebentar Rahmad masih meraung serak. Berusaha keras dan gigih untuk bisa menolong istrinya. Tetapi kemudian, tak berapa lama, ia terdiam dalam puncak ketakutan. Saat matanya melihat ke bawah, mendapati jari-jari tangan mencengkram erat pada kedua kakinya.

Kilat kepasrahan nampak jelas dari raut wajah Rahmad. Tubuhnya serasa tak bertulang, menyadari sekeliling tempatnya berdiri, sudah di rubung sosok-sosok bocah kecil berkain sewek dengan bola mata membulat kecil berwarna putih rata. 

Puluhan sosok bocah itu, terlihat riang. Tangan-tangan kecil mereka, saling berebut, memegang dan mencengkram kaki Rahmad. Seakan tau dan sengaja, menghalangi Rahmad yang berusaha menolong Warni. 
Meski tangan mereka tampak kecil di mata Rahmad. Akan tetapi, ia merasa bila tangan-tangan itu begitu dingin, keras, dan kuat. Membuatnya hanya bisa terdiam pucat tak berdaya melawan cengkraman sosok-sosok bocah berbau amis, dan tak beralis. 

Linangan air mata Rahmad, akhirnya meleleh di barengi rasa ngeri. Ketika tak lama kemudian, dirinya kembali mendengar lolongan menyayat dari istrinya, saat Mbah Sulak yang sudah turun dan berdiri di samping Warni, menarik paksa sesuatu dari dalam perut melalui jalan lahir istrinya. 

Tawa ngikik panjang Mbah Sulak, di sambut rengekan riang puluhan sosok bocah tak berbaju dan berkepala plontos, sebentar menghias dalam kamar Rahmad. Manakala tangan tua Mbah Sulak, berhasil mengambil sebuah gumpalan sebesar kaki manusia dewasa, dari dalam perut Warni. 

Bau amis bercampur arus spontan menyeruak, menyengat, berasal dari tangan Mbah Sulak yang sedang menimang-nimang gumpalan merah kehitaman dan berlumur darah. 

Mbah Sulak terus menerus tertawa ngikik tiada henti. Sebelum akhirnya terdiam dan melototkan bola mata putihnya ke arah Rahmad. 
Menggigil tubuh Rahmad, jiwanya terguncang hebat, saat Mbah Sulak berjalan pelan mendekatinya sambil mengacungkan gumpalan, yang dirinya tau adalah Janin, calon anak pertamanya. 

"Sudah kubilang, anakmu bagus, kan?" 
Semakin menggigil, gemetar, tubuh Rahmad, mendengar ucapan dan seringaian sinis dari bibir Mbah Sulak yang telah berdiri tepat di hadapannya. Tak mampu lagi Rahmad berucap, atau menyahut. Hanya matanya yang sebentar mengerjap-ngerjap, seolah tak ingin melihat gumpalan ditangan Mbah Sulak. 

Apalagi, saat wajah tua penuh keriput Mbah Sulak mendekat dan tinggal berjarak beberapa senti dari wajahnya, tubuh Rahmad seakan mati rasa. Tak lagi merasakan degup jantung dan desiran darah mengalir. Yang ada, yang terasa olehnya saat itu, hanya sapuan dengus nafas menebar aroma amis, bercampur bau kapur barus dari sosok berbola mata putih rata, Mbah Sulak...

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close