Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ANAK KEMENYAN (Part 3 AND)


JEJAKMISTERI - Pagi hari, pintu gudang tempat Ranting tidur diketuk. Masih dalam keadaan kantuk ia bangun lalu membukakan pintu. Ternyata itu Intan, ia berdiri di hadapan Ranting sambil membawa sepiring nasi dan tempe goreng. Umur Intan ini lebih tua satu tahun dari Ranting, wajahnya selalu datar dan pucat. Ia menyodorkan piring tersebut ke Ranting yang masih mengucek matanya.

“Sarapan,” kata Intan.

Ranting tidak langsung mengambil piring itu.

Intan meletakkan piring tersebut di lantai kemudian beranjak pergi begitu saja. Cara berjalan Intan cukup lucu, ia becingkrak membuat rambutnya yang dikuncir berayun-ayun.

Sesaat kemudian, Ranting mengambil piring tersebut, di dalam gudang sempit itu ia makan walau rasanya aneh, Ranting tetap paksakan untuk memakannya karena perutnya sangat lapar. Boneka kelinci masih ia peluk. Belum sempat ia menghabiskan makanannya, tiba-tiba terdengar suara Bu Hida memanggilnya dengan nada tinggi. Pintu gudang dibuka paksa, wajah Bu Hida sangat berbeda dibanding saat pertama kali Ranting bertemu dengannya. Sekarang terkesan galak, bengis, dan judes.

“Suruh siapa makan?” bentak Bu Hida.

Ranting meletakkan piringnya, wajahnya menengadah ke arah Bu Hida.

“Ayo ikut!”

Lengan Ranting ditarik paksa, bonekanya jatuh. Jelas saja Ranting meronta ingin mengambil kembali bonekanya. Tapi tarikan Bu Hida lebih kuat dan terkesan menyeret tubuh Ranting. Dia membawa Ranting ke toilet umum yang bau pesing, klosetnya juga kotor. Di sana ada tiga anak lainnya, dua perempuan dan satu laki-laki yang sedang membersihkan toilet juga. Ruangannya pengap, tertutup dari sinar matahari. Lampu lima watt yang dipasang di setiap toilet menjadi satu-satunya penerang.

Ada empat toilet di sana, mereka sedang menggosok-gosok lantainya yang kotor dengan sikat. Sesekali menoleh ke Bu Hida dengan wajah ketakutan. Mereka barang kali sudah tahu tabiat Bu Hida yang suka marah-marah tanpa sebab, juga kasar ke anak-anak tertentu. Tentunya anak yang tidak menghasilkan uang baginya.

“Kau bersihkan toilet ini, setelah itu baru lanjut makan lagi,” suruh Bu Hida yang langsung membalikkan badan dan pergi dari hadapan Ranting.

Ranting berdiri di depan toilet, bau tidak sedap menusuk hidungnya. Ia mengambil sikat yang tergeletak di dalam toilet. Diguyurkannya segayung air ke lantai kemudian ia mulai mengosongkan sikat tersebut dengan sisa tenaga yang ia punya.

“Hai, kamu kelihatan lelah. Biar aku saja yang bersihkan,” Ikbal, anak lelaki berumur sembilan tahun menghampiri Ranting. Tampaknya ia sudah menyelesaikan tugasnya.

Ranting berdiri, ia menerima tawaran Ikbal.

“Di sini kalau tidak ada kerabat yang ngasih duit ke Bu Hida, pasti disuruh-suruh kayak gini,” tanpa dipinta bercerita, Ikbal nyerocos sambil terus menggosok toilet.

Ranting tidak menimpali, ia memperhatikan Ikbal yang sedang sibuk menggosok toilet.

“Nama kamu siapa?”

“Ranting.”

“Hahaha... lucu banget namanya,” Ikbal menoleh ke wajah Ranting.

Tawa Ikbal berhenti saat melihat wajah Ranting datar dan terkesan tidak menyukai guyonan itu.

“Hai Ranting. Kamu udah makan?” seorang anak perempuan menyapa Ranting dari belakang. Dia Yunisa yang juga membersihkan toilet barusan.

“Tadi hanya sedikit," jawab Ranting singkat.

“Nih, aku punya roti.”

“Wah mau dong,” Ikbal keluar dari toilet, ia menyeka keringatnya.

“Aku juga mau,” dari pintu toilet lainnya muncul Faula.

Yunisa merogoh kantong roknya, “Tenang, aku punya banyak, kok.”

“Dari mana?” tanya Ikbal.

“Pas tadi bersih-bersih kamar Bu Hida, aku curi roti-roti ini soalnya aku lapar banget. Makanan di dapur umum udah habis,” kata Yunisa.

Ketika mereka asik makan roti tiba-tiba saja Bu Hida muncul sambil memanggil nama Ranting dengan nada tinggi. Ia melihat bungkus roti yang berserak di lantai dan tahu betul itu adalah roti miliknya karena ia beli di toko roti ternama.

“Wah, pantas saja roti Ibu hilang. Siapa yang yang berani mencurinya. Ngaku!”

Roti yang ada di mulut mereka belum selesai dikunyah, mereka semua tertunduk.

“Ayo ngaku, atau Ibu kurung kalian semua di toilet ini selama tiga hari!”

Ragu-ragu lengan mungil Yunisa terangkat.

“Anak sialan!”

Ranting terpejam saat Bu Hida mengayunkan lengannya ke wajah Yunisa. Dan, ketika Ranting membuka matanya, Yunisa sudah terkapar di lantai yang basah. Darah mengucur dari hidungnya. Ia tewas!

***

Kematian Yunisa membuat heboh panti asuhan. Sampai-sampai, Pak Manto, ketua yayasan panik atas kejadian ini. Liciknya, Bu Hida mengancam setiap anak yang menyaksikan kejadian itu, mereka dipaksa tutup mulut dan memberi kesaksian palsu kalau kematian Yunisa murni kecelakaan. Namun, sayangnya saat anak-anak itu ditanyai kepala yayasan, Ranting malah menunjuk wajah Bu Hida.

"Dia pembunuhnya," kata Ranting.

Setelah Ranting menuduh Bu Hida sebagai pelaku pembunuhan, Pak Manto mengajak bicara empat mata dengan Bu Hida. Jenazah Yunisa sudah dikuburkan tanpa ada pemeriksaan terlebih dahulu. Ini bukan soal keadilan, Pak manto sudah mencurigai kalau ada kekerasa terhadap Yunisa dan kalau sampai masyarakat tahu, panti asuhannya tidak akan mendapatkan donasi lagi. Bahkan lebih buruknya, bisa saja ditutup.

“Apa kau benar kau membunuhnya?”

“Tidak Pak.”

Pak Manto menghela napas.

“Bu Hida, aku tidak akan melaporkanmu ke polisi. Mengaku saja.”

Dengan wajah cemas ia mengangguk, “Aku tidak sengaja, Pak.”

Sudah Pak Manto duga pasti ini pembunuhan. Ia harus menjaga agar kasus ini tidak bocor keluar. Lelaki itu juga tidak tega kalau harus melaporkan Bu Hida ke polisi. Bukan karena Bu Hida sudah lama kerja di panti, tapi wanita itu masih ada hubungan saudara dengan Pak Manto.

"Jangan kau ulangi lagi, ya. Kalau kasus ini sampai bocor keluar, bisa jelek citra panti asuhan kita,” ujar Pak Manto, ia kemudian mengusap rambutnya yang sudah beruban. Bu Hida mengangguk dan meminta maap.

***

Wanita itu tidak dilaporkan ke polisi dan ia sekarang menaruh dendam pada Ranting. Malam itu juga ia mendatangi gudang sempit tempat Ranting tidur. Ranting diseret paksa masuk ke toilet yang pengap dan bau, itu toilet yang tempo hari dibersihkan Ranting. Saat Ranting diseret, Ikbal dan Faula mengintip dari jendela kamarnya dengan penuh kecemasan.

“Jangan kurung aku!” teriak Ranting sambil meronta-ronta.

Bu Hida akan menyiksanya terlebih dahulu sebelum Ranting dikurung di dalam toilet bau itu. Tubuhnya dihempaskan, Ranting tersungkur ke lantai yang basah dan kotor. Lengannya kemudian ditarik paksa, rambutnya dijenggut dan kepalanya dimasukkan ke dalam ember berisi air. Tubuh Ranting meronta, ia kehilangan napas kemudian Bu Hida mengangkat kembali kepalanya. Wajah Ranting sudah pucat, ia batuk-batuk.

“Dasar anak setan!”

Wanita itu memasukkan kembali kepala Ranting ke dalam ember. Dan... tiba-tiba kedua lengan Bu Hida lemas, matanya melotot, suaranya tertahan di tenggorokan. Sebuah pisau yang panjangnya sejengkal orang dewasa tertancap di leher Bu Hida. Darah menetes perlahan, ia kemudian ambruk. Ranting terkejut saat melihat Intan berdiri di hadapannya sambil tersenyum.

“Kamu udah makan?” tanya Intan.

Ranting masih mengatur napasnya yang sempat sesak, matanya sembab, dan hidungnya merah. Kedua kaki Ranting basah oleh darah yang semakin lama semakin banyak mengalir dari leher Bu Hida.

“Be... belum,” jawab Ranting sambil mengusap wajahnya.

Tubuhnya bergertar ketakutan melihat mayat Bu Hida yang terkapar mengenaskan. Intan kemudian membantu Ranting untuk berdiri, ia juga mengguyurkan air ke kedua kaki Ranting yang berlumur darah. Sesekali Ranting menoleh ke mayat Bu Hida, ia tidak menyangka kalau Intan benar-benar membunuh wanita itu.

“Kamu jangan khawatir. Bu Hida tidak pantas hidup, dia akan tenang di neraka,” kata Intan, ia sadar kalau Ranting sedang ketakutan.

Setelah kaki Ranting bersih, Intan menuntun lengannya dan mereka berdua keluar dari toilet itu. Intan ikut masuk ke gudang Ranting. Di sana mereka berdua duduk di atas kasur butut sambil memakan roti yang Intan curi dari kamar Bu Hida. Tiba-tiba mata Intan menangkap sesuatu yang menarik, itu boneka kesayangan Ranting.

“Bonekanya bagus.”

“Iya, dibelikan bapakku.”

Intan mengangguk, mulutnya sibuk mengunyah.

“Kamu tahu? Kamu itu adikku.”

Ranting mengerutkan dahinya.

“Nggak mungkin aku punya kakak. Aku ini anak satu-satunya.”

“Maksudku dari ibu gaib kita,” lanjut Intan.

Ranting semakin tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Intan.

“Aku juga lahir dari pohon kemenyan,” kata Intan sambil menatap wajah Ranting yang kebingungan.

“Tadi aku disuruh Ibu kita buat bunuh Bu Hida.”

Sesaat kemudian, terdengar suara gaduh di atas plafon disambut tawa cekikikan seorang wanita.

“Nah itu Ibu. Dia datang....”

Ranting mendongak dan terkejut bukan main dengan apa yang dilihatnya.

“Jangan takut. Itu Ibu yang selalu menjaga kita,” bisik Intan.

Sesosok kuntilanak muncul, rambutnya tergerai hingga menyentuh lantai. Ranting ketakutan, ia memegangi lengan Intan. Anak itu kemudian berdiri melepas genggaman Ranting, ia menghampiri sosok kuntilanak itu lalu memeluknya, sedangkan Ranting meringsut ke pojokan sambil memeluk boneka, sosok itu sangat menakutkan baginya.

Dari luar terdengar teriakan seseorang, pasti sudah ada yang menemukan mayat Bu Hida. Ranting beranjak dari gudang itu untuk melihatnya, ada kerumunan orang di pintu masuk toilet. Mayat Bu Hida digotong, di sana tampak Pak Manto sedang sibuk menelepon, mungkin dia sedang menelepon polisi. Sesaat kemudian, Intan menyentuh pundak Ranting, membuat Ranting terkejut.

“Aku akan mengaku,” kata Intan.

“Jangan,” timpal Ranting.

Intan malah berjalan ke tengah kerumunan, ia menarik lengan Pak Manto dan membisikkannya kalau dialah pelaku pembunuhan itu. Mendengar pernyataan Intan, Pak Manto jelas terkejut. Ia langsung membawa Intan ke dalam kantor. Untuk ditanyai kronologi kejadiannya. Semua Intan ceritakan dengan jujur dan tidak ada yang dikarang. Ranting juga di panggil ke kantor, ia mengaku kalau sudah disiksa oleh Bu Hida karena telah menuduhnya sebagai pembunuh.

***

Intan dibawa ke rumah sakit jiwa, ia diduga punya kelainan jiwa hingga nekat membunuh Bu Hida. Tapi, penderitaan panti asuhan itu belum usai, di sana bukan saja Bu Hida yang kejam kepada anak-anak. Beberapa pengasuh juga berperilaku kasar dan bahkan tidak jarang memukul anak-anak. Salah satunya Pak Deri, dia pengasuh gedung panti blok A. Ada sepuluh kamar di sana yang menjadi tanggung jawabnya.

Ranting sering melihat Pak Deri memukul anak-anak. Hal itu membuatnya sangat marah pada Pak Deri. Maka, saat Pak Deri sedang tidur siang di kamarnya, Ranting mengendap-endap masuk, di tangannya ada sebuah obeng yang ia curi dari gudang. Ranting ingin meniru keberanian Intan saat membunuh Bu Hida. Sekarang, lelaki berumur empat puluh tahun yang suka memukul anak-anak itu sudah ada di hadapan Ranting, ia tinggal menusukkan obeng itu ke leher Pak Deri. Awalnya Ranting ragu dan takut saat hendak membunuhnya, tapi ia tetap memberanikan diri.

Obeng itu ia hujamkan tepat di atas tenggorokan Pak Deri, membuat lelaki itu tidak bisa berteriak. Matanya melotot, ia bangkit dari tidurnya dan terhuyung-huyung menabrak apa pun yang ada di hadapannya. Darah mengalir dari lubang leher, ia kejang-kejang kehilangan pernapasan, tubuhnya berdebam ke lantai dan tewas seketika.

Napas Ranting terengah-engah, keringatnya mengucur di wajah. Ia masih tidak percaya kalau telah berhasil membunuh Pak Deri. Setelah itu, obeng di leher Pak Deri ia cabut. Ranting beranjak ke kamar mandi yang kebetulan ada di dalam ruangan, obeng yang masih berlumur darah ia cuci. Tangannya bergetar, sebisa mungkin ia tidak mau aksinya terbongkar. Masih ada beberapa orang di panti asuhan itu yang ingin ia bunuh.

***

Tidak ada yang mengendus siapa pelaku pembunuhan itu. Para pengasuh di panti mulai resah, mereka ketakutan bahkan ada juga yang sudah mengundurkan diri karena takut jadi korban pembunuhan, termasuk dua orang target Ranting. Mereka sudah tidak mau lagi kerja di sana. Untungnya masih satu orang yang ingin Ranting bunuh dan dia adalah Pak Manto, ketua yayasan. Ranting marah karena Bu Hida tidak diadili usai membunuh temannya.

Ranting dipindahkan dari gudang ke kamar yang lebih layak. Ia juga sudah mulai bersekolah. Tidak ada sekolah khusus untuk anak-anak yatim. Mereka bergabung dengan SD yang letaknya tidak jauh. Mungkin hanya sepelemparan batu dari gerbang asrama panti asuhan.

Di sekolah itu, Ranting berbeda dengan anak-anak lainnya. Kecerdasannya melampaui anak seusianya. Dia bahkan sudah bisa membaca dan menulis sebelum diajarkan gurunya. Para guru di sana memaklumi. Mereka mengira ada yang mengajarkan Ranting di panti, padahal kenyataanya Ranting tidak pernah belajar pada siapa pun.

Ia pintar di segala bidang, termasuk berhitung, Rantinglah yang paling jago. Semua soal di papan tulis pasti ia yang maju ke depan kelas untuk menyelesaikannya. Sampai-sampai guru tidak mengizinkan Ranting lagi untuk maju agar memberi kesempatan pada siswa lain.

Belakangan ini Ranting masih mencari cara untuk membunuh Pak Manto. Lelaki itu tidak tinggal di kompleks panti asuhan, melainkan terpisah. Rumahnya cukup jauh. Setiap habis kunjungan ke panti, Ranting melihat kalau laju mobil Pak Manto ke arah timur.

Tidak kuat rasanya. Ranting ingin sekali menghabisi lelaki itu.

“Ranting! Ranting!”

Bu Dilah membuyarkan lamunan Ranting. Ini masih jam pelajaran. Tapi, pikiran Ranting merayap ke mana-mana.

“Coba kamu kerjakan soal di papan tulis!” pinta Bu Dilah, guru Matematika.

Ia sudah beberapa kali meminta murid lain mengerjakan soal. Tapi semuanya salah. Sengaja Ranting diminta mengerjakan. Sebab, Bu Dila melihat anak itu selalu melamun dari pagi. Ada dua puluh murid di kelas itu. Ranting duduk di bangku paling belakang.

Ranting melangkah maju. Ia mencomot sebatang kapur yang tinggal setengah dari tangan Bu Dila. Di papan tulis, ada sebuah soal sederhana tentang pengurangan. Dengan mudah Ranting menyelesaikannya. Bu Dila menganggukkan kepala saat melihat jawaban Ranting.

“Ya, bagus. Tepuk tangan buat Ranting dong,” kata Bu Dila sambil tersenyum.

Ranting diminta kembali ke tempat duduknya. Namun, tiba-tiba ia mendengar suara menggema di kepalanya.

“Ranting!” itu suara seorang wanita.

Tidak lama berselang, perutnya mual. Seperti ada sesuatu yang memaksa untuk keluar. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan kanan. Ia lalu lari keluar kelas menuju toilet sekolah.

“Ranting. Kamu kenapa, Nak?” tanya Bu Dila sesaat sebelum Ranting pergi.

Ia mengunci pintu toilet. Wajahnya merah dan berkeringat. Perutnya terasa sangat mual. Tapi, belum ada apa pun yang keluar dari perutnya. Ranting meraba perutnya hingga menyentuh sesuatu yang terasa aneh. Seperti ada butiran batu sebesar bola bekel di dalam perutnya.

Ranting panik. Ia lalu memijat perutnya dengan sekuat tenaga. Ia mencoba untuk mengeluarkan batu-batu itu. Dari luar terdengar suara Bu Dila memanggil namanya. Perempuan itu mengetuk-ngetuk pintu toilet.

“Ranting kamu sakit ya, Nak? Ranting!”

Ranting tak menjawab. Akhirnya ia muntah. Namun, yang keluar bukan makanan atau cairan, tapi malah batu-batu kemenyan. Ranting heran kenapa ia memuntahkan batu-batu kemenyan. Ia lalu membuang bebatuan itu ke dalam tong sampah di sudut ruangan toilet.

“Ranting baik-baik aja kok, Bu,” jawab Ranting sambil membasuh wajahnya.

Ia menghadap cermin kecil di dinding. Namun, ia kemudian sangat terkejut. Ada sosok kuntilanak di belakangnya.

“Ibu!” bisik Ranting.

***

Pagi itu mobil Pak Manto memasuki halaman panti. Ranting melihatnya dari kejauhan. Raut wajahnya seketika marah. Ranting masih ingat kejadian yang menewaskan temannya itu. Setelah Pak Manto beranjak pergi dari mobilnya, Ranting buru-buru berlari mendekati mobil itu.

Ia mencoba membuka pintu mobil Pak Manto. Seketika wajah Ranting sumringah lantaran pintu mobil itu lupa dikunci. Sebelum pintu terkunci otomatis, Ranting sudah berada di dalam. Ia berbaring di bawah kursi baris kedua. Sesaat kemudian suara 'cekrek' terdengar, tanda pintu sudah terkunci.

Sekitar dua jam Pak Manto akhirnya kembali ke mobil. Ia tidak mencurigai apa pun. Ia menyalakan mesin mobil dan pergi dari halaman panti. Di perjalanan, sebuah radio dinyalakan. Ia mendengarkan musik dangdut kesukaannya.

Sesekali kepalanya mengangguk-angguk dan menirukan sang vokalis bernyanyi. Mobil yang ia kemudikan melintasi pertokoan lalu masuk ke perkebunan. Jalanan semakin menanjak. Sekarang Pak Manto dapat melihat permukiman warga dari sana. Ia sedang berada di perbukitan. Jalanannya sepi, namun ia tetap mengemudi dengan kecepatan stabil.

Tepat di sebuah tikungan jalan, tiba-tiba Ranting muncul dari kursi belakang. Hal itu membuat Pak Manto terkejut. Ranting loncat ke arah Pak Manto. Anak itu menutup pandangan Pak Manto dengan tubuhnya yang mungil.

Mobil oleng, lajunya tidak beraturan. Tak lama, mobil itu akhirnya menabrak trotoar di tikungan. Nahas, mobil itu pun terjerembab masuk ke dalam jurang.

Bukit itu sangat tinggi. Butuh waktu beberapa detik agar mobil menyentuh permukaan jurang yang penuh bebatuan. Selama mobil itu mengudara, Ranting sempat melihat wajah Pak Manto yang ketakutan. Sementara Ranting sendiri malah tertawa kecil sambil menyentuh wajah Pak Manto.

“Mati!” bisik Ranting.

Mobil terjun menghantam bebatuan dan meledak begitu saja. Api menyembur ke langit, asap membubung. Mobil itu hangus terbakar. Mendengar suara ledakan, warga di sekitaran bukit langsung menyemut di lokasi kejadian.

Kecelakaan itu malah jadi tontonan menarik. Kemudian, dari dalam kobaran api itu, Ranting keluar. Bajunya compang-camping sebagian hangus terbakar. Wajahnya hitam kena kepulan asap. Dia keluar sambil tersenyum puas.

"Lihat dia masih hidup. Ajaib!"

Warga heran melihat kejadian itu.

***

Satu Bulan Kemudian

“Dia anak yang paling pintar di sini,” seorang perempuan pengasuh panti menyentuh pundak Ranting.

“Hai, nama kamu siapa?” tanya seorang wanita berpakaian seperti sosialita.

Rambut wanita itu sebahu. Jari manis sebelah kanannya mengenakan cincin berlian. Dari perawakannya, jelas kalau wanita itu keturunan Tionghoa.

“Ranting,” senyumnya mengembang.

Wanita itu mengelus rambut Ranting.

“Wah bonekanya bagus, ya?”

“Iya ini pemberian orang tuaku dulu.” Perlahan dan ragu-ragu Ranting menyentuh wajah wanita itu. “Kau mirip ibuku,” lanjutnya.

Wanita itu menghela napas. Ia lalu mengajak suaminya dan pengasuh panti untuk diskusi.

“Aku mau adopsi Ranting, Pah.”

Suami wanita itu tersenyum. Begitu pun pengurus panti.

***

Jauh dari panti asuhan Bening Kasih, Intan menjadi masalah di rumah sakit jiwa. Ia kerap mencelakai orang-orang yang tidak disukainya. Bahkan, tanpa ada orang yang tahu, suster yang merawatnya dengan penuh kebencian telah Intan bunuh. Intan telah meracuninya menggunakan pembersih kloset. Dengan pintar, ia merekayasa seolah-olah itu adalah bunuh diri.

Intan dan Ranting sama-sama terlahir dari batang pohon kemenyan. Dan, mereka punya ibu gaib, yaitu kuntilanak. Mereka selalu diawasi dan dilindungi ke mana pun mereka pergi.

Lalu, kalau kalian bertemu dengan mereka berdua, apa yang akan kalian lakukan?
[SELESAI]

*****
Sebelumnya

close