Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 19) - Menyelamatkan Tumbal


JEJAKMISTERI - Sosok berambut panjang itu berjalan terhuyung keluar dari dalam rumah yang berada di sudut desa itu. Beberapa kali nyaris tersungkur kalau saja kedua tangannya tidak segera menyambar apa saja yang bisa ia jadikan pegangan agar tak sampai terjatuh.

Sosoknya tak begitu jelas terlihat, karena suasana memang begitu gelap. Namun dari suara mendesis yang terus terusan keluar dari mulutnya, jelas kalau sosok itu adalah seorang perempuan. "Ratriiiii...!!! Anakkuuuu...!!! Dimana kau Nak?"

Ya! Bu Ratih! Guru perempuan berusia separuh baya itu sudah nyaris kehilangan kesadarannya. Amarah yang menggelegak akibat kehilangan sang anak, membuat ilmu hitam titipan sang kakek yang selama ini tersegel di dalam tubuhnya, pelan pelan menyeruak bangkit berusaha menguasai emosinya. Beruntung, sebelum guru perempuan itu melngkah terlalu jauh, beberapa suara tembakan terdengar dari arah pertengahan desa.

"Dorrr...!!! Dorrr...!!! Dorrr...!!!" suara tembakan yang bertubi tubi itu seolah menyadarkan Bu Ratih. Langkahnya terhenti tepat di tengah tengah halaman rumah itu. Sisa sisa kesadarannya mengingatkan, bahwa warga yang tengah berlindung di rumah Wak Dul Modin sedang terancam bahaya.

Untuk sejenak perempuan itu tertegun. Kebimbangan jelas melanda perasaannya. Di satu sisi ia ingin segera mwnyelamatkan sang anak yang ia yakin saat ini nyawanya sedang terancam. Namun disisi lain, ia juga tak bisa mengesampingkan tanggung jawabnya untuk melindungi para warga.

Angin berhembus pelan, menyibakkan ranting ranting pepohonan yang menghalangi sinar rembulan, hingga untuk sesaat cahaya rembulan yang pucat itu menimpa tubuh si perempuan. Dan bersamaan dengan bias cahaya yang menimpa wajahnya, Bu Ratih bisa merasakan sebentuk hawa dingin yang menjalar pelan didalam tubuhnya, mengalir lewat seluruh urat nadinya untuk kemudian berhenti tepat di jantungnya.

"Hufth!" perempuan itu menghela nafas lega, sambil matanya menerawang jauh menatap ke arah selatan desa. Tegal Salahan! Ia yakin sang anak sekarang tengah berada disana, entah dalam keadaan hidup atau mati. Demikian juga dengan sang suami dan sang adik.

"Mas Slamet! Ramadhan! Kupasrahkan keselamatan Ratri kepada kalian! Ratri anakku, maafkan ibu kalau ibu ternyata belum bisa menjadi ibu yang baik untukmu!" perempuan itu menggumam lirih, sebelum melesat berlari ke arah barat. Tepat menuju ke arah rumah Wak Dul Modin.

Ya! Bu Ratih sadar, keselamata ratusan warga lebih penting baginya daripada nyawa tiga orang anggota keluarganya. Satu yang tak disadari olehnya adalah, bahwa ia sebenarnya telah termakan oleh pancingan makhluk makhluk jahat yang tengah mengacau di rumah Pak Dul Modin. Karena sesungguhnya, di Tegal Salahanlah sebenarnya akar dari semua permasalahan yang terjadi di desa itu.

Apa yang sebenarnya terjadi di rumah Pak Dul Modin sampai Pak Bambang dan anak buahnya harus melepaskan tembakan secara beruntun? Dan bagaimana nasib Pak Bambang dan para warga yang sedang dijaganya? Kita tahan dulu ceritanya gaess, karena sekarang kita akan mengikuti terlebih dahulu perjalanan Pak Dul Modin bersama Mas Toni yang sedang mencari Ndaru di Tegal Salahan.

****

Seperti diceritakan sebelumnya, bahwa di waktu yang bersamaan Pak Dul Modin dan Mas Toni sedang berusaha mencari Ndaru yang tiba tiba menghilang dari kamarnya. Kedua laki laki itu berjalan tersaruk saruk ditengah kegelapan, menyusuri jalanan menurun yang mengarah ke arah buk yang berada diantara tanjakan dan turunan jalan itu.

"Sial! Kenapa kita sampai lupa meminjam senter tadi kepada Mas Joko," gerutu Mas Toni yang berjalan dibelakang Pak Dul Modin.

"Ndak usah ngomel! Bawa senterpun sepertinya ndak akan berguna, karena...."

"Eh, sebentar Pak," Mas Toni dengan setengah berbisik memotong ucapan Pak Dul Modin.

"Ada apa?" tanya Pak Dul Modin sambil ikut menghentikan langkahnya.

"Sepertinya ada yang mengikuti kita Pak," ujar Mas Toni sambil berbalik. Benar saja, dari arah belakang mereka nampak cahaya senter yang menari nari mendekat ke arah mereka.

"Ah, dasar ndableg! Sudah dibilang jangan keluar, kenapa malah mengikuti kami?" seru Pak Dul Modin yang sepertinya telah mengetahui siapa si pembawa senter yang mengikuti mereka itu.

"Maaf Pak, Ndaru anak kami, tak mungkin kami diam saja sementara Ndaru entah dimana sekarang sedang terancam bahaya," jelas itu suara Mas Joko.

"Huh! Merepotkan saja!" dengus Pak Dul Modin. "Tapi, ya sudahlah! Tak ada waktu untuk berdebat, tapi kuharap kalian berhati hati, karena...."

"Pak...," lagi lagi Mas Toni memotong ucapan Pak Dul Modin.

"Apa lagi?!"

"Itu, sepertinya juga ada yang datang dari arah desa," Mas Toni menunjuk ke arah utara, dimana nampak dua sosok bayangan melangkah bergegas ke arah mereka.

"Lho, mereka kan..., Slamet dan Ramadhan?! Ngapain mereka malah kemari?"

"Ah, syukurlah, kita bertemu disini Wak," Pak Slamet yang juga melihat kehadiran Pak Dul Modin cs segera berseru dengan nada cemas.

"Ngapain kalian kesini? Dan kenapa sampai babak belur begitu? Jangan bilang kalau..."

"Gawat Wak! Makhluk makhluk itu..., mereka membawa Ratri!"

"Sial!" Pak Dul Modin menggeram marah. "Makhluk makhluk itu, jadi ini yang sebenarnya mereka rencanakan. Kenapa aku sampai tak berpikir kesana!"

"Eh, apa maksudnya Wak?" hampir serempak mereka semua menatap ke arah Pak Dul Modin.

"Tak ada waktu untuk menjelaskan," tukas Pak Dul Modin, masih dengan nada kesal. Ratri sudah ia anggap sebagai cucunya sendiri. Dan ia sangat menyayangi anak itu. Jadi wajar kalau laki laki tua itu terlihat sangat gusar. "Bagaimana dengan Ratih? Apa dia tau kalau makhluk makhluk itu telah membawa anaknya?"

"Tidak Wak, aku sengaja tak memberitahunya, takut kalau..."

"Baguslah," Pak Dul Modin menukas ucapan Pak Slamet. "Sekarang, aku tau kemana makhluk makhluk itu membawa Ratri dan Ndaru. Ayo, kita selamatkan mereka sebelum terlambat."

Pak Dul Modin melangkah bergegas, diikuti oleh yang lainnya. Sampai di pertengahan jalan tanjakan dan turunan itu, Pak Dul Modin membelokkan langkahnya ke arah timur, menyusuri tanggul kali kecil itu, menuju ke arah batu besar berpermukaan datar yang biasa disebut Watu Jaran oleh warga setempat.

"Disni kalian rupanya!" desis Pak Dul Modin sambil menghentikan langkahnya. Rombongan yang mengikutinya mau tak mau juga ikut berhenti. Sejenak mereka saling pandang, karena tak mendapati apapun disekitar batu besar itu. Tak ada Ratri. Tak ada Ndaru. Dan tak ada makhluk makhluk menyeramkan seperti yang mereka bayangkan sebelumnya.

"Kita..."

"Dorrrr...!!! Dorrrr...!!! Dorrrr...!!!"

Baru saja Pak Dul Modin hendak bicara, dari arah desa terdengar suara tembakan berkali kali. Pak Dul Modin terdiam sesaat. Laki laki tua itu merasakan bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi di desa.

"Ratih," tanpa sadar laki laki tua itu mendesis.

"Apa yang terjadi di desa?" Mbak Romlah yang sejak tadi diam bertanya.

"Aku ndak tau pasti Mbak! Tapi yang aku tau tadi, banyak mayat hidup berkeliaran. Merekalah yang tadi menyerang kami dan membawa lari Ratri," jawab Ramadhan.

"Ma...yat hidup?!"

"Sudah! Jangan pikirkan apa yang terjadi di desa. Masih ada Ratih disana. Mudah mudahan dia bisa mengatasi semuanya. Sekarang, ada hal yang lebih penting yang harus segera kita lakukan." tegas Pak Dul Modin.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang Pak?" tanya Mas Toni.

"Apalagi?! Tentu saja menyelamatkan Ndaru dan Ratri. Makhluk makhluk itu, ternyata mereka sengaja mengalihkan perhatian kita dengan kerusuhan yang mereka buat, agar bisa menculik Ratri dan Ndaru untuk mereka jadikan tumbal!"

"Tumbal?!" hampir serempak mereka berseru.

"Ya. Aku baru sadar. Makhluk makhluk sialan itu, mereka akan menjadikan Ndaru dan Ratri, dua bocah yang masih suci dan memiliki garis keturunan dari lereng Lawu untuk mereka jadikan tumbal dan persembahan agar bisa membangkitkan nenek moyang mereka."

"Astaga! Jadi..."

"Ramadhan!"

"Iya Wak!"

"Kau masih sanggup untuk bertarung?"

"Tentu saja Wak!"

"Bagus! Kalau begitu kamu ikut aku. Yang lain, tolong jaga raga kami, selama kami berdua bermeditasi, jangan biarkan apapun atau siapapun mendekati raga kami."

"Baik Pak!"

Pak Dul Modin dan Ramadhan segera naik keatas batu besar berpermukaan rata itu, lalu keduanya duduk berhadapan dengan posisi bersila dan kedua tangan terentang kedepan dan telapak tangan saling menyatu. Mata keduanya terpejam rapat. Mulut mereka berkomat kamit seperti sedang membaca doa atau merapal mantera.

Tak lama, angin berkesiur lembut menerpa kedua laki laki yang sedang bermeditasi itu. Tak ada gerakan, tak ada suara, bahkan tak terlihat lagi hembusan nafas dari keduanya, seolah kedua laki laki uwak dan keponakan itu telah berubah menjadi patung batu.

"Apa yang mereka lakukan?" bisik Mas Toni.

"Mereka pergi ke alam gaib," desis Pak Slamet.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close