Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ANAK KEMENYAN (Part 2)


JEJAKMISTERI - Pohon berhasil ditebang tanpa melukai bayi di dalamnya. Jelas itu bayi perempuan, di perutnya masih ada tali ari-ari yang menempel. Semua orang kebingungan kenapa bisa ada bayi di dalam batang pohon kemenyan itu. Rian tiba-tiba ingat sesuatu, ia langsung menyerahkan bayi itu pada Nova dan bergegas masuk ke dalam rumah. Dengan tergesa ia meraih handphone, ia baru sadar kenapa dia tidak tanyakan hal ini pada Farhan, rekannya yang pernah melakukan hal yang sama seperti Rian.

“Farhan, gua mau tanya sama lu. Jawab jujur ya.”

“Wah, ada apa ini tiba-tiba nodong gua? Hahaha...,” Farhan terdengar seperti sedang mengunyah sesuatu.

“Anak lu itu lahir langsung dari kandungan istri lu apa nggak?”

Seketika hening, tidak terdengar lagi suara sedang mengunyah di seberang telepon.

“Han?”

“Anak lu udah lahir?” tanya Farhan.

“Iya dan gila banget, lahirnya dari pohon kemenyan!”

“Sama, Han. Anak gua juga kayak gitu. Udah syukuri aja yang penting sekarang udah punya anak, kan?”

Rian sesekali menengok ke arah jendela. Warga masih berkerumun di sana, berebut ingin melihat bayi yang lahir dari sebatang pohon.

“Kenapa lu enggak ngasih tahu gua dari awal?”

“Lha... elu enggak nanya,” jawab Farhan singkat.

“Terus gua harus gimana?”

“Ya elu rawat. Itu anak elu, kalau enggak percaya tes DNA aja.”

“Maksudnya gimana cara gua ngomong ke warga?”

“Emang mereka tahu?” tanya Farhan.

“Gila Han, mereka ngumpul di halaman rumah. Bayinya jadi tontonan.”

“Lu bilang aja. Bayinya mau lu pungut jadi anak.”

Rian terdiam, ia kemudian menutup teleponnya dan bergegas keluar rumah.

“Bapak dan Ibu mohon tenang. Begini, untuk sementara bayi ini akan saya urus. Nanti akan saya konsultasikan ke dokter apakah bayi ini anak saya atau bukan karena bulan lalu kandungan istri saya hilang.”

Kebanyakan dari mereka mengangguk.

“Jangan-jangan jabang bayi bapak Rian digondol setan, Pak. Terus masuk ke pohon kemenyan ini,” kata salah seorang emak-emak yang mengenakan daster cokelat.

“Ya sudah Pak Rian. Kalau ada apa-apa jangan sungkan minta bantuan kami ya,” ujar seorang lelaki setengah baya.

Semenjak saat itu, keluarga Rian merawat bayi tersebut dengan penuh kasih sayang. Mereka sudah melakukan tes DNA dan memang benar bayi itu adalah anak mereka. Ranting, begitu Rian menamai anaknya. Nova setuju dengan nama tersebut, terdengar asing dan menggambarkan kalau bayinya lahir dari sebatang pohon.

Walau pun Ranting masih bayi, ia tidur terpisah kamar dengan orang tuanya. Rian ingin membiasakan agar anaknya tidak manja kelak. Di suatu malam, Rian terbangun, tenggorkannya kering, ia sangat haus dan beranjak ke dapur. Namun, saat melintasi kamar Ranting, ia tidak sengaja melihat pintu kamar anaknya terbuka. Segera Rian menutupnya, tapi mata Rian melihat hal ganjil di kamar Ranting. Keranjang tidur anaknya berayun-ayun perlahan seperti ada yang menggoyangkannya.

Rian urung ke dapur kemudian mengintip dari balik pintu. Keranjang tidur itu masih berayun-ayun dan tidak mungkin disebabkan oleh angin, ia lantas masuk perlahan. Rian menoleh ke arah jendela yang masih tertutup rapat. Sekiranya hanya selangkah lagi dari keranjang bayi, ayunan itu berhenti dengan sangat tegas seperti ada lengan yang menahannya.

Jantung Rian mulai berdegup kencang. Perlahan ditengoknya isi keranjang itu. Ia mengembuskan napas lega, bayinya masih ada dan sedang tertidur pulas. Kemudian ia membalikkan badan hendak keluar dari kamar Ranting.

Namun... lagi-lagi, keranjang itu berayun-ayun sendiri kali ini sampai terdengar bunyi berdenyit. Rian menghentikan langkahnya dan saat menoleh ke belakang, ada sosok kuntilanak di depan keranjang tidur Ranting. Kuntilanak itu sedang berdiri, tangannya mengayunkan keranjang tidur. Jelas saja Rian terkejut, ia panik kemudian lari membangunkan istrinya.

“Sayang! Bangun sayang,” Rian mengguncangkan pundak Nova.

Nova membuka matanya perlahan.

“Ada apa sayang?”

“Ranting!”

“Hah! Kenapa Ranting?”

“Ada kuntilanak di kamar Ranting!”

Saat mereka masuk ke kamar Ranting untuk memeriksa kembali, kuntilanak itu sudah tidak ada. Segera Nova menggendong bayinya, ia tidak mau lagi Ranting dipisahkan dari kamarnya. Sampai Ranting tumbuh menjadi anak yang cantik, ia tetap tidur bersama kedua orangtuanya. Mereka tidak tahu kalau setiap malam, saat mereka tertidur nyenyak, kuntilanak itu selalu datang menghampiri Ranting.

Namun, kebahagiaan Rian dan Nova tidak berlangsung lama. Saat Ranting berusia tepat enam tahun, malam itu empat komplotan rampok berhasil membunuh dua orang warga yang sedang ronda. Tujuan mereka tentu rumah Rian karena dari semua warga di sana, keluarga Rianlah yang terlihat paling kaya.

Empat komplotan itu memanjat pagar rumah Rian, mereka berhasil membobol pintu rumah. Perlahan mereka juga berhasil membobol pintu kamar Rian. Tanpa banyak basa-basi lagi, mereka menghantam kepala Rian dengan sebuah palu, Rian pun terkapar tak berdaya. Dan sebelum Nova berteriak, mereka sudah mencekik lehernya, tubuhnya meronta-ronta kehilangan napas dan tewas dengan keadaan mata melotot.

Ranting terbangun, salah satu dari mereka langsung menggendong anak itu dan melakban mulutnya. Kedua tangan Ranting diikat. Teman-temannya yang lain menggeledah penjuru kamar, mencari barang berharga apa pun yang bisa dibawa. Uang perhiasan, dan handphone berhasil dirampas.

"Anak ini kita apakan?" tanya orang yang menggendong Ranting. Anak itu meronta-ronta, matanya berair.

"Bunuh saja," kata salah seorang dari mereka.

Rian ternyata masih sadarkan diri, dengan sisa tenaga yang ia punya, ia mengangkat wajahnya ke arah lelaki yang sedang menggendong Ranting.

"Kumohon jangan bunuh dia...," parau suara itu keluar dari mulut Rian.

"Halah banyak bacot!" lelaki yang menggenggam palu menghantam kepala Rian bertubi-tubi hingga batok kepalanya pecah, darahnya tercecer kemana-mana. Dia tewas mengenaskan.

"Siapa yang berani bunuh anak ini?" tanya lelaki yang menggendong Ranting.

"Letakkan anak itu di lantai," suruh salah seorang dari mereka.

Entah apa yang terjadi, keesokan paginya keempat rampok itu terkapar mati. Isi perutnya terburai, darah memenuhi lantai. Ranting berdiri di atas tubuh perampok itu, wajahnya merah oleh bercak darah. Warga heboh mendapati Ranting selamat dari pembunuhan, mereka juga heran siapa yang membunuh para perampok itu dengan cara yang sangat sadis.

***

Setelah kedua orang tuanya meninggal, untuk sementara waktu, Ranting tinggal bersama Pak Sunaryo, seorang ketua RT. Ia sudah coba menghubungi pihak keluarganya Ranting, tapi tidak ada yang mau mengurus anak itu, mereka malah memperebutkan harta Rian yang padahal seharusnya jadi hak Ranting.

Rumah orangtua Ranting dijual tanpa sepengetahuan Pak Sunaryo. Mereka enggan mengurus Ranting karena tahu kalau Ranting lahir secara tidak wajar, dari batang pohon kemenyan. Dan itu menakutkan bagi mereka.

Di sisi lain, keluarga Pak Sunaryo tidak sanggup lagi kalau harus mengurus Ranting sampai dewasa karena ia juga punya enam anak yang harus diurus dan dibiayai. Setelah tiga bulan tinggal bersama keluarga Pak Sunaryo, Ranting dibawa ke kantor kelurahan.

"Bawa ke panti asuhan saja, Pak. Di sana kehidupan Ranting pasti terjamin," kata staff di kantor itu.

"Wah betul juga. Panti asuhan mana yang bisa menerima Ranting? Apakah ada biayanya?"

"Ke Bening Kasih aja. Saya kenal dengan kepala yayasannya. Gratis kok, pak."

Hari itu juga Ranting berkemas, ia diantar Pak Sunaryo ke panti asuhan. Tas besar berisi pakaian Ranting digendong Pak Sunaryo, sementara Ranting sendiri hanya menjinjing sebuah boneka kelinci warna putih kesayangannya. Mereka naik angkot menuju panti asuhan. Perlahan angkot menjauh, Ranting dari belakang kaca angkot memperhatikan rumahnya yang sudah dimiliki orang lain. Air mata menetes hangat membasahi pipi Ranting.

Ranting berdiri di depan gerbang panti asuhan. Cat gerbangnya berwarna hijau yang mulai memudar, pintu gerbangnya juga sudah berkarat, engselnya mengeluarkan bunyi nyaring kalau digerakkan. Anak-anak berlarian di halaman panti yang cukup luas, ada yang sedang bermain ayunan, main bola plastik, main karet, melihat keramaian itu Ranting mulai merasa takut. Ia sebenarnya masih ingin tinggal bersama keluarga Sunaryo.

“Lihat Ranting, mereka nanti akan jadi teman-teman kamu.”

Ranting tidak menjawab, wajahnya terlihat ketakutan.

Seorang perempuan gemuk yang umurnya sekitar empat puluh tahunan melangkah perlahan ke arah Ranting. Rambutnya sebahu, baju kemeja yang ia kenakan bermotif kotak-kotak hitam dan hijau tua, rambutnya hitam mungkin saja disemir. Senyumnya mengembang ramah ke arah Ranting. Perempuan itu biasa dipanggil Bu Hida, ia salah satu pengurus panti asuhan.

“Selamat datang, Pak. Wah, kamu Ranting, ya?”

Ranting tidak menjawab, juga tidak mengangguk. Pandangannya penuh waspada terhadap wanita itu.

“Iya, Bu. Saya Sunaryo yang mau menitipkan Ranting di panti asuhan ini.”

“Oh, iya ya... Tadi staf kelurahan telepon saya dan kami sudah bicara panjang soal Ranting.”

“Iya Bu. Sebenarnya saya masih ingin Ranting tinggal di rumah, tapi keuangan saya terbatas dan semua saudara Ranting tidak mau mengurusnya.”

“Kasian sekali anak secantik Ranting malah ditelantarkan. Bapak tenang saja, Ranting sekarang berada di tempat yang tepat, kok.”

Pak Sunaryo mengangguk, senyumnya mengembang.

Bu Hida mengajak mereka berdua masuk ke halaman panti. Beberapa anak yang sedang berlarian tiba-tiba berhenti, Ranting berhasil menjadi pusat perhatian mereka. Dipandangi seperti itu, membuat Ranting tidak nyaman, ia tertunduk sambil terus memeluk erat bonekanya. Mereka melewati pohon mangga yang sedang berbuah lebat, ada dua buah yang jatuh terserak akibat terlalu matang. Ranting sempat memperhatikan buah itu sambil terus berjalan.

Mereka masuk ke dalam kantor. Bu Hida menyerahkan sebuah formulir data diri, untung saja Pak Sunaryo membawa kartu keluarga milik Ranting. Dengan perlahan ia mengisi formulir tersebut.

Setelah selesai, Bu Hida mengambil sebuah paket besar yang dibungkus rapi menggunakan plastik, paket itu berisi kebutuhan dasar Ranting untuk di asrama nanti, seperti alat-alat mandi, baju muslim, sendal, sepatu dan baju sekolah.

“Ranting nanti sekolah, ya. Semua kebutuhan kamu ada di sini,” Bu Hida menyentuh paket itu.

Seperti biasa Ranting tidak mengangguk juga tidak berbicara apa pun.

“Iya, terima kasih Bu Hida,” jawab Pak Sunaryo.

“Yuk, Ibu antar ke kamar kamu.”

Mereka kemudian beranjak menuju asrama, melewati koridor yang ramai oleh anak-anak kecil yang sedang berlarian ke sana ke mari. Mereka tiba di sebuah kamar yang cukup besar, di sana berjejer tempat tidur bertingkat, tiga anak kecil yang sedang bermain bola bekel di lantai.

“Nah ini tempat tidur kamu,” Bu Hida menunjuk sebuah ranjang bertingkat. “Di bawahnya Intan,” lanjutnya.

“Intan?” Ranting akhirnya bersuara.

Kepala seorang anak perempuan yang rambutnya di kucir tiba-tiba muncul dari ranjang atas. Ia terlihat pucat dan tidak sebahagia anak-anak lainnya.

“Itu dia. Hai Intan, kamu bakal punya teman baru nih namanya Ranting,” Bu Hida melambaikan tangan pada Intan yang masih memandanginya dengan datar.

“Yang betah ya, Ranting. Bapak doakan semoga kamu jadi anak yang sukses,” kata Pak Sunaryo.

“Kalau kamu butuh apa-apa, bilang saja sama ibu, ya, sayang,” tambah Bu Hida.

“Baiklah Bu, apa masih ada berkas yang harus saya isi?”

“Oh, tidak ada, Pak.”

“Kalau begitu saya pamit saja Bu. Oya Ranting, nanti bapak akan rajin tengok kamu. Jadi jangan khawatir, ya.”

Ranting mengangguk dan mengantar Pak Sunaryo sampai ke gerbang panti, lelaki yang selama ini sudah berbaik hati padanya sekarang pergi meninggalkannya di panti asuhan. Angkot yang membawa Pak Sunaryo perlahan menjauh sampai tidak terlihat lagi oleh Ranting.

***

Jam sembilan malam, semua anak masuk ke kamarnya masing-masing, Ranting bergegas ke tempat tidur, menyelimuti diri sambil memeluk boneka kesayangannya. Itu boneka yang dibelikan ibunya dulu, ia tidak mau jauh dari boneka itu. Ranting mencoba untuk memejamkan mata, tapi tiba-tiba Bu Hida muncul dan membentaknya.

“Bangun!”

“Enak aja tidur!”

Dia membawa seorang anak perempuan yang mengenakan gaun merah.

“Ini tempat tidurnya Bunga, kamu turun dulu,” Bunga adalah anak baru yang saja masuk ke panti, penanggungnya memberikan uang pada Bu Hida, tak seperti Pak Sunaryo yang hanya modal isi formulir.

Ranting ditarik paksa, ia kemudian dibawa ke sebuah gudang kecil yang remang. Di sana hanya ada kasur lantai yang sudah apek dan bantal bau tengik. Ia sudah sangat lelah lalu memaksakan diri untuk tidur, sesekali Ranting terbatuk-batuk karena ruangan itu berdebu. Dan... dari sudut ruangan itu, muncul bayangan kuntilanak yang memperhatikan Ranting.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close