Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 70)


Goa ini terasa senyap. Sangat senyap. Yang terdengar hanya nafas dan detak jantungku saja. Baru beberapa saat aku di sini. Aku mencoba fokus untuk bertahan duduk di puncak batu sembari mengikuti aliran udara yang kuhirup dengan zikir. Pelan-pelan, aku rasakan nikmatnya ketika udara ke luar masuk. Ada daya halus mengalir ke seluruh tubuh. Aku pasrahkan semuanya hingga masuk ke dalam wilayah paling nyaman. Sungguh ketika kuikuti setiap aliran nafas yang ke luar dan masuk hanya ada dzat Allah Sang pemberi hidup maka tak ada gunanya kesombongan meski hanya sebesar biji zarah.

Tanpa terasa, air mataku mengalir deras. Senyap sepi seperti ini memudahkan aku bercermin pada diri. Aku dengan leluasa menelanjangi batinku. Sungguh sebagai makhluk aku jauh dikatakan sempurna. Gambaran dosa seakan menari-nari di benak. Semakin merasa banyak dosa semakin kencang pula zikirku hingga menggetarkan jiwa. Ketakutan yang kumiliki kini adalah ketakutan ketika aku jauh dan tidak dipedulikan Sang Maha. Ketakutan yang paling besar kini adalah ketakutan kala asma itu lenyap meski hanya sekejap dalam batinku.

Aku bercermin sepuas-puasnya. Kini kulihat sosokku. Aku melihat diriku sosok yang zolim. Iya, aku kerap zolim tak hanya pada diri sendiri, tapi juga pada orang lain. Aku kerap memaksakan kehendak diiringi pula hawa nafsuku sebagai manusia. Apa yang pernah aku lakukan terlintas semuanya. Suatu kali tiba juga pada puncak dimana aku merasa paling tidak sempurna, kembali aku menangis sesegukkan. Rasanya belum banyak kebaikan yang kulakukan. Yang ada adalah kesombongan yang kerap kupamerkan pada makhluk-makhluk yang lemah tak berdaya.

Saat sendiri dalam sepi yang paling senyap seperti ini. Di ruang yang gelap. Tiba-tiba aku ingat kematian. Apa yang bisa kubawa saat sendiri di dalam ruang gelap ini, kecuali pasrah. Huu Allah Huu Allah. Huu Allah aku berusaha masuk dalam wilayah yang paling kudus.

“Bersihkan dan luruskan hatimu.” Suara batinku pelan. Aku luruskan niat kembali bermunajat pada Sang Khalik saja. Namun kembali cerminan diri muncul. Di hadapanku ada sosokku yang jarang sekali memikirkan akibat tindakan yang pernah kulakukan. Aku melihat sosok yang egois. Aku melakukan sesuatu dan menurutku sudah paling baik, padahal apa yang kulakukan paling baik menurut ukuran diriku sendiri. Belum tentu memberikan kebaikan untuk orang atau makhluk lain. Kebaikan itu hanya penilaian diriku pribadi. Air mataku kembali mengalir. Alangkah sombongnya aku ketika merasa semua tindakanku sudah yang terbaik. Alangkah sombongnya aku ketika muncul perasaan aku bisa dan menganggap kecil semua persoalan.

Dulu pernah terbersit, suatu saat aku akan tunjukan pada semua orang jika aku mampu menumpas kebatilan. Aku mampu melakukan apa yang tidak semua manusia bisa. Lalu muncul perasaan bahagia, bangga, senang dipuji oleh orang mau pun oleh makhluk-makhluk asral terutama Kakek, Nenek, dan Puyang leluluhurku. Setelah ditempat gelap dan sendiri seperti ini, patutkah aku bangga? Apa yang harus kubanggakan? Membanggakan apa? Pada hakikatnya manusia tidak mempunyai apa-apa. Bahkan ruh yang ditiupkan bukan milik kita. Bagaimana jika ruh ini diambil oleh pemiliknya. Aku terbayang liat lahat yang gelap dan sempit. Oh!

Dalam keseharianku, aku selalu bergaul di dua alam. Dalam perjalanan itu tidak semuanya mulus, tanpa masalah. Nyaris setiap hari aku berurusan dengan makhluk asral, bertempur dan berusaha menakhlukan. Kala teringat ribuan pertempuran yang kulakukan sejak kecil hingga kini, oh alangkah sombongnya aku, dengan mudahnya aku menghukum bangsa jin, lalu langsung menyimpulkan mereka makhluk fasik. Sering kali mereka aku perlakukan tidak manusiawi tanpa memberi kesempatan mereka untuk tobat atau koreksi diri. “Astaghfirullah adziim” Aku membatin di sela zikir nafas yang terus kuasah tanpa putus. Aku kembali memusatkan jiwa dan ragaku mengalir seirama udara yang ke luar dan masuk, seirama dengan detak jantung, mata, mulut, jantung, hati, otak, dan semua organ tubuhku kuajak berzikir. Bahkan darah yang mengalir, nadi yang berdetak, semuanya meresap dalam udara yang kuhirup lewat hidung, lalu kukeluarkan lewat mulut. Masuk dan ke luar dengan menyebut nama Allah.

“Yaa Allah, jika karena kesombongan -kesombongan yang pernah hamba lakukan menjadi penghalang hamba untuk dekat pada-Mu, maka cabutlah semua kemampuan yang hamba miliki.” Aku tersedan bukan karena sedih. Namun ada rasa haru, bahagia karena aku menemukan sebuah gelombang cahaya yang berpendar damai dalam batinku.

Huu Allah Huu Allah Huu Allah Huu Allah..

Selanjutnya aku merasakan jika tidak hanya detak jantung dan hentakan nafasku saja yang berzikir, namun dinding, batu, debu, bahkan suasana gelap pun turut berzikir bersamaku. Aku seakan berada dalam alam yang tak pernah kulihat sebelumnya. Cahaya membentuk gelombang menaungi seisi goa. Goa ini terang penuh cahaya. Aku semakin nyaman dibuatnya. Asma itu terus mengalir, aku lupa dengan segala macam aktivitas dunia. Aku lupa jika aku masih berada di alam fana. Semakin khusuk, semakin deras energi pasrah membumbung dalam jiwa. Semakin jauh tenggelam dalam zona yang paling nyaman. Dalam suasana seperti ini, rasanya aku enggan untuk kembali pada hiruk-pikuk dunia. Inilah dunia yang sebenarnya. Allah terasa begitu dekat di relung jiwa.

“Terus, rasakan dan ikuti aliran nafasmu alirkan ke seluruh tubuh, ke ujung jari, ke ujung rambut, ke detak jantung, ke hati. Nikmati keteduhannya, pusatkan jiwa dan ragamu pada-Nya saja. Kau akan merasakan getar halus itu, nikmati, pastikan, itulah daya kekuatan zikir tanpa diperintah oleh otak dan hatimu.” Suara batin itu terus membimbingku. Aku melakukannya sepenuh jiwa. Pelan namun pasti aku seperti melayang. Aku seperti berada di dalam ruang yang maha luas. Tubuhku terasa terangkat makin tinggi.

Aku terus mengalir dalam zikir dan pasrah. Ketika jiwaku melesat makin tinggi, di sekitarku gugusan bintang dan bulan. Semua terlihat berputar sangat cepat. Aku ikut melayang di antara bintang-bintang. Selanjutnya aku merasakan ikut berputar mengelilingi matahari bersama planet kecil maupun besar. Aku berada di luar angkasa. Aku terus berzikir mengikuti daya yang menyeret jiwaku pada gerakan patrap berputar itu. Semakin kencang, semakin kencang. Lalu pelan-pelan berhenti ketika aku kembali pada pusat kesadaran. Aku kembali menarik nafas dengan Huu dan mengeluarkannya dengan Allah.

Jika sebelumnya aku hanya mendengarkan detak jantung, dan nafasku, lalu suara dinding, batu, debu, sekarang suara tetes air yang menggemakan zikir. Semua kembali serasa serentak berzikir bersamaku. Akhirnya goa ini tidak lagi menjadi ruang sunyi. Justru aku merasakan ruang yang penuh cahaya dan asma Allah. Bentuk kenikmatan yang kurasakan selanjutnya, aku hanyut dalam suasana yang tak pernah kurasakan sebelumnya dan semua sulit untuk kuungkapkan dengan kata. Aku pasrah sepenuh jiwa.

Dalam sunyi kusadari. Meski manusia adalah makhluk yang paling mulia, namun tidak ada apa-apanya ketika dibandingkan dengan sebutir debu yang kita anggap makhluk yang paling tidak berdaya. Justru aku cemburu pada kekhusukannya. Dia tidak pernah memikirkan akan di lempar angin ke mana, namun dia terus berzikir menyebut asma Allah. Demikian pula angin, tidak peduli dia akan mengalir ke mana, namun dia pun terus berzikir menyebut Asma Allah.

“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Putri Selasih, bukalah matamu. Kau sudah dua hari dua malam di sini. Tugasmu selesai. Saatnya ke luar.” Suara seorang lelaki berdiri di bawah batu tempatku duduk. Meski aku belum membuka mata, namun aku tahu wajahnya bercahaya.

“Waalaikum Salam, Paman siapa ?” Ujarku masih dengan posisi semua dan mata terpejam.

“Aku Adam, utusan Puyang Bukit Selepah. Aku disuruh menjemputmu, Selasih.” Suaranya lembut berwibawa. Meski suaranya berenergi, namun hebatnya tidak menggema di dalam goa ini.

Pelan-pelan kubuka mata. Masya Allah, baru aku tahu ruang ini terang benderang bukan karena cahaya matahari apalagi lampu. Tapi cahaya itu muncul karena dinding, langit-langit goa yang berzikir. Ketika pertama kali masuk tempat ini pun terang benderang, namun aku belum sempat berpikir tentang sumber cahayanya.

“Tidak bolehkah aku minta izin barang sehari dua hari untuk tetap di sini, Paman?” Ujarku belum bangkit dari tempat dudukku setelah menjawab salamnya. Aku juga baru tahu jika di belakangku mengalir air bening tanpa mengeluarkan suara gemericik kecuali tetes air dan kuketahui tetes itu pun adalah zikir. Paman Adam menggeleng, sambil mengulurkan seruas bambu yang ditutup dengan daun pisang kuali.

“Minumlah, Puyang menyuruhku membawakan air ini untukmu.” Lanjut Paman Adam kembali. Aku menerimanya dengan suka cita.

“Terimakasih Paman, sebenarnya Aku tidak merasakan haus dan lapar, Paman” Ujarku membuka daun penutup ruas bambu. Paman Adam tersenyum.

“Ketika seseorang sudah mencapai dekat pada Sang Khalik, maka dia tidak akan merasakan haus dan lapar. Bahkan lupa pada segala yang berbau dunia. Kita merasakan kedamaian yang sulit untuk didefinisikan. Itulah nikmat yang tidak semua makhluk dapat sampai ke level itu, Selasih. Kuncinya ikhlas dan amanah” Lanjut Paman Adam kembali. Aku tercenung sejenak, terlepas apakah aku telah sampai di level yang Paman Adam maksud atau belum, yang jelas aku nyaman bahkan sangat nyaman.

“Turunlah Selasih, Paman akan mengantarmu pada Puyang” Paman Adam kembali mengingatkan melihat aku belum juga bergerak turun. Dengan berat aku mengubah posisi kakiku. Selanjutnya aku turun mendekat pada Paman Adam. Aku berjalan menuju air yang mengalir di belakang batu, aku mencuci tangan, membasuh wajah, dan berwudu. Tersentuh air langsung rasanya segar sekali. Aku merasakan semua pori-poriku merekah. Aku seperti hidup kembali di dunia fana. Aku berjalan di sisi kanan Paman Adam. Sementara gema zikir terus membatin sehingga pendengaran dan degup dadaku masih terus mendenyutkannya.

Aku dan Paman Adam menyisir lorong menuju pintu ke luar.

“Bagaimana dengan yang lain, Paman. Apakah mereka sudah ke luar dari goa ini?” Tanyaku setelah melewati goa-goa kecil di sisi dinding. Aku berhenti sejenak.

“Hanya Eyang Kuda saja yang masih berada di dalam goa. Beliau belum hendak ke luar, Selasih. Mungkin sepertimu, masih hendak berlama-lama dan nyaman dalam seperti.” Aku mengangguk pelan. Memang terasa berat untuk kembali ke alam nyata jika sudah menyatu dalam getar Illahi di batin kita. Ketika sampai ke lorong bibir goa, paman tidak mengajakku melaluinya. Justru beliau mengajakku untuk lurus lebih dalam ke goa berikutnya.

“Paman, bukankah pintu ke luar lewat sini. Kita mau ke mana?” Tanyaku.

“Ke tempat Puyang Bukit Selepah. Semua sudah berkumpul di sana.” Ujarnya. Akhirnya aku patuh saja. Kami memasuki lorong yang tidak berapa luas. Beberapa menit kemudian, aku melihat seberkas cahaya dari atas jatuh ke lantai goa. Aku mendongak ke atas. Benar, langit-langit goa bagian ini seperti sumur. Aku melihat awan berarak dan angin masuk sedikit kencang. Tidak jauh dari situ ada tangga batu sedikit berliku ke atas. Aku diajak paman Adam melangkah menaiki jenjang tangga satu-satu. Batu alam seperti ditata sedemikian rupa, rapi sekali meliuk setengah lingkaran.

“Indah sekali tempat ini, Paman.” Ujarku berdecak kagum. Aku tidak melihat sedikit pun sampah atau debu baik di lantainya maupun di beberapa batu berbentuk ubin penyangga dinding tangga yang berwarna hitam.kebau-abuan. Semuanya nampak bersih dan licin. Jika manusia yang melakukan pekerjaan seperti ini pasti manusia itu adalah manusia yang memiliki skill dan tekhnologi yang tinggi.

“Goa ini alami, Selasih. Ini goa alam yang memang diciptakan oleh Allah SWT. Lalu ditata sedemikain rupa agar lebih indah dan nyaman sesuai kebutuhan, maka bangsa jin-lah yang berperan. Di bagian atas goa ini, banyak infaq dari jin muslim dari berbagai penjuru, terutama dari Timur Tengah, Selasih.” Tutur Paman Adam kembali.

Sekarang aku dan paman Adam sudah mulai menaiki tangga. Sama seperti lubang yang menembus bukit hingga bisa melihat langit, tangga ini pun menuju sebuah lubang besar yang menganga. Aku tak mampu berucap ketika sampai di ujung tangga, kukira bibir goa ternyata sebuah ruangan yang luas berdinding batu pualam berwarna gading, dengan lentera sepanjang sisinya. Beberapa bagian seperti lampu hias memantulkan cahaya keemasan. Indah sekali.

“Mengapa aku seperti tidak asing dengan tempat ini, Paman. Hawa tempat ini rasanya pernah kuhirup,” ujarku langsung merasa sangat familier dengan suasananya.

“Tentu saja Selasih. Ini adalah masjid di perut Bukit Marcawang. Goa dari Bukit Selepah tembus ke masjid di perut bukit Marcawang. Kau cukup lama berada di dalam sini beberapa waktu lalu.” Lanjut Paman Adam. Aku masih tak bisa berpikir. Sebab secara logika antara Bukit Selepah dan Bukit Marcawang jaraknya cukup jauh. Bagaimana masjid ini bisa menghubungkan dua perut bukit itu. Bahkan di bawahnya ada gua tempat tirakat? Dulu ketika aku dibimbing Puyang yang hingga kini belum kuketahui namanya, kami berjalan melalui jembatan yang terbuat dari akar menuju pintu gerbang masjid yang luas, di balik air terjun. Apakah masjid ini memiliki seribu pintu? Sehingga bisa masuk dari arah mana saja? Aku membatin.

“Paman, benar. Aku pernah di dalam masjid ini. Aku pernah diajak berjalan mengelilingi masjid lalu disuruh duduk dan tidak boleh pindah di dekat pilar masjid yang paling tengah. Siang malam aku berada di situ, Paman.” Ujarku takjub. Peristiwa beberapa tahun lalu kembali terbayang. Di sini pula awal mula aku kenal Putri Bulan ketika dengan sigap aku di hentikannya membantu bertempur lalu dibawanya kemari ketika aku melawan pasukan Banyuwangi. Bagaimana ketika aku melihat sosok Putri Bulan sebagai perempuan pemberani ikut pemimpin peperangan bersama pasukan yang lain, hingga akhirnya pasukan Banyuwangi mundur dan kalah. Oh, aku jadi teringat bayak juga nenek gunung dari tanah Minang, Bengkulu, dan Jambi, bersama-sama dengan nenek gunung dari Besemah mengusir Pasukan Banyuwangi yang belakali-kali hendak menculikku. Semua menjadi terbayang. Aku menjadi rindu mereka. Mereka adalah makhluk-makhluk yang turut berjasa menyelematkan aku.

Aku masih terkagum-kagum meski ini kali ke dua berada di sini. Paman Adam mengantarku ke tempat wudu perempuan.

“Wudulah kau di sana, Selasih. Sudah wudu kau kemari lagi.” Ujarnya. Aku segera menuju tempat wudu yang paling ajaib kutemui. Air pancurannya selalu mengucur dan jatuh namun tidak tahu meresap ke mana. Karena aku tidak melihat selokan dan bekas wudu mengalir di bawahnya. Beberapa perempuan ikut wudu bersamaku. Kami saling pandang dan tersenyum menghadap air pancuran masing-masing. Usai berwudu aku segera menghampiri paman Adam. Akhirnya kami kembali berjalan menuju barat. Aku tak mampu berbicara kala mengingat bagaimana ketika aku hanya duduk berzikir lalu wudu, salat, dan berzikir lagi di dekat tiang yang paling besar di bagian perempuan itu. Tiang itu masih tegak kokoh menjadi saksi peristiwa yang paling genting dalam hidupku. Aku tidak boleh pindah-pindah dari sana dalam waktu yang cukup panjang. Pelan-pelan air mataku mengalir hangat. Aku kembali terharu mengenang masa itu.

Paman Adam menggerakkan tangannya di hadapanku. Dalam sekejap aku telah berubah memakai gamis dengan kerudung panjang. Semua tubuhku tertutup kecuali wajah. Bahkan punggung dan telapak tanganku ikut tertutup.

“Kau suka warna baju ini, Selasih?” Ujar paman Adam. Aku menatap baju dan jilbab panjangnya berwarna hijau toska lebut sekali.

“Alhamdulilah, suka sekali Paman.” Ujarku sembari melihat-lihat bentuk dan warnanya. Tidak ada jahitan. Apalagi sambungan. Aku tidak tahu bahannya terbuat dari kain apa. Namun yang jelas aku sangat nyaman mengenakannya. Ini busana ke dua yang kupakai diperoleh dari tempat ini.

“Sebelumnya aku sudah punya baju dari sini, Paman. Warna Gading.” Ujarku dengan mata berbinar.

“Baru dua, Selasih. Kau akan dapatkan tujuh baju dengan warna yang berbeda sesuai dengan waktu. Entah berapa tahun lagi, kau akan kembali ke sini, ditatar kembali, lalu diberikan pakaian lagi.” Ujar Paman Adam.

“Lalu kapan aku boleh memakai pakaian itu, Paman. Suatu kali baju pertama pernah ingin kupakai namun dilarang Macan Kumbang. Katanya belum waktunya. Kukira pakaian itu harus kupakai ketika aku kemari.” Ujarku.

“Benar, belum waktunya. Suatu saat Puyanglah yang akan menjelaskan padamu. Sekarang baru dua baju. Untuk mendapatkan dua itu perlu berapa tahun? Kurang lebih tiga tahun bukan?” Kata Paman Adam lagi. Aku mengiyakannya. Masya Allah, artinya aku masih butuh lima belas tahun lagi untuk mengumpulkan tujuh baju dengan warna yang berbeda. Mengapa aku harus memiliki tujuh baju yang berbeda warna dan butuh waktu lama untuk mendapatkannya? Lalu aku harus tirakat terlebih dahulu? Rahasia apa di balik ini semua? Aku membatin.

“Belajarlah ikhlas, jangan biarkan batinmu didorong hawa nafsu untuk segera mendapatkan busana selanjutnya. Lalu ke dua, jika engkau tahu fungsinya masing-masing dari sekarang, engkau akan menjadi sombong seakan memiliki kekuatan yang semakin lama semakin tinggi, nanti dan hatimu bangga. Perbanyaklah istighfar.” Paman Adam mengingatkan. Aku buru-buru istighfar. Aku serasa seperti bayi lahir, ingin bersih tanpa noda.

“Selasih, duduklah kau bersama perempuan-perempuan itu. Lalu bertasbihlah sampai aku kembali memanggil.” Ujar Paman Adam.

“Berapa lama, Paman?” Tanyaku ingin tahu. Sebab katanya aku sudah ditunggu Puyang dan yang lain sudah kumpul. Mengapa aku masih disuruh bertasbih di sini.

“Ikuti saja, tekan perasaan dan dorongan hatimu agar tidak menghitung tentang waktu.” Kata Paman Adam kembali. Aku jadi malu selalu banyak bertanya pertanda jiwaku belum sepenuhnya pasrah. Aku masih terbawa naluri duniawi menghitung untung dan rugi dalam waktu. Padahal di tempat ini aku haya ditugaskan mengisi waktu dengan ibadah, melatih jiwa dan raga sebersih-bersihnya. Aku kembali istighfar mohon ampun untuk membasuh diri dari segala gerakkan yang mengarah pada naluri sebagai manusia yang memiliki nafsu.

Aku duduk berjejer dengan para perempuan yang duduk khusuk dengan mata terpejam kadang bergoyang-goyang sambil mengangguk-angguk. Wajah mereka kebanyakan tidak mirip dengan wajahku, wajah Asia. Mereka seperti keturunan orang Arab, berhidung mancung, berkulit putih, alis dan bulu matanya berwarna agak kemerahan. Selanjutnya di hadapanku, duduk perempuan sebangsa nenek gunung, manusia harimau. Melihat jenisnya sepertinya mereka satu golongan, satu keluarga, ibu dan anak-anak remajanya. Di barisanku, beberapa orang kulihat ada juga wajah asia namun ternyata ada juga berwajah Afrika. Wajah-wajah teduh mereka bercahaya.

“Aku masih di tanah Besemahkah? Bukan di Makkah bukan?” Aku membatin. Bertanya dan menjawab sendiri dengan jiwa, kala melihat yang sedang khusuk duduk di sini berbeda kulit dan raut wajah.

Aroma harum yang ke luar dari tubuh perempuan berwajah Arab di sampingku membuatku sangat nyaman. Wangi dan lembut. Aku mengatur posisi salat sunat terlebih dahulu. Selanjutnya aku duduk di sebelah perempuan Arab itu. Mulutnya komat-kamit namun tidak terdengar suaranya. Sambil mengatur posisi terlintas di benak, jika aku saat ini masih berada di alam gaib. Berarti di sebelahku adalah jin Arab. Lalu itu jin Afrika, ada juga manusia harimau, dan jin berwarna Asia. Aku masih sibuk memikirkan sosok-sosok di sekitarku. Semuanya membuatku takjub.

“Selasih…” Suara Paman Adam mengagetkanku. Hanya panggilan ‘Selasih’ namun cukup menegurku jika aku disuruh segera khusuk dan berhenti sibuk dengan suasana hati yang ricuh, terlalu banyak tanya dan praduga. Inilah yang harus kuhapus satu-satu. Hati yang selalu sibuk banyak tanya dan ingin tahu segala hal yang berkaitanbpada orang lain dan lingkungan. Lupa dengan tugas diri sendiri, apalagi untuk mengoreksi diri.

“Ampunkan hamba Yaa Allah.” Kutekan rasa. Aku kembali mengembalikan diri agar fokus pada diri sendiri. Kutarik nafas pelan-pelan. Kubiarkan darah mengalir ke seluruh tubuh. Kuawali dengan syahadat, salawat dan umul kitab. Bertawasul sejenak, lalu mulailah aku bertasbih: Subhanallah Wabihamdihi.

***

Suasana dalam masjid tak kalah nyamannya dengan di dalam goa. Bedanya di sini ramai, semua sibuk dengan ibadah masing-masing. Aku bertasbi tanpa putus. Masya Allah, jika berzikir aku merasakan sang Khalik begitu dekat, ketika khusuk bertasbih ada nuansa kegembiraan memuji kebesaran sang Khalik bersama semesta alam. Aku bersama seisi alam seakan berlomba memuji kebesaran Sang Maha. Semakin lama, jiwaku semakin hanyut pada dengung tasbih.

Masjid yang luas ini pada hakikatnya tidaklah sunyi seperti semua kulihat. Meski semua nampak diam namun bibir mereka bergerak, dan suara itu semakin lama semakin ramai dan menyatu. Suara-suara itu seperti dikomando, serentak seirama tanpa ada yang saling mendahului. Semua tertata sedemikian rupa tanpa ada yang mengkomando. Aku ikut terhanyut pada satu kenikmatan yang sulit pula untuk kulukiskan.

Gelombang energi tasbih seperti cahaya keemasan menyebar ke seluruh ruang. Aku merasakan bukit ini dinaungi cahaya keemasan memantul hingga jauh. Setiap orang yang mampu melihatnya dengan mata batin, maka mereka akan melihat bukit ini seperti dianungi cahaya jingga yang lembut mirip seperti cahaya fajar yang menyingsing dari timur. Terang namun tidak menyilaukan.

Subhanallah Wabihamdihi, Subhanallah Wabihamdihi, Subhanallah Wabihamdihi. Aku merasuk dalam nikmat puja-puji itu. Tak ada yang paling suci kecuali yang pemberi hidup. Sadarlah aku, pada kekerdilan diri. Aku tak ada apa-apanya.

Aku sedikit tersentak ketika ada yang menyentuh bahu kananku. Pelan-pelan kubuka mata. Seorang wanita bermata biru tersenyum padaku lalu meunjuk ke arah ruang mirip jalan. Aku segera menoleh ke arah yang beliau tunjuk. Di sana ada Paman Adam dan Macan Kumbang berdiri sembari melambai. Aku segera berdiri dan menyalami perempuan bermata biru lalu pelan-pelan melangkah menghampiri Paman Adam dan Macan Kumbang.

“Mari Selasih,” Paman menyilahkan aku berjalan mendahuluinya. Macan Kumbang tersenyum lebar. Hasrat hati ingin langsung memeluk Macan Kumbang saking atusiasnya. Dua hari tak bersua tapi terasa sudah sangat lama. Akhirnya aku berjalan didepan Paman Adam dan Macan Kumbang.

“Ke arah mana lagi kita, Paman?” Tanyaku ketika berada di pelataran simpang empat.

“Lurus saja Selasih,” Jawab Paman Adam pelan. Aku melanjutkan lagi perjalanan. Di sisi kiri kana aku melihat beberapa sosok ada yang tengah mengadakan solat sunah ada juga yang duduk itikaf, membaca Al Qur’an di atas permadani berwarna coklat tua.

Rasanya aku pernah melihat aktivitas ini, aku membatin ketika melihat anak-anak sebaya berusia sekitar tujuh tahunan belajar agama dipimpin oleh seorang syech. Tempat belajar mereka satu ruangan dengan masjid yang nyaris seperti tak punya batas ini.

“A Fung” Aku teringat A Fung kala melihat anak-anak ini. Iya, mereka seusia A Fung. Dimana adikku satu itu. Aku ingin sekali mendengar cerita spiritualnya. Apakah dia ikut menungguku? Aku berkeinginan bisa segera sampai dan berkumpul dengan orang-orang tercinta.

“Belok kanan, Selasih.” Paman Adam mengingatkan. Aku pun berbelok. Jalanan sepi. Hanya beberapa sosok saja berpapasan dengan kami di jalan ini. Ini masih area dalam masjid. Jalan ini tidak ada cabangnya. Aku masih terus berjalan menunggu perintah akan berhenti atau terus berjalan ketika ujung jalan terbentur tangga. Akhirnya aku naik tanpa menunggu perintah.

Aku berpegangan pada sisi tangga. Terasa sejuk karena angin dari atas seperti kipas angin berhembus ke bawah. Cukup jauh juga tangga ini. Bagian tengah mulai menikung ke arah kanan. Di atas puncak seberkas cahaya membias. Apakah cahaya matahari atau lampu, aku tidak tahu. Tapi aku merasa bukan di area masjid lagi. Ini jalan ke luar.

Setelah sampai di puncak tangga, aku tidak merasakan angin mendesing seperti tadi. Cahaya yang membias rupanya bersumber dari cahaya bulan yang belum bulat sempurna. Berada di puncak bukit membuat bulan terasa sangat dekat. Seakan bisa dijangkau dengan mudah. Di hadapanku ada jalan kecil menghubungkan lorong tangga menuju sebuah rumah baghi, bubungannya terlihat seperti tanduk kerbau terlihat dari puncak jalan. Runcing kiri dan kanan lalu melengkung di tengah, mirip rumah adat Minang,. Aku merasa sedikit asing, karena memang belum pernah ke mari. Sebenarnya batin ingin bertanya, bukit apa ini. Lalu rumah bagi siapa? Tiba-tiba aku seperti diperkampungan biasa. Yang membedakan hanya rumah baghi saja.

Mataku segera menyapu sekitar. Di sisi kanan bukit ada jurang yang menghubungkan bukit di seberang. Cukup jauh untuk sampai ke bukit seberang itu. Tempatku berdiri saat ini adalah bukit tertinggi dibandingkan dengan bukit-bukit di sekeliling. Meski nampak tinggi masih saja aku melihat pondok-pondok petani. Artinya perkebunan sudah sampai di sini.

Auuuuum..gggrrrrraahh!! Suara auman harimau. Aku menatap Macan Kumbang dan Paman Adam dengan maksud ingin penjelasan. Tapi wajah keduanya biasa-biasa saja. Apakah mereka tidak mendengar auman itu? Sekali lagi aku mendengar harimau itu mengaum. Aku panik. Karena auman itu adalah auman minta tolong. Aku menoleh ke sumber suara. Jurang mengaga sangat dalam. Auman itu bukan dari alam gaib. Tapi dari alam nyata. Itu suara harimau benaran, bukan harimau jadi-jadian. Aku membatin. Melihat Paman Adam dan Macan Kumbang tidak respon aku segera diam sejenak. Kucari sumber suara sembari mencari lokasinya. Aku mencoba menelusurinya melalui batin. Suara auman minta tolong tidak terdengar lagi. Aku kembali menajamkan pancainderaku. Hening. Kemana harimau itu? Apa yang terjadi padanya? Tadi dia mengaum minta tolong. Batinku kembali risau. Ada kekhawatiran mendera batinku. Aku tidak ingin hewan itu mati tanpa sempat ditolong terlebih dahulu. Merasa berpikir sendiri, aku teringat kakek Njajau.

“Kek, bantu aku. Aku mendengar auman harimau di sekitar bukit ini. Tapi aku tidak menemukannya. Tolong Kek, mungkin dia terluka.” Suaraku sedikit bergetar. Aku benar-benar cemas. Kecemasanku semakin memuncak ketika kakek Njajau tak dapat kuhubungi. Aku tidak mendapat jawaban beliau.

Dalam keadaan cemas, aku teringat kakek Andun. Kupanggil-panggil beliau. Aku juga minta pertolongannya. Namun beberapa kali memanggil beliau pun tidak ada jawaban juga. Aku bertanya pada diri sendiri. Mengapa tidak tembus memanggil mereka? Aku kembali panik.

“Eyaaaang” Batinku menjerit. Padahal aku tahu beliau masih berzikir di dalam goa. Beliau pasti terganggu olehku.

“Tingkatkan dan asah kembali batinmu, Nduk,” jawab Eyang Kuda. Akhirnya aku diam saja.

Aku kembali memandang Paman Adam dan Macan Kumbang. Aku tak habis pikir mengapa Paman dan Macan Kumbang meski berada di dekatku tapi ekspresi mereka biasa-biasa saja. Mereka pura-pura tidak tahu atau memang tidak tahu sama sekali. Mestinya mereka bisa melihat ekspresiku jika aku risau? Mustahil mereka tidak tahu perasaanku? Dan tidak mungkin juga mereka tidak mendengar suara harimau itu. Melihat keduanya bersikap seperti itu akhirnya aku istighfar berulang-ulang.

“Ampunkan hamba Yaa Allah, jika hamba tak mampu menolong makhluk-Mu. Aku tidak menemukan di mana sosok yang minta tolong itu, Yaa Allah. Ampunkan hamba Yaa Allah.” Aku ingin menangis karena terbentur tidak bisa berbuat apa-apa. Aku merasa berdosa karena tidak melakukan apa-apa. Menghadapi makhluk yang minta tolong tidak cukup dengan doa. Aku ingin menolongnya langsung. Kecuali arwah yang minta tolong melalui jin korimnya, maka aku akan panjatkan doa untuk menolong mereka. Karena memang aku hanya bisa bantu sebatas itu. Ini makhluk hidup, tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Ah!

“Teruslah berjalan, Selasih. Kita ke rumah baghi itu.” Kata Paman Adam menunjuk rumah lurus di ujung jalan. Pintu dan jendelanya terbuka lebar meski suasananya malam. Aku tidak bisa menerka warnanya karena sedikit gelap.

“Paman dan Macan Kumbang tidak mendengar auman harimau di alam kasat mata? Di alamku?” Kataku sambil masih terus memasang pancaindera. Aku benar-benar penasaran dibuatnya. Paman dan Macan Kumbang menggeleng. Aku menatap keduanya dengan tatapan heran. Tidak mungkin mereka tidak mendengar auman yang keras itu. bahkan auman itu dua kali. Akhirnya aku berjalan dengan perasaan masih bersalah.

Sampai di pangkal tangga aku berhenti sejenak. Aku nyaris tidak ada gairah untuk melangkah naik. Auman harimau masih terngiang dengan jelas.

“Tidak usah terbawa suasana. Ada hal lebih penting dibandingkan suara itu.” Kata Paman Adam. Mendengar itu aku berhenti melangkah.

“Paman, bagaimana tidak terbawa suasana jika aku dua kali mendengar jelas auman harimau itu. Dia minta tolong. Diam-diam aku mencarinya, mencoba menyisir lembah itu tapi tidak bertemu. Apakah paman tega jika melihat ada yang butuh pertolongan kita, lalu kita tidak melakukan apa-apa? Kita pura-pura tidak tahu. Aku tidak bisa Paman. Auman harimau itu terus terngiang-ngiang. Kalau bukan karena aku harus mematuhi Paman untuk menuju rumah ini, aku akan sisir sepanjang bukit ini sampai makhluk itu dapat. Tapi paman dan Macan Kumbang ketika kutanya tidak mendengar apa-apa. Padahal suara itu sangat jelas.” Nadaku sedikit kecewa. Aku mulai dongkol ketika melihat ekspresi keduanya datar saja. Sementara aku sudah sampai pada puncak emosi. Aku sudah ingin menangis kembali. Perasaan dongkolku semakin menjadi ketika melihat Paman Adam dan Macan Kumbang tersenyum lebar. Dalam hati aku menggerutu, keduanya sudah tidak punya perasaan.

“Assalamualaikum…” Teriakku sambil melangkah. Pintu berdaun tebal kudorong sedikit bertenaga. Aku sedikit menganggkat kaki agar bisa melangkahi lawang pintu yang dihalangi papan berbalok besar. Di dalam ruangan kulihat ramai orang duduk melingkar. Aku mencoba menebar senyum menyapa semuanya. Di sudut aku melihat orang-orang yang kukenal. Nenek Kam mengangguk-angguk menumbuk sirih ditunggui A Fung. Aku segera menyongsong dua puyangku, Puyang Pekik Nyaring dan Puyang Bukit Selepah. Keduanya tersenyum lebar sehingga mata mereka yang keriput nyaris tenggelam. Selanjutnya aku sujud pada sosok di samping Puyang. Nampaknya baru kali ini aku bertemu beliau. Aku tidak tahu siapa beliau. Selanjutnya menyalami semua yang hadir. Aku mencium erat nenek Kam yang tersenyum manis padaku. A Fung langsung memeluk dan tidak mau lepas di lenganku.

“Silakan duduk di sini, Selasih. Itu tempat dudukmu. Sudah disediakan sejak dulu” Kata Puyang Bukit Selepah. Dalam hati aku tersanjung karena tempat duduk itu sudah disediakan sejak dulu. Mengapa bisa demikian? Tapi aku anggap Puyang sedang bercanda karena melihat ekspresiku sedikit bertekuk. Aku duduk di tempat yang telah disediakan. A Fung duduk di sampingku. Beberapa sosok kulihat asyik ngobrol antar mereka dengan suara pelan. Laki-laki perempuan duduk di tempat yang berbeda. Beberapa ada yang memegang andarun. Mereka mengaji? Nenek Ceriwis kulihat sedikit manggut-manggut menahan kantuk. Beberapa kali matanya terbuka lebar lalu terpejam lagi sambil duduk.

“Wajahmu nampak cemas, nampaknya tidak terlalu bergairah. Padahal Puyang hendak bertanya pengalamanmu selama kami tinggalkan di goa itu.” Nada Puyang Bukit Selepah lembut sekali tanpa beban. Aku buru-buru mengendalikan diri. Puyang tahu jika dalam batinku ada hal yang mengganjal.

“Maafkan aku, Puyang. Benar ada yang mengganjal batinku. Dalam perjalanan ke mari aku mendengar auman nenek gunung dua kali yang minta tolong dari lembah jurang bukit ini. Auman itu berasal dari alam nyata, Puyang. Mendengar itu aku kaget dan hendak menolong. Melihat wajah Paman Adam dan Macan Kumbang tanpa ekspresi, aku mencoba menelusurinya sendiri. Tapi tidak bertemu, Puyang. Karena waktu sangat singkat, untuk segera ke mari maka kami lanjutkan perjalanan. Tapi perasaanku tidak bisa dibohongi, Puyang. Aku belum puas jika belum bertemu, melihat langsung nenek gunung itu.” Ujarku masih terbawa perasaan cemas.

“Yakin kamu itu makhluk dari alam nyata?” Kata Puyang Pekik Nyaring.

“Yakin Puyang. Suara itu dari alam nyata.” Ujarku meyakinkan. Aku melihat ke dua puyangku tersenyum kembali. Demikian juga Paman Adam dan Macan Kumbang.

“Herannya, Puyang. Dua kali auman yang kencang itu, Paman Adam dan Macan Kumbang tidak mendengarnya. Makanya mereka berdua biasa-biasa saja. Tidak sepertiku” Lanjutku lagi. Kedua puyangku kembali tersenyum sambil mengangguk-angguk.

“Selasih, suara auman itu sebenarnya palsu. Tidak ada nenek gunung yang terluka atau sejenisnya. Suara itu sengaja untuk menguji kepekaan batinmu. Sebatas mana perhatianmu saat mendengar ada yang butuh pertolongan baik di dunia nyata mau pun di alam kasat mata. Apa yang kau lakukan. Apakah ikhlas atau tidak. Apakah panggilan jiwa atau unjuk kemampuan. Puyang telah melihat itu semua. Kau bukan berpura-pura. Tapi benar-benar serius menanggapi suara anuman itu. Puyang tengah membaca batinmu, Cung. Puyang bangga padamu.” Kata Puyang Bukit Selepah. Sementara Puyang Pekik Nyaring terkekek-kekek menatapku.

“Suara auman palsu? Maksudnya Puyang? Siapa yang melakukannya?” Ujarku tidak percaya. Aku kembali menatap Paman Adam membaca ekspresinya.

“Itu suaraku, Selasih. Sengaja untuk menguji kepekaanmu.” Lanjut Paman Adam sambil tersenyum. Aku masih merasa kurang yakin. Aku tidak melihat sama sekali gejala Paman Adam melakukan itu. Bagaimana aku bisa kecolongan padahal beliau berjalan bersamaku. Kami bertiga. Kapan beliau melakukannya? Dalam hati aku kagum dengan kemampuan Paman Adam. Beliau bisa mengirim suara tanpa diketahui oleh orang lain.

“Masya Allah, Paman. Paman hebat sekali. Aku sungguh tidak menyadarinya sama sekali” Ujarku menatapnya yang masih tersenyum. Mendengar itu baru aku bisa bernafas lega. Jika tidak, bisa dipastikan aku akan penasaran dan tidak bisa tidur.

Suasana hening ketika Puyang Bukit Selepah mulai berbicara. Beliau membicarakan perihal tirakat yang sudah kami lakukan. Mulai dari berbicara tujuan, manfaat, sampai berbicara perihal macam- macam bentuknya.

“Saya yakin, dari sekian orang yang melakukan tirakat pasti mengalami dan mendapatkan pengalaman religi yang berbeda-beda. Semua bergantung dengan hati kita. Dengan keikhlasan kita, dengan niat kita. Kalau niat kita ingin mendekatkan diri pada Sang Kekasih, maka itulah hakikat yang sebenarnya. Kita akan masuk pada wilayah nikmat yang paling indah. Untuk sampai pada level itu, kita harus sucikan batin kita dari segala macam niat kotor dan duniawi. Tirakat akan membuat orang tidak takut mati. Justru yang membuat seseorang takut itu apabila tidak dapat meraih cahaya Allah dalam batinnya. Jika Allah selalu ada dalam batin kita dan kita menjaganya, maka segala hal yang negatif tidak akan dekat. Wajah, tubuh, jiwa kalian akan selalu dijaga, akan selalu berbungkus aura kebaikan. Nur Allah akan ikut terpancar di wajah kalian.Tapi jangan jadikan itu tujuan. Tujuan kita sebagai hamba, ibadah dengan segenap keikhlan.” Ujar Puyang Bukit Selepah panjang lebar. Mendengar tutur kata yang bagus, sistematis, lembut bersahaja dalam menyampaikan hikma zikir dan tirakat sebagai upaya mendekatkan diri pada sang Khalik. Aku kagum pada Puyang Bukit Selepah. Mendengar beliau menguraikan hikma tirakat, saya seperti melihat sosok seorang Syech dari negara Arab.

“Tak ada yang patut disombongkan, dibanggakan pada setiap makhluk di muka bumi ini. Maka jagalah hati kalian untuk selalu bersikap dan berpikir jernih. Rendah hati, tidak akan mengurangi kemuliaanmu di hadapan Allah, justru sebaliknya. Jangan silau dengan pujian, karena pujian hanya akan membuatmu jatuh dan lupa pada kebesaran Sang Khalik. Hanya Dia yang patut dipuji. Maka takutlah kalian pada pujian, beristighfarlah” Mendengar nasihat terakhir ini aku serasa disentil. Kerap kali aku mendapatkan pujian dari Puyang dan Kakekku dengan sebutan “Bagus Cung, kau cerdas Cung,” dan lain sebagainya. Aku tidak munafik, aku bahagia ketika mereka memujiku dan itu kujadikan sebagai tolak ukur jika aku tidak mengecewakan mereka, aku telah memberikan yang terbaik sesuai keinginan mereka. Tapi ternyata, rasa syukur dan banggaku mestinya bukan kutujukan pada mereka. Tapi pada Sang Khalik yang telah membimbing kita melakukan yang terbaik untuk orang lain. Itulah yang dimaksud Puyang hakikat “amanah” yang sebenarnya.

Suasana di ruang tengah rumah baghi ini hening. Puyang Bukit Selepah masih terus memberikan nasihat yang menurutku sangat padat. Malam semakin larut. Hanya nenek Kam kulihat sudah mulai merem melek. Sementara nenek Ceriwis matanya terbuka lebar mendengarkan beberapa diskusi yang disampaikan oleh beberapa penduduk dusun.

“Ingat, cahaya tidak akan ditembus kegelapan. Maka luruskanlah hatimu pada Allah Subhanahu Wata’alah saja. Beribadah yang benar, lakukan yang terbaik. Jadikan setiap langkah hidup ini dengan kebaikan-kebaikan agar manfaat untuk orang lain. Manfaatkan kemampuan apa saja yang kita miliki, namun jangan pernah meminta imbalan dari kebaikan itu. Sebab apa yang kita miliki tanpa izin Sang Maha, kita tidak bisa dan tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Andai ranting di bumi ini dijadikan pena, dan air laut dijadikan tintanya, lalu daun-daun dijadikan kertasnya, tidak akan cukup untuk menjelaskan ilmu Allah. Maka keraplah intropeksi diri, setinggi apa pun ilmu kita, tidak ada bandingnya dengan ilmu Allah” Aku tercenung mendengarkan apa yang disampaikan Puyang. Inilah hakikat tirakat yang baru saja kulakukan. Aku tertunduk haru.

Dari balik jendela aku melihat bulan bersinar lembut namun belum bulat sempurna. Artinya beberapa malam lagi bulan itu akan bulat sempurna, aku akan pulang ke gunung Dempu bersama Puyang Pekik Nyaring.

“Bagaimana Selasih? Hikma apa yang kau dapatkan setelah dua hari dua malam dalam goa itu?”

“Aku mendapatkan kedamaian dan kenyamanan yang membawaku jauh ke alam lain setelah aku bercermin pada diri sendiri. Banyak sekali hal yang kukira benar, setelah berdiam diri dalam suasana yang paling senyap, yang tergambar adalah hawa nafsuku, Puyang. Hawa nafsu yang tidak patut dimiliki oleh hamba-Nya apa lagi seperti aku. Dalam kesendirian aku menyadari jika aku kerap zolim, Puyang. Zolim pada diri sendiri, maupun pada orang lain. Aku merasa diriku dan apa kulakukan selama ini manfaat pada orang lain, aku merasa sudah paling benar. Setelah sendiri ternyata semua yang kulakukan tidak ada apa-apanya. Sebenarnya, aku masih ingin berlama-lama di sana, Puyang. Tapi Paman Adam menyudahi zikirku mengajakku pulang.” Ujarku sungguh-sungguh.

“Cung, jika melakukan sesuatu sesuaikan dengan porsinya. Jangan sampai mubazir. Berzikir dua hari dua malam sudah cukup untuk membuka kesadaran jiwa seseorang untuk kembali. Selanjutnya, bisa kau lakukan kapan saja di mana saja. Yang penting tetap jaga kesadaran jiwa. Hidup ini adalah amanah, maka lakonilah sebaik mungkin; ibadah.” Ujar Puyang Bukit Selepah kembali.

“Kak, aku diajak Puyang solat subuh di masjid Nabawi.” A Fung bercerita. Kutatap wajahnya di remang cahaya bulan separuh.

“Masjid Nabawi? Kapan?” Tanyaku ingin tahu.

“Tadi, aku dijemput Puyang di dalam goa. Ternyata Paman Raksasa juga dijemput Puyang Bukit Selepah.” Ujarnya manja. Kuelus kepalanya. Adik gaibku satu ini beruntung sekali nasibnya. Aku sendiri belum pernah merasakan perjalanan spiritual yang luar biasa itu. Puyang belum pernah mengajakku ke sana. Mungkin aku belum pantas, masih perlu penyucian diri lebih jauh. Atau karena aku bangsa manusia setengah harimau? Aku membatin.

“Kita bukan termasuk makhluk pilihan.” Ujar Selasih seperasan padaku. Aku mengiyakannya dalam batin.

“Bahagia sekali dirimu, Dik. Apakah banyak bangsamu beribadah di sana?” Tanyakku.

“Wah banyak sekali kak. Bahkan lebih banyak bangsa jin daripada manusia. Setiap waktu solat. Aku tidak sanggup ke sana kalau tidak diajak Puyang, atau bersama Syech dari Saudi dan Turky itu.” Lanjut A Fung.

“Jika kau solat di sana lagi, apakah itu di masjid Nabawi, masjidil Haram, atau masjid-masjid lainnya di Main, di Makkah, doakan kakak agar disegerakan ke sana ya, Dik.” Kataku penuh harap. Ada kecemburuan terbersit di batinku.

“Bukan kecemburuan, tapi keinginan, Dek.” Selasih mengingatkan aku. Aku mengangguk pelan. Benar, keinginan. Ingin seperti A Fung bisa solat di tanah suci.

Tepat tengah malam, pertemuan kami selesai. Puyang Pekik Nyaring, Nenek Ceriwis, dan Paman Raksasa pulang ke gunung Dempu. Aku bersama A Fung dan Macan Kumbang pulang ke kebun bersama Nenek Kam. Semua rangkaian peristiwa selama dalam goa dan perjalanan ke masjid hingga ke puncak bukit Selepah masih membekas di benakku. Hingga saat ini, aku seperti berada di alam mimpi. Sungguh jauh berbeda aura alam sana dengan nuansa alam nyata.

Setelah sampai di pondok nenek Kam, A Fung langsung duduk menghadap kiblat lalu berzikir, terus berzikir. Macan Kumbang duduk agak jauh melakukan hal yang sama. Aku lebih memilih berbaring dekat kaki Nenek Kam sesekali tetap mengontrol kesadaran jiwa.

“Ingin makan apa, Dek? Kita manusia Dek, masih butuh makanan untuk mengisi perut kita.” Ujar Nenek tertawa. Aku ikut tertawa. Benar juga kata Nenek Kam. Kami manusia hidup di alam nyata.

“Tapi mau makan apa, Nek? Selain tengah malam, kita berada di tengah kebun, di atas bukit. Bukan di kota” Ujarku sambil bangkit. Kutawari Nenek Kam kopi hangat atau teh untuk mengusir rasa dingin. Tapi beliau menolak. Akhirnya aku batal menyalakan api di dapurnya.

Kabut sudah turun, bahkan terasa sangat pekat. Ketika menghirup udara rasanya berat sekali, bahkan sedang berbicara mulut nampak mengeluarkan asap.

“Ah, gampang kalau soal makanan. Yang penting kau mau makan apa?” Ujar Nenek Kam. Aku berpikir sembari menatap bayangan kami di dinding yang tertimpa cahaya lampu cubok. Mirip film animasi bergerak-gerak sambil membayangkan makanan yang enak-enak.

“Nenek mau makan serabi kuah.” Lanjut Nenek Kam. Mendengar serabi kuah malam-malam begini rasanya sedap juga. Akhirnya aku sepakat ingin makan serabi kuah juga.

Tak lama aku melihat nenek Kam berkomunikasi dengan seseorang menggunakan bahasa nenek gunung. Kadang mengganguk kadang menggeleng.

“Pesan di warung mana, Nek?” Tanyaku menggodanya.

“Pesan di warung Butan, di simpang Bandar.” Ujarnya sambil tertawa. Mendengar itu aku ikut tertawa. Butan itu perempuan yang punya warung manisan sekaligus warung kopi di simpang Bandar. Biasanya setiap orang baru tiba ke simpang Bandar, kelelahan habis naik tebing Sekip akan istirahat di warungnya minum kopi sambil makan gorengan. Setahuku Butan tidak menjual serabi kuah. Yang beliau jual pisang goreng, bakwan, tempe goreng, dan kecepol. Saat ini tengah malam, Butan belum berjualan.

“Pesankan kecepol hangat Butan juga kalau begitu, Nek. Udah lama aku tidak makan kecepol. Kecepol itu kesukaan kakek Haji Yasir dengan Kakek Haji Majani.” Ujarku bercanda. Tiba-tiba aku ingat ke dua kakekku.

“Mana ada malam-malam begini kecepol Butan. Besok pagi baru ada. Kita pesan saja sama Wariak.” Sambung Nenek Kam lagi. Aku berkerut. Siapa pula Wariak. Rupanya Wariak itu nama orang. Beliau menjual berbagai macam sayur-mayur dan makanan kecil ke arah dusun kami. Hebatnya, beliau membawa sayurnya dengan cara ditandu karena memang belum ada kendaraan hingga ke dusun Seberang Endikat. Setiap hari beliau berjalan kaki pulang pergi ke Seberang Endikat untuk berjualan. Kadang beliau pulang ke Pagaralam lagi lepas magrib dan besok pagi sudah ke Sebrang Endikat lagi. Demikian setiap hari. Nama beliau sangat dikenal di dusun-dusun, di talang, dan kebun Seberang Endikat ini. Setiap hari beliau selalu ditunggu oleh para emak dan anak-anak. Alat tukar membeli sayur dan makanan padanya pun bermacam-macam. Ada yang barteran dengan biji kopi. Maka Wariak akan menghitungnya seharga kopi hari itu. Demikian juga ada yang barteran dengan beras.

“Nenek kenal dekat dengan Wariak? Masih bujang atau sudah punya istri, dia Nek?” Tanyaku.

“Sudah punya cucu malah”

“Kok Nenek tahu?” Tanyaku.

“Iya, Nenek pernah nanya.” Jawab Nenek Kam sambil meletakkan bakul sirihnya ke dekat dinding.

“Ooooh”.

“Kenapa memangnya?” Tanya Nenek sambil menatapku.

“Kukira bujang lapuk buruk tegantung, kalau bujang lapuk kan bisa kita pelet untuk Nenek.” Ujarku menggodanya. Matanya terbelalak menatapku.

Plak!

Aku kaget. Pundakku terasa nyeri. Rupanya Macan Kumbang sudah selesai dari zikirnya. Mendengar aku menggoda Nenek Kam, dia tepuk pundakku.

“Tidak sopan!”

“Weeew…Nenek aja tidak marah. Atau dirimu yang tersinggung?”

“Kok aku yang tersinggung?”

“Iyalah, Macan Kumbang kan termasuk bujang lapuk.” Godaku. Mendengar itu Macan Kumbang langsung melompat hendak menerkamku. Dengan sigap aku menghindar. Melihat Macan Kumbang nekad hendak menyakiti, aku segera membuka pintu lalu kabur sambil tertawa. Macan Kumbang mengejarku sekuat tenaga. Aku menggunakan kemampuanku untuk menghindar dari kejarannya.

“Pulang, Dek. Serabi kuahnya sudah datang.” Suara Nenek Kam. Akhirnya aku menghentikan lariku. Kesempatan Macan Kumbang menangkap lalu mencoba membantingku. Sambil tetap tertawa aku bertahan agar tidak terbanting.

“Ini ya orangnya yang bilang aku bujang lapuk.” Macan Kumbang berusaha menutup mulutku. Aku menghindar sambil menangkis tangannya.

“Sudah…sudah…ampun..ampun maaf, aku menyerah. Nenek memanggilku. Serabi kuahnya sudah datang.” Ujarku sedikit ngos-ngosan. Macan Kumbang masih juga sempat menutup mulutku.

“Dasar cucu nenek Ceriwis!” Ujar Macan Kumbang yang kusambut dengan tawa. Aku langsung nempel di punggungnya minta gendong menuju pondok Nenek Kam.

“Siapa yang ngomongin aku ceriwis ha!” Suara Nenek Ceriwis lantang. Aku kaget bukan main. Kututup mulutku agar tak terdegar kalau aku menahan tawa.

“Sukurin kena Marah.” Bisikku ke telinga Macan Kumbang sambil memeluk penggungnya. Macan Kumbang diam seribu bahasa.

“Kalau bukan Putri Selasih kesayangan Nenek Kam, sudah kulempar ke lembak paku.” Ancam Macan Kumbang membuat tawaku kembali meledak. Sudah lama sekali aku tidak mendengar kata lembak paku. Lembak paku istilah yang kerap diucapkan orang Besemah jika marah, mengancam, atau bercanda. Artinya semak belukar yang ditumbuhi pakis. Entah mengapa harus pakai istilah ‘lembak paku’.

Dalam sekejap aku dan Macan Kumbang sudah di berada pondok Nenek Kam. Baru kusadari, jika kabut turun masih sangat tebal. Meninggalkan bintik air di ujung-ujung daun. Cahaya bulan yang separuh, lenyap di balik kabut dan daun petai cina. Kami bertiga duduk melingkar menikmati serabi kuah yang hangat tengah malam.

Bersambung…
close