Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 18)


Aku membuang nafas lega. Sepasang tupai hilir mudik memakan jambu biji sambil bercengkrama. Aku hanya menatapnya tanpa bergerak, khawatir santap siang  mereka terganggu karena aku.

Aku mengalihkan perhatian pada rumpun bambu yang masih bergoyang. Mungkin tidak banyak yang tahu jika di rumpun bambu ini ada kehidupan tak kasat mata.  Siapa menyangka jika di sana ada istana yang dihuni oleh berbagai macam makhluk aneh dengan berbagai macam bentuk. Dengan rajanya bernama Golgo. Yang lebih menarik adalah seorang wanita cantik berambut panjang, bermahkota biru. Namun tubuhnya berbentuk ular. Tubuhnya melilit rumpun bambu beberapa kali. Aku tidak bisa memperkirakan berapa panjangnya. Apakah perempuan bertubuh ular ini  permaisurinya Golgo? Aku mengira-ngira.

Kepala perempuan ular itu bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan seperti orang yang sedang menari. Mata birunya menatapku tajam.  Meski terlihat cantik namun bola matanya persis mata ular. Di tengah matanya berbintik hitam. Sesekali lidahnya ke luar terlihat  bercabang tiga. Aku sedikit geli dan merinding melihatnya. Aku palingkan muka  ke sisi lain.

Belum sempat menepis bayangan ratu ular itu, di pucuk pohon bambu rupanya penghuni lainnya menampakkan diri juga. Ada perempuan berbaju putih, wajah penuh darah, duduk mengayun-ngayunkan kaki di ujung dahan. Ada monyet bertubuh besar, menatapku sembari memoncong-moncongkan mulutnya. Beberapa di antara mereka  tampak seperti tulang yang berjalan, ada juga yang tubuhnya hijau seperti lumut, perut buncit, matanya seperti api.   Aku membatin, mengapa mereka menampakkan diri serentak bergini?

Aku sering kemari, tapi tidak pernah berjumpa dengan makhluk sebanyak ini. Paling melintas beberapa makhluk, itupun tidak peduli padaku.  

“Biasa, mereka ingin pamer denganmu. Ingin menampakkan keberadaan mereka”  Ujar Putri Selasih.

“Pamer? Pamer untuk apa? Apa yang mau mereka pamerkan? Cakep juga enggak. Tuh lihat, banyak sekali anak-anak kecil  bermain di siring kecil itu. Mereka terlihat seperti anak kecil tapi tampangnya kayak kakek-kakek” Ujarku menujuk dengan ujung bibir. Putri Selasih menjelaskan kalau mereka itu tuyul-tuyul peliharaan orang dan beberapa tuyul liar kehilangan induk semang.

“Sebenarnya aku enggan bertemu mereka-mereka ini. Tampang mereka kerap kali membuatku takut dan ngeri. Bisa bantu aku tidak, biar aku tidak  bertemu dengan  mereka” Ujarku lirih.

“Tidak bisalah, kamu itu senergi dengan mereka. Jangan ditolak. Kamu sudah ditakdirkan untuk tahu dua alam yang berbeda. Syukuri. Tidak semua orang memiliki kemampuan seperti itu” Ujar Putri Selasih lagi.

“Bukankah dari dulu aku sudah bilang aku ingin menjadi orang biasa-biasa saja. Termasuk dirimu sebaiknya tidak usah mengikuti aku” Ujarku lagi.

“Nggak bisaaaaaaa… kita satu, aku adalah kamu, kamu adalah aku. Kita sudah ditakdirkan jadi satu. Jangan usir-usir aku. Tugasku bersamamu. Paham?” Putri Selasih sedikit berteriak.

“Hei! Jangan berteriak-teriak seperti itu! Nanti copot jantungku, tahu!” Sambungku. Kalau saja Putri Selasih mewujudkan diri dalam bentuk apa saja di hadapanku saat ini, ingin sekali aku menepuk pipinya.

“Aduh!!” Tiba-tiba aku kaget. Selasih mecubit pipiku. Dalam hati aku ingin  marah. Putri Selasih curang rupanya.  Aku mengelus-ngelus pipiku yang terasa perih.

“Kamu itu kadang menggemaskan, kadang bikin sebel, kadang menyenangkan. Pantas saja namamu sering di sebut-sebut oleh Paman, Nenek, Kakek, di gunung Dempu katanya Putri keturunan kerajaan Pekik Nyaring” Lanjut Putri Selasih.

“Kerajaan Pekik Nyaring?” Aku berkerut.

“Iya, kerajaan Pekik Nyaring letaknya di pinggang Barat Gunung Dempu itu” Ujar Putri Selasih.

Informasi apa lagi yang dibawa Putri Selasih. Mengapa pula dia menyebutku keturunan Raja Pekik Nyaring? Di mana pula kerajaan itu? Kali ini aku diam saja. Malas mengajaknya bicara lagi. Ingatanku kembali ke Nenek Kam dan Macan Kumbang.  Aku ingin bertemu. Ada perasaan rindu mendorong-dorong jiwaku. Akhirnya aku duduk bersila.

Melihat aku mulai mengatur posisi duduk, Putri Selasih melarangku.

“Jangan, jangan lakukan itu di sini. Kamu tidak boleh memanggil Nenek Kam dan Macan Kumbang kemari. Nanti kamu diserang makhluk-makhluk yang mengawasimu itu. Sebenarnya mereka ingin menyerangmu, tapi tidak berani. Khawatirnya kamu dijegal mereka dari belakang. Aku tidak akan sanggup menghalangi mereka sendiri. Mereka itu sakti-sakti” Putri Selasih mengingatkan.

Akhirnya aku mengurungkan niatku. Aku harus patuh kali  ini pada Putri Selasih. Bagaimana pun aku tidak ingin dia repot gara-gara keegoisanku.

“Nah, gitu dong. Sesekali berbaik hatilah padaku” Suara Putri Selasih. Spontan saja aku mencubit lenganku. Dan aduh! Sakit. Perasaan aku bisa menyubit Putri Selasih. Ternyata tidak bisa. Aku menggerutu sendiri. Kudengar Putri Selasih cekikikan menertawakan aku.

“Dedeeeeek!” Tiba-tiba aku mendengar suara Bibik Sumi di lembah. Aku langsung berdiri. Beliau tampak kecil sekali di ujung jembatan. Aku melihat beliau melambai-lambaikan tangan. Aku membalasnya dengan riang. Melihat Bibik Sumi duniaku serasa lebih terang.

“Biiiiiik!” Jeritku. Ingin rasanya aku melompat-lompat saking riangnya. Melihat sosok Bik Sumi aku seperti menemukan ruh baru. Aku tidak sabar menunggu Bik Sumi sampai di rumahnya. Akhirnya aku berlari ke sisi jalan. Ingin rasanya menjemput beliau lalu bersama-sama menaiki jalan yang menanjak sambil bergadengan tangan.  Tidak lama, kepala bibik Sumi menyembul  dari tebing. Peluh mengucur di dahinya. Senyum Bik Sumi yang manis mengembang bahagia.

“Sudah lama? Bibik membeli ini?” Katanya sambil memperlihatkan isi kantong tentengannya. Beberapa buah sawo yang sudah matang. Bik Sumi tahu betul kalau sawo salah satu buah kesukaanku. Kami melangkah ke dalam rumah Bik Sumi bersama.

Kulihat Bik Sumi langsung mencuci tangan lalu mengambil nasi, selanjutnya beliau mengambil beberapa sendok labu siam yang ditumis,  seujung sendok sambel cengek, dan sepotong kecil ikan asin dari meja makannya. Selanjutnya beliau ambil air minum yang dituangnya dari kendi yang terbuat dari tanah, berwarna coklat tua. Aku paling suka minum air dari kendi Bik Sumi. Dingin alami.

“Ayo kita duduk di samping saja, bawa pisau dan sawonya” Ujarnya. Aku kembali mengikuti beliau mengiring di belakangnya sembari menenteng kantong sawo dan pisau kecil. Bibik mengajakku duduk menghadap ke gunung Dempu.  Aku kira Bik Sumi mengambil nasi untuknya  dan sengaja ingin makan di samping rumahnya.  Ternyata beliau sengaja mengambil nasi untukku. Beliau langsung menyuapi tanpa bertanya-tanya lagi. Berhubung aku memang belum makan, kuterima saja suapannya dengan lahap.

Disuap  langsung dengan  tangan tanpa sendok  terasa nikmat.  Jari-jari  Bik Sumi dengan lincah mengumpulkan nasi untuk sekali suap, lengkap dengan sayur labu tumis, ikan asin dan sambelnya. Hanya beberapa suap, isi piring ludes. Bibik Sumi lari ke dalam menambahkan nasi sayur labu, sambal dan ikan asin, kembali menyuapiku. Entahlah makan masakan  Bik Sumi terasa sangat nikmat. Meski hanya labu siam tumis biasa. Sambalnya juga sedap. Manis asin asam ada di sana.

“Bibik tahu kamu pasti belum makan pulang sekolah. Iya Kan?” Tanyanya sembari menyodorkan secangkir air putih. Aku  mengangguk lalu meminumnya hingga habis. Selanjutnya Bik Sumi mengupas buah sawo lalu mengirisnya beberapa bagian. Diberikannya padaku.  Aku langsung melahapnya. Tak berselang lama, aku sendawa. Angin di perutku nampaknya berdesakan ke luar melalui mulut.  Sembari mengucapkan alhamdulilah, Bik Sumi mengusap peluh di ujung hidungku.

Matahari mulai condong ke Barat. Cahaya emas makin terang menabrak dinding rumah Bik Sumi. Kami masih menikmati jelang petang  di samping rumahnya. Bik Sumi melanjutkan sulamannya yang menurutnya sudah lama terbengkalai. Sejenak aku memerhatikan gerakan tangannya menyulam kain polos mengikuti pola. Lama-lama aku ngantuk. Beberapa kali menguap. Bik Sumi melipat bahan seprei yang hendak disulaminya sebagai pengganti bantal untukku.

Karena sudah tidak tahan dalam waktu sekejab aku sudah lelap di bangku bambu di samping Bik Sum. Rasanya baru saja terlelap. Aku sadar aku tengah tidur tapi tiba-tiba aku melihat di hadapanku ada jalan kecil  lurus ditumbuhi berbagai macam bunga. Aku hanya berdiri menatap kagum keindahannya.  Aku mengira-ngira apakah ini jalan penghubung kebun bunga atau jalan menuju rumah seseorang. Sebab di ujung jalan yang jauh aku hanya dapat melihat ujung bubungan. Aku tidak  melihat satupun manusia yang melintas. Sepi sekali.

“Mari kita berjalan” Ajak Putri Selasih. Tapi aku menolaknya. Aku tidak mau lancang. Aku tidak tahu apakah jalan ini boleh dilalui atau tidak. Bagaimana jika pemilik  jalan ini  marah karena ada anak kecil berani menitinya. Jika ini jalan umum, tidak ada bekas dilalui orang. Perasaanku mulai aneh. 

“Ayo jalan saja. Nanti sampai ke ujung kamu akan tahu. Di sana ada jawabannya” Ujar Putri Selasih lagi. Aku bersikeras tidak mau. Aku takut berbuat lancang, meski hati sangat ingin melaluinya, sambil menikmati indah bunga. Apalagi beberapa kupu-kupu terbang rendah lalu hinggap di kuntum-kuntum bunga.

Kakiku hampir saja melangkah untuk mengejar kupu-kupu itu.  Tapi sekali lagi takut  melakukan kesalahan, aku menahan kakiku sekuat-kuatnya agar tidak melangkah. Sementara Putri Selasih tidak henti mendorongku agar aku menyisir jalan itu.

Selang beberapa menit, aku melihat seorang perempuan berjalan menuju kami. Langkahnya ringan dan anggun. Pakaiannya yang ringkas, memperlihatkan jika beliau sangat lincah dan gesit. Semakin lama, semakin dekat. Aku mulai berkeringat dingin. Aroma bunga yang semerbak dari tubuhnya sangat kukenal. Tapi aku belum dapat melihat parasnya dengan awas. Belum sempat aku berpikir lebih lanjut, aku melihat perempuan cantik itu tersenyum. Seperti dihipnotis, aku hanya terbengong menatapnya.

“Mengapa kau diam saja di sini, Cu. Bukankah engkau mengatakan sangat rindu denganku?” Ujarnya  dengan tatapan sayang. Aku masih tak bergeming. Aku kembali mengingat-ingat aroma bunga yang semerbak ini. Dimana pertama kali aku mencium aromanya? Dan perempuan cantik ini menyapaku cucu? Oh! Aku serasa gila. Aku tak sempat lagi berpikir tentang wanita beraroma bunga,  tiba-tiba tangannya menyentuhku.

Kurasakan tangannya lembut dan halus. Aku seperti dihipnotis patuh saja ketika diraih dan diajak berjalan di sampingnya. Baru beberapa langkah, beliau berhenti lalu jongkok memegang tubuhku.

“Selamat datang di dusun  Nenek, Erus sayang. Sudah lama Nenek hendak mengajakmu kemari. Nenek tahu kamu sangat rindu dengan nenek Kam bukan? Akulah Relingin, Nenekmu. Inilah wajah Nenek  yang sebenarnya. Sama sepertimu dan Putri Selasih” Senyumnya mengembang. Ingatanku terang kembali. Iya, peremuan cantik ini kulihat ketika nenek Kam tidur.

“Mana Nenek Kam?”  tanyaku singkat. Aku berusaha mengendalikan diri. Ini kali  kedua aku melihat sisi lain wanita cantik yang selalu bersama nenek Kam. Di belakangku, Putri Selasih tersenyum manis.

Belum dijawabnya pertanyaanku, kembali aku diajaknya berjalan. Putri Selasih ikut menggandeng tangaanku. Baru kali ini aku berjalan begandengan tangan dengan Putri Selasih. Gadis kecil berambut kemerahan ini nampak sangat bahagia.

Sempai di ujung jalan, aku terkagum-kagum melihat rumah bari  yang indah. Tangga dan berandanya berukir, demikian juga pintunya yang lebar. Atap ijuk semakin memperkuat keasriannya. Tapi mengapa sepi? Mana lagi orangnya?

“Jangan heran mengapa sepi. Sebagian besar mereka sedang bekerja di ladang dan sawah” Ujar nenek Relingin lagi. Dari kejauhan aku melihat beberapa perempuan dan lelaki berjalan beriringan  dengan baki berurungan berisi padi yang baru dituai menuju tengkiang di belakang rumah. Kaki mereka sangat lincah meniti sekeping papan yang menghubungkan tengkiang dengan pematang paok. Padi-padi  yang belum diirik itu mereka gantung di dalam tengkiang.

“Inilah kampung kita di gunung Dempu. Kamu sesekali harus pulang kemari. Suatu saat, kamu akan nenek ajak untuk bertemu dengan keluarga besar kita di sini. Sekarang belum saatnya. Kamu baru Nenek kenalkan dengan Macan Kumbang dan adek Nenek yang kamu juluki  nenek Ceriwis. Namanya Putri Kuning.”

Lalu aku diajaknya agak ke belakang. Aku melihat ada tujuh rumah berderet rapi di sana. Belum sempat aku bertanya,  Nenek Relingin menjelaskan jika tujuh rumah itu adalah rumah nenek dan kakek yang kelak akan beliau kenalkan padaku.

“Itu yang ujung, rumah Macan Kumbang. Lalu sebelahnya rumah Putri Kuning si nenek ceriwis itu. Nah berhubung hari sudah petang, pulanglah dulu. Suatu saat akan nenek ajak kembali kamu kemari”  Ujarnya lembut. Dalam hati aku bertanya mana nenek Kam? Mengapa nenek Kam tidak ada di sini.  Nenek Relingin mengajakku berdiri dekat jendela.

“Lihatlah itu siapa?” Ujarnya. Aku nyaris menjerit kala melihat di luar jendela ada nenek Kam tengah bercanda bersama perempuan-perempuan penuai padi. Aku ingin sekali memeluknya. Namun Nenek Kam terlalu asyik bercengkrama beliau tidak melihat padaku.

Akhirnya aku kembali bergandengan dengan Putri Selasih menyisir kembali jalan yang semula kulihat lurus dan penuh bunga. Sampai di ujung jalan aku terjaga. Aku melihat ke kiri dan ke kanan. Jalan dan taman bunga lenyap dari pandanganku.

“Dek…Dedek… bermimpi ya?” Bibik Sumi menepuk-nepuk pipiku. Ah, aku mulai terjaga rupanya aku tidur. Tapi kejadian barusan nyata. Aku tidak bermimpi. Aroma bunga  dan halus tangan nenek Relingin masih sangat terasa.

Akhirnya aku diam menyimpan kejadian barusan dalam hati. Dan meyakinkan diri jika kejadian barusan bukan mimpi.

“Memang bukan mimpi” Ujar Putri Selasih.

Bibik Sumi berkemas-kemas hendak mengantarku pulang. Meski aku bersihkeras tidak mau diatar namun beliau masih saja hendak mengantarku sampai ke rumah. Akhirnya aku dan Bik Sum menuruni tebing yang terjal berbatu. Sesekali aku  yaris terpeleset. Berbeda dengan Bik Sumi, karena kakinya panjang, maka beliau dengan mudah menginjak dari batu satu ke batu lainnya. Di benakku, rumah bari,  taman bunga, dan sosok nenek Kam Relingin, masih menari-nari.

Langit berwarna jingga. Puncak Dempu terlihat unjungnya saja. Pantulan cahaya matahari membuat gunung Dempu seperti dipoles warna pelangi. Sekilas aku memandangnya. Jadi aku tadi berada di puncak Dempu? Aku membatin sembari mengiring langkah Bik Sumi yang lincah.

Bersambung…
close