Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 18) - Pak Slamet Dan Ramadhan


JEJAKMISTERI - "Astaghfirullah!" Ramadhan sampai terlonjak dari duduknya saat melihat beberapa mayat hidup yang sudah berkeliaran di teras. Bahkan beberapa diantara mereka mulai menggebrak gebrak kaca jendela, berusaha untuk menerobos masuk kedalam rumah.

"Cepat masuk ke kamar Ratri! Lindungi dia dan jangan biarkan makhluk makhluk itu sampai menyentuhnya!" tegas Pak Slamet sambil menyambar tongkat baseball yang tersandar di sudut ruangan.

"Baik Mas!" tak kalah tegas Ramadhan segera menghambur kedalam kamar Ratri. Namun baru beberapa saat anak itu kembali keluar.

"Rom! Apa yang...!"

"Sayang Mas, tinggal dikit lagi!" tukas Ramadhan sambil menyambar cangkir kopinya dan menenggak isinya sampai tandas, lalu kembali berlari masuk ke dalam kamar.

"Cah edan!" Pak Slamet mendengus melihat tingkah konyol adik iparnya itu. Tapi ia tak punya waktu banyak untuk mengomel. Mayat mayat hidup di luar itu semakin beringas menggebrak gebrak kaca jendela. Tak lama lagi mereka pasti akan berhasil menerobos masuk.

"Baiklah!" Pak Slamet menggenggam erat tongkat baseball di tangannya. Laki laki itu sepertinya sudah benar benar siap untuk berperang kini. "Berani kalian masuk ke rumah ini, itu berarti kalian sudah siap mati untuk keduakalinya!"

"Braakkk...!!! Braakkk...!!! Praaannggg...!!!"

Suara kaca jendela yang pecah yang disusul oleh derap langkah para mayat hidup yang merangsek masuk, terdengar bagai genderang perang yang mulai ditabuh. Pak Slamet tak mau ketinggalan start. Dengan berteriak lantang laki laki itu merangsek maju sambil mengayunkan tongkat baseballnya sekuat tenaga.

"HIYAAAAAAAAAHHH...!!!"

"WHUUUSSS...!!!"

"BHUAAAGGHHH...!!!"

Sosok mayat hidup yang berada di barisan paling depan menjadi korban pertama tongkat Pak Slamet, yang dengan telak menghajar kepalanya hingga terlepas dan menggelinding di lantai.

"Hahaha...! Hanya segini kemampuan kalian hah?! Ayo, maju! Maju kalian semua! Biar kuhabisi satu persatu!" bagai orang kesetanan Pak Slamet mengayun ayunkan tongkatnya dengan membabi buta, menghajar apa saja yang berada di dekatnya. Bukan hanya para mayat hidup yang menjadi lawannya, tapi juga perabotan yang berada di ruang tamu itu kini telah hancur berkeping keping.

Entah sudah berapa banyak mayat hidup yang telah berhasil ditumbangkan oleh Pak Slamet. Laki laki itu tak sempat menghitungnya. Yang jelas, lantai ruang tamu itu kini telah dipenuhi oleh potongan potongan tubuh membusuk, yang baunya membuat kepala Pak Slamet menjadi pusing bukan kepalang. Meski begitu, gerombolan makhluk makhluk menjijikkan itu seolah tiada habisnya. Setiap ada yang tumbang, pasti ada sosok lain yang seolah datang untuk menggantikan mereka.

"Sial! Kalau begini caranya, lama lama aku bisa mati kecapekan!" gerutu Pak Slamet sambil mundur beberapa tindak untuk sekedar mengatur nafasnya yang sudah nyaris putus di tenggorokan. Sementara makhluk makhluk itu terus merangsek maju, mengepung Pak Slamet yang kini terpojok di sudut ruangan, seolah tak ingin memberi waktu kepada laki laki itu untuk sedikit memulihkan tenaganya.

Mau tak mau laki laki itu kembali harus mengerahkan sisa sisa tenaganya untuk melawan makhluk makhluk itu. Pertarungan mulai terlihat tak seimbang. Makhluk makhluk itu, meski gerakannya lamban namun akhirnya bisa juga mendaratkan serangan serangan mereka ke tubuh Pak Slamet.

"Arrrgghhhh...!!!" Pak Slamet mengerang keras, sambil terus berusaha untuk bertahan. Namun sekuat apapun ia melawan, sepertinya akan sia sia. Makhluk itu semakin banyak, sedang tenaga Pak Slamet mulai terkuras habis. Jelas, ia menjadi bulan bulanan kini. Mahluk makhluk itu dengan ganasnya memukul, menendang, mencakar, dan menginjak injak tubuh Pak Slamet yang sudah tak berdaya.

"Ramadhan! Kita tak mungkin menang! Cepat, bawa Ratri menyusul ibunya! Aku akan mencoba menahan makhluk makhluk terkutuk ini!" dengan sisa sisa tenaganya, Pak Slamet berteriak lantang. Ya, kalaupun ia harus mati malam ini, tak apa, asal Ratri bisa selamat. Dan Ramadhanlah satu satunya orang yang bisa ia harapkan saat ini.

"Ramadhaaannn...!!! Jawab aku kalau kau masih hidup! Jangan....! Jangan diam saja! Kau..., arrgghhhh...!!! Sial! Ramadhaannn...!!!" setengah putus asa Pak Slamet mencoba merangkak menuju ke kamar Ratri, sementara makhluk makhluk itu masih terus saja mengejarnya.

"Biadab! Aku tak akan memaafkanmu kalau sampai...."

"Krrooaaakkkk...!!!" alih alih mendengar jawaban dari Ramadhan, Pak Slamet justru mendengar suara aneh yang terdengar dari arah kamar putrinya. Suara serak dan berat mirip seperti kakek kakek yang sedang bersendawa.

"Sial! Jangan sampai...."

"Krooaaakkkk...!!!" kembali suara itu terdengar, namun tak sekeras suara yang pertama tadi, seolah apapun yang bersuara itu, kini mulai menjauh dari kamar Ratri.

"Tidak...!!! Jangan...!!!" Pak Slamet mencoba berdiri dan melangkah terhuyung, tanpa ada lagi makhluk makhluk menjijikkan yang menghalanginya. Seolah dikomando, begitu mendengar suara aneh itu, makhluk makhluk menjijikkan itu sontak berhamburan keluar dan meninggalkan Pak Slamet yang sudah babak belur itu.

"Ramadhan...!!! Ratri...!!!" dengan langkah terhuyung huyung Pak Slamet mencoba mencapai pintu kamar sang anak yang tinggal beberapa langkah lagi itu.

Namun begitu ia sampai diambang pintu kamar, langkahnya terhenti tiba tiba. Matanya nanar memperhatikan kondisi kamar yang tak kalah berantakan dengan kondisi di ruang tamu, dengan tubuh Ramadhan yang tergeletak bersimbah darah diatas lantai, serta ranjang sang anak yang kini telah kosong.

"Ratriii...!!!" Pak Slamet merintih.

"Mereka..., mem...bawa...nya Mas! Me...reka, mem...,bawa... Ratri...!!!"

"Bruukkk...!!!" Pak Slamet jatuh terduduk di ambang pintu kamar itu. Seluruh persendian tubuhnya serasa lunglai, tak ada tenaga lagi untuk menopang tubuh tuanya. Apa yang diucapkan oleh Ramadhan dengan terbata bata barusan, terdengar bagai sambaran petir yang menyambar tepat di telinganya.

"Mas...," Ramadhan beringsut, berusaha mendekat ke arah kakak iparnya itu. "Maafkan aku Mas, aku sudah berusaha, tapi...."

"Tidak Ramadhan!" desis Pak Slamet tajam. "Ini semua belum berakhir! Selama nyawaku ini belum lepas dari ragaku, tak akan kubiarkan siapapun menyakiti anakku! Tidak juga dengan makhluk terkutuk itu! Sekuat apapun mereka, sehebat apapun mereka, kalau berani mencolek Ratri, maka aku tak akan segan segan untuk mengadu jiwa dengan mereka. Sekarang katakan Rom, katakan! Kemana makhluk itu membawa anakku!"

"Ke arah selatan Mas, sepertinya..."

"Hmmm..., seperti itu ya," Pak Slamet kembali berdiri dengan bersusah payah, dengan kedua tangan berpegangan pada kusen pintu. "Sudah kuduga, pasti kisah lama akan terulang lagi."

"Apa maksudmu Mas?"

"Kau masih bisa bangkit Rom?"

"Ya."

"Kalau begitu, tunggu apa lagi! Ayo kita kejar makhluk yang sudah berani kurang ajar membawa kabur keponakanmu itu!"

"Apa tidak sebaiknya kita beritahu Mbak Ratih dulu Mas?"

"Bodoh! Kau tau apa yang akan terjadi kalau sampai kakakmu tau apa yang terjadi dengan Ratri?"

"Tapi, aku tak yakin kita bisa..."

"Tenang saja! Kudengar sore tadi Wak Dul ke rumah Mas Joko. Mudah mudahan kita masih sempat bertemu dengan beliau disana."

Ramadhan mulai mengerti dengan apa yang direncanakan oleh kakak iparnya itu. Mereka berduapun akhirnya bergegas meninggalkan rumah itu. Dengan langkah mengendap endap untuk menghidari pertemuan dengan mayat mayat hidup yang masih berkeliaran, keduanya menuju ke arah selatan, ke arah Tegal Salahan!

Sementara itu, tak lama setelah kepergian Pak Slamet dan Ramadhan, Bu guru Ratihpun tiba di rumah itu. Perasan tak enak mulai ia rasakan saat melihat kondisi rumah yang berantakan. Pintu dibiarkan terbuka lebar, kaca jendela yang pecah berantakan, potongan potongan tubuh membusuk yang memenuhi lantai ruang tamu, dan kamar Ratri....

"Gawat!!!" perempuan itu segera menghambur masuk kedalam kamar sang putri. Dan mata Bu Ratih terbeliak lebar saat mendapati kondisi kamar sang putri yang tak kalah berantakannya dengan kondisi di ruang tamu. Selintas pikiran buruk menyergap di hatinya. Sedikit banyak ia bisa menerka apa yang baru saja terjadi di rumah itu.

"Ratri anakku...!!!" Bu Ratih terhuyung mundur. Membayangkan apa yang telah terjadi dengan sang putri, membuat rasa pening yang teramat sangat mulai menyerang bagian belakang kepalanya.

"Arrgghhh...!!!" Bu Ratih jatuh berlutut sambil memegangi kepalanya yang bersenyut hebat seolah hendak meledak. Kesadaran perempuan itu perlahan mulai memudar. Kepalanya tertunduk, membuat sebagian rambut panjangnya menjuntai ke depan menutupi wajahnya.

Suasana menjadi hening sesaat. Hanya desah nafas perempuan itu yang terdengar memburu. Lalu sekejap kemudian, perempuan itu pelan pelan mengangkat wajahnya. Wajah yang sedikit berbeda dengan beberapa detik yang lalu.

Wajah cantik itu terkesan bengis kini. Nafsu membunuh jelas terpancar dari kedua matanya. Mata yang juga mulai berubah. Pupil mata yang biasanya hitam jernih itu pelan namun pasti berubah menjadi kekuningan. Senyum sinis pelan tersungging di bibir tipis itu.

"Hihihi...!!!" sambil tertawa lirih Bu Ratih bangkit berdiri. "Makhluk haram jadah mana yang telah berani mengusik keluargaku hah?! Kalian..., kalian semua, yang telah berani mengusik keluargaku! Kalian semua akan MATIIIIIIII....!!!"

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close