Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 72)


Ruangan tengah istana Puyang Pekik Nyaring sudah sesak oleh tamu sejak menjelang magrib. Entah tamu darimana saja aku tidak tahu. Jika melihat fisik mereka, tidak hanya dari bangsa manusia harimau. Tapi ada juga bangsa jin yang berpakaian gamis. Rata-rata seperti kiayi. Hanya Eyang Kuda yang nampak mencolok di antara yang lain karena beliau mengenakan baju adat jawa lengkap dengan kain dan blangkonnya. Yang lain ada seperti pendekar memakai ikat kepala khas daerah. Ada mirip ikat kepala Sunda, Banten, Bali. Lalu mirip peci Bugis, ikat kepala Aceh dan Minang. Selebihnya mirip kakekku haji Yasir dan Haji Majani. Kopiah haji lalu dililit sorban.

Aku mencari-cari nenek Kam. Rupanya beliau ada di ruang dalam bersama nenek Ceriwis dan para perempuan lainnya. Jika di ruang tengah aku banyak melihat bangsa manusia harimau dan jin, di tempat perempuan justru aku melihat banyak manusia harimau dan bangsa manusia.

“Nek, di sini banyak bangsa kita?” Tanyaku sambil menatap nenek-nenek yang secara kasat mata mereka cantik-cantik, namun dalam kehidupan nyata mereka adalah nenek-nenek yang sudah sepuh sebaya dengan nenek Kam.

“Iya, mereka adalah paranormal-paranormal yang dipercaya oleh puyang-puyang di sini khusus untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Menolong orang yang Sakit.” Ujar nenek Kam lagi.

“Itu lihat, kau kenal bukan?” Nenek Kam menunjuk seorang perempuan saparuh baya. Aku serasa bermimpi melihatnya. Nyaris aku tidak percaya. Beliau Wak Nur yang pernah mengobati kakiku ketika patah dulu.

“Beliau Wak Nur kan, Nek?” Tanyaku ingin keyakinan. Nenek Kam mengangguk.

“Beliau khusus mengobati patah mematah. Sungutannya nenek gunung Ghabuk.” Ujar Nenek Kam. Sungutan itu maksudnya semacam pendamping dalam pengobatan. Nenek gunung Ghabuk itu kakak ghaib Nenek Kam.

“Aku tahu kala itu ketika Wak Nur mengobati aku, ada lelaki yang selalu mendampingi. Tapi itu bukan Kakek Ghabuk, Nek,” ujarku penasaran.

“Iya, memang ada pendamping lain. Tapi tidak lepas dari perintah dan pegawasan Kakekmu itu.” Lanjut Nenek Kam kembali. Aku baru paham sekarang. Akhirnya aku menemui Wak Nur, dan mencium tangannya. Beliau kaget bukan main melihatku di sini.

“Kamu…kamu..anak Hasan bukan? Yang pernah patah kaki kan?” Tangan Wak Nur mengelus pipiku. Aku mengangguk sembari tetap menggenggam tangannya. Beliau memelukku berulang-ulang. Dari tatapannya masih banyak yang ingin beliau tanyakan padaku. Melihat kehadiranku di sini beliau terheran-heran.

“Kapan-kapan kita bercerita ya Wak,” ujarku menyudahi karena banyak tamu yang menyapa beliau. Dari nenek Kam kuketahui jika di antara perempuan yang datang ini ada juga ahli dalam segala pengobatan baik medis mau pun non medis. Ada yang khusus mengobati orang-orang yang kena guna-guna, ada dukun beranak, dan lain sebagainya. Yang membuat aku heran mengapa banyak perempuan, bukan laki-laki. Akhirnya aku pamit dengan Nek Kam untuk ke luar.

Aku duduk-duduk di beranda samping bersama Gundak, A Fung, dan Macan Kumbang. Kami ngobrol-ngobrol ringan perihal pekerjaan sehari-hari mereka. Dari obrolan itu kuketahui jika Gundak telah bertunangan dengan gadis dari dusun Mulak. Sementara A Fung tidur-tiduran berbantal pahaku.

“Wah! Selamat Gundak, akhirnya kau mendapatkan jodohmu. Bertemu dimana dengan gadis Mulak itu?” Ujarku antusias.

“Bertemu ketika aku ngibal (jalan-jalan) ke dusun itu. Aku melihat gadis itu pergi ke tebat (kolam) tengah hari. Aku tertarik, lalu kupinang.” Ujarnya lagi. Aku kaget! Kukira dari bangsa manusia harimau, ternyata dari bangsa manusia. Dulu Gundak pernah mau dijodohkam dengan gadis masih saudara Umaknya. Ternyata batal.

“Kapan jemput bunting (pengantin)?” Tanyaku penasaran.

“Tiga minggu lagi. Sekarang Bak dan Umak tengah mempersiapkan semuanya. Jadi tidak terlalu terburu-buru.” Lanjut Gundak bahagia. Aku bingung apakah harus bahagia atau sedih mendengar Gundak akan menikah. Bahagia karena Gundak akan mengakhiri masa lajangnya, dia mendapatkan perempuan impiannya. Sedih, karena gadis itu dari bangsa manusia, pasti keluarganya akan merasa kehilangan. Aku jadi ingat bagaimanan aku dan Macan Kumbang sama-sama menangis ketika dengan berat hati harus melepas gadis dari dusun Jarai karena dia anak yatim piatu, merawat neneknya seorang diri. Padahal di Uluan sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahannya. Aku memohon-mohon pada Macan Kumbang ketika itu agar membatalkan menyunting bangsa manusia itu. Akhirnya beliau kenal dengan Putri Bulan. Gadis dari kerajaan Gunung Bungkuk.

Gundak telah menyunting gadis dari dusun Mulak. Aku menyimpan rasa sedih di dalam hati. Yang kusedihkan adalah, mengapa harus beristri bangsa manusia.

“Selasih, dalam tradisi kita di tanah Besemah ini, setiap manusia terlahir telah membawa tanda. Mereka yang sejodoh dengan bangsa Uluan sudah ditakdirkan yang Maha Kuasa. Memang harus demikian jalannya,” Macan Kumbang menjelaskan. Aku hanya diam saja tidak berani berdebat. Maksudnya tanda itu, ada golongan manusia yang gampang bersenergi dengan bangsa halus. Memang tidak semua manusia memiliki sifat itu. Aku tidak mau menanyakannya lebih lanjut. Apalagi depan Gundak. Nanti dikira aku cemburu, atau dikira menghalang-halanginya untuk menikahi gadis pilihannya.

“Kak, aku kapan menikahnya?” Ujar A Fung sambil tertawa.

“Kamu anak kecil, tidak boleh menikah. Pecah bulu.” Ujarku ikut bercanda. Candaan A Fung ternyata mampu mengubah suasana. Akhirnya obrolan tidak terlalu serius masalah pernikahan Gundak dan gadis Mulak lagi.

“Putri Selasih, dipanggil Puyang ke dalam.” Seorang lelaki menghampiriku.

“Pengajian segera dimulai, semua diharapkan masuk” seorang lelaki lagi menyusul. Akhirnya kami semua masuk. Aku sempat menoleh dan mememberitahu Macan Kumbang jika melihat Putri Bulan dan kedua orang tuanya datang. Sekilas aku melihat Putri Bulan cantik sekali. Baju kurung yang dipakainya hijau toska sepadan dengan jilbabnya. Mirip dengan baju yang kukenakan ketika di bukit Marcawang. Aku tak sempat menyapanya karena harus menemui Puyang Pekik Nyaring segeralah.

Di ruang tengah yang luas semua tamu duduk bersila. Ruangan tercium wangi. Karena rata-rata tamu memakai pewangi, dan ruang pun demikian. Aromanya lembut sekali. Aku suka. Aku berjalan menunduk menuju Puyang Pekik Nyaring. Puyang menyuruhku duduk di sudut kanan yang sudah diselesaikan terpisah dengan tempat duduknya. Aku menuju tempat yang dimaksud. Si sana beberapa perempuan sepuh duduk rapi tersenyum manis ketika aku datang. Tidak satu pun di antara mereka yang kukenal. Aku menyalami para perempuan sepuh itu, mencium tangan mereka satu-satu. Ketika aku bermaksud hendak duduk di belakang mereka, mereka melarang.

“Itu tempat dudukmu, Cu.. ” Ujar salah satu mereka.

“Biarlah aku di belakang saja, Nek. Rasanya tidak sopan membelakangi para Nenek,” ujarku merasa tidak etis.

“Persoalannya bukan etis atau tidak, Cung. Tapi malam ini adalah pengajian yang dikhususkan untuk mendoakanmu.” Ujar mereka lagi. Akhirnya aku duduk di bagian kosong dengan perasan kikuk.

“Maafkan aku ya Nek, aku duduk di sini membelakangi nenek semua.” Ujarku.

Akhirnya aku duduk juga. Berusaha khusuk mengikuti rangkaian acara. Puyang Pekik Nyaring menyampaikan pada para ramu perihal undangan malam ini. Ternyata selain pengajian rutin, malam ini dianggap malam istimewa. Malam sakral untuk melakukan aktivitas religi. Selanjutnya beliau menyampaikan akan mengantarkan aku tepat tengah malam nanti untuk memulai tirakat kembali. Sebagai rasa syukur karena aku dianggap telah mampu melalui dan bisa menjalani beberapa tirakat sebelumnya, maka Puyang meminta para tamu untuk berdoa bersama agar aku pun kuat menjalankan tirakat selanjutnya, sesuai petunjuk Puyang Pekik Nyaring.

Melihat orang ramai mendoakan, aku terasa sebagai orang sangat penting. Apalagi tamu Puyang banyak sekali dari berbagai macam daerah dan lapisan. Tak sedikit di antara mereka raja-raja, petapa, dan pengelana. Sebelum acara dimulai, Puyang Pekik Nyaring menyampaikan semacam usia singkat tentang hakikat hidup. Semua mendengarkan saksama. Selanjutnya alunan ayat suci, syalawat, zikir, doa mengisi istana Puyang Pekik Nyaring. Aku merasakan energi luar biasa dari syalawat, zikir, dan doa yang dilantunkan. Ada kekuatan yang memagari semua yang hadir maupun alam semesta. Aku hanyut dalam suasana itu. Semua khusuk dengan mata terpejam dan bergoyang-goyang mengikuti alunan syalawat-syalawat yang dilantunkan oleh seorang syech.

Usai berdoa, semua tamu dihidangkan makanan kecil, ada wajik, lemang, juada basah. Sembari mengobrol kecil seperti melepas lelah para tamu duduk santai selonjoran sambil makan-makanan kecil. Tak lama ada yang memberi kode agar tamu menuju ruang samping karena makan malam telah disediakan di sana. Hidangan yang diletakkan di atas sprei di lantai, telah berjejer panjang. Entah ada berapa hidangan yang disediakan. Banyak sekali. Para tamu tanpa diatur telah duduk menghadapi hidangan. Satu hidangan untuk sepuluh orang. Hidangan perempuan dan laki-laki berbeda ruangan. Beberapa perempuan dan laki-laki menyambut dan menyilakan para tamu untuk menghadap hidangan sesuai keinginan mereka.

Jika di alam nyata, hidangan makan antara perempuan dan lelaki sama saja. Mungkin karena rumah bangsa manusia di desa umumnya tidak terlalu luas, biasanya kaum lelaki yang diberi kesempatan lebih dulu untuk makan. Setelah semua lelaki selesai baru giliran perempuan dan anak-anak. Karena ruangan istana Puyang Pekik Nyaring luas, maka di sebelah kanan khusus hidangan untuk tamu perempuan, sedangkan lelaki di ruang sebelah kiri.

Aku melihat tradisi kebersamaan yang luar biasa di sini. Dan ini tetap terjalin dan terpelihara hingga kini. Sambil makan dilanjutkan dengan obrolan-obrolan panjang. Tidak heran jika satu hidangan tanpa sisa. Sebab ketika mereka ngobrol, acara makan jalan terus sekenyang-kenyangnya.

Jelang tengah malam, satu persatu para tamu pulang. Ruangan luas nampak lenggang. Hanya beberapa sesepuh saja yang tinggal duduk melingkar di sudut ruang tengah. Para perempuannya pun bergabung di sana. Aku menatap beberapa lelaki sepuh duduk sejajar dengan puyang Pekik Nyaring. Wajah dan tatapan mereka semuanya teduh, terlihat selalu tersenyum meski tidak dalam keadaan tersenyum. Di antaranya ada Puyang Naga Merah dan Puyang Bukit Selepah. Aku seperti terdakwa di suruh duduk di tengah-tengah menghadap mereka.

Nenek Kam tak henti tersenyum. Entah apa yang dirasakan beliau. Apakah beliau senang karena aku berhadapan dengan tujuh orang sesepuh ini? Bisa jadi. Sebab aku tahu, nenek Kam sejak dulu menanamkan harapan banyak padaku.

“Ibarat rumput buluh, biarlah induk tua, melengkung dan pendek. Tapi ketika menumbuhkan rebung, teruslah menjulang, lampaui ketinggian induk.” Demikian nenek Kam menumbuhkan semangat padaku. Aku harus melebihi dirinya.

“Cung, sebentar lagi bulan purnama pas di atas kepala. Puyang akan mengantarmu ke tempat yang sepi kembali. Ikhlaskan hati sepenuh jiwa. Sebagaimana harapan Puyang-puyangmu, jadilah kau pribadi yang bersih. Suci lahir batin. Ingat Cung, hidup ini adalah amanah. Maka jalankan amanah itu sebaik mungkin. Tebarkan kebajikan, ajaklah selalu jiwa ragamu untuk menyatu dengan alam, menyatu dengan ruh, agar engkau pandai bersyukur.” Ujar Puyang Pekik Nyaring.

Usai mendapatkan wejangan yang begitu padat, akhirnya aku diajak bangkit. Tujuh Puyang mengantarku berjalan menuju tempat yang tidak kuketahui sama sekali. Kakek Andun, Kakek Njajau, Eyang Kuda, Macan Kumbang, Kakek Bujang Kuning, mengiring di belakang para Puyang.

Sepanjang jalan kami diiringi syalawat Nur Izati. Suara yang membimbing syalawat begitu syahdu, membawaku pada titik rasa yang sulit untuk kuungkapkan. Syalawat itu seperti air mengalir deras ke dalam jiwa. Memenuhi seluruh aliran darah. Jiwaku bergetar dibuatnya. Tanpa terasa aku menitikkan air mata.

Kami masih berjalan bersama-sama, namun aku sudah merasa seperti di antar pada titik di mana aku enggan untuk memikirkan berbagai macam hal yang berbau duniawi. Kali ke dua setelah di goa beberapa hari yang lalu aku hanyut pada perasaan yang sulit untuk kulukiskan. Aku mulai menyelaraskan suasana dengan jiwaku.

Sampai seperti di sebuah ujung jalan, di hadapanku ada pintu gerbang yang sangat indah berwarna biru tua. Ukurannya tidak terlalu besar, namun sangat ideal. Ternyata warna biru tua itu adalah batu alam yang sangat halus. Aku terkesima dibuatnya. Para pengantar syalawat hanya mengantar batas pintu gerbang. Aku menoleh pada para pengantar.

“Kakak, selamat menemukan diri yang sebenarnya.” A Fung memelukku. Di antara yang bersyalawat itu ada A Fung. Di bagian pengantar paling belakang ada rombongan nenek Kam, Nenek Ceriwis, Nenek Sulijah dan beberapa perempuan sepuh lainnya.

Melihat suasana pengantar yang ramai, aku jadi ingat masa kecil ketika kakek Haji Yasir pergi haji. Mirip seperti inilah tradisi di kampungku. Setiap ada yang akan pergi haji, maka orang sekampung dengan antusias mengantar calon jamaah haji tersebut hingga ke tepi dusun. Sepanjang jalan diiringi rebana, syalawat badar, penuh semangat dan kegembiraan. Jamaah haji sangat dimuliakan. Mereka dilepas dengan doa dan harapan menjadi haji mabrur, selamat pergi dan pulang ke tanah air. Tak sedikit yang mengantar menitikkan air mata. Tidak hanya terharu dan bangga ada orang kampung bisa menunaikan ibadah tersebut, namun terbersit juga keinginan untuk didoakan agar ada panggilan untuk sampai ke tanah suci pula hingga muncul mitos jika mengantar orang pergi haji, maka yang akan mendapat berkahnya, suatu saat dia akan berangkat juga.

Lambaian tangan nenek Kam dengan senyum, membuat aku tiba-tiba rindu padanya. Aku merasa akan pergi jauh. Aku merasakan gelombang sayang dari diri Nenek Kam sangat mendalam.

“Kau memang akan pergi jauh, Cung. Jauh merantau pada rana religi yang hakiki. Kerinduan pada sesama adalah kerinduan manusiawi dirimu sebagai manusia. Kerinduan pada Sang Khalik akan jauh lebih indah dan dasyat. Rasakanlah itu,” ujar Puyang Pekik Nyaring merangkul bahuku. Aroma wangi dari tubuhnya membuatku semakin segar dan semangat untuk mendekatkan diri Pada-Nya sesuai pesan beliau.

Sambil berjalan, senyum nenek Kam terus membayang. Suatu kali aku pernah bertanya pada Nek Kam, bagaimana perjalanannya sebelum beliau banyak terlibat bersama nenek gunung. Apakah pernah mengalami hal yang sama sepertiku? Nenek Kam menjawab berbeda. Ibarat sekolah ada kelas dan jurusan tertentu. Semakin tinggi kelasnya, maka semakin sulit pula bentuk ujiannya. Apalagi kalau kelas khusus atau spesialis. Waktu itu aku masih tergolong anak-anak. Ketika aku kembali bertanya jika sekolah ada jurusannya, yaitu jurusan sosial dan jurusan ilmu pasti. Lalu Nenek Kam jurusan apa? IPA apa IPS, Nek? Ujarku waktu itu. Lalu jawab Nenek Kam jurusan Gunung Dempu dan Seberang Endikat. Teringat itu aku senyum-senyum sendiri. Kira-kira saat ini aku sedang ujian untuk naik kelas seperti yang dikatakan Nenek Kam apa bukan? Sebab pulang liburan baru beberapa hari, tapi rasanya sarat sekali dijejal berbagai macam hal.

“Dingin sekali udaranya, Puyang ?” Tanyaku sambil menggenggam tangannya. Puyang menatap wajahku.

Nanti di tempatmu tirakat, kau akan merasakan ruang yang hangat. Tidak sama dengan di sini,” ujar Puyang Pekik Nyaring lagi. Sementara di belakangku, sembari berjalan dan ngobrol kecil, aku mendengar setiap degup dada para Puyang terdengar berzikir. Mereka para petapa hebat. Ini terlihat pada wajah mereka mencirikan orang-orang suci.

Jalan yang kami lalui mirip lorong panjang. Tidak ada lampu penerangan di sini kecuali pantulan biru dinding dan jalan. Entah sudah berapa meter berjalan mulai dari pintu gerbang, sekarang jalan agak menurun. Yang membuatku kagum, jika lorong sebelumnya berwarna biru tua, sekarang jalan yang agak menurun berwarna merah. Aku seperti melihat pelangi ketika garis batas warna biru tua bertabrakan dengan warna merah. Ada biru tua, biru muda, merah, ungu, memantul seperti lampu sorot. Ketika cahaya itu menyentuh gamis putih para puyang , baju itu berubah menjadi warna-warni. Huf! Aku nelompati perbatasan cahaya. Tepatnya melompati batas cahaya sebab aku serasa menginjak jurang. Puyang Pekik Nyaring tersenyum melihat tingkahku. Dikiranya aku main-main.

Kami masih berjalan. Aku menatap sosok kami seperti makhluk aneh karena wajah, baju, bayangan kami warna-warni. Jalan tidak datar lagi. Tapi agak menurun. Bahkan beberapa kali seperti menuruni sisi bukit. Lama-lama semakin curam. Aku melihat puyang-puyangku berjalan biasa saja. Tidak sepertiku sedikit berhati-hati takut terpeleset karena baru yang kami injak halus sekali.

Grrruuummm… blap…blap..blap…gggrggh..

Aku mendengar gemuruh dan suara letupan air mendidih. Apakah mungkin di dalam goa ini ada yang memasak?

“Puyang..” Bisikku sambil menajamkan telinga.

“Itu suara panas di perut bumi, Selasih. Posisi kita saat ini di samping telaga.” Puyang menarik tanganku, lalu mengajak aku menongolkan kepala di sela-sela batu mirip sebuah jendela ke arah telaga.

“Masya Allah, jadi kita sekarang ada di sisi telaga, Puyang?” Aku menatap heran. Asap belerang mengepul dari tengah-tengah telaga yang mendidih. Beberapa titik kulihat gelembung airnya menggelegak cukup tinggi. Ada rasa kagum namun ada juga perasan ngeri. Bagaimana jika tiba-tiba air menggelegak tinggi diiringi gempa seperti biasanya, lalu asap membumbung atau merapi kecil ini mengeluarkan lahar panasnya sementara aku ada di dalam? Terbayang hal terburuk itu akhirnya kupasrahkan diri Pada-Nya saja.

Jalan yang kami lalui masih menurun. Akan tembus kemana pula lorong ini, aku membatin. Cahaya kemilau merah dan biru masih menjadi penerang jalan. Selanjutnya terasa kali ini lorong agak menanjak. Banyak sekali lorong-lorong kecil dan buntu kiri kanan. Aku tersentak ketika melihat sosok kurus pucat, berambut panjang, mersemedi di lorong kecil dan sempit. Matanya sangat dalam. Aku menggenggam tangan Puyang Pekik Nyaring agak erat. Ternyata Puyang paham jika aku bertanya perihal betapa itu. Kehadiran kami nampaknya tidak membuat beliau terusik.

“Beliau Puyang Karangan, Selasih. Sangat irit berbicara. Beliau kalau menjawab pertanyaan kita, akan diambilnya benda-benda di alam ini lalu kitalah yang harus menfasirkannya sendiri. Beliau bukan bisu, tapi masalah bicara. Hanya orang-orang yang cerdas saja yang paham apa maksud dan makna yang disampaikannya.” Ujar Puyang Pekik Nyaring. Mungkin maksud Puyang, Puyang Karangan ini selalu menjawab segala sesuatunya dengan filosofi. Wajar butuh orang pintar untuk menafsirkan apa yang beliau maksud. Wajar pula saja jika beliau diam dan merasa tidak terusik. Sebab beliau malas berbicara.

“Assalamualaikum, selamat datang dan menemukan jati dirimu, Cung. Bahagianya Puyang Pekik Nyaring memiliki cucung sepertimu.” Tiba-tiba aku dikagetkan suara halus dari lorong sempit itu. Beliau berbicara melalui batinnya padaku.

“Waalaikum salam, kenalkan namaku Putri Selasih, Puyang. Bahagia mengenal Puyang Karangan.” Aku balas membatin.

“Bisa berbicara rupanya kau Karangan setelah melihat cucung Pekik Nyaring yang cantik ni,” goda Puyang Panggung, yang bersorban dililitkan ke lehernya. Rupanya bisa juga Puyang-puyang ini bercanda.

“Jarang-jarang Panggung ada anak muda serius menjalani rangkaian ritual kaum tua, seperti yang kita jalani saat usia kita tinggal seujung kuku ini. Kalau dirimu dan diriku sudah jelas tinggal menunggu malaikat maut menjemput. Tapi nampaknya kau duluan yang akan dijemput Panggung, bukan aku.” Puyang Karangan balik bercanda. Keduanya tertawa terkekek-kekek diiringi tawa Puyang Naga Merah dan Puyang Bukit Selepah. Puyang Pekik Nyaring hanya tersenyum mendengar obrolan batin itu.

“Kau pilih jalan yang mana, Selasih ?” Ujar Puyang Pekik Nyaring. Di hadapan kami ada tiga lorong sama besar dan sama warnanya, kuning keemasan. Entahlah, apakah warna keemasan itu dari dinding dan lantai batu alam, atau ada sumber warna lain. Aku tidak tahu. Sesaat aku bingung ketika diminta menentukan pilihan.

“Apa kelebihan masing-masing lorong ini, Puyang?” Tanyaku ingin tahu. Sebab jika disuruh memilih pasti ada alasannya. Puyang Pekik Nyaring berdehem. Tidak langsung dijawabnya. Sembari menunggu jawabannya, aku segera membaca kelebihan masing-masing lorong.

Meski secara kasat mata semua lorong terlihat berwarna sama, namun dalam pandangan batinku setiap goa ada kelebihannya. Lorong pertama, aslinya berwarna biru. Di sini tempat jika seseorang hendak mendapatkan pegangan hidup, semacam ilmu yang bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Mencari nafkah dari kemampuan yang dimiliki. Misalnya, ahli dalam pemijatan, urut-mengurut, yang gampang menghasilkan uang, kebutuhan duniawi. Lalu lorong ke dua, aku melihatnya berwarna hijau muda, warnanya lembut sekali. Di sini tempat seseorang untuk mendapatkan ketentraman lahir batin, memilih dekat pada Sang Khalik. Dalam hidup setiap hentakan nafasnya hanya ada Sang Maha. Hidupnya hanya untuk mengabdi pada Sang Pencipta. Sedangkan lorong ke tiga berwarna biru keputihan. Di sini aku melihat lorong ini diperuntukkan untuk siapapun yang ingin mencari kesenangan. Segala, perbuatan baik dan buruk menjadi kabur. Sehingga semua dianggap putih.

“Puyang, izinkan aku masuk lorong ke dua saja.” Ujarku.

“Mengapa kau pilih lorong ke dua, Cung?” Tanya Puyang Pekik Daging lagi.

“Sebab, aku melihat lorong ini lebih membuat batin tentram untuk bermunjat ke pada Allah, Puyang. Lorong yang menyajikan suasana untuk kita lebih dekat dengan Sang Maha Pencipta, Puyang. Aku memilih untuk mendekatkan diri pada-Nya saja, Puyang.” Ujarku lagi.

“Mengapa tidak memilih yang pertama, atau ke tiga saja, Cung. Bukankah sebagai makhluk hidup kita butuh kesenangan pula di dunia. Lorong pertama dan ke tiga itu bisa menjamin hidupmu Selasih,” ujar Puyang Jalak. Di panggil Puyang Jalak karena tongkatnya berwarna hitam seperti burung jalak.

“Di dalam pemikiranku, jika hidup ini dekat pada Sang Khalik, maka kita akan mendapatkan kesenangan di dunia sekaligus kesenangan di akhirat, Puyang. Demikian menurutku, Puyang.” Lanjutku.

Demi mendengar pernyataanku, ke tujuh Puyang serentak menyebut ‘Ooo..’ panjang.

“Alhamdulilah, pilihanmu tepat sekali, Putri Selasih. Lorong nomor dua ini adalah lorong yang paling senyap dibandingkan dengan lorong kiri dan kanannya. Lorong kiri dan kanan, engkau akan mendengar gemuruh, gelegak, bahkan dentuman-dentuman seperti benda api yang meledak-ledak bahkan seakan-akan kita mendengar seperti orang ramai ada di samping kita. Kita merasa suasananya ramai. Sehingga tidak merasa takut. Itulah gambaran dunia” Lanjut Puyang Pekik Nyaring.

***

Aku sempat berpikir, jika bukan karena bimbingan Sang Maha Agung, tak mungkin aku dibimbing untuk menentukan pilihan yang tepat. Apalagi dari pandangan sekilas, semuanya indah dan meneduhkan.

Sambil berjalan, Puyang Pekik Nyaring tetap membekali aku dengan nasihat-nasihat yang membuatku semakin pekat meyakini sebuah kebenaran.

“Jika ingin belajar menuju Allah, maka jangan pakai jalan umum. Yakinlah, seseorang yang ikhlas akan diberi petunjuk langsung oleh Allah,” ujar Puyang Pekik Nyaring sambil menatapku. Aku mengangguk menerimanya.

“Cung, jalan menuju Allah tentu berpedoman kepada Allah. Petunjuk dari Allah tentu tidak akan bertentangan dengan yang tertulis di Al Quran dan Hadist. Mengapa jalan menuju Allah tidak mungkin menggunakan jalan umum? Sebab jalan menuju Allah itu personal, Cung. Antara hamba dengan Allah. Seseorang yang mendekatkan diri ke pada Allah, maka dirinya tidak akan peduli dengan orang yang tidak bisa menerimanya. Karena memang apa yang sedang dilakukannya adalah perintah Allah.” Ujar Puyang Pekik Nyaring lagi. Ini kesempatan selanjutnya aku memperoleh nasihat dari beliau. Mendengarkan penyampaian beliau bagiku sungguh damai. Suaranya yang lembut dan lunak, benar-benar menentramkan.

“Benar, Cung. Kadang ada yang bertanya apakah benar orang yang mendekatkan diri pada Allah itu mendapat bimbingan? Atau karena hawa nafsunya? Jika muncul perasaan itu, artinya kita sudah suudzan,” sambar Puyang Jalak.

“Iya, mereka yang berkata demikian karena tidak mendapatkan petunjuk Allah sehingga mereka menafikan, tidak mempercayai bahwa orang yang mendekatkan diri pada Allah itu mendapatkan bimbingan langsung dari Sang Maha.” Puyang Sambar Langit menimpali. Sebelumnya beliau hanya diam mengangguk tiap kali mendengar Puyang lainnya berbicara. Sementara lima Puyang lainnya turut mengiyakan.

Mendengarkan obrolan sambil berjalan seperti ini, benar-benar meresap di hati. Aku sangat bahagia mengulik pemahaman tentang berserah dan pasrah.

“Jangan pula berpikiran bahwa orang yang mendekatkan diri pada Allah harus pakai jubah, gamis, tongkat, sorban, kerudung, jilbab syar’i, bercadar, dan lain sebagainya. Itu hanya atribut duniawi saja. Petunjuk Allah itu tidak memandang itu semua. Tapi orang yang dekat pada Allah akan terlihat di dalam dadanya, di dalam hatinya dan tercermin dalam kehidupannya sehari-hari,” sambung Puyang Naga Merah. Aku berusaha menafsirkan apa yang disampaikan Puyang Naga Merah. Allah tidak memandang atribut itu maksudnya, mendekatkan diri pada Allah tidak perlu diperlihatkan, dipamerkan dengan tampilan. Tapi akan tercermin dalam sikapnya. Masya Allah, dalam sekali apa yang disampaikan para puyangku ini. Aku seperti mendapatkan kucuran air yang menyejukkan.

“Betul. Ciri utama orang yang mendekatkan diri pada Allah itu adalah orang yang memegang perintah Allah. Selalu menjalankan perintah Allah. Peka dengan perintah Allah melalui ayat atau tanda, terutama tanda yang ada di alam semesta, tanda yang ada disekeliling kita, atau tanda yang ada dalam diri kita sendiri” Tambah Puyang Jalak pula. Aku makin terhanyut dengan obrolan ini. Meski berjalan pelan, terasa terlalu cepat. Aku terus menyimak perkataan para Puyang mirip sebuah diskusi namun, semuanya mengemukakan pandangan dan pikiran masing-masing, dan semuanya ditujukan padaku.

“Untuk itu Cung, selalu tingkatkan kesadaran bukan pikiran. Kalau kita masih menggunakan pikiran maka isinya akan selalu suudzan dan menyalahkan. Tapi jika menggunakan kesadaran maka apa yang kita lakukan ada hikma di baliknya” Tegas Puyang Naga Merah lagi.

Kaki kami terus melangkah, tangan Puyang Pekik Nyaring kulihat kadang bergerak seperti menghitung biji tasbih. Luar biasa betul Puyangku ini. Dalam suasana ngobrol seperti ini saja beliau masih berzikir.

“Untuk mendapat bimbingan Allah ada beberapa syarat, Cung. Pertama mengikuti syariat dengan benar, terutama solat, yang kedua perhatikan tanda-tanda yang Allah berikan melalui ayat Al Quran atau alam semesta. Maka suatu hal mustahil jika ada seseorang mengatakan dirinya dekat pada Allah namun dia tidak bersyariat , tidak solat dan lain sebagainya.” Tambah Puyang Pekik Nyaring lagi. Dalam hati aku membenarkan apa yang disampaikan beliau. Bagaimana dikatakan dekat pada Allah jika tidak menjalankan ibadah? Solat sehari semalam? Semua yang disampaikan para Puyangku terasa meresap. Jiwaku terasa dibangun, dan ditata sedemikian rupa.

Ibarat keranjang, aku adalah keranjang kokoh yang sarat dengan muatan. Semua dimasukkan dan dijejalkan. Tapi aku senang. Aku bahagia mendapatkan guru-guru spiritual seperti mereka. Banyak hal yang kuperoleh, dan tidak pernah kudapat di bangku sekolah sebelumnya.

“Cung, silakan masuk. Jangan lupa berdoa dan ucapkan salam. Pasrahkan diri sepenuh nya,” lanjut Puyang Pekik Nyaring setelah sampai dimulut sebuah liang. Sebelum masuk, aku berpaling terlebih dahulu, mengucapkan terimakasih pada semua Puyang, sujud sedalam-dalamnya pada mereka.

“Kami akan menjemputmu, ketika kira-kira kami anggap sudah cukup,” lanjut Puyang Pekik Nyaring lagi. Aku membungkukkan badan pertanda paham. Rasanya terlalu singkat perjalanan ke mari. Aku masih ingin mendengarkan kedalaman jiwa mereka tentang pasrah dan kewajiban kita sebagai hamba. Aku merasakan begitu damai dekat dengan mereka.

Aku mulai melangkahkan kaki. Aroma wewangian tercium sangat jelas. Kira-kira dua puluh depa, (ukuran sepanjang kedua belah tangan mendepang dari ujung jari tengah tangan kiri sampai ke ujung jari tengah tangan kanan). Akhirnya aku sampai pada ruangan yang bentuknya bulat atau lonjong aku tidak tahu. Di tengah-tengahnya ada batu mirip meja, ceper dan bulat. Ruangan ini terasa sejuk, nyaman. Aku berdehem, suaraku memantul memunculkan gema yang pendek. Langit-langit goa bergerat-gerat mirip lipatan kain tebal. Demikian juga dindingnya tidak mulus seperti dinding lorong jalan ke mari. Aku mengucapkan salam dan berdoa sesuai petunjuk puyang Pekik Nyaring. Lama kuawasi ruangan yang tidak seberapa luas ini. Aku duduk-duduk sejenak mencari posisi yang enak apakah menghadap ke arah pintu masuk, membelakangi, atau menyamping saja. Semua kucoba. Akhirnya aku memutuskan memilih arah kiblat. Ke arah Barat. Tapi di ruangan ini aku tidak tahu kemana menentukan arah kiblat? Kembali aku memperhatikan ruang goa. Tiba-tiba aku melihat ada cela goa ke atas. Sekilas memang tidak terlihat karena cahaya yang masuk mirip pantulan cahaya dinding goa. Aku mengamatinya. Jika ke atas, harusnya aku melihat langit. Ini aku tidak melihat langit. Tapi melihat pohon dengan dahan yang rindang. Aku memperhatikan dahan pohon lurus ke arah kiri semua seperti di atur sedemikian rupa. Jika pohon mengarah ke kiri, bisa dipastikan matahari dari arah kiri. Berarti timur ke arah kiri, barat ke kanan. Akhirnya aku duduk mengarah ke sebelah kanan bagian yang kuyakini arah kiblat.

Aku salat hajat dua rakaat baru kulanjutkan dengan rangakian witir dan doa. Baru saja aku mengatur posisi duduk, lalu khusuk membaca syahadat dan umul kitab, tiba-tiba aku merasakan energi yang tidak biasa. Energi sekeliling goa ini kurasakan kuat sekali. Aku berusaha untuk tetap menjaga keseimbangan agar tidak tertarik energi dari belakang, depan, dan samping. Sejenak aku bingung tidak bisa menerka energi apa yang saling tarik ini. Dalam posisi tetap fokus pada niat, aku berusaha mencari tahu, energi apa yang kurasakan saling tarik. Apakah mungkin dinding goa ini memiliki magnit sehingga saling tarik dan berefeks padaku. Bahkan kadang aku merasakan ada benturan-benturan yang membuat energi ini tidak bisa menyatu. Energi apa ini? Aku bertanya dalam hati.

Aku mencoba menelusuri dinding goa dengan batin. Masya Allah, alangkah terkejutnya aku ketika mengetahui jika aku sebenarnya dikelilingi oleh tujuh puyang. Mereka sudah duduk semedi di dinding goa tempatku saat ini. Secara kasat mata tidak akan terlihat karena para Puyang ada di dalam batu yang menjadi dinding goa. Energi merekalah rupanya seperti saling tarik. Satu-satu kutatap mereka. Mereka seperti tidur nyenyak dengan mata terpejam. Hanya mulut mereka saja terlihat bergerak halus sangat pelan. Selebihnya gerakan dada ketika menarik nafas terlihat pelan. Gelombang cahaya yang ke luar dari tubuh mereka berwarna-warna menjadi sumber energi. Sejenak aku menikmati keajaiban itu. Inilah pertanda kedekatan mereka pada Sang Maha. Interaksi batin mereka benar-benar telah sampai pada level yang serasa tak mungkin dicapai oleh bangsa manusia biasa. Pencipta yang hanya dimiliki oleh para waliluyah.

Aku kembali membaca umul kitab, istighfar, memohon ampun, bermunajat pada sang Maha. Pelan-pelan aku bertasbih. Selanjutnya kulepas jiwaku untuk berzikir.

Aku kembali hanyut pada nikmat yang sulit untuk kulukiskan. Kenyamanan yang paling hakiki dalam hening. Goa ini sangat hening, gelombang energi para puyang mulai bersinergi dengan batinku. Aku seperti pendapatkan asupan gizi, semakin mudah untukku melepaskan jiwa mendekatkan diri pada Sang Maha Akbar.

Aku merasa seperti hidup sendiri di muka bumi. Kuisi sepi dengan desah nafas berisi lafas Huu Allah. Gelombang yang berasal dari energi zikir itu membawaku jauh melambung ke alam lain. Aku pasrahkan semuanya hingga kurasakan diriku melayang.

Tubuhku terasa ringan.

Huu Allah…

Huu Allah…

Ada cahaya keemasan menghampiriku. Aku tidak peduli, aku terus berzikir hingga aku melihat diriku di ruang yang sarat cahaya berwarna putih. Aku semakin mengembangkan zikir, menepis perasaan-perasaan yang mungkin dapat menggoyakan batin atau muncul perasaan mirip sensasi. Sekali lagi aku pasrah.

Entah sudah berapa lama aku di sini. Tiba-tiba aku dikejutkan suara guncangan dan gemuruh. Goa ini terasa akan runtuh. Aku tetap dalam posisi pasrah. Tiba-tiba kurasakan tubuhku tumbang, jatuh dari batu ceper tempatku duduk timpuh. Tapi aku tidak mengubah posisiku meski terasa aku terguling. Biarlah jiwa dan ragaku tetap timpuh dan tetap menyatu dalam Huu Allah. Aku hanya fokus pada zikir saja. Tiba-tiba tubuhku terangkat sendiri dan kembali duduk di batu ceper.

Aku kembali larut dalam hening yang sangat, dan merasakan kenyamanan luar biasa. Semua terasa senergi. Tapi kembali alam berguncang. Jika tadi hanya getar, lalu aku merasakan tubuhku jatuh di lantai goa dan kembali duduk, kali ini tubuhku terombang-ambing. Jika tadi aku seperti melayang jauh ke luar angkasa, sekarang aku seperti di lempar ke bumi. Tubuhku terombang ambing seperti daun dihempas angin. Kadang terbanting ke kiri, kadang ke kanan, kadang rasanya aku diputar. Aku merasa diriku tanpa daya.

Kadang terlintas mungkin ini gerakan patrap. Daya zikir membuat tubuh seperti tidak ada daya. Yang jelas gemuruh yang tiba-tiba datang seperti hendak menabrak dan menghimpit tubuhku kadang membuat darahku berdesir. Aku tetap tidak membuka mata. Nafasku tetap berhembus dengan pelan. Tidak ada kekhawatiran sama sekali jika malaikat maut menjemputku sekarang juga. Tidak ada kekhawatiran jika aku mati dipanggang larva dari telaga Merapi yang menggelegak. Semuanya kuserahkan pada-Nya.

Blap!Blas! Tiba-tiba aku merasakan goa ini menyempit, makin sempit. Hingga akhirnya kurasakan antar dinding menyatu mengejar tubuhku. Akhirnya dinding-dinding goa memang menyatu. Tapi aku tidak merasakan jika aku terhimpit. Ajaib! Aku seperti di dalam air. Bisa bergerak, tidak terpasung oleh batu ini. Ini tidak aneh jika Sang Maha berkehendak apa pun bisa terjadi. Aku membatin. Aku tak peduli berada di mana dan apa yang akan terjadi. Termasuk apakah aku masih hidup atau telah mati. Aku terus berzikir dan berzikir. Hanyut dalam kenikmatan bersama Nur-Nya.

“Bangkitlah, Selasih. Kau hebat! Apa yang kau cari telah sampai pada puncaknya” Seperti suara Puyang Pekik Nyaring. Aku menyimak suara itu. Tapi aku masih enggan bangkit.

“Bangkitlah, apa lagi yang kau cari” Lagi-lagi suara Puyang Pekik Nyaring. Sekali lagi aku diam sembari tetap bermunajat pada Allah.

“Yaa Allah, hamba ikhlaskan hidup mati hamba pada-Mu. Jika suara itu akan memberi kebaikan pada hamba, tolong bukakan mata hamba. Namun jika tidak ada manfaatnya pada hamba, jauhkanlah Yaa Rabb.” Aku memohon sedalam-dalamnya. Beberapa saat aku menunggu apakah ada reaksi mataku akan terbuka. Ternyata tidak. Mataku masih nyaman terpejam. Sementara suara itu lenyap.

Aku tidak yakin yang berucap tadi Puyang Pekik Nyaring. Oleh sebab itulah aku enggan membuka mata. Bukankah Kakek Pekik Nyaring menasehatiku agar aku total medekatkan diri pada Sang Maha, membersihkan batinku dari segala hawa nafsu. Lalu mengapa dikatakan aku telah sampai pada puncaknya. Puncak apa? Puncak keikhlasan dan kedekatanan pada Sang Mahakah? Itu bukan urusanku untuk menilai diri apakah sudah mencapai itu apa belum. Tidak ada target bagiku harus mencapai itu semua. Aku membiarkan diriku seperti mata air terus mengalir menuju sungai lalu bermuara ke laut. Aku tidak mau bangkit. Akhirnya suasana kembali hening.

Dalam keadaan masih terpejam, aku merasakan banyak sekali yang datang menuju padaku. Salah satu dari mereka langsung berdiri di hadapanku. Seorang perempuan cantik, anggun. Senyumnya sangat meneduhkan. Matanya indah. Kerudung abu-abu yang dikenakannya sangat serasi dengan warna kulitnya.

Aroma wangi segera memenuhi rongga dadaku. Beliau membawa sepasang pedang berwarna emas. Pedang itu hendak beliau serahkan padaku.

“Ini hasil tapamu, Putri Selasih. Ambillah, untuk kau pergunakan demi kepentinganmu,” Ujarnya lembut. Aku menatap wajahnya. Kecantikannya menghipnotis. Aku saja perempuan sangat mengagumi kecantikannya. Menyadari hal itu aku segera istighfar. Mengapa harus kukagumi kecantikan makhluk ini. Patutnya aku mengagumi yang telah menciptakan makhluk ini, yaitu Allah.

“Allah Akbar” Aku menyadarkan diri. Akhirnya aku hanya mengangkat tangan dan menggeleng menolak pemberiannya. Kembali beliau mendesakku agar aku menerimanya. Katanya ini adalah senjata yang memiliki energi langit dan bumi. Dibalut dengan emas murni. Sekali lagi aku menggelengkan kepala menolaknya.

“Maafkan aku, aku tidak bisa menerimanya. Aku kemari bukan mencari ini meski benda ini memiliki energi langit dan bumi dan dibalut emas murni, maafkan aku. Aku tidak tertarik. Sekali lagi maaf.” Ujarku. Aku kembali khusuk dengan zikirku. Perempuan dan pasukannya menghilang. Sebelum lenyap, perempuan itu sempat berkata bahwa aku akan menyesal. Tidak! Aku tidak akan menyesal, batinku. Aku akan sangat menyesal jika aku tergoda mengotori batinku dengan berbagai kepentingan.

“Assalamualikum..sudah waktunya kita ke luar dari sini, Putri Selasih.” Aku kaget ketika tangan Puyang Pekik Nyaring menyentuh bahuku. Hampir saja aku membuka mata. Tapi segera kukendalikan diri. Aku tidak peduli. Kembali aku khusuk menutup semua pancainderaku. Aku tidak percaya yang menyentuhku Puyang Pekik Nyaring. Jarang sekali Puyang Pekik Nyaring menyebut namaku. Beliau selalu menyebutku dengan sapaan ‘Cung”, artinya ‘cucu’. Kali ini belau tidak hanya menyentuh bahuku. Tapi menguncang-guncang.

“Selasih, Putri Selasih. Kau dengar suaraku bukan?” Suara itu semakin membuatku tidak percaya. Apalagi menyebut namaku lengkap dengan Putri Selasih lalu menyebut dirinya aku. Aku tetap diam tak bergeming. Terserah apa pun yang hendak dilakukannya, aku tidak peduli. Dia bukan Puyangku. Kata hatiku berkata demikian. Akhirnya suara dan sosok itu kembali lenyap dari pandanganku.

Tiba-tiba aku melihat banyak sekali pasukan yang mendatangiku. Pasukan-pasukan ini berbentuk hewan yang dipimpin oleh seekor naga. Hewan dalam berbagai bentuk ini nampak ganas hendak menerjangku. Aku tidak lari dari posisiku. Kubiarkan mereka, jika hendak menerjangku kupasrahkan saja. Benar sekali. Mereka tidak saja menerjangku bahkan menginjak-nginjakku. Aku seperti daun kering yang diinjak hingga remuk. Aku pasrahkan semuanya. Aku tidak menolak apalagi memberontak. Tidak ada pilihan selain menjaga jiwaku tetap pasrah. Aku melihat tubuhku remuk berkeping-keping. Rasa sakit dan takutku hilang sama sekali. Justru aku mendapatkan keindahan luar biasa aku remuk karena mempertahankan keyakinan untuk dekat pada Sang Maha.

Tidak hanya itu, aku melihat telapak hewan aneh besar sekali. Dikatakan burung dia bukan burung tapi seperti memiliki sayap. Mau dikatakan badak juga bukan, karena mulutnya seperti burung. Telapaknya yang lebar menginjak tubuhku yang sudah berkeping-keping. Aku masih dalam posisi pasrahku!

Suasana hening kembali. Tidak ada lagi gemuruh dan ledakan seperti hendak kiamat. Apakah alisunasi atau bukan kejadian barusan seakan nyata. Tiba-tiba kepingan tubuhku menyatu kembali dan aku duduk di batu ceper dalam goa dalam posisi duduk timpuh seperti semua.

Entah sudah berapa lama aku di dalam goa. Sekali lagi aku tidak bisa menentukan waktu siang apa malam. Suasana hening kembali menghanyutkan aku dalam nikmat yang tiada duanya.

“Assalamualaikum, Cung. Bukalah matamu,” suara Puyang Pekik Nyaring. Bau wangi Puyang aku paham betul. Tapi aku hanya menjawab salamnya, belum membuka mata.

“Bukalah matamu, Puyang menjemputmu, Selasih. Sudah cukup tirakatmu. Kau lapar dan haus bukan?” Suara Puyang Naga Merah. Aku menjawab salamnya namun belum juga membuka mata. Tak lama aku merasakan kibasan kain seperti lengan baju merangkul tubuhku lalu aku merasa diletakkan di atas tanah berbatu.

Angin terasa berhembus sangat pelan. Desingan angin menandakan aku berada di alam terbuka. Pelan-pelan aku membuka mata.

Masya Allah!

Aku terkejut bukan main. Ternyata aku duduk di atas tanah kuning berbatu dikelilingi kayu panjang umur. Mengapa tiba-tiba aku ada di sini? Di puncak gunung Dempu, menghadap ke gunung Merapi.

Tujuh puyang duduk bersila mengelilingiku.

Aku menghirup udara pelan-pelan. Aku meyakinkan diri jika aku tidak bermimpi. Langit gelap. Tidak ada cahaya bulan. Hanya kerlip bintang nampak bersinar cerlang.

“Alhamdulilah..kukira aku bermimpi puyang,” ujarku mencium tangan Puyang Pekik Nyaring. Beliau tersenyum manis hingga matanya nampak kecil.

“Mana makanannya Puyang Naga?” Ujarku bercanda ketika melihat beliau mengelus-ngelus tongkatnya.

“Makan kalimah Allah lebih nikmat dan bergizi,” Jawab beliau sambil mengayunkan tongkatnya. Kukira beliau akan mengambil sesuatu. Rupanya beliau tengah berkomunikasi entah dengan siapa. Dalam waktu sekejap seorang lelaki muda mengantarkan delapan cangkir air putih dan setangkai kurma. Aku ikut menyambar cangkir dan kurma yang disodorkan.

“Air zam-zam, Puyang?” Tanyaku setelah meneguk air yang terasa dingin tersebut. Perutku terasa kenyang. Tidak ada rasa lapar sedikit pun. Puyang Naga Merah mengangguk sambil mengubah sebutir kurma terasa padat, kenyal, segar dan manis.

Kami minum dan makan secukupnya. Selanjutnya aku disuruh Puyang Pekik Nyaring duduk menghadap kiblat membelakangi mereka. Aku disuruh memejamkan mata dan pasrah seperti saat berzikir di dalam goa. Aku melakukannya sambil menyerahkan diri pada Sang Maha.

Tak lama, aku merasakan tubuhku seperti di dorong ke tembok. Semakin terpepet hingga aku tak mampu bernafas. Aku tidak berani melakukan perlawanan. Energi itu kubiarkan menekan diriku. Tak lama angin serasa bergulung. Tubuhku terasa seperti dilipat-lipat. Lalu dihentakkan ke bumi. Aku terhempas. Tak lama energi-energi itu seperti air bergulung siap menerjang tubuhku. Aku juga tidak menolaknya. Semuanya begitu cepat. Bahkan tubuhku terasa seperti maghnit menyedot energi itu.

Tiba-tiba aku merasa seperti diserang ratusan pukulan. Akhirnya aku sudah tak kuat lagi menerima serang-serangan dasyat itu. Nafasku terasa putus dan tinggal satu-satu. Semakin lama semakin pendek. Aku terus melafaskan asma Allah. Dalam hati aku berdoa agar Allah izinkan jika aku menemui ajal biarkan lidahku tetap menyebut asma-Nya. Pandanganku terasa gelap dan semakin pekat. Aku menunggu malaikat maut menjemputku. Berkali-kali kuucapkan salam menyambut menyambut lebih dulu kehadiran malaikat maut. Meski nafasku tinggal satu-satu, tapi mereka tak kunjung datang. Aku sudah tak mampu mengendalikan kesadaran jiwaku. Semuanya kosong kecuali suara zikir dilafazkan oleh darah, daging, dan jiwaku.

Puuuuuh

Tiba-tiba angin berhembus pelan ke wajahku. Nafasku kembali lega. Aku kembali menarik nafas panjang. Aku seperti hidup kembali.

Aggghhhrrrhh! Tiba-tiba ada serangan lagi. Aku mengerang tinggi. Aku tidak mampu menahan pukulan keras yang tiba-tiba ke dada, ke punggungku. Pukulan bertubi-tubi itu kembali membuat dadaku sesak. Semua rasa seperti diaduk-aduk. Rasa panas, dingin, gonta-ganti mendera. Aku sangat tersiksa dan hanya bisa menyebut Allahu Akbar. Peluhku mengucur deras seperti mata air. Lama kelamaan energi yang memukulku berubah menjadi cahaya, lalu bergulung mengitariku. Semakin lama semakin runcing seperti angin puyuh membentuk pusaran mengangkat makin tinggi. Tak lama ujung pusaran itu seperti anak panah langsung menyusup dari ubun-ubun. Lalu memadat ke dalam tubuhku. Aku terhentak sekali lagi.

“Alhamdulilah” Suara para Puyang nyaris bersamaan. Sementara nafasku masih memburu. Akuntakmmampu berkata-kata.

“Semua sudah selesai, Cung. Kau boleh menarik nafas lega. Apa yang kau alami di dalam goa, itu hanya ilusi mempengaruhi bawah sadarmu. Untung kau tidak tergoda karenanya. Jika kau membuka mata ketika ada suaraku, atau menerima ketika seoang wanita mengantarkan pedang emas padamu, melawan hewan ganas yang meremukkanmu, maka hanya sebatas itulah kemampuanmu. Ternyata kau sanggup melalui jalan yang sulit itu, Cung. Dan malam ini, adalah penyempurnaan karomah yang kau miliki. Sekarang sujudlah, ciumlah tangan mereka. Mereka adalah guru-gurumu yang ikhlas mengajarimu.” Puyang Pekik Nyaring menunjuk pada enam puyang yang mendampingi aku sejak awal.

Selebihnya aku mendapatkan nasihat dari Puyang guruku perihal ilmu padi dan filosofi telunjuk. Dan masih banyak lagi hal-hal mendasar sebagai bekal hidup yang mereka tanamkan padaku. Aku seperti burung kecil siap dilepas untuk belajar terbang.

Bersambung…
close