Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Misteri Salju Di Timur Surya Kencana. Gunung Gede Juli 1994


JEJAKMISTERI - Saat itu saya berdua Deny ( Jakun ) seperti biasa dari asal cletak-cletuk, maka berangkatlah kita menuju TNGP. Bisa dikatakan hampir tiap minggu saya dengan berbagai format team yang ada kerap melakukan pendakian ke gunung ini. Selama periode 93-96 jangan ditanya seberapa sering saya mendatangi tempat ini.. Modal cekak plus nyali yang rada rembes dari wadahnya, membuat kita bergerak tanpa ragu menembus berbagai cerita yang selalu mengiringi keberadaan Gede-Pangrango. Ritualnya tentu tak jauh berbeda. Dari rumah Alm. Nenek saya, kita menuju Stasiun UP lalu lanjut ke Stasiun Bogor. Dari Stasiun ke Baranangsiang juga sama gak jauh-jauh, pasti kita jalan kaki demi bela-belain sebungkus rokok. Uhuii bangetlah.. ! Namanya juge anak muda, kalo gak ngudud gak gaye..! He he he. Kurang lebih 2jam lepas dari rumah hingga terminal Bogor akhirnya kita naik bus jurusan Bogor-Bandung PP. Selain murah, disini kita gak akan terlalu umpel-umpelan (desak-desakan) di dalam kendaraan. Entah apa yang kita bicarakan sepanjang perjalanan, yang jelas setelah 2jam lebih mengarungi aspal jalan raya didalam perut bus yang hangat, akhirnya kita sampai dipasar Cipanas. Laju bus berhenti dan kita segera bergegas turun menjejak bumi. Brrrr... saputan angin dingin yang menyapa kehadiran kami membuat tubuh menggigil sesaat. Saat itu hari sudah beranjak gelap. Entah jam 9 atau jam 10 malam, yang jelas situasi pasar sudah sangat sepi.

Melihat kehadiran kami beberapa orang tukang ojek segera bergerak menghampiri. "Ojek jang, Ojek.. Murah!" rayu mereka untuk menjebol kocek kita berdua. Hu huii. "Enggak mang. Maaf " jawab saya sambil berlalu. Jawaban ini tak segera menghentikan usaha mereka, tetapi langkah yang pasti akhirnya membuat para ojekker terdiam dan menertawakan malam yang semakin dingin. Hu huii.. Lepas terminal jalan mulai gelap. Belok kiri pas pertigaan tanjakan mulai asik tetapi tetap santaii, karena kaki baru memulai langkah-langkahnya. Edan! Kadang saya gak habis pikir. Jarak segitu jauhnya selalu kita lalap penuh sukacita. Tak ada keluhan atau penyesalan. walau keringat jatuh bercucuran kita tetap bulatkan tekad membelah malam. 10menit berjalan diatas aspal bagus maka kita memasuki aspal rusak. Pagar istana yang megah akhirnya lenyap bersama pekatnya malam. Tanjakan semakin asoy. Memasuki daerah gelap yang dipenuhi oleh rumpun bambu, mendadak hawa dingin menusuk tajam. "Hmm.. Mana tanjakannya sedeng (edan) bener alias tajem menikam dengkul. Tiba-tiba terasa hawa aneh yang menggetarkan bulu kuduk. Malam benar-benar sunyi. Debu-debu yang membeku bersama hembusan angin malam membuat saya ma Jakun terhenti sejenak memandang rimbunnya pohon bambu. Nampak sesuatu bergerak cepat diantara kerapatannya. "Astaghfirullohaladziim" ucapku ma Jakun bebarengan. Kepala terasa sangat besar dengan getaran jiwa yang membuat seluruh tubuh bergetar hebat. Entah apa. Nampak sesosok makhluk dengan payudara yang gundal-gandil melebihi pinggang berdiri diatas pucuk bambu. Wajahnya terlihat jelas dengan gigi besar dan mata yang tak sedap untuk dipandang.

Kaki ku ma Jakun seperti terpaku kedalam tanah. Cukup lama kita berdua terdiam sampai akhirnya terdengar suara motor dikejauhan. Bagai terbangun dari mimpi, kita berdua langsung sadar. Langkahkan kaki sambil terus membaca ayat-ayat suci. Gak lama motor sampai dibelakang kita. Wajah pucatku ma Jakun mungkin tertangkap oleh cahaya dari lampu motor yang mendatangi.
"Kenapa Jang..??" seru si Bapak pengendara motor. Masih agak gemetar saya coba jawab pertanyaan si Bapak . Ahh.. mulut rasanya terkunci. Tak menjawab, motor bergerak lalu berhenti diujung rumpun bambu yang cukup terang. Susah payah akhirnya kita sampai ditempat si Bapak berdiri. Disini nafas sudah mulai teratur dan kesadaran sudah pulih seperti sediakala. Agak terbata-bata aku ceritakan penampakan yang terlihat oleh kita berdua. Si Bapak nampak mengkernyitkan dahinya lalu tanpa basa-basi beliau mengajak kita untuk mampir di rumahnya.
"Duh disitu emang sering Jang. Masih mending itu, coba kalo yang punggungnya bolong". "Wadidaw!!" dalam hati ku. Walau takut, tetapi karena kita berencana lewat jalur samping, akhirnya ajakan si Bapak kita tolak dengan halus.
"Iya Pak, gak sekali juga sih malam-malam lewat sini tapi baru kali ini dikagetin begitu sama penghuninya".
"Makasih banyak Pak, kita lanjut aja ke Gunung Putri. Si Bapak nampak tersenyum lalu naik lagi keatas motornya.
"Ya udah hati-hati ya Jang!".
"Rumah Bapak dikampung depan itu "ucapnya sambil menunjukan jarinya.
"Iya Pak.., makasih banyak "ucap ku berdua Jakun.

Sambil terus melangkah kita perhatikan gerak motor si Bapak yang semakin jauh dan menghilang. Awalnya setelah lepas kejadian tadi aku diam-diaman ma si Jakun, tetapi menimbang situasi, gak jadi, lebih baik kita berdua memilih untuk membuka keran obrolan. Awalnya kaku tapi lama-lama panas juga seperti suhu tubuh kita yang terus meningkat bersama peluh yang membasahi raga. Lepas kampung si Bapak, cahaya kembali hilang dari pandangan. Malam yang gelap kembali menguasai mata. Tak ingin mengalami kejadian yang sama, obrolan makin riuh dalam gurauan. Langkah-langkah takut mulai berubah menjadi keberanian. "Akhh.. Bodo amatlah..!! ". Ucap ku berdua Jakun sambil terus menerobos malam. Lepas kelokan yang gelap, kita akan memasuki kampung, lalu menemui pos ronda. Disini kita hentikan langkah dan duduk diatas bale bambunya yang dingin mencucuk kulit. Sempet merinding lagi diberapa titik tetapi niat naik sudah kuat menjadi tekad. Awalnya saya malas ngebahas situasi yang tadi kita hadapi, tetapi mulut gatel banget buat lepasin uneg-uneg. Sundud sebatang akhirnya saya buka obrolan ini. Jakun awalnya senyam-senyum tapi saya tahu mental dia bukan mental tempe apalagi tahu yang dijual tanpa formalin.
"Hu huii lengkap amat Bang..?!" . Biarin napah.. He he.
"Anjrit Kun, tadi dirumah kosong apaan ya.??
"Tau dah Tos! Malem apaan sih sekarang.?!? Parah banget hawanya".
"Iya, tumben-tumbenan baru dimarih aja udah horor banget".
Obrolan terus berlanjut. Jujur emang gak sama persis, tapi kira-kira itulah gambaran percakapan kita selama istirahat disana. Kurang lebih setengah jam istirahat kita bergerak lagi.

Lepas ini kita akan melewati dua tanjakan yang cukup edan dengan sebuah bangunan kosong dibalik pagar bambu yang sangat gelap. Sempat merinding sebelum jalan tetapi langkah kaki tak ingin terhenti sampai disini. Untuk membangkitkan keberanian, maka hulu golok yang kita bawa selalu tergenggam erat dalam pegangan. Malam benar-benar mencekam. Langit bagai tanpa cahaya. Hembusan angin dingin yang menggoyang pucuk-pucuk daun bagaikan tarian ribuan hantu yang menyertai langkah. Disini seingat kita kembali merinding hebat. Memang tak terlihat penampakan apapun tetapi kulit kita seperti tak ada habisnya bergesekan dengan energi yang memenuhi areal ini. Jalan terasa sangat panjang. Entah berapa lama akhirnya kita sampai dipertigaan jalan didepan peternakan ayam. Langkah yang terus diforsir serasa membuat jantung ingin lompat dari tempatnya. Walau gelap, disini mulai ada secercah cahaya. Tanpa ragu kita langsung terduduk diatas aspal. Tak ada suara diam dan hanya mata yang terus memandang sekeliling kita.
"Edan banget hawanya ya Kun!".
"Iya Tos" jawabnya singkat. Setelah nafas teratur kita mulai bergerak lagi.
"Tadi jam berapaan kita jalan Kun.. ? "
"Sekitar jam 10 atau jam 9nan Tos".
Hmm, berarti sekarang jam 12an kurang lebihnya. Dari sini ke jalur samping kurang lebih 40 menitan. Rencana kita malam itu, kita akan istirahat diujung ladang dan meneruskan langkah esok harinya.
"Ayolah Kun" ucap ku.
"Iya" jawabnya sambil bergerak membelah aspal. Wadaw.. ini dia tanjakan yang palin edan sebelum jalur sedikit ramah membuai langkah.

Akh, edan-edan! Beban dipunggung mulai terasa menggigit kulit. Panas dan pegal bersama rasa kantuk mulai datang menyerang keinginan. Angin berhembus semakin kencang. Hawa dingin dan mistis yang menyelimuti keberadaan kita sejak awal melangkah rasanya semakin menjadi-jadi. Lebih kurang 50 meteran melangkah naik, kita berhenti didepan pintu masuk peternakan ayam.
"Naik dikit lagi Kun. Dibawah pohon alpukat aja. kali-kali aja lagi berbuah.. Uhuii mayan kan buah gratis".
"Iya Tos" jawabnya singkat. Kita bergerak lagi, lalu kembali duduk menikmati lelah. Malam benar-benar pekat. Kelap-kelip lampu yang biasanya terang menyinari pandangan kini tak terlihat. Hewan-hewan malam pun nampak enggan bernyanyi. Ada apakah gerangan wahai malam..?? Puluhan pertanyaan mulai datang menggedor hati. Jakun nampak terdiam dikeremangan cahaya yang berhasil menembus sampai ke posisi kita. Sekitar 5 menit berhenti kita mulai bergerak lagi.
"Ayo akh Tos. Dingin" ucapnya singkat. Tanpa menjawab saya angkat keril dan mengayunkan langkah mengikuti gerakannya. Lagi-lagi suasana kembali naik. Lepas perumahan dikanan jalan dan sepanjang tembok peternakan sebelah kirinya. jalan kembali gelap. Irama daun yang bergesekan bersama suara angin lagi-lagi menggetarkan nyali pada ingatan. "Akhh bodo amat.. Bodo amat !" Langkah pasti terus terjadi.

15menit kemudian kita sampai diujung tanjakan. Pada sebuah pertigaan jalan dulu terdapat pos ronda yang cukup nyaman. Kita berhenti lagi disini. Cahaya mulai samar menghampiri kami, karena setelah ini terdapat satu kampung hingga menjelang tanjakan emoy (asik) diatas kita. Jakun enggan sekali berbicara. Nafasnya nampak terengah-engah. "Hmm gak biasa-biasanya nih anak begini". Sambil menikmati sebatang super kita berdua menikmati semua kegilaan ini. Rokok kelar, kita bergerak lagi. Suasana tetap hening bagaikan dipekuburan, tak ada manusia satupun kita jumpai selain siBapak yang membawa motor dibawah tadi.
"Edan Kun, sepi banget ni malem".
"Iya tos.. Hawanya beda banget dari tadi".
Tak menjawab, saya hanya pandangi kepekatan malam yang terbungkus cahaya lampu dari rumah rumah penduduk yang akan segera berlalu. Memasuki kelokan sebelum naik, kita melihat rumpun bambu kecil yang menari-nari tertiup angin dikegelapan. Sempat bergetar. Sebelum gentar, kita cabut golok dan tetapkan hati. Jalan terus.!! Gema suara yang terdengar didalam hati. Saya ma Jakun semakin yakin untuk terus melanjutkan perjalanan ini. Lepas kelokan gelap, jalan langsung naik tajam sebelum akhirnya kita masuk ke sebuah kampung. Dari sini terlihat nyala api yang sedang berkobar ditengah jalan.
"Wah ada orang Tos. Gimana nih ?" ucap Jakun kepada ku.
"Iya ya.. Ya udah cuekin aja Kun".
"Ntar kalo ditanya-tanya gimana..?? "
"Bilang aja kita mau naek besok ".

Setelah perundingan kecil akhirnya kita bergerak lagi. Menit demi menit menghantarkan kita pada nyala kobaran api. Awalnya agak kikuk. Tetapi dengan sopan kita sapa mereka semua.
"Assalamualaikum semuanya. Numpang lewat kang.."
"Waalaikumussalam " jawab mereka berbarengan. "Mau naik bang ?" ucap salah seorang diantara mereka.
"Iya ." jawab ku singkat. Nyala api begitu menggoda asa untuk kita dekati.
"Numpang anget-angetan ya kang".
"Mangga.. Mangga" ucap mereka bebarengan. Saat itu kemungkinan larut malam sekitar jam 1 atau lebih. Jakun tetap diam dalam senyumnya. Hangatnya suasana meredam ketegangan untuk sejenak. Salah seorang diantara mereka nampak aktif mengajak kita bertukar kata. Kelak saya ma Jakun akan sering banget mampir dan ngerepotin dia sekeluarga saat kita naik Gede via Gunung Putri. Orang itu bernama Wawan. Usia bisa dibilang sepantaran dengan kita. Wajah polosnya memandangi kita dengan penuh keheranan. Mungkin didalam bathinnya dia berkata. "Ini anak Jakarta jalan kaki dari Cipanas kesini kurang kerjaan banget yak.. "Ha ha ha. Coli wan Coli. Ngaceng aja kita.. Hu huii.. Setelah kurang lebih setengah jam menikmati hangatnya api, kita berpamitan kembali. Sempat ada tawaran dari Wawan untuk menginap dulu dirumahnya dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya, tetapi lagi-lagi tawaran itu terpaksa kita tolak karena naik siang-siang sama aja nyetor badan buat ketangkep sama anak GPO.
Hu huii.. Bayar aja napa ?! Orang tiket masuk cuma 1000 perak juga. Muahal coy.. Muahal.. Mending buat beli udud sebungkus..

Gelagat kita mungkin bisa dipahami oleh mereka hingga akhirnya membiarkan kita pergi meninggalkan api yang hangat menuju jalur Putri yang terkenal asoy. Wawan nampak memandangi kepergian kita. Mantab sobat. Kelak kita benar-benar akan menjadi sahabat kental yang tak pernah lekang dimakan jaman. 10menit kemudian kita sudah memasuki ladang yang dingin dan gelap. Bintang-bintang masih terus bersembunyi dari pandangan mata. Sejenak kita berhenti untuk mengheningkan cipta. Selesai berdoa kita melangkah lagi. Setitik cahaya lampu diujung bukit sebagai marka punggungan telah terlihat diantara kabut tipis yang mulai datang menemani. Hmm.. Suasana sempat menggetarkan hati kembali, tetapi lagi-lagi niat yang sudah bulat tak bisa menghentikan langkah kaki pada keheningan malam. Jakun melangkah didepan. Pematang ladang yang tipis dibalik gelapnya punggungan menjadi tumpuan langkah menuju puncak harapan. Kabut tipis masih terus menyelimuti hati dalam pikiran. Angan sempat melambung jauh dan berfikir sudut-sudut gelap yang akan kita hadapi. Akh.. Rasa takut datang lagi. Dia mulai menggerogoti tiap sudut pikiran yang gentar melihat keadaan. Awalnya saya cukup sulit menekannya tetapi seiring langkah yang terus tercipta, pelan-pelan ini bisa saya kuasai kembali. 20menit kemudian kita mulai memasuki kawasan hutan yang gelap. Cahaya kunang-kunang mulai kelap-kelip diantara kerapatan rimba. Niat untuk berhenti diujung ladang dan melanjutkan perjalanan pagi nanti hilang dalam kecepatan langkah kaki.

Menjelang memasuki kali tiba-tiba Jakun menghentikan langkahnya.
"Ada apaan Kun..? " tanya ku dari belakang punggungnya.
Jakun tak menjawab. Dia cabut goloknya dulu, baru mundur dan berdiri sejajar dengan ku.
"Aneh Tos! Ini kunang-kunang kok berjajar rapih begitu?"
"Masa?" jawab ku. Saat itu darah ku rasanya berdesir kencang. Gesekan energi mulai terjadi antara kita dan sesuatu diarea ini. Bulu kuduk langsung meremang tajam. Golok langsung ku genggam erat.
"Tahan dulu Kun".
"Iya Tos.." jawabnya agak bergetar, saat itu kita langsung duduk dan meletakan keril. Mata mengawasi setiap titik cahaya yang menyerupai kunang-kunang yang jumlahnya ribuan didepan mata kita. Tanpa ragu saya langsung menuju kali dan berwudhu.
"Awasin dulu Kun. Gue wudhu baru elu".
"Iya" jawab Jakun sambil melangkah dibelakang ku. Saat itu jangan ditanya rasanya. Pala melar segede baskom dan kulit merinding disko bagaikan dirambati jutaan semut. Tenang itu bukan cuma dimulut, tetapi harus nyata dalam perbuatan. Sehebat apapun tekanan dan situasi yang kita hadapi ketenangan adalah kunci utamanya. Selesai wudhu kita langsung kembali ketempat menaruh keril. Duduk, lalu berusaha atur nafas sambil melantunkan ayat-ayat suci. Edan kalo inget! Saat nulispun saat ini, bulu kuduk ku terus meremang tajam! Penampakan ribuan cahaya yang mirip kunang-kunang membuat kita benar-benar merasakan sensasi merinding yang luar biasa! Astagfiruuloadzhiim.. Asatagfirullohaladzhiim. Tarik nafas.. Tahan.. Isi Yaa Adziimu, lalu hembuskan. Entah berapa lama kita berada dalam kurungan cahaya ini. Kita tetap diam tak bergerak sambil terus melantunkan bait-bait Asmaul Husna. Astagfirullohadzhiim! Saat itu rasanya jantung berhenti berdetak. Kabut tipis yang sejak awal menyelimuti kita semakin tajam menyengat kulit!

"Ahh makin merinding aja saya. Lapat-lapat terdengar suara seperti obrolan orang tetapi samar dan tidak jelas. Saya sempat buka mata dan melihat Jakun telah tenggelam dalam bacaan doanya. "Hmm edan.. Tak ingin terbawa situasi saya putuskan untuk kembali hening dalam bacaan doa. Entah berapa lama kita terjebak didalam kondisi itu yang jelas gesekan energi semakin kuat dan menjadi-jadi. "Tiada daya dan upaya melainkan karena Engkau yaa Allah." Fokus pada aliran nafas agar teratur dan biarkan bacaan Shalawat dan Asmaul Husna menjadi suara utama didalam hati dan pikiran. Pelan tapi pasti gema Shalawat mulai naik dan menggantikan semua keriuhan ini. Jakun tak terdengar bersuara. Setelah entah berapa lama berdiam diri akhirnya saya buka mata kembali. Alhamdulillah. Saat itu mulai terdengar suara orang membacakan ayat-ayat suci dari pengeras masjid yang terdengar jelas. Jakun nampak sedang jongkok ditepi aliran kali. Golok tergenggam kuat ditangan kanannya. Melihat itu gue langsung bangun.
"Ada apaan kun.??
"Ada yang manggil saya ma elu barusan tos.??
"Dimana.??
"Tuh dari atas kali.. Emang lo gak denger..
"Kagak sama sekali jawab ku.
Setelah cukup lama memperhatikan titik yang ditunjuk Jakun akhirnya kita berdua kembali ke lokasi awal. Angkat keril lalu siap-siap untuk bergerak.
"Ayolah kun. Dah mau terang ini.
"Iya tos jawabnya singkat lalu bergerak mendahului ku.

Saat itu kita berdua gak ada pikiran untuk turun sama sekali. Entah kenapa.?? Yang ada didalam benak ku hanya Surken dan Puncak Gede. "Lanjut terus ucap ku ma Jakun bergantian. Setelah melewati jalur yang cukup mual kita berhenti sejenak pada wilayah yang cukup datar sebelum dihajar tanjakan brutal hingga menjelang rumah besar/Gapura Rimba. Beuh mantab bener apa yang kita alami semalaman ini. Mungkin itu kali pertama sepanjang sejarah pendakian ku, kita merasakan gangguan ghaib yang tak berkesudahan. Tapi apa mau dikata. Bubur sudah ditelan dan nasi sudah habis dari wadahnya. Jalan terus. Ora urus ghaib-ghaiban. Setelah lebih kurang 30 menit menembus tanjakan yang cukup berat akhirnya bersama sinar sang fajar kami sampai di rumah besar. Area ini jika gelap adalah area yang paling kita hindari tapi tidak pagi itu. Saat itu setelah berjalan semalaman suntuk dari tepian jalan raya hingga ketitik ini rasa kantuk tak bisa di tolak lagi. Melihat bale kayu diteras pondok kayu tanpa alas kita langsung rebahin badan. Kicau burung menjadi lagu yang sempurna penghantar tidur. Nempel dikit langsung lep. Tanpa mimpi kita tertidur hingga sekitar pukul 10 pagi. Tenggorokan rasanya kering. Jakun masih nanar dalam duduknya. Setelah cukup lama saling berdiam diri aku buka ruang obrolan.
"Ayoo akh kun. Ngopinya di Buntut Lutung aja. Tak menjawab dia raih botol air mineral minum lalu anggukan kepala. Setelah keril naik kepunggung dia langsung berjalan santai.

Kemiringan standar lagi. Angin segar yang membawa semangat baru terus menyapu wajah dengan ramahnya. sekitar 1 jam kita akhirnya sampai di Buntut Lutung.
"Break dulu tos. Waktunya ngupi ucap Jakun dengan suara kecil namun parau.
"Oke jawab ku sambil meletakan keril didekat shelter rubuh. Saat itu emang mulut ku asem bener. Pingin ngopi ma ngudud serta ngemil untuk menunda lapar yang semakin menggelegar. Bongkar keril. Ambil kompor parapin dan parapinnya lalu taru nesting diatas api yang mulai menyala. sekilas bau terasi naik keudara, "Kok bau terasi bang.? Iyalah parapin emang gini baunya, hu huii. Gak lama tempat pedples baja yang menghitam bagian pantatnya segera mendidihkan air, 2 buah gelas pelastik yang telah terisi bubuk kopi langsung terisi penuh oleh air yang panas bergolak. Mantab ma men. Kepulan asap super bersama aroma kopi panas segera mengisi kehadiran kita dilokasi itu. Tak banyak bicara kita disini. Sesekali bercanda dan tertawa gak jelas untuk mengisi hari yang sedang kita jalani. Entah apa yang Jakun pikirkan saat itu. Saya sendiri kadang kepikiran hal-hal gila yang kita temui sepanjang malam tadi. "Akhh edan banget ucap ku didalam hati. Angin dingin sesekali menyentak lamunan lalu kembali memaksa mulut menengguk segelas kopi yang masih hangat. Kurang lebih 2 batang rokok berhenti kita bersiap-siap lagi. kompor parapin yang hitam bersama pantat pedles segera masuk kedalam bungkusan koran lalu masuk kantong kresek dan tersimpan rapih dibalik keril. jakun langsung bergerak.

Lepas Buntut Lutung jalur menuju Lawang Saketeng sudah mulai menekan dada dalam tanjakan-tanjakan edan yang cukup panjang dan menguras energi. Saat itu sudah lepas tengah hari. Kaki dan dada mulai terasa berat menekan semangat. "Duhh.. manteb bener dah. "Edan edan.." Alah baru sampe sini lo dah gempor bang. "Somperet.!!" Gue jalan dari jalan raya Cipanas dodol bukan dari Pos gunung Putri. "Ohh iya ya. Disini rasanya track mulai panjang tak bertepi. jarak tempuh yang tak seberapa mulai tajam menggerogoti mental kami. Sambil terus menyemangati hati kita sesekali berhenti, tarik nafas lalu melangkah lagi. Entah berapa jam akhirnya kita sampai pos 4 Lawang Saketeng. Istirahat sebentar lalu bergerak lagi.
"Ntar aja kun di Simpang Maleber.
Iya tos nanggung jawabnya singkat.
Tanjakan masih seperti tadi tetapi jarak semakin membakar hati. Pelan tapi pasti kita terus melangkah menembus sunyinya situasi. Tak ada perbincangan. Hanya suara nafas yang terdengar keras menembus gendang telinga. Sesekali kita berhenti untuk jalan kembali. Tak ada kata menyerah selama tekad masih membara didalam hati. Akhirnya setelah lebih kurang 1 jam bertarung dengan diri sendiri diatas tanjakan-tanjakan terjal kita berhenti. Lokasi ini terkenal dengan jalur mautnya. Simpang Maleber. Di shelter ini kita berhenti dulu untuk meluruskan kaki dan punggung yang mulai menjerit kesakitan." Edan.. Edann

Jakun nampak tersenyum. Ambil bungkusan rokok lalu tarik sebatang. Kebetulan sedotan kita sama yaitu Djarum Super yang selalu bikin ngiler. Bukan Maen. Tarik sebatang.. Sundud.!! Edan bener ni rokok emang yang paling super. Disini walau tanpa kopi percakapan mengalir bagai air melewati kerongkongan. Entah apa yang kita bicarakan yang jelas senda gurau bersama tawa yang terjadi bagaikan berada dikamar sendiri. Tak pernah terbersit sedikitpun pikiran bahwa saat itu kita hanya berdua saja di hutan belantara ini. Mungkin buat kita gak ada bedanya. Semua tempat itu sama selama kita bisa menjaga kesopanan dan mentalitas kita.
"Sepi bener ya kun.
"Iya tos jangan-jangan cuma kita berdua aja nih.
Bukannya mikir kita berdua malah ketawa-ketiwi lagi. Rokok kelar kitapun bersiap melangkahkan kaki. Seperti biasa Jakun jalan duluan. Ini adalah tanjakan brutal terakhir sebelum kita memasuki lembah Surya Kencana. Matahari terus merambat pergi menuju ufuk barat. Menjelang pukul 5 sore setelah berjuang habis-habisan kita sampai di Alun-Alun Timur Surya Kencana. Angin dingin Juli yang menggigit tajam di permukaan kulit hingga tembus ketulang belulang menyapa kami dengan ramahnya. Berr tak buang-buang waktu tenda pramuka yang kita miliki segera kita hampar diatas tanah. Shelter payung yang berdiri megah menjadi sandaran tali dari salah satu sudut tenda yang membutuhkannya. Gak sampai 5 menit tenda beres, Hawa dingin benar-benar bengis saat itu. Diam sebentar maka kita akan langsung menggigil kedinginan. Melihat gelagat cuaca yang cukup ektreem kita langsung masak. Kumpulkan karbohidrat untuk berburu kayu bakar. Malam bersama dingin mulai datang mengusir siang. Tidak hanya dingin tetapi suara angin yang bertiup terdengar seperti raungan malam yang menggidikan. Sempat tertengun sebentar lalu sibuk dengan parapin dan kompornya sebelum bergerak pergi mencari kayu bakar.

Gila tumben-tumbenan nyengat banget ni udara. Untungnya sepanjang melewati ladang dibawah tadi kita sempat memanen beberapa pucuk kembang kol. Kubis serta daun bawang yang besar-besar sebagai teman makan mie instan yang luar biasa. Sambil menunggu air mendidih kita terus bergerak diantara angin yang menikam sendi. Gemuruh angin bagai badai di tepian malam yang membawa senandung maut terus datang menghujam dada. Sambil melawan kejamnya udara kita terus mencari kayu sebanyak-banyaknya. Saat itu rasanya aneh sekali. Dingin udara benar-benar tak biasa. Angin juga seperti mengalunkan irama seruling yang menggidikan gendang-gendang telinga. Merinding.. Menggigil serta perasaan yang campur aduk terus menghantui kehadiran kami di timur surya kencana yang sepi. Entah berapa lama kita akhirnya kembali kedepan tenda. Biasanya kita bakar-bakaran diluar Shelter tetapi kali ini tidak. Angin berhembus sangat kencang dan tak menentu. Sambil menunggu mie instan masak saya mulai menyusun kayu untuk dibakar menghangatkan malam. Disaat mengolah masakan sesekali Jakun menggigill kedinginan. Api menjadi tiada gunanya apabila perut kosong tanpa makanan. Sejatinya panas itu bukan dari luar diri kita tetapi dari dalam tubuh kita sendiri. Panas tubuh akan membuat sesuatu yang datang dari luar menjadi sangat hangat dan nyaman. Gak lama mie instan plus brokoli tanaman paman petani siap untuk dinikmati. Tanpa basa-basi semua segera kita pindahkan kedalam perut.

Berdua di Timur Surya Kencana dengan situasi yang dingin mencekam membuat ku dan Jakun banyak membuka keran obrolan. Edan angin dingin yang berhembus sangat kencang benar-benar menikam jiwa pada kebimbangan. Sempat kita masuk kedalam tenda untuk menghindari angin tetapi hawa dingin yang memancar dari dalam tanah langsung tajam menggigit hingga ke tulang tulang. Gila. Saat itu kita dalam keadaan kenyang tetapi hawa dingin masih mampu membuat tubuh terpojok oleh rasa yang tak terkira. Tanpa ragu kita keluar lagi. Didalam ataupun diluar tak ada bedanya. Ponco yang kita pasang disekeliling shelter sesekali porak poranda oleh hembusan angin yang tak bersahabat.
"Gila banget tos. Ucap jakun sambiul menahan dingin.
"Iya kun edan bener. Ngeteh lah biar anget.
Deru angin terus menghanjar mental kami dikesunyian. Hawa dingin dan mistis menyatu sempurna menjadi teror dari eksistensi kita. Kabut tipis yang mistis mulai datang dan pergi. Sesekali terdengar suara riuh orang tertawa-tawa. Sekeliling sehlter kecuali bagian yang mengarah ke jalur kedatangan semuanya tertutup rapat oleh ponco. Adrenalin mulai terpacu. Air yang bergolak segera menjadi teh panas yang siap menemani isapan rokok kita. Sambil menikmati situasi yang semakin sulit kita terus tabahkan hati. Sesekali lirak-lirik karena suara tawa yang terdengar semakin menggema dari arah alun-alun. Kita coba tenangkan hati. Golok tajam tak pernah lepas dari genggaman. Diantara deru angin dan suara tawa kita berusaha untuk tetap tenang.

Saya dan Jakun tetap fokus dengan udud dan teh kita masing-masing. Entah apa percakapan kita saat itu yang jelas kita berdua dab dia coba untuk tetap santai. Lirak-lirik sambil sesekali mendengarkan deru angin dan tawa yang semakin liar menggila. Jujur Demi Allah.. Saat itu semua rasa aaa tetapi karena fokus pandangan hanya kesatu titik membuat kita sedikit nyaman dengan teror yang menyiksa. Sesekali bara api yang terbang di terpa angin kita tambahkan lagi kayu agar api tetap menyala. Tak lupa garam kasar juga ku masukan kedalam kobarannya.
"Gak beres banget tos. Ucap jakun sambil memandang berkeliling.
"Iya jawab ku singkat sambil terus memandang ke titik api. Tumpukan kayu semakin sedikit sedang malam yang dingin menikam tajam masih sangat panjang. Menimbang kita sangat membutuhkan nyala api untuk membantu menaikan suhu udara kita putuskan untuk mencari lagi. Sebelum jalan kita heningkan cipta, Suara tawa masih terus menggema menggetarkan jiwa. Selesai berdoa sambil hentakan kaki dan bertakbir ku langsung melangkah keluar bivak. Brrr hawa dingin langsung menyapa kulit dengan dasyatnya. Tekad sudah bulat. Nyali sudah pada titik tertingginya. Daripada mati kedinginan lebih baik kita lawan rasa takut yang sejak tadi terus menghantui. Mudahnya menuliskan ini. Akh kalo inget malam itu rasanya sulit sekali untuk dituliskan. Baru aja melangkahkan kaki didepan kita nampak bayangan sosok wanita dengan pakaian yang indah sekali. Saya dan Jakun sempat kaget dan spontan mengucapkan kata Istigfar. Astagfirullohaladzhiim..

Kepala sebesar panci dan kaki seperti hilang. Hulu golok yang tergenggam erat bergetar keras. Setelah hampir lima menit serasa tak menginjak bumi Sosok itu tiba-tiba melesat kedalam Alun-Alun Surken. Tanpa banyak bicara saya dan Jakun langsung berlari masuk kedalam tenda. Disini aku dan dia diem-dieman tanpa suara. Tak ada penerangan kecuali api yang semakin mengecil didepan tenda, Entah berapa lama kita tertengun akhirnya kita putuskan untuk tidur. Penampakan sosok wanita dengan pakaian indah di depan tadi benar-benar menghancurkan mental kita. Ambil sarung bag dan coba untuk memejamkan mata menuju kedamaian tanpa batas. Akh ini bukan perkara mudah tentunnya hampir satu jam bolak-balik menggigil kedinginan Akibat sengatan hawa dingin akhirnya aku dan Jakun bangun.
"Kun daripada mati kedinginan mending bikin api. Kita masak mie trus cari kayu. Tanpa suara Jakun anggukan kepalanya.
"Ayo tos ucapnya tanpa ragu. Ambil golok lalu kita bergerak keluar tenda.
"Benerin ponco dulu kun. Saat itu ponco yang kita gunakan untuk menahan derasnya laju angin nampak sudah berkibar-kibar. "Iya tos jawabnya singkat. Sambil menggigil hebat kita segera bergerak untuk merapihkannya. Kali ini kita ikatkan pada batu-batu yang cukup besar agar kuat menahan hempasan angin dingin yang sangat mematikan. Itu selesai kita langsung masak mie instan. Sambil menunggu air mendidih aku dan Jakun putuskan untuk masuk lagi kedalam hutan cantigi yang gelap gulita. Awalnya ragu tetapi sengatan hawa dingin membuat kita tetap melangkah menuju kerapatannya.

"Kalo dia nongol lagi bacok ajalah kun.
"Kita apa dia yang mati disni.
"Iya tos jawab jakun tanpa ragu sama sekali.
kali ini kita sudah benar-benar nekat. Saat itu mungkin sekitar pukul sebelas atau dua belas malam. Suara tertawa sesekali terdengar dikejauhan tetapi kini sudah tidak kita hiraukan lagi.
"ketawa-ketawa dah lu sampe puas. Bodo amat ucap ku berdua jakun untuk memantabkan hati.. Setelah 10 atau 15 menit berputar didalam area cantigi kayu-kayu kering cukup banyak kita dapatkan. Sambil meringis kedinginan kita cepat kembali kedalam shelter yang telah kita modif sedemikian rupa. Jakun langsung mengolah mie instan sedang aku langsung menumpuk kayu diatas sisa bara yang ada. Kita harus makan lagi malam itu. Udara benar-benar dingin menggila. Mie matang api menyala. Dekatkan tubuh pada kobarannya lalu pindahkan mie kedalam usus dua belas jari. Lanjut lagi masak air. Ngupi plus udud diantara dingin dan sunyi yang kian menyudutkan kita. Edan panas didepan tetapi menusuk tajam dibelakang. Gue sempat punggung-punguangan ma Jakun tetapi bagian samping tubuh yang tak terkena hangatnya bagaikan tersiram air es . Njirr serba salah kita saat itu.
"Kayanya kita musti gerak terus nih kun. Sebab diem sebentar hawa dingin benar-benar langsung menikam. Aku dan Jakun terus bergerak-gerak disekitar nyala api. Disaat tubuh sudah mulai hangat tiba-tiba kabut datang menyelimuti seluruh areal shelter. Awalnya tipis lalu pekat hingga tak terlihat apapun keculai nyala api. Melihat gelagat ini kayu segera ku tambahkan diatas api yang menyala. Pelan tapi pasti kobarannya segera membesar dan membuat terang suasana.
"Astagfdirullohaladzhiim.. Apaan tuh tos ucap Jakun sambil mundur satu langkah..

"Apaan kun tanya ku sambil merinding tajam. 
"Coba lu perhatiin didepan kata dia.?? 
Sambil menahan rasa takut yang tiba-tiba menyengat ku coba perhatikan apa yang ditunjuk oleh Jakun. 
"Hmm apaan sih bathin ku. 
Saat itu aku cuma melihat kepulan kabut tipis bersama asap bakaran yang terbang cepat silih berganti.. "Astagfirullhladzhiim sekilas memang seperti bayangan wanita tetapi jika kita perhatikan terus ternyata itu adalah kabut yang terkena sinar bulan. 
"Alhamdulillah bukan apa-apa. Baru aja mo ngomong ma Jakun dari arah Surya kencana tiba-tiba terdengar suara tertawa dan lengkingan. Tidak hanya itu suara langkah kaki dari yang jalan hingga lari-lari terdengar jelas sekali. Aku dab Jakun langsung rapatkan tubuh. Genggam golok lalu diam sediamnya. Sambil menggigil menahan dingin yang luar biasa kita berusaha untuk tetap tenang. Gemuruh angin Juli yang datang sangat mematikan berpadu padan dengan situasi yang sangat mencekam membuat kita terpaku didepan perapian. Entah berapa lama yang jelas kita tetap diam didepan nyala api. Saat itu didalam hati hanya mampu bershalawat dan mengucapkan Shalawat dan Asmaul Husna. Entah jam berapa saat itu.?? Suara-suara pekikan kadang ada kadang hilang ditelan deru angin yang datang. Pelan tapi pasti lama-lama mental kitapun bangkit kembali. Perlahan kita mulai bisa saling lirik dan memulai percakapan.
"Tos gimana nih ucap Jakun sambil menambahkan kayu diatas tumpukan bara.
"Gak ngerti Kun, yang jelas kita harus tetap disini sambil menjaga nyala api. Awalnya Jakun diem aja tetapi lama-lama kita semakin bisa menikmati situasi ini. 
"Bikin teh lagi kun. 
"Oke tos Jawabnya singkat. Gak lama Jakun mengambil air yang terdapat di botol mineral. 
"Buset tos beku ucap Jakun setengah teriak padaku.
"Masa ucap ku sambil meraih botol mineral. 
"Lha iya.. Edan banget berarti ni cuacanya. 
Memang saat itu dingin benar-benar menggit kulit sampai ke tulang-tulang. Rasanya kita seperti diam didalam freezer dengan temperatur yang sangat rendah.

Edan banget rasanya kalo di inget saat itu. Hembusan angin benar-benar sangat mematikan di suhu sangat extreem seperti ini. Jelas jika bukan karena campur tangan Tuhan mungkin saat ini sayapun tinggal kenangan. Mati beku di Alun-alun Timur Surya Kencana. Setelah air matang teh langsung kita seduh dengan jumlah gula yang melebihi takaran,
"Banyakin gulanya kun. kita butuh energi lebih dari biasanya.
"Iya Tos jawabnya sambil menuangkan gula kedalam gelas. Gak lama teh jadi. sambil menikmati suasana yang mulai hening kita berdua menyibukan diri didepan api unggun. Serba salah kita malam itu. Wajah menghadap api unggun punggung dingin bagai tersiram es. Balik badan bagian yang telah terkena api bagaikan ditampar oleh tangan-tangan dingin dengan kerasnya. 
"Yaa ampun depan belakang sama asiknya.
"Kok asik bang.?? Bukannya dingin.
"Iyaa asik banget kita dikerjain suhu yang luar biasa dingin..
Edann.. Edann.!! Bolak-balik, diri jongkok. gosok-gosokan telapak tangan dan bagian bagian tubuh yang rasanya tersengat dingin adalah gerakan yang kerap kita lakukan dalam mengatasi situasi ekstreem ini. Entah berapa lama kita lakukan itu. Kabut tipis mulai datang lagi dan silih berganti bersama hembusan angin yang kembali kencang. Disaat mulai tegang begitu tiba-tiba api unggun padam.

"Astagfirullohaladzhiim. Ucap ku ma Jakun berbarengan. 
"Kok bisa bathin ku.?? Walaupun merasa aneh luar biasa kita langsung bergerak cepat. Kenapa aneh.?? karena api padam berikut bara yang menyala panas dibawahnya. Tak bisa berfikir panjang karena panas api sangat penting disaat itu aku dan Jakun langsung berusaha untuk menghidupkannya kembali.
"Minyak tanah Kun. 
"Iya Tos jawabnya sambil bergerak mengambil item yang ku maksudkan. Gak lama dia balik sambil terheran-heran. 
"Ini minyak tanah kan Tos.?? 
"Coba cium baunya aja saya bilang sambil menahan dingin yang luar biasa. Setengah menggigil lalu dia buka tutupnya.
"Iya tos minyak tanah tetapi kenapa kaya ada es batunya.
"Mana sini gue liat. Tanpa ragu dia serahkan botol yang berisi minyak tanah itu kegenggaman ku. 
"Uhh mana ada waktu liat-liat beginian tanpa ragu aku langsung tuangkan cairan itu keatas tumpukan kayu, 
"Korek kun.
"Ni ucapanya sambil menyodorkan tangannya. Saat itu kita masih menggunakan korek kayu yang kita simpan didalam bekas roll film agar tetap terjaga kekeringannya.
Ambil lalu gosokan dengan pemicunya. Beberapa kali mencoba tetapi pentol korek yang masih terjaga kualitasnya tetap tidak mau menyala juga. Melihat hal ini Jakun jadi penasaran.
"Coba sini Tos aku aja.. 
"Ya udah nih jawab aku sambil menggigil hebat.

Dengan cepat kita tukar posisi. Udara saat itu semakin gila rasanya. makin dingin dan makin mematikan. Edan ternyata Jakun juga mengalamai hal yang sama. Korek saat itu gak mau hidup sama sekali. Tak ingin menyerah kita berdua bergonta ganti posisi posisi untuk terus berusaha menghidupkan api. 
"Parapin aja dulu tos sambil masak ucap jakun setengah putus asa. Setengah tersadar aku langsung bangkit dan mengambil parapin. Aneh..!! Lagi-lagi korek api yang kita bawa tak mampu menyala sama sekali. Disela dingin yang semakin hebat kepala ku mulai terasa pusing. Cukup lama kita mengalami suasana ini. Badan benar-benar mulai terasa membeku..
"Kun Makan mie mentah sama sayur mentah aja dulu. 
"Gawat ini ucap ku sambil mencoba menarik nafas. Saat itu rasanya badan ku mulai melayang-layang. Sambil meremas-remas mie instan akhirnya kita berdua terduduk lemas di pinggir shelter. Nafas rasanya makin berat. Badan tiba-tiba mulai terasa hangat, saya inget banget saat itu muka ku rasanya panas banget dan perlahan terus menjalar keseluruh badan. Mie instan mentah rasanya pait sekali. Aku coba telan sekuat-kuatnya agar tetap masuk kedalam usus 12 jari tetapi rasanya sulit sekali. Jakun dan aku mungkin mengalami hal yang sama saat itu. Gak kepikiran gula merah atau gula pasir saat itu. Ingatan mulai bercampur bayangan yang tak jelas bersama pandangan mata. Pusing dan tubuh rasanya semakin lemah.

Disini mungkin titik terparah kita. Rasa panas tadi mulai menyulut badan menjadi panas. Rasanya saat itu sweater yang ky kenakan seperti bara api yang menyala diatas kulit. 
"Anjir panas banget ucap ku dan Jakun. Tak menjawab Jakun juga anggukan kepalanya. Untuk melepas sweter rasanya tenaga tak ada sama sekali. Hawa panas yang semakin membakar membuat ku terus bergerak untuk melepaskan pakaian itu dari tubuh ku. Susah payah akhirnya benda itu terlepas juga. Sejenak rasanya segar tetapi perlahan kepala ku mulai pusing dan tanah yang ku pijak rasanya berputar-putar. Entah berapa lama aku mengalami situasi ini. Entah ada apa dengan Jakun. Saat itu sudah tidak terasa lagi hawa dingin. Saat ku terduduk lemas tiba-tiba aku melihat penampakan tukang sate yang sedang berjalan didepan kita. Lapat-lapat aku lihat Jakun juga sudah bersandar lemas didinding batu pembatas shelter. Entah ini hanya bayangan ku atau bukan yang jelas saat itu rasanya aku saling bertegur sapa dan Jakun.
"Kun makan sate enak nih ucap ku lemas. 
"Iya tos tapi sambil naik becak yah ucapnya kepada ku. 
Disaat saat seperti itu tiba-tiba kita kedatangan seorang kakek yang cukup klimis. Pakainnya putih seperti gamis dengan janggut putih mengkilap. Tanpa ragu si kakek langsung menghampiri kita. Dengan penuh kasih sayang dia mengusap bagian wajah dan punggung kita hingga berkali-kali. Sempat terdengar beliau berucap. Mudah-mudahan gak salah ingat.
"Kalian berdua belum saatnya pulang.

Sambil mengelus-ngelus seluruh tubuh kita si kakek nampak terdengar membacakan sesuatu. Entah sebuah tembang atau ayat-ayat suci Al-Quran. Suaranya merdu dan enak sekali. Lapat-lapat aku merasa ada disiang hari. Tempat yang ramai oleh lalu lalang manusia. Matahari masih belum bersinar terik. Kepala ku rasanya udah gak muter-muter. Si kakek nampak bertegur sapa dengan beberapa orang sebelum kembali menghampiri ku  yang sedang terduduk heran. Pelan-pelan beliau usap-usap kepala ku. Rasanya nyaman sekali. Tenang dan rasanya damai sekali. Tak lama situasi kembali gelap. Raungan angin dikegelapan malam lagi-lagi terdengar menggidikan. Hembusannya membuat rambut beliau yang putih klimis berkibar-kibar ditiup angin. 
"Akhh dada ku rasanya sesak sekali. Tiba-tiba aku merasa seperti tenggelam di sebuah kolam yang gelap dan pekat. Tak bisa nafas.. "Duh gimana gambarin situasi ju saat itu yah. "Kira-kira posisi iku waktu itu seperti orang tenggelam dan banyak menelan air. Didalam kekalutan seperti itu tiba-tiba tubuh ku ada yang ngangkat. Saat ku melihat setitik cahaya aku langsung batuk-batuk.. Batuk bersama cairan yang luar biasa banyak keluar dari mulut ku. Aku ingat sekali posisi ku saat itu telungkup pistol. Sambil batuk aku terus mengeluarkan cairan. Tak lama disamping ku juga terdengar Jakun batuk-batuk mungkin situasinya sama dengan ku.
Dalam keadaan nanar dan setengah sadar lapat-lapat aku lihat si kakek tersenyum. Terlihat penampakan semua jenis meong disekitar beliau. Mereka nampak berlalu lalang disekitar kita.
"Kok meong bang..?? 
"Iyaa byar gak serem-serem amat bro. 
"Duh Ribet ente bang. Bilang aja macan napah..
"Iyaa maksud saya itu..

Terlihat penampakan harimau belang, putih hitam dan tutul disekeliling beliau. Si kakek lalu merapihkan perapian. Entah bagaimana caranya api menyala kembali. Beliau terlihat membuat titik api dibanyak tempat. Setelah selesai beliau menghampiri kita. Tersenyum simpul lalu melangkah pergi. Saat itu aku masih batuk-batuk tetapi sudah tidak banyak mengeluarkan cairan. Dalam keadaan lemas dan setengah sadar aku merangkak mendekati api. 
Alhamdulilah ternyata api beneran. Badan ku saat itu terasa hangat dan pelan-pelan rasa dingin mulai merambati tubuh kita lagi. Baju yang aku kenakan saat itu telah basah oleh cairan yang keluar bersama batuk. Jakun masih terbatuk-batuk hebat. Dengan sisa tenaga aku coba seret kepalanya agar dadanya dekat dengan kobaran api. Disini dia kembali terbatuk-batuk hebat lalu seperti orang tersentak dia terbangun dan membuka matanya.. Mungkin aku juga begitu. Baju kita sama-sama basah kuyup oleh cairan yang keluar bersama batuk.

Jakun nampak menggenggam erat tangan ku. Pelan-pelan kita berdua mulai sepenuhnya sadar. Hawa dingin yang datang menyengat kulit segera membuat kita tersentak.. Aku ingat pertama kali kata yang terucap dari mulut kita berdua adalah. 
"ALLAHU AKBAR.. ALLAHU AKBAR. Habis itu kita sama-sama bergerak masuk kedalam tenda. Dingin memang dingin tetapi sudah tidak seperti tadi. Seperti ada kehangatan yang sulit sekali untuk dijelaskan, entah datangnya dari mana. Karena kesadaran semakin full baju basah dan lengket terasa sangat menggangu sekali. Aku dan Jakun buru-buru ganti pakaian. Setelah selesai kita berdua sama-sama termenung lalu tanpa sadar kita saling berpelukan dan menagis sejadi-jadinya. Air mata yang hangat membuat pipi terasa basah. Aku lupa berapa lama kita begitu sambil menagis gak karuan. Yang jelas rasanya kita terpana dengan semua kejadian ini. Demi Allah saat itu tubuh rasanya nyaman sekali. Cuaca tidak terlalu dingin menggigit. Setelah cukup lama saling terdiam akhirnya aku tertidur kembali. Didalam tidur aku bermimpi yang sampai detik ini masih teringat jelas dalam ingatan ku. Saat itu Alun-Alun Surya kencana seperti taman keraton dari sebuah kerajaan. Rumah-rumah megah seperti bangunan candi terlihat banyak sekali diluar pagar keraton. Semua indah dan Berkelas.

Kereta kuda nampak lalu-lalang diatas jalan bertanah tanpa menimbulkan debu sama sekali. Berbagai macam manusia dengan pakaian orang sunda jaman kerajaan nampak terlihat jelas didepan mata. Udaranya benar-benar hangat. Sebuah bangunan megah terdapat satu-satu di puncak Gede dan Gemuruh. Indah sekali terlihat dari kejauhan. Kaki ingin rasanya melangkah kesana tetapi tiba-tiba ada dua pasang tangan memegangi pundak ku. Agak terkejut aku menoleh kebelakang. Alhamdulillah ternyata itu adalah kakek yang tadi menolong ku. Kini beliau ditemani oleh seorang wanita yang cantiknya bak bidadari. Keduanya terlihat sedang memegangi punggung ku. Tanpa suara mereka gelengkan kepalanya. Pegangan kedua orang itu terasa lembut sekali hingga keinginan ku untuk melangkah tertahan dengan sendirinya. "Yaa Allah kedua orang ini luar biasa kharismanya. Sambil terduduk aku pandangi wajah keduanya silih berganti. Entah apa percakapan kami yang jelas beliau berdua meminta ku hanya melihat saja semua pemandangan ini. Jangan sekali-sekali masuk kedalamnya. Setelah cukup lama akhirnya mereka berdua pamit. Sebuah kereta kencana mengantar kepergian mereka memasuki gerbang keraton yang megahnya luar biasa. Setelah mereka pergi aku terbangun. Terdengar burung-burung mulai berkicau diantara dinginnya udara pagi.

Jakun terlihat masih berselimut sarung yang menjadi andalan kami berdua. Sambil terduduk ingatan ku melayang jauh kebelakang. Tiba-tiba tenggorokan terasa kering dan mencekiik leher. Tanpa ragu aku langsung raih botol air mineral yang berisi air. Tanpa melihat lihat lagi aku langsung minum.. Darr.. Tenggorokan rasanya terbakar oleh hawa dingin yang memasuki mulut. Setengah kaget aku chek isi botol. Ternyata air didalam botol terdapat bongkahan es yang cukup padat. Karena haus aku langsung keluar mencari parapian dan kompornya. Sayup-sayup matahari terlihat bersinar dari balik pepohonan. Bekas cairan dan muntahan terlihat dibeberapa sudut shelter. "Hmm sedasyat itukah hal yang kami alami semalam. Tanpa ragu aku langsung raih tempat roll film yang berisi korek api. Siapkan kompor lalu ambil parapian.

"Ya Allah mudah-mudahan nyala. "Bismilahirohmanirohiim. Goyangkan tangan lalu adu dengan pemicunya. Srrr ternyata menyala. Tanpa menunggu segera aku rapatkan nyala api korek dengan parapin. Gak berapa lama parapin menyala lalu aku taruh diatas kompor. Angkat nesting lalu isi air yang membeku didalam botol. Saat itu dua parapian sekaligus aku taruh didalam kompor. Nyala api sisa semalam ternyata masih ada. Penasaran aku dekati. Hmm hangat. Ternyata api beneran. Subhanallah berarti benar apa yang aku lihat semalam dalam keadaan setengah sadar. Setelah cukup lama terdiam akhirnya aku bangkit berdiri. Masya Allah pantesan dinginnya luar biasa semalam.

Terjawab sudah mengapa udara dingin sangat menggigit pada malam yang baru saja kita lewati. Ternyata disekeliling kita telah membeku oleh lapisan es yang cukup tebal. Tanah, rumput dedaunan atap tenda, atap shelter, poncho semuanya telah dilapisi es dengan sempurna. Tamparan hawa dingin yang nyaris menewaskan kami bersumber dari ini semua. Entah apa hubungannya dengan peristiwa astral yang kami alami bersama fenomena alam ini. Intinya pagi itu atas kemurahan dan kasih sayang Allah SWT kami masih bisa bernafas, Alhamdulillah. Pelan tapi pasti aku langkahkan kaki keluar bivak darurat untuk memandang sekitar. Subhanallah.. Butiran cristal yang berkilau terkena saputan sinar matahari terlihat menggetarkan hati. Dari dasar bumi hawa dingin masih memancar cukup kuat. Badan ku kembali bergetar setelah menerima sapaan angin pagi yang menusuk tubuh tanpa bisa ditawar-tawar. Sambil terus menggerakan badan ku melangkah berkeliling. Lapat-lapat terdengar suara Jakun dari dalam tenda. Setelah beberapa lama nampak dia bergerak keluar bivak perlindungan. Agak nanar dia mengatakan bahwa air sudah mendidih.
"Tos air dah mendidih ni, 
"Mo bikin apaan. Aus banget aku kata dia.
"Teh Manis aja kun. 
"Oke jawabnya singkat. Gak lama dua buah cangkir plastik berisi teh manis yang kental segera menghampiri ku.
"Ni tos.
"Makasih kun.

Sambil menikmati suasana yang masih cukup dingin kita seruput minuman panas ini. Aku dan Jakun benar-benar terpukau oleh situasi ini. Tak banyak kata kita saat itu.
Hanya mata yang saling pandang sambil sesekali mengingat peristiwa semalam. Setelah cukup lama berdiam diri dibawah sinar matahari yang masih belum mampu menembus hawa dingin yang mengurung akhirnya kita bergerak kembali kedalam bivak darurat. Jakun nampak terpana oleh sisa api yang masih menyala. 
"Ni api beneran tos. Ucapnya setengah gak percaya.
"Asli kun. Lo pegang aja baranya.
Sambil tersenyum jakun cuma anggukan kepalanya. Perlahan tubuhnya mendekat keperapian. Julurkan tangan dan mengatakan.
"Iya tos asli apinya. Setelah berbicara matanya langsung menerawang jauh kedepan. Mungkin saat itu dia teringat saat si kakek menyalakan titik-titik api untuk menghangatkan situasi. Gak lama dia melihat kebeberapa titik seperti mencari sesuatu. 
"Nyari apaan kun.??
"Semalem seinget ku ada beberapa titik api diluar tos. 
"Iya tadi aku juga dah nyari-nyari kun. 
"Gak ada ucap ku ma dia. 
Jakun nampak termenung lalu menjawab perkataan ku
"Padahal angetnya berasa banget kata dia.
"Oh iya Tos kita semalem masuk tenda apa tidur didepan perapian sih. 
"Ingetan ku kita berdua masuk tenda Kun. ??
"Ah serius lo. Perasaan ku kita tidur didepan api.
"Enggak aku bilang..
"Kita berdua tidur didalam. 
Jakun masih setengah gak percaya tetapi rintihan cacing didalam perut membuat kita segera bergerak memainkan alat masak yang ada.

"Indomie sisa berapa Tos.??
"Dua Kun. Masak aja dua-duanya..
"Oke jawabnya singkat. Pagi itu matahari terus merambat naik. Kehangatan yang dinantikan masih tak kunjung tiba. Angin dingin bersama lapisan es terasa masih mendominasi hawa udara pagi ini. Indomie plus sawi, daun bawang dan brokoli gak lama siap saji. Tanpa kita pindahkan ke dalam piring, santapan itu segera kita sikat dan kita lenyapkan kedalam usus dua belas jari yang semalam seperti keram tak berdaya. Selesai makan kita kembali membuat teh manis dengan sisa air yang ada.
"Abis ini ambil air sekalian muncak gak Tos. ?? Tanya jakun kepadaku . Entah kenapa jawaban yang meluncur dari mulut ku berlawanan dengan isi hati. Jujur sebenarnya aku merasa gentar tetapi mulut berkata lain.

"Muncak lah kun. Nanggung amat cuma ke barat doangan. 
Jakun anggukan kepalanya. Gak seberapa lama air terakhir mendidih. Isi teh bubuk lalu campur gula. Setelah teraduk rata kita tuangkan kecangkir masing-masing. Sambil menikmati kehidupan kedua yang baru saja dimulai kita duduk diatas bangku batu yang terasa dingin. Ingatan kembali melambung jauh disaat-saat kita mengalami rasa dingin yang luar biasa. Entahlah itu semua nyata atau hanya mimpi yang jelas sisa muntahan dan baju basah lengket akibat lelehen cairan dari dalam perut masih teronggok membisu di sudut tenda. Semua ini seperti mimpi yang benar-benar nyata. 
Jakun juga nampak termenung. Mata ku berkaca-kaca kembali mengingat saat ini kita masih bisa duduk, ngeteh sambil ngudud tanpa kurang suatu apapun. Jakun nampaknya sama. Setelah menghabiskan sisa wedang teh yang terdapat didalam gelas plastik kita mengambil botol-botol kosong yang bergeletakan didepan tenda. Jakun 3, Gue 3. Setelah memastikan semua aman kita langsung bergerak menuju Alun-Alun Barat Suryakencana. Udara dingin segera menyambut langkah langkah kami. Kabut tipis yang dari tadi enggan menghilang dari pandangan terus mengurung kehadiran kami. Apa yang ku alami ini silahkan dinilai sendiri.

Boleh percaya, boleh tidak. Saat itu Alun-Alun Surken baik barat maupun timur adalah area yang terbilang sangat sepi, tidak seperti sekarang yang selalu ramai oleh kehadiran manusia. Dulu disini jangankan malam siang haripun kita bisa mengalami kejadian-kejadian diluar nalar. Tempat sakral yang penuh energi mistis ini menjadi saksi dari kehadiran kita saat itu dengan berbagai kejadian luar biasa yang mengiringinya. Lepas timur memasuki area dekat Batu Dongdang kabut tipis berubah tebal. Sambil kuatkan hati kita terus melangkah. Air menjadi alasan kita untuk tetap bergerak menembus fenomena ini. Menjelang pertengahan lembah kabut kembali menipis dan sayup-sayup area Alun-Alun Barat mulai terlihat. Kaki rasanya ingin cepat-cepat melangkah menuju tempat yang terang itu. Disaat kita melangkah tiba-tiba Jakun mencolek pundak ku.

Awalnya aku cuek aja tetapi karena colekannya berulang-ulang akhirnya aku nengok juga. "Astagfirulohaladzhiim.. Alun-Alun Timur nampak tertutup kabut pekat sedang Alun-Alun Barat tetap terang benderang. Dulu kejadian ini akan sangat menggetarkan hati karena biasanya manusia tidak banyak. Hanya para pelakunya saja yang mengalaminya. Karena tertekan tiba-tiba aku seperti mendapat sebuah bacaan yang entah darimana datangnya. Saat itu aku merasa harus jongkok. Ambil tanah Suryakencana lalu membaca sesuatu. Tanpa pikir panjang aku langsung lakukan itu.
"Illa Hadrotti Khususson sahabatku Gunung Gede, Alun-Alun Surya Kencana. Gunung Gemuruh serta semua unsur alam yang ada diwilayah ini lalu langsung kirimkan Suratul Fatihah.. Sambil membaca itu kedua tangan ku terus mengambil tanah lalu aku usapkan ke tangan, muka dan sebagian aku genggam terus sambil seluruh rangkaian bacaan selesai. Entah berapa lama melakukan itu akhirnya kita bangkit kembali. Jakun nampak tertengun sebab setelah melangkah tiba-tiba ada sebuah kabut yang tipis mengikuti pergerakan kita.

Kabut itu menggumpal seperti awan tipis yang menyerupai sesosok tubuh dia terus terbang dibelakang kita hingga menjelang Alun-Alun Barat. Entah apa namanya yang jelas kita berdua tidak merasa takut sama sekali. Ketenangan telah merasuk jauh kedalam sanubari. Bibir yang selalu basah oleh Shalawat dan Asmaul Husna membuat hati terasa sangat tenang. Akhirnya kita sampai di sungai kecil tempat kita biasa mengambil air. Duduk sebentar kemudian segera isi botol. Suasana hening ini tiba-tiba dipecahkan kembali oleh suara orang tertawa dan ngobrol seperti pendaki pada umumnya. 
"Wah.. Orang nih kun. Ucap ku gembira.

Jakun sepertinya sangsi dengan ucapan ku. Malas-malasan dia bergerak menyusul ku yang sudah duluan bergerak naik ke arah Alun-Alun Barat Surya Kencana. Begitu sampai atas aku segera memandang berkeliling. Tolah toleh, clingak-clinguk.. Kosong melompong gak ada sebijipun manusia yang ku dapati. 
"Deh sepi amat bathin ku. 
Gak lama Jakun sampai didekat ku tanpa suara dia terus melangkah menuju jalur puncak Gunung Gede. 
"Kun Lu denger kan tadi. ??
"Iya jawab dia singkat. 
"Lu masih percaya suara aja Tos ucap dia pelan. Agak tertengun aku akhirnya tersenyum. 
"Iya iya. jawab ku kepada dia.
Tanpa suara kita segera lanjutkan perjalanan menuju puncak gunung Gede. Disalah satu rumpun Edelweis 5 botol yang telah penuh berisi air kita letakan untuk diambil saat perjalanan pulang nanti.

Alun-Alun Barat tetap sunyi tak ada seorang manusiapun selain kami berdua. Jujur suasana benar-benar menggantung sunyi saat itu. Walaupun matahari telah terang sempurna tetapi hawa dingin masih tetap mencengkram dengan kuat. Angin sepoi-sepoi terus menggetarkan nyali pada keinginan yang telah terbagi pada dimensi waktu. Maju mundur kadang kerap hidup didalam hati. Sebagai manusia biasa tentunya kita memiliki banyak sisi yang kerap hidup dan saling bersebrangan jika menghadapi sebuah kondisi yang sedang kita hadapi. Saat itu sepertinya aku ma jakun hanya mengikuti langkah-langkah kaki yang sulit untuk dibendung.

Secara fisik saat itu kita memang masih sangat prima. Jalan kaki dari Pasar Cipanas ke Gunung Putri saja tentunya sudah menguras energi yang cukup besar ditambah jalur pendakian yang notabene tidak ringan tentunya memerlukan tenaga yang sangat besar. Belum lagi kejadian semalam yang nyaris menewaskan kami masih membekas cukup kuat didalam ingatan. Mungkin disaat itu kami berdua masih ceroboh dan kurang bijaksana didalam bertindak. Semua sinyal yang harusnya kita pertimbangkan baik-baik selalu kalah oleh semangat untuk muncak. Itulah mengapa sekarang aku selalu menggunakan hati dan pikiran didalam mengambil setiap keputusan didalam pendakian.

Puluhan bahkan ratusan pendakian yang terlahir setelahnya membuat ku banyak belajar dari setiap situasi medan yang sedang kita hadapi. Perjuangan berat itu ternyata melawan diri sendiri bukan melawan medan-medan berat yang selalu menanti kita. "Subhanallah.." Tuhan bersama para pemberani. Hidup mati memang ditangan Allah tetapi bukan berarti kita berhenti belajar untuk mengisi perjalanan kita ini. Keberanian tetap butuh kebijaksanaan dan keiklasan. Allah Maha Bisa sedang kita hanya memiliki anugrah yang kelak akan dipertanggung jawabkan. "Laa Haulla Walla Kuwwatta Illa Billah." Yaa Rabb Aku ridho. Semoga Engkau Selalu Ridho dengan langkah-langkahku. Oke kita kembali lagi ke cerita.

Saat itu udara tetap dingin menggigit. Terkadang kami harus berhenti untuk menarik nafas dan memompa keberanian. Jujur Gede saat itu menakutkan sekali. Aura tajam mistis didalam kesunyian yang menggantung tajam selalu menggetarkan hati. Lain aku lain jakun. Jakun nampaknya tidak terpengaruh lagi oleh keadaan ini. Walaupun fisik kita tidak terlalu kuat tetapi dia melangkah dengan yakin. Kurang lebih 20-30 menit kita melintasi medan yang semakin menggila akhirnya tiba dipucuk gunung yang dingin dan sunyi. Gunung Gede benar-benar sepi. Matahari bersinar terik tetapi tanpa daya untuk menggigit kulit. Dipuncak kita langsung duduk dan berdoa atas semua karunia indah ini. Walaupun tanpa tustel atau dikenal dengan kamera poket kita tetap semangat. Saat itu mayoritas pendaki mungkin tidak memiliki dokumentasi yang bisa mengabadikan kehadiran mereka tetapi itu bukan halangan untuk tetap mendaki.

Kami yakin Tuhan dan Gunung ini tahu bahwa kita pernah menjejakan kaki diatas semua kemegahan ini. Tiada yang sia-sia. Cerita tetap bisa kita rangkai untuk generasi selanjutnya agar mereka bisa menikmati semua perjalan kita tanpa harus melewati proses kebodohan dalam kenekatan kita sebagai orang tua. Suka duka, lika-liku pengalaman didalam perjalanan tentunya kita sampaikan sebagai ilmu dan penyemangat petualangan mereka. Harta dan diri ini kelak akan musnah tetapi tidak dengan ilmu yang bermanfaat. “Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang masuk dan menetap ke dalam relung hati manusia, yang kemudian melahirkan rasa tenang, takut, tunduk, merendahkan dan mengakui kelemahan diri di hadapan Allah Ta’ala”.

Setelah cukup senang dengan keberadaan di puncak Gede kita berdua mulai bergerak turun. Suasana terang benderang kembali redup oleh rapatnya cantigi yang memayungi kita. Setiap memasuki tempat redup hati ku selalu bergetar. Entah ada apa yang jelas gunung Gede benar-benar menakutkan saat itu. Bibir ini tak pernah lepas dari Asmaul Husna dan Shalawat untuk memantabkan hati dan keberanian. Sehebat apapun ancaman yang menghantui diri didalam pendakian ketenangan adalah kunci utama yang harus tetap hidup didalam sanubari. Pendaki Era 90an, aku yakin mayoritas mengetahui fakta ini bahwa Alun-Alun Barat dan Timur adalah tempat bermain kucing hitam dan kucing tutul-tutul.

Tak sedikit penampakan mereka sedang meminum air di aliran kecil yang terdapat di dasar lembah Suryakencana. Ini fakta bukan hoaks. Selain itu gunung ini juga merupakan gunung yang paling ganas dalam memakan korban manusia. Mungkin yang paling banyak tercatat adalah era 80 sampai 90an akhir. Gunung seberapapun tingginya, sefamiliar apapun namanya, dia tetaplah gunung yang diam membisu dengan jutaan misteri yang menyelimutinya. Jangan pernah anggap remeh persiapan dan pelaksanaannya. Kita tidak pernah tahu selain prasangka kita sendiri karena itulah semua harus berdamai dengan ego dan kesombongan kita sendiri. Setelah semua siap biarkan tangan-tangan Tuhan bekerja untuk menyambung setiap detail proses yang terjadi.

Walaupun hidup mati ditangan Allah tetapi tetap saja untung malang tergantung ketenangan kita sendiri. Tiada yang tak mungkin karena itulah kita harus siap dengan segala kemungkinan. yang akan kita hadapi. Dulu mungkin semua kita lakukan dengan spontanitas dan tentunya atas pertolongan Allah Sang pemilik alam semesta, kita masih bisa selamat hingga detik ini. Saat semakin jauh menuruni jalur yang terjal menggila kita mulai mendekati area Alun-Alun Barat. Awalnya walau suasana begitu mencekam semuanya baik-baik saja. Hingga pada suatu titik aku berdua Jakun harus saling punggung punggunggan karena tiba-tiba terdengar suara eraman kucing besar disekitar kita. Walau kaget luar biasa aku ma jakun berusaha untuk tetap tenang. Cabut golok dan mengamati situasi dengan seksama. Setelah cukup lama berdiam diri dengan posisi saling memunggungi suara itu hilang kembali.

Aku dan jakun lirik-lirikan. Lari berarti mati, jalan masih ada kemungkinan untuk melanjutkan hidup ini. Akhirnya setelah saling memberikan isyarat aku dan jakun melangkah pelan menuruni jalur menuju Alun-Alun Barat. Kita benar-benar pelan melangkah sambil terus memperhatikan semua sudut pandang. Intinya kita berdua saling mengawasi langkah-langkah kita. Jarak terasa sangat panjang padahal hitungan normal hanya beberapa menit saja. Eraman harimau tetap terdengar hingga kita memasuki bibir lembah Surken yang terang benderang. Tak ada jaminan ditempat terbuka ini kita sudah aman. Karena itu sambil terus berdzikir dan bershalawat kita tetap melangkah pelan dan saling mengawasi. Jangan ditanya rasanya. Hati sebenarnya sudah gak karu-karuan. Semua rasa ada. Campur aduk menjadi satu tetapi tak ada yang bisa kita lakukan selain tenang dan berserah diri kepada Allah SWT.
Akhirnya setelah cukup lama tersiksa kita berhasil masuk kejantung Alun-Alun Surya Kencana. Suasana semakin kondusif. Kita semakin tenang untuk melanjutkan perjalanan yang masih cukup panjang ini.

Langkah demi langkah terus terangkai di siang itu. Alun-Alun Timur yang cukup menggidikan sewaktu kita tinggal tadi kini sudah bersahabat kembali. Sekitar 15 menit kemudian kita akhirnya tiba di lokasi camp. Istirahat sejenak lalu siap untuk masak masakan. Logistik tersisa hanyalah sayuran dari kebun paman dan remasan mie instan yang tergeletak diatas meja shelter. 
"Abis masak langsung packing tos.??
"Iya kun. Mumpung siang. 
"Ohh ya udeh jawabnya singkat.
Disela kesibukan masing-masing. (Jakun masak dan aku beberes lokasi) obrolan ringan kerap terjadi. Sesekali kita tertawa lepas tanpa beban sama sekali. Maklumlah saat itu kita masih bujangan dan sama-sama sedikit edan jika melakoni aktifitas pendakian. Setelah beberapa menit akhirnya mie instan sisa bersama sayur mayur hasil kebun siap untuk disantap dan dipindahkan kedalam perut kita masing-masing. Jujur mulut saat itu rasanya masih terasa agak pahit tetapi tubuh kita sangat membutuhkan karbohidrat sebagai pasokan utama energi didalam menempuh setiap aral yang melintang di pendakian ini.

"Njrit.. Pait banget mulut ku tos.
"Sama kun jawab ku sambil terus memaksakan makanan agar tetap tertelan.
"Dorong pake teh manis kali yah. Ucap Jakun.
"Ya udah daripada perut kita kosong mending gitu aja. Jujur percakapan yang terjadi mungkin tidak sama persis tetapi itulah kira-kira gambaran situasi kami disaat itu. Gak lama Jakun langsung menyalakan parapian. Angkat nesting lalu mulai merebus air. 
Dua cangkir plastik segera terisi gula dan teh bubuk yang menunggu air mendidih. Sambil mencoba untuk tetap makan kita menunggu kehadiran teh manis hangat sebagai pendorong rasa mual yang kadang masih sering kita alami. Tak sampai 5 menit air mendidih. Sisa parapin kita biarkan tetap menyala diatas

kompornya. Angkat nesting lalu tuangkan kedalam cangkir. Aduk-aduk lalu siap untuk disajikan. Udara saat itu masih cukup dingin hingga tanpa menunggu lama minuman panas itu telah berubah menjadi hangat. Suap makanan sesendok lalu dorong dengan minuman hangat yang segar. Tanpa ragu ini terus kita lakukan hingga minuman habis dari cangkir kita masing-masing. Sempat mual dan kepala terasa pusing tetapi setelah kurang lebih 10 menit berlalu keadaan normal kembali. Mata terang dan fisik terasa hangat penuh energi. Setelah menghabiskan sebatang rokok aku dan jakun mulai beraksi. Bongkar tenda. packing barang-barang. Sisa kaus yang lengket oleh bekas cairan segera kita masukan kedalam plastik sampah. Poncho lepas gulung. Matras gulung lalu masukan kedalam keril, tenda beres dan kita istirahat sejenak untuk membiarkan tubuh mengolah makanan untuk menjadi energi baru. Langit saat itu tidak terang juga tidak gelap. Angin dingin yang kini bebas menyapa wajah kita semakin lama semakin tajam menggigit.
"Ayo akh tos berger ucap Jakun sambil menahan dingin.
"Ayo ucap ku. 
Rapihkan keril lalu siap-siap untuk melangkah.

Kabut tipis bersama angin dingin tiba-tiba datang menyelimuti. Kaki baru saja hendak bergerak untuk memulai langkah. Jakun nampak diam tak bergerak. Aku terpatung memandangi fenomena yang luar biasa ini. Dihadapan kita terlihat sesosok wanita yang semalam kita lihat terduduk dibawah rimbunnya Cantigi. Matanya tak tajam lagi. Wajahnya sayu. Entah berapa lama kita terpaku tiba-tiba dia lenyap dari pandangan. Suara riuh obrolan kembali terdengar menggidikan bulu kuduk. Jika semalam dari arah Lembah Suryakencana maka sekarang berasal dari hutan yang akan kita lalui. Bulu kuduk yang meremang tajam terus saja menghantui pikiran kita. Setelah membaca Shalawat dan Ayat-Ayat Suci aku dan Jakun lirik-lirikan. Mantabkan hati lalu sama-sama bertakbir. 
"Allahu Akbar.. "Allahu Akbar. "Allahu Akbar...

Injakkkan kaki kebumi lalu tanpa ragu melangkah menuju shelter Simpang Maleber. Sauara percakapan kerap terdengar dari dalam hutan yang sangat lebat tetapi apa boleh buat, kita tetap harus melangkah turun untuk menyambung hidup dan masa depan kita. Pergerakan kita tidak seperti biasanya. Jika terlalu cepat mata cepat sekali berkunang-kunang dan kepala terasa pening. Akhirnya aku dan Jakun sepakat untuk berjalan santai. Langkah kita benar-benar slow. Sambil mengisi waktu sesekali kita berbincang-bincang.
Kurang lebih 30 menit akhirnya kita sampai dishelter Simpang Maleber. Disini sisa gula pasir dan gula merah kita konsumsi sedikit sebelum melanjutkan langkah. Hawa mistis kembali meredup.

Setelah menarik nafas kita kembali melangkah gontai. Menyadari kekuatan fisik yang belum sepenuhnya pulih, kita benar-benar berhati-hati didalam setiap langkah. Lelah sedikit langsung break dan konsumsi gula pasir atau gula merah. Minum air lalu bergerak lagi. Interval waktu yang biasanya cukup singkat kita lalui kini terasa sangat lama menghantui. Entah berapa menit akhirnya kita sampai di Lawang Saketeng. Disinipun kita istirahat lagi. Sisa rokok yang tinggal beberapa batang kita hisap untuk mengisi waktu. Udara tetap pada ritmenya. Cerah tidak mendungpun tidak. Desiran angin dingin yang membuat daun saling berbisik mengingatkan ku pada kejadian semalam. 
"Ayo akh kun dingin juga lama-lama. 
"Ayoo jawabnya singkat.

Bangkit berdiri lalu bergerak pelan menuruni jalur licin yang cukup terjal. Entah halusinasi atau memang kenyataan kadang kita kembali mendengar suara orang bercakap-cakap dari sisi kiri atau kanan kita. Aku dan Jakun kadang lirik-lirikkan tetapi tetap melangkah dan berusaha untuk tetap tidak terpengaruh. Pergerakan lambat ini memang cukup menyiksa tetapi sangat berguna untuk menghemat energi kita. 
Mungkin kurang lebih 50 menitan akhirnya kita sampai di Buntut Lutung sebuah shelter kecil dengan posisi payung patah telah menanti kehadiran kita. Disini aku dan Jakun merasa sangat letih hingga kita beristirahat cukup lama sebelum melanjutkan langkah kembali. Entah apa percakapan kita yang jelas aku langsung rebahin badan dan sempat tertidur sejenak sebelum hawa dingin kembali menyengat kulit dengan tajamnya.

Alhamdulillah gula merah dan gula pasir masih cukup untuk membantu pergerakan kita dimedan yang tidak ramah ini. Setelah duduk-duduk dan menghabiskan sebatang rokok kita kembali bergerak. Sejenak tubuh rasanya segar. Pasokan gula merah dan gula pasir walaupun hanya sedikit membuat tubuh kita kuat kembali. Pelan tapi pasti jengkal demi jengkal jalur yang cukup melelahkan ini kita berhasil lalui. Sekitar 20 menit kedepan akhirnya kita sampai di Leugok Leunca. Istirahat sebentar lalu langsam lagi menuju rumah besar. Saat itu cuaca masih cukup terang mungkin sekitar jam 3 sore atau lebih yang jelas waktu Magrib sepertinya masih cukup jauh untuk kita temui.

Artinya kita akan lepas dari hutan yang penuh misteri ini sekitar pukul lima sore nanti. Langkah kita walaupun lambat tetapi semakin tenang. Ladang sudah tak berapa jauh lagi. Setelah melewati sebuah bangunan kecil kita terus turun dan akhirnya kita sampai dirumah besar. Menimbang waktu yang kita miliki masih cukup panjang akhirnya aku dan Jakun memutuskan untuk singgah dulu sejenak dirumah ini. 
"Break dulu ya Tos bentar. Ucap Jakun ma ku.
"Oke Kun walaupun hati bergetar hebat tetapi kaki ku tetap bergerak masuk ke dalam jebakan kenyamanannya..

Saat masuk hawanya teduh sekali. Tidak sedikitpun ada gesekan energi yang membuat kita merasa gak nyaman. Walaupun begitu cerita yang kerap ku dengar dari penduduk sekitar sangat berbeda dengan nuansa yang aku alami sekarang. Meskipun jantung deg degan tetapi rasa letih membuat ku ikut juga duduk tersandar seperti Jakun. 
"Hmm ni si Jakun lupa apa bijimane yah.?? 
"Ah ya udah ah. Bentaran ini yang penting sebelom gelap kita dah cabut ucap ku didalam hati.

Jakun sudah terlelap. Jujur kami berdua memang letih sekali saat itu. Tak ingin ikut tertidur aku coba tenggelamkan diri aku dalam bacaan Shalawat dan Asmaul Husna. "Hu huii pengennya gak tidur akhirnya aku lep juga. Entah berapa lama yang jelas tiba-tiba tangan Jakun meraba wajah ku dan dia berkata.
"Tos bangun tos.. Dah gelap nih ucapnya sedikit bergetar. 
Awalnya ku males banget buka mata. 
"Hmm enak banget dah tidur disini bathin ku. 
Lagi-lagi Jakun menggoyang tubuh ku. 
"Tos bangun.. Serius dah gelap nih. 
Karena kesal aku melek juga. Deg kini aku juga ikutan kaget..
"Adah perasaan baru sekejap mata kita merem. Udah gelap aja romannya. 
"Ayoo Tos cabut ucap Jakun agak terburu-buru. 
"Iya Jawab ku sambil bangkit berdiri.

Dess bulu kuduk tiba-tiba merinding. Dari salah satu ruangan kamar lapat-lapat terdengar suara wanita sedang bercakap-cakap. 
"Anjrit bathin ku. 
Ambil Keril dan siap untuk bergerak. Baru aja melangkah tiba-tiba didepan mata kita dari atap bangunan menjuntai sebuah benda yang menyerupai rambut yang sangat panjang menghalangi pandangan kita. Awalnya aku kira tumbuhan rambat. Arahkan senter dan teliti dengan seksama. 
"Astagfirullohaladzhiim.. 
Ternyata beneran rambut. Sambil merinding hebat kita berdua mundur selangkah. Cabut golok lalu sibuk bebacaan. 
"Duh susah banget kita bebacaan saat itu. Jantung rasanya awut-awutan. Darah ngalir gak jelas dan nafas terasa ngap-ngapan. 
"Edannn.. Bathin ku.

Mana suara ckakak ckikik makin santer aja disekeliling kita. "Uhh separo mati tenangin diri dan aliran nafas akhirnya bisa juga. Tarik perlahan. Tahan.. Isi dengan Yaa Adzhiimu.. Yaa Adzhiimu. Yaa Adzhiimu.. Lalu hembuskan kearah rambut yang menjuntai. Entah berapa kali aku lakukan itu yang jelas saat itu walau tubuh bergetar hebat keberanian perlahan muncul kepermukaan. Sambil terus melafadzkan kalimat Asmaul Husna aku pandangi semua kegilaan ini. Setelah tarik nafas. Gebrakan kaki sambil bertakbir aku dan Jakun maju bersamaan dan menyabetkan golok kita kearah rambut itu. Dess bacokan kita hanya mengenai ruang hampa. Penasaran kita segera turun dari atas bangunan kayu. Garam yang sudah tergenggam di tangan kiri kita lemparkan keatas atap sambil terus bertakbir.

"Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar. 
Kalimat ini tak henti-henti terlepas dari bibir kita. Suara cekikikan mendadak hilang..
Tak ingin berlama-lama ditempat ini aku dan Jakun melangkah beriringan. Kaki kita kadang masih bergetar hebat. Susah payah kita mencoba untuk tetap berjalan meninggalkan area rumah besar. Jalur terjal dan licin tentunya bukan perkara mudah untuk kita lalui. Mingingat kita sering jatuh bergedebukan golok akhirnya kita sarungkan kembali. Aku dan Jakun berjalan rapat sekali. Pelan dan sulit menguasai diri. Akhirnya setelah belepotan lumpur di tengah hutan damar kita memilih duduk dan diam. 
"Kun diem dulu dah. Gak beres kalo dilanjutin nih.

Tak menjawab Jakun anggukan kepalanya. Setelah makan potongan gula merah terakhir kita langsung minum sisa air dibotol air mineral. Ambil rokok lalu sundud. Alhamdulillah rokok kelar pas situasi genting begini. Setelah habis sebatang rokok. Aliran darah sepertinya normal kembali. Detak jantung mulai stabil dan kaki sudah tidak gemetaran. Saat itu ketakutan telah berubah menjadi nekat. Hidup mati Allah yang atur. 
"Ayoo tos ucap Jakun sambil berdiri. 
"Ayoo ucap ku tak kalah bersemangat. Setelah turunan super terjal kita memasuki jalur datar. Disini terlihat beberapa kelebatan bayangan tetapi kita sudah tak peduli lagi. Golok berlumur garam sudah mantab dalam genggaman. Jakun berjalan tenang didepan ku. Sedang aku kadang harus berjuang keras mengentaskan hawa takut yang kadang datang menggoda.

Kurang lebih 10 menit berjalan dibawah tekanan hebat akhirnya kita memasuki aliran kali kecil. Cepat melangkah lalu masuk kedalam hutan lembab yang gelap. "Njrit kebayang saat kita pertama kali datang melewati wilayah ini. Kaki rasanya mo cepet-cepet pergi meninggalkan semua kegilaan ini lalu segera memasuki ladang penduduk. Berjalan dibelakang dalam situasi yang tak biasa seperti ini tentu bukan perkara mudah. Mental rasanya naik turun. Kalo lagi datang beraninya asik-asik aja. Nah pas lagi datang takutnya rasanya kita mo buru-buru jalan aja. Mo cepet-cepet sampe padahal kaki gemeteran. Pokoknya uhuiilah.. Akhirnya setelah kurang lebih 15 menit bertarung dengan rasa takut kita sampai juga di bibir perkebunan. Kelap-kelip lampu kota dikejauhan segera mengisi nyali pada renungan. Disini kita tepar dulu untuk sejenak. Malam yang dingin telah memeluk kita dengan sempurna.

Jutaan bintang menjadi saksi betapa senangnya hati kita saat itu. Sambil rebahan diatas rumput yang dingin kita pejamkan mata sejenak. Setelah cukup kita bangkit lagi dan mulai bergerak menyisir pematang ladang yang berada di kanan Jalur. ( padahal jalur resminya tinggal lurus doang ) tetapi berhubung kita ini pendaki gelap alias bodong binti nyelos bin tanpa izin kita harus rela mengambil jarak sedikit memutar. Disini walaupun kadang rasa takut datang tetapi sudah kita tidak hiraukan. Keinginan untuk segera sampai dijalan aspal sudah tak terbendung lagi.
Kurang lebih 15 menit meniti sisa jalur terakhir akhirnya kita sampai diperkampungan. Disini aku Jakun saling bersalaman. "Alhamdulillah sampe juga kita Tos ucap Jakun penuh suka cita.
"Alhamdulillah ucap ku.

Setelah berdoa kepada sang Esa kita bergerak lagi. Sampai aspal ternyata Wawan sudah menunggu kita. Tanpa ragu aku langsung sapa dia.
"Bang udah nongkrong disini aja ucap ku. 
Tak langsung menjawab Wawan hanya tersenyum lepas. 
"Mampir dulu kerumah ucapnya ramah. 
Aku ma Jakun tanpa ragu langsung anggukan kepala. Alhamdulillah.. Alhamdulillah. Akhirnya kita sampai peradaban. Setelah mengucapkan salam kita dipersilahkan masuk kedalam rumah. Luar biasa keluarga ini ramah sekali. Tanpa diminta teh dan kopi langsung tersaji didepan mata, setelah basa-basi dan memperkenalkan diri kita mulai terlibat omongan panjang dengan Wawan dan keluarganya. Aku inget betul dulu si Uthe masih bayi dan digendong-gendong sama Alm. Ibunya. Si Abah, Teteh dan semuanya nampak antusias berbicara dengan kita. Disinilah dari keterangan alm Abah. (bokapnya Wawan) kita semakin banyak mengetahui spot-spot angker dan cerita yang cukup menggidikan untuk didengar ditelinga. Wawan dan keluarga sempat kawatir dengan kita karena hawa dingin saat kita naik itu datang luar biasa.

"Diatas gimana to ucap si Wawan.
"Dingin banget wan jawab ku sambil tersenyum kecut. 
Terbayang sebuah kejadian yang membuat ku dan Jakun nyaris mengisi daftar atau list orang-orang yang tewas didalam pendakian gunung Gede ini. Gak lama sebakul nasi hangat datang. Ikan asin, sambal terasi dan lalapan segera menantang mulut untuk berduel mesra.
Sikat brayy. Tanpa malu-malu kita sendok seada-adanya. 
"Anjrot my heart. Ikan asin sama sambel terasi ditempat dingin begini ajibnya luarrrrr biasaaaa. 
"Tambo cie uda.. Uhuiii..
"Emangnya warung padang bang..
"Ohh iya ya.. Saking enaknya sampe berasa makan rendang. 
"Akh emang lu aja kelaperan kali.
"Uhuiilahh Pokoknya Ajibbb..

Aku dan Jakun makan seperti orang kesurupan. Nambah lagi.. Lagi dan lagi. Aku ingat senyum si Teteh dan abah saat itu. Selesai makan lanjut ngudud. Kelar ngudud pura-pura senderan. Nyender-nyender trus hilang dalam samudra iler. Lapat-lapat aku masih denger si Wawan dan keluarganya berbicara dalam bahasa Sunda tetapi badan letih yang telah kenyang terisi karbohidrat membuat ku lemas tak berdaya. 
"Oyoy lagi akh.. 
"Urusan bangun.. Besok aja dipikirinnya. 
Gak lama-lama kayanya aku ilang lagi. Banyak banget mimpi yang ku alami malam itu tetapi tidak ada satupun yang aku ingat hingga detik ini. Pelan tapi pasti hari berganti pagi. Wawan dan si Abah dah siap-siap menuju ladang. Selesai bercakap mereka segera beringsut pergi. Tinggal aku dan Jakun yang termenung mensyukuri semua karunia ini. Gak lama dua cangkir kopi hangat datang menghampiri. Kali ini kita agak malu-malu tapi tetep aja malu-maluin.. Hu huuy. Kelar ngupi datengg sarapan. Kelar makan kita siap-siap untuk pulang.

"Teteh terima kasih banyak. 
"Kita mo pulang dulu yah. 
Aku dan Jakun langsung mencium tangan beliau. Dengan bahasa Indonesia campur Sunda si teteh melepas kepulangan kita ke Jakarta.
"Jangan kapok yah. 
Ucapan itu selalu terngiang dalam telinga ku hingga detik ini. 
"Iya teh jawab ku dan Jakun berberengan. 
Dari sini kita harus berjalan kaki lagi hingga Istana Cipanas. Dari sanalah kita akan naik mobil menuju terminal Baranang Siang. Dari terminal jalan kaki lagi ke stasiun Bogor baru naik KRL menuju Stasiun UP. Jakun memutuskan untuk menginap dirumah ku pada saat itu. Itulah kisah ku bersama Jakun didalam pendakian berbau maut pada tahun 1994 di gunung Gede. 
(Catatan tidak semua dialog tepat seperti itu.)
SELESAI


KISAH MISTERI BERDASARKAN KISAH NYATA
-------------------------------------------------------
~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~

close