Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 16) - Malam Mencekam


JEJAKMISTERI - "Maasss...!!! Ndaruuu...!!! Setaaannnnn...!!!"

"Gubraaakkkkk...!!!"
Suara jeritan Mbak Romlah yang diikuti suara berderak dari daun pintu yang dibanting mengejutkan Mas Joko, Pak Dul Modin, dan juga Mas Toni yang semenjak tadi menunggu di teras pondok. Serempak, ketiga laki laki itu berhamburan lari masuk kedalam kamar.

"Astaga! Romlah?!" Mas Joko segera memeluk sang istri yang menagis histeris sambil mengelesot di lantai dan menunjuk nunjuk ke arah jendela kamar yang terbuka lebar. Sementara Pak Dul Modin segera mendekat ke jendela itu dan menatap ke arah kegelapan di luar pondok. Mas Toni sendiri hanya bisa berdiri mematung di ambang pintu kamar.

"Huuhuhu...! Ndaru Mas! Anak kita! Anak kita digondhol setan gosong! Huuhuhu...!" Mbak Romlah berseru sambil masih terus menangis dan menunjuk nunjuk ke arah jendela.

"Setan gosong?!"

"Cepat tolong anak kita Maaassss...!!! Wulaaaaaannnn...!!! Tolong adikmu Nduuuuukkkk...!!! Huuhuhu...!!!"

"Sial! Kenapa aku sampai bisa kecolongan begini!" Pak Dul Modin menggerutu sambil berbalik. "Ton! Ayo kita cari Ndaru! Mas Joko, sampeyan disini saja! Tenangkan dulu istri sampeyan itu!"

"Tapi Pak...!"

"Jangan membantah! Ini sudah bukan main main lagi! Sampeyan dengar suara itu kan?" Pak Dul Modin menukas.

Mas Joko segera memasang telinganya baik baik. Benar saja! Dari arah desa, sayup sayup terdengar bunyi kentongan yang dipukul bertalu talu dan saling bersahutan.

"Para iblis itu sepertinya sudah memulai pesta mereka! Jadi, sebaiknya sampeyan tetap disini! Jangan keluar, apapun yang terjadi!"

"Tapi Ndaru Pak...!"

"Soal Ndaru biar menjadi urusanku! Aku berjanji, akan kubawa Ndaru kembali dalam keadaan selamat! Ton, ayo kita cari Ndaru!" tanpa memberi kesempatan kepada Mas Joko untuk membantah, Pak Dul Modin segera melangkah keluar pondok, diikuti oleh Mas Toni.

"Apa sebenarnya yang terjadi Pak?" tanya Mas Toni.

"Pageblug!" jawab Pak Dul Modin singkat.

"Pageblug?!" Mas Toni mencoba menyalakan sepeda motornya. Namun beberapa kali diengkol, mesin sepeda motor tua itu tak mau menyala juga. "Sial! Kenapa disaat seperti ini..."

"Sudah! Kita jalan kaki saja! Sepertinya setan itu keberatan kalau kita mengejarnya pake motor," ujar Pak Dul Modin sambil melangkah ke arah jalan.

"Kemana kita akan mencari Ndaru Pak?" tanya Mas Toni lagi sambil menjajari langlah laki laki tua itu.

"Ndaru digondhol setan! Tentu saja kita akan mencarinya ke sarang setan!" tegas Pak Dul Modin.

"Sarang se...tan?!"

Ya! Disana!" Pak Dul Modin menunjuk ke arah utara, tepat ke arah buk yang berada diantara turunan dan tanjakan jalan Tegal Salahan!

****

Sementara itu di desa, apa yang dikatakan oleh Pak Dul Modin ternyata benar adanya. Para iblis sedang berpesta pora. Puluhan mayat hidup yang telah dirasuki oleh iblis iblis terkutuk berdatangan dari segala arah. Menggedor gedor pintu rumah warga. Meneror dan mengancam, membuat para perempuan menjerit ketakutan.

Warga yang ketakutan segera membunyikan kentongan tanda bahaya. Para pemuda desa pemberani yang dipimpin oleh Mas Yudipun segera mengambil tindakan. Namun banyaknya makhluk makhluk terkutuk itu membuat mereka sedikit kewalahan.

Bu Ratih sendiri tak kalah kewalahan. Setiap mayat hidup yang berhasil dilumpuhkan, segera dibawa ke hadapan guru perempuan itu untuk dimusnahkan. Hal itu membuat tugas yang diberikan oleh Pak Dul Modin kepada Bu Ratih untuk melacak keberadaan jasad Ki Suryo dan Kang Mitro terpaksa harus ia tunda.

"Sial! Makhluk sebanyak ini, darimana datangnya?!" gerutu Mas Yudi yang tengah sibuk bergulat dengan salah satu mayat hidup itu.

"Sepertinya dari mayat mayat yang digali di desa sebelah Yud!" seru Mas Teguh, juga sambil baku hantam dengan sosok yang sama dengan yang dilawan oleh Mas Yudi.

"Jelek! Bau! Menjijikkan!" Pak Bambang menendang dan menginjak injak salah satu makhluk yang telah berhasil ia lumpuhkan.

"Jangan bermain main Pak! Langsung habisi saja! Masih banyak makhluk yang lain yang harus kita bereskan!" Mas Yudi mengingatkan komandan polisi yang nampak kesal itu.

"Wedhus! Komandan kok diperintah!" Pak Bambang menggerutu.

Seorang warga yang menyeret sesosok mayat hidup yang sudah tak berdaya berhenti tepat di depan Pak Bambang, lalu melemparkan mayat yang diseretnya kedepan komandan polisi itu.

"Hey! Serahkan pada Bu Ratih, jangan kepadaku!" seru Pak Bambang.

Laki laki itu tak menjawab. Ia justru semakin mendekat ke arah Pak Bambang sambil menyeringai lebar. Kedua tangannya terjulur ke depan, tepat mengarah ke leher komandan polisi itu.

"Hahaha...!!! Matiii...!!! Matiiiii...!!! KAU HARUS MATIIIII....!!!" laki laki itu tiba tiba tertawa terbahak dan berteriak mengancam Pak Bambang.

"Sial! Woyyyy...!!! Waspada! Beberapa warga mulai kesurupan!" Pak Bambang berteriak lantang sambil mencoba melumpuhkan warga kesurupan yang sedang menyerangnya itu.

"Mundur! Semua mundur! Berkumpul di rumah Wak Dul! Semuanya! Bawa semua keluarga kalian! Jangan sampai ada yang tertinggal!" Bu Ratih yang tanggap dengan keadaan segera mengambil tindakan. Guru perempuan itu sadar, tak mungkin ia sanggup menghadapi serangan yang bertubi tubi itu sendirian, kalau harus sambil melindingi para warga.

Mendengar teriakan Bu Ratih, sontak semua warga berbondong bondong menuju ke rumah Wak Dul yang berada di tengah tengah desa, dengan membawa serta seluruh keluarga mereka. Bahkan entah karena panik atau kebingungan, seorang warga juga membawa serta kambing piaraannya.

"Sial! Kalau terus seperti ini, kita bisa habis dibantai!" sungut Bu Ratih.

"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya Bu? Tak mungkin kita terus terusan bertahan seperti ini!" Pak Bambang mendekat ke arah guru perempuan itu. Komandan pilisi itu menatap keluar melalui kaca jendela, memperhatikan beberapa mayat hidup yang masih berkeliaran di jalanan dengan langkah mereka yang sempoyongan.

"Sementara kita aman Pak, asal tak ada yang keluar dari rumah ini. Saya sudah memasang pagar agar makhlu makhluk itu tak bisa masuk kesini. Tapi..."

"Tapi apa Bu?"

"Pagar itu tak akan bertahan lama, mengingat banyaknya jumlah makhluk makhluk itu. Berharap saja Wak Dul segera kembali dari rumah Mas Joko."

"Bu Guru!" Mas Yudi juga ikut mendekat.

"Ya?" Bu Guru Ratih menoleh.

"Anu, saya sudah mendata semua warga, dan ternyata masih ada beberapa warga yang tertinggal diluar sana!"

"Keluarga siapa saja?"

"Keluarga sampeyan, dan juga keluarga Mas Joko."

Bu Ratih menghela nafas berat. Terlalu sibuk mengurus warga, ia sampai melupakan keluarganya sendiri. Memang masih ada Ramadhan yang menemani sang suami menjaga Ratri. Tapi anak itu tak terlalu bisa diandalkan.

"Pak Bambang!"

"Ya Bu Guru?"

"Bisa sampeyan jaga warga yang disini? Jaga agar mereka tak ada yang keluar dari rumah ini!"

"Tentu saja Bu."

"Baiklah kalau begitu. Saya percayakan keselamatan warga yang disini kepada sampeyan. Yud, tolong bantu Pak Bambang ya. Saya akan keluar sebentar!"

"Eh, Bu Guru mau kemana?"

"Akan kuhabisi makhluk makhluk terkutuk itu satu persatu!"

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close