Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 17) - Masih Malam Mencekam


JEJAKMISTERI - "Bu Guru mau kemana?" tanya Pak Bambang sedkikit khawatir.

"Menjemput keluarga Mas Joko, juga anak dan suami saya"

"Tapi Bu...."

"Mereka juga tanggung jawab saya Pak. Jadi kumohon, jaga warga yang ada disini, jangan sampai ada yang keluar sampai saya kembali. Saya nggak lama kok, cuma...."

"Kalau begitu biar saya temani. Disini sudah ada Mas Yudi dan beberapa anak buah saya. Berbahaya kalau Bu Ratih keluar sendirian. Makhluk makhluk yang diluar itu..."

"Tidak Pak! Sampeyan lebih dibutuhkan disini. Soal makhluk makhluk itu, saya sendiri bisa mengatasinya!" tegas Bu guru Ratih. Perempuan itu segera keluar, tanpa memberi kesempatan kepada Pak Bambang untuk bertanya lagi.

"Edan! Kenapa kita malah ditinggal begini? Bagaimana kalau..."

"Biar bagaimanapun, Bu Guru punya anak yang saat ini mungkin sangat membutuhkan kehadiran ibunya. Kita berharap saja semoga Bu Guru cepat kembali kesini Pak," ujar Mas Yudi.

"Ya. Semoga saja. Aku sedikit khawatir dengan makhluk makhluk yang berkeliaran diluar sana itu. Sepertinya mereka semakin banyak saja," gumam Pak Bambang sambil menatap ke arah luar jendela.

****

Sampai diluar, Bu Ratih berhenti sejenak. Ada sedikit kebimbangan yang ia rasakan. Meninggalkan para warga bersama Pak Bambang dan Mas Yudi bukanlah keputusan yang tepat. Cepat atau lambat, pagar yang ia buat akan segera jebol, mengingat semakin banyaknya makhluk makhluk terkutuk yang muncul. Dan bila itu terjadi, ia tak yakin Pak Bambang bersama warga yang lain akan sanggup untuk menghadapinya.

Namun, rasa kekhawatirannya terhadap Ratri sang anak juga tak bisa ia kesampingkan. Nalurinya sebagai seorang ibu mengatakan kalau keselamatan Ratri saat itu juga terancam. Dan Ramadhan dan Pak Slamet sang suami yang menjaganya, belum tentu sanggup untuk melindunginya.

Haruskah aku bersikap egois dengan mengesampingkan keselamatan warga demi untuk menyelamatkan anakku? Atau...

Bu Ratih tak punya banyak waktu untuk berpikir, karena begitu ia keluar dari pekarangan rumah Pak Dul Modin, puluhan mayat hidup yang menyadari keberadaan Bu Ratih segera menyerbunya.

"Menyebalkan! Kalian ingin mengajakku bermain main ya? Akan kutunjukkan seperti apa permainan yang sesungguhnya!" tanpa membuang waktu Guru perempuan itu segera melesat ke depan, menerjang apapun yang menjadi penghalang, sambil mencoba mencari celah untuk bisa lolos dari kepungan makhluk makhluk terkutuk itu. Bu Ratih sadar, keselamatan sang anak, dan juga warga, lebih utama dibandingkan dengan meladeni permainan makhluk makhluk keparat ini. Ia harus segera menjemput putri semata wayangnya, dan secepatnya kembali ke rumah ini.

"Ratri! Tunggu ibu Nak! Ibu akan segera datang!"

****

Kekhawatiran Bu Ratih bukanlah tanpa alasan, karena di waktu yang bersamaan, di rumah guru perempuan itu, suasana juga tak kalah mencekam. Puluhan makhluk makhluk menyeramkan berkeliaran disekitar rumah yang berada di ujung desa itu.

Beruntung, sebelumnya Bu Ratih sempat membuat pagar untuk melindungi di sekeliling rumahnya. Tapi itu tak bisa menjadi jaminan, mengingat banyaknya makhluk makhluk jahat yang berkeliaran.

Namun suasana hiruk pikuk di luar rumah sepertinya tak begitu berpengaruh terhadap Ratri. Gadis kecil itu telah terlelap semenjak sore tadi. Justru Pak Slamet yang terlihat resah. Laki laki itu terlihat mondar mandir di ruang tamu rumahnya, sambil sesekali melihat keluar melalui kaca jendela.

Tidak! Ia bukannya takut dengan makhluk makhluk menyeramkan yang semakin banyak berkeliaran di luar sana. Tidak juga mengkhawatirkan Ratri sang anak yang saat itu dijaganya. Sebagai sosok seorang ayah, ia siap bertaruh nyawa untuk melindungi buah hatinya itu. Ia memang tak mempunyai kemampuan apa apa, tapi menghadapi makhluk makhluk jahat seperti itu bukanlah hal baru baginya. Sudah sering ia berjibaku dengan makhluk yang mungkin lebih berbahaya daripada yang berkeliaran disekitar rumahnya itu bersama sang istri. Jadi kalau nantinya makhluk makhluk itu berhasil merangsek masuk, ia sudah siap untuk menghadapinya.

Yang dikhawatirkan oleh laki laki itu saat ini justru keselamatan sang istri, yang malam itu sedang berjuang sendiri di luar sana. Sehebat apapun, Ratih tetaplah manusia biasa yang memiliki batas kemampuan. Dan kalau sampai batas itu terlewati, lalu ia kehilangan kendali, Pak Slamet tak berani membayangkan apa yang akan terjadi.

"Sudahlah Mas, tak perlu terlalu risau. Kalau makhluk makhluk itu sampai berani masuk kesini, biar aku yang menghadapi," ujar Ramadhan yang duduk di sofa sambil menikmati secangkir kopi panas.

Pak Slamet hanya tersenyum kecut. Ramadhan, bocah ini masih mentah rupanya. Disaat saat genting begini, bisa bisanya duduk santai menikmati kopi, sementara diluar sana kakaknya sedang bertaruh nyawa menyelamatkan desa.

"Aku mencemaskan kakakmu Rom! Dia berjuang sendirian diluar sana bertaruh nyawa, sementara kita justru enak enakan duduk santai disini," gumam Pak Slamet sambil menatap keluar jendela. Beberapa mayat hidup kini nampak mulai memanjat gerbang pagar dan masuk ke pekarangan.

"Percaya saja Mas, Mbak Ratih pasti bisa menjaga diri. Lagian kita disini kan memang ditugaskan untuk menjaga Ratri. Jadi...."

"Makhluk jahat diluar sana, itu terlalu banyak Rom! Sekuat apaun kakakmu, dia tetap memiliki batas. Aku takut, kalau sampai kakakmu kehilangan kendali, entah apa yang akan terjadi," Pak Slamet berkata sambil masih tetap menatap keluar jendela. Beberapa sosok mayat hidup kini berjalan terseok seok mendekat ke arah teras. Jelas, pagar yang dibuat oleh sang istri telah berhasil dibobol kini.

Ramadhan terdiam. Apa yang dikatakan oleh kakak iparnya itu ada benarnya juga. Sudah beberapa kali ia mendengar cerita, bagaimana kalau sang kakak sampai kehilangan kendali. Ramadhan tak berani membayangkan, sosok sang kakak yang dikenal kalem dan bijak itu berubah menjadi monster pembunuh yang sudah tak bisa lagi membedakan mana kawan dan mana lawan.

"Mudah mudahan saja hal itu tak sampai terjadi Mas," ujar Ramadhan setengah tak yakin.

"Rom," desis Pak Slamet dengan suara gemetar, karena saat itu ia melihat sosok sosok mayat hidup itu telah memasuki teras rumahnya. Bahkan salah satu dari mereka mengintip kedalam melalui kaca jendela, tepat di depan Pak Slamet yang juga menatap keluar dari jendela yang sama. Jantung Pak Slamet berdesir, saat matanya bersitatap dengan makhluk menyeramkan yang berada diluar itu.

"Iya Mas," sahut Ramadhan yang belum menyadari situasi yang terjadi.

"Masuk ke kamar Ratri!" desis Pak Slamet lagi, sambil mundur menjuh dari jendela.

"Kenapa Mas?"

"Mereka datang!"

"Mereka?!"

"Lihat keluar jendela!"

"Astagfirullah!"

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close