Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 12) - Tewasnya Pak Bayan Mangun


JEJAKMISTERI - Mbak Yuni meringkuk dengan tubuh gemetar di sudut kamar. Duduk memeluk lutut sambil membenamkan wajahnya dalam dalam di sela sela kedua pahanya. Sedikitpun ia tak berani untuk sekedar mengangkat wajah dan menatap sosok yang berdiri sangat dekat di hadapannya itu.

Sosok hantu Pak Jarwo. Hantu leher buntung yang meneteng kepalanya sendiri itu menyodorkan kepala yang ditentengnya tepat didepan wajahnya, sambil berkali kali menawarkan kepala busuk itu kepadanya.

"Yu, gelem ndhas ora?" (Yu, mau kepala nggak?) begitu ucapan yang keluar dari bibir berlumuran darah busuk itu berkali kali.

Mbak Yuni mengumpat dalam hati. Bisa bisanya Mas Danang, sang suami, kabur meninggalkannya sendirian bersama makhluk sialan ini. Benar benar laki laki pengecut! Dalam hati Mbak Yuni bersumpah, jika ia berhasil selamat dari hantu leher buntung ini, akan ia paksa Mas Danang keliling kampung sambil mengenakan daster warna pink.

"Yu, gelem ndhas ora?" kembali makhluk itu bersuara. Kali ini tidak hanya sekedar menyodorkan potongan kepala yang ditentengnya, tapi sudah mulai berani menempel nempelkan benda berbau busuk itu ke lengan tangannya, membuat Mbak Yuni semakin gemetar ketakutan.

"Emoh! Aku ra butuh ndhas bosok! Kono, minggato kono! Ojo meden medeni aku! Aku ra duwe urusan karo sampeyan!" (Nggak! Aku nggak butuk kepala busuk! Sana, pergi sana! Jangan nakut nakuti aku! Aku nggak punya urusan sama kamu!) Mbak Yuni memberanikan diri untuk menggertak, meski belum berani mengangkat wajahnya.

"Hehehe...!!! Ayu ayu kok galak! Bojomu nangdi Yu?" (Hehehe...!!! Cantik cantik kok galak! Suamimu kemana Yu?)

Sial! Hantu leher buntung itu semakin kurang ajar sepertinya, karena kini mulai berani menyentuh dan mencolek colek tubuh Mbak Yuni yang semakin mengigil ketakutan.

"Lunga! Minggato! Ojo kurang ajar sampeyan!" (Pergi! Pergi sana! Jangan kurang ajar sampeyan!)

"Haha, aku gelem lunga nek karo sampeyan Yu! Ayo, timbang sampeyan karo Danang sing jirih kae, mending karo aku wae Yu." (Haha, aku mau pergi kalau sama sampeyan Yu! Ayo, daripada sampeyan sama Danang yang penakut itu, mending sama aku saja Yu.)

"Ra sudi! Minggato! Nek ra gelem minggat,..." (Nggak sudi! Pergi! Kalau nggak mau pergi...)

"Bruaakkkk...!!!" belum selesai Mbak Yuni meratap, pintu kamar tiba tiba terdobrak dari luar, disusul dengan sekelebatan bayangan putih yang menerjang sosok hantu Pak Jarwo hingga sosok itu terpental menghantam dinding kamar. Sialnya, kepala yang ditenteng oleh sosok itu terlepas dan jatuh menggelinding tepat di dekat kaki Mbak Yuni, membuat perempuan itu menjerit sekencang kencangnya.

"KYAAAAAA....!!!"

"Keluarlah Yun, biar kuurus makhluk mesum ini!"

"Eh, Bu guru?!" lega hati Mbak Yuni mendengar suara perempuan itu. Pelan ia mengangkat wajahnya, lalu berdiri dan berjingkat menjauh dari potongan kepala yang busuk menjijikkan itu.

"Terimakasih Bu," ujar Mbak Yuni sambil melipir keluar kamar, lalu berlari sekencang kencangnya keluar rumah, mencari sang suami yang kini entah berada dimana.

Sementara sosok hantu Pak Jarwo itu kini meraba raba permukaan lantai, mencari kepalanya yang tadi terlepas dari genggamannya. Bu Ratih memungut kepala itu, lalu menyodorkannya pada sosok yang kebingungan itu.

"Nyari ini Pak?" ujar Bu Ratih.

Hantu Pak Jarwo mengangkat kedua tangannya, meraba raba kepala yang ditenteng oleh guru perempuan itu.

"Dhemit ra nggenah!" (Hantu ndak jelas!) Bu Ratih mendengus keras, lalu sebelah tangannya bergerak cepat menghantam makhluk di hadapannya itu, tepat di bagian ulu hatinya.

Pukulan yang dilambari dengan sedikit kekuatan batin itu rupanya sudah cukup untuk memusnahkan hantu yang merasuki jasad Pak Jarwo. Jasad tanpa kepala itupun jatuh tersungkur dan tak bergerak gerak lagi.

"Cih! Ternyata yang ini juga cuma amatiran!" Bu Ratih melemparkan kepala yang ditentengnya iru ke arah sosok yang kini tergeletak tak berdaya di depannya. "Kemana biang mereka? Auranya kurasakan semakin menjauh!"

Pelan Bu Ratih keluar, lalu memerintahkan beberapa warga untuk membereskan mayat Pak Jarwo dan membawanya kembali ke pemakaman, menyusul para peronda yang tadi sudah terlebih dahulu kesana dengan membawa mayat Lik Diman.

"Bu Guru! Gawat Bu Guru!" sebuah sepeda motor berhenti tepat di depan Bu Ratih yang baru saja keluar dari rumah Mas Danang.

"Ada apa? Bukankah tadi saya minta kalian untuk membawa mayat Lik Diman ke kuburan?" tanya Bu Ratih saat mengenali si pengendara motor itu adalah salah satu peronda yang tadi ia temui di Tegal Salahan.

"Saya sudah kesana tadi Bu! Tapi di kuburan....., ah, pokoknya Bu Guru harus kesana sekarang! Pak Modin butuh bantuan sampeyan!" seru si pengendara motor dengan nafas ngos ngosan. Gurat ketakuran terpancar jelas dari wajah laki laki itu, membuat Bu Ratih paham bahwa terjadi sesuatu yang buruk di pemakaman.

"Baiklah! Aku akan segera kesana!"

****

Sementara itu sebelumnya, para peronda dengan dipimpin oleh Pak Modin dan Pak Bambang yang mendapat tugas mengembalikan mayat Lik Diman ke pemakaman telah sampai. Namun langkah mereka terhenti di gerbang pemakaman desa itu, saat menyaksikan pemandangan ganjil di area pemakaman itu. Sosok laki laki bertelanjang dada nampak tengah sibuk membongkar salah satu makam yang masih baru.

"Darmaji?! Wedhus! Apa yang dia lakukan?!" Pak Bayan yang mengenali laki laki itu sebagai Darmaji, si penjaga makam, bergegas mendekat ke arah laki laki itu yang bagai orang kesetanan terus saja mengayunkan cangkulnya dengan cepat, menggali sebuah makam di salah satu sudut pemakaman itu.

"Darmaji! Apa apaan ini?! Sudah gila kamu ya?!" bentak Pak Bayan keras. Namun suara Pak Bayan yang menggelegar itu sama sekali tak dihiraukan oleh laki laki bertubuh kekar itu. Ia terus menggali dan menggali. Jelas terlihat tubuh laki laki itu telah bermandi keringat. Entah sudah berapa makam yang ia gali, karena selain makam yang tengah digali itu, masih ada lagi makam makam yang lain yang telah menganga terbuka dengan bekas tanah galian yang menggunung di sebelahnya.

"Edan!" kesal, Pak Bayan setengah berlari menghampiri laki laki itu.

"Hati hati Pak," Pak Bambang yang melihat gelagat tak baik meperingatkan. Namun terlambat. Begitu Pak Bayan telah sampai le trmpat laki laki itu, Darmaji tiba tiba berbalik dan mengayunkan cangkulnya ke arah Pak Bayan.

"Awas Pak!"

"Dhuagkkk...!" lagi lagi terlambat. Tak sempat menghindar, ujung cangkul yang tajam itu mendarat tepat di kepala Pak Bayan dan menancap sangat dalam.

Tak ada jeritan! Tak ada teriak kesakitan! Tubuh Bayan tua itu limbung, lalu roboh dengan cangkul yang masih menancap di kepalanya.

"Huahahaha...!!!" Darmaji tertawa keras, lalu dengan kasar menginjak kepala Pak Bayan yang kini sudah tak bernyawa itu dan mencabut cangkul yang menancap disana dengan sangat kasar. Darah segar seketika muncrat membasahi tanah kuburan yang lembab oleh embun itu

"Sial!" Pak Bambang yang menyadari bahwa kondisi sudah diluar kendali segera mencabut pistolnya dan berlari memasuki area pemakaman, diikuti oleh para peronda di belakangnya.

"Jangan bergerak! Atau kutembak!" tegas Pak Bambang keras.

"Jangan ditembak Pak," bisik salah satu peronda. "Kasihan anak dan istrinya nanti kalau dia mati. Anaknya masih kecil kecil Pak, dan istrinya...."

"Iya. Aku tau!" sungut Pak Bambang. "Kita lumpuhkan saja! Sepertinya dia juga sedang kesurupan!"

"Bagaimana caranya Pak?"

"Bodoh! Dia cuma sendirian, dan kita bertujuh! Kita ringkus saja! Masa kalah sih sama satu orang!"

"Iya juga ya. Tapi kalau dia benar kesurupan, berarti dia dibantu sama setan dong Pak! Sampeyan berani melawan setan?"

"Halah! Setan atau bukan, harus kita lawan! Daripada kita bernasib seperti Pak Bayan!"

"Hahahaha...!!!" sosok Darmaji tertawa, lalu mendekat ke arah kerumunan peronda itu sambil mengayun ayunkan cangkul di tangannya.

"Mundur!" teriak Pak Bambang. "Jangan sampai jatuh korban lagi! Salah satu dari kalian, tolong kembali ke desa dan jemput Bu Guru Ratih! Aku akan mencoba menahan orang ini!"

Kerumunan itupun bubar seketika, menyisakan Pak Bambang seorang yang kini telah menyarungkan pistolnya kembali. Komandan polisi itu bersiaga, sementara Darmaji semakin mendekat ke arahnya. Dan begitu keduanya telah berhadapan, tanpa basa basi lagi Darmaji segera mengayunkan cangkulnya ke arah Pak Bambang.

"Whuusss...!!!"

"Praakkkk...!!!"

Cepat Pak Bambang melompat mundur, hingga serangan Darmaji meleset. Ujung cangkulnya mengayun deras dan menghantam batu nisan hingga bilah cangkul itu terlepas dari gagangnya.

Kesempatan itu tak disia siakan oleh Pak Bambang. Dengan cepat ia menyerbu ke depan, menubruk tubuh Darmaji hingga keduanya jatuh bergulingan diantara batu nisan. Pergumulan serupun terjadi. Ternyata Darmaji yang telah dirasuki setan itu bukanlah lawan yang bisa diremehkan. Pak Bambang yang sudah kenyang akan pengalaman dibuat kerepotan oleh laki laki itu.

Para peronda yang menyaksikan kejadian itu tak ada yang berani mendekat. Mereka hanya bisa melihat kedua orang itu bergelut diantara onggokan onggokan batu nisan ditengah kegelapan. Saling tindih, saling pukul, saling jambak, sampai akhirnya, pada satu kesempatan, Darmaji berhasil mengunci leher Pak Bambang.

"Hahaha...!!! Mati...!!! Mati...!!! MATIIIIIII...!!!" Sambil tertawa keras Darmaji mencekik leher Pak Bambang, membuat komandan polisi itu tak punya pilihan. Tangannya meraba pistol yang terselip di pinggang. Namun sebelum senjata itu menyalak, sesosok bayangan berkelebat menerjang tubuh Darmaji yang tengah menindih tubuh Pak Bambang hingga terpental menghantam batu nisan!

"Whuussss...!!!"

"Bhuaghhhh...!!!"

"Hegghhh...!!!"

"Ramadhan!" seru para peronda yang mengenali sosok pemuda yang kini berdiri dengan gagahnya diantara Pak Bambang dan Darmaji yang kembali merangkak berdiri itu.

(hayooo, masih pada inget nggak nih sama tokoh Ramadhan?)

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close